PENDAHULUAN Latar Belakang Sebelum terbentuk kerja sama antar negara seperti Uni Eropa, ASEAN, NAFTA, dan lain - lain, masing - masing negara memiliki mata uang sendiri, sehingga banyak sekali jenis mata uang yang ada di dunia ini. Hal tersebut menurut pakar ekonomi dari Italy, Oscar La Fonthe tidak efisien karena didunia ini hanya dibutuhkan 4 sampai 5 jenis mata uang saja. Sejak dibentuknya Uni Eropa yang menghasilkan suatu single market dengan mata uang tunggal yaitu euro, antar negara Uni Eropa bisa menjalankan perdagangan secara bebas tanpa dibebankan adanya pajak (devisa). Hal ini membuat perekonomian negara-negara Uni Eropa semakin berkembang pesat dan sekarang ini bisa mengalahkan kondisi perekonomian Amerika. Selain itu, wisatawan antar negara Uni Eropa bebas melakukan perjalanan ke beberapa negara Uni Eropa tanpa direpotkan adanya pertukaran mata uang atatupun pasport. Hal ini juga mendorong pesatnya perekonomian di wilayah Uni Eropa. Berawal dari kesuksesan Uni Eropa tersebut, mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk menciptakan suatu single market. Pada KTT ASEAN yang diselenggarakan di Bali tahun 2003 lalu, semua anggota ASEAN menyepakati sebuah penyatuan perekonomian yang dikenal dengan “AEC plan” (ASEAN Economic Community) dengan tujuan utama yakni meningkatkan perekonomian wilayah ASEAN. Sejalan dengan rencana tersebut, ternyata tidak hanya negara-negara anggota ASEAN saja yang terlibat, tetapi juga melibatkan Jepang, Korea Selatan, dan China, sehingga muncul istilah baru di kalangan para ekonom yaitu ASEAN+3. Secara teoritis, penyatuan ekonomi hanya bisa berjalan dengan baik jika terdapat kemiripan (kehomogenan) diantara para anggotanya. Dengan demikian, sangat menarik untuk mengelompokkan negara-negara tersebut berdasarkan kriteria Maastricht sebagai acuan dengan berbagai pendekatan ilmiah yang nantinya bisa membantu dalam penentuan kebijakan moneter pada perwujudan single market. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengelompokan negara-negara ASEAN+3 berdasarkan kriteria Maastricht (Maastricht Treaty Criterion) dengan metode penggerombolan k-rataan dan fuzzy clustering c-means (fcm). Kedua metode ini digunakan untuk melihat kesamaan dari hasil akhir penggerombolan. Selain itu juga mengamati karakteristik pada masing-masing objek serta perubahannya dalam suatu cluster pada kondisi waktu yang berbeda yaitu saat krisis ekonomi dan setelah krisis ekonomi dengan analisis biplot dan analisis procrustes. TINJAUAN PUSTAKA Kriteria Maastricht (Maastricht Treaty Criterion) Merupakan suatu kriteria ekonomi dalam perwujudan penyatuan ekonomi (single market) yang telah banyak digunakan pada perwujudan single market di wilayah Uni Eropa. Pendekatan ini secara jelas dianggap sebagai intisari dari orientasi keseimbangan dan juga pendiri kebijakan fiskal dan tingkah laku nilai tukar mata uang. Ditinjau dari segi ekonomi, melalui kriteria ini, semakin lama periode data yang digunakan akan memberikan tingkat akurasi yang tepat pada keseimbangan sebuah negara (Artis dan Zhang 1998). Menurut Zhang, kriteria ini didasarkan pada lima variabel penting yang merupakan variabel-variabel makroekonomi yaitu : 1. Inflation rate, merupakan rata-rata inflasi setiap tahunnya yang diukur dengan persentase. Jika nilainya positif maka terjadi inflasi, dan jika nilainya negatif menunjukkan terjadinya deflasi. 2. Deficit as percentage of GDP (Gross Domestik Produk) merupakan rasio antara defisit anggaran belanja pemerintah dengan GDP. Bisa diartikan juga sebagai neraca keseimbangan dari sebuah negara. Jika nilainya positif berarti terjadi surplus, sedangkan jika nilainya negatif berarti terjadi defisit anggaran pemerintah. Nilainya diukur dalam persentase. 3. Volatility in exchange rate, merupakan keseimbangan nilai tukar mata uang setiap negara yang didasarkan pada mata uang dolar Amerika. Nilai ini dihitung berdasarkan standar deviasi (x102) dari logaritma nilai pembedanya.