BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dijelaskan

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
Pada bagian ini akan dijelaskan berbagai teori mengenai jaringan komputer,
khususnya Mobile Ad Hoc Network beserta dengan NS-3 sebagai perangkat network
simulator yang digunakan pada penelitian ini. Pembahasan pada landasan teori ini akan
dimulai dari tinjauan singkat mengenai bagian-bagian penting dari sistem jaringan
komputer yang merupakan dasar dari teknologi Mobile Ad Hoc Network. Pustaka yang
dipilih disesuaikan berdasarkan keterkaitan isi dari pustaka tersebut dengan ruang
lingkup topik yang dibahas secara lengkap dan menyeluruh, sehingga dapat mendukung
pemecahan masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
2.1
Protokol Jaringan
Sebuah protokol menjelaskan format dan urutan dari pertukaran pesan-pesan
antara dua atau lebih entitas komunikasi dan juga perlakuan apa yang harus diambil pada
saat transmisi dan atau saat penerimaan pesan (James F. Kurose, 2000).
Protokol
jaringan
terbagi
atas
3,
yaitu
model
OSI (Open
Systems
Interconnection), model TCP/IP, dan model ATM (Asynchronous Transfer Mode) (C.
Siva Ram, 2004).
2.1.1
OSI Model
Model ini pertama kali dikemukakan oleh badan standarisasi dunia (International
Organization for Standarization) atau biasa disebut dengan ISO, dan telah menjadi
protokol standar yang digunakan pada berbagai lapisan jaringan. Model ini bernama
Open Systems Interconnection (OSI) dan sesuai dengan namanya, protokol ini bertujuan
untuk mengatur mekanisme komunikasi antara sistem (mesin) dalam jaringan
komunikasi yang terbuka untuk berkomunikasi dengan sistem lainnya. OSI terbagi atas
7 layer/lapisan, diantaranya:
Gambar 2.1 Seven Layer OSI
1.
Physical Layer
2.
Data Link Layer
3.
Network Layer
4.
Transport Layer
5.
Session Layer
6.
Presentation Layer
7.
Application Layer
Setiap lapisan tersebut saling berhubungan dan memiliki tugas serta fungsi masingmasing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai ketujuh layer tersebut.
1. Physical Layer
Lapisan ini bertanggung jawab dalam proses transmisi setiap bit melalui
perantara fisikal. Lapisan ini berhubungan dengan mechanical dan electrical
specifications dari perangkat keras jaringan yang dipakai dengan media
physical transmission yang digunakan untuk transmisinya. Mechanical
specifications biasanya berhubungan dengan kabel, connectors, dan segala
macam yang berkaitan dengan hubungan antar jaringan. Sedangkan untuk
electrical specifications, berhubungan dengan tingkat tegangan yang biasa
digunakan untuk merepresentasikan informasi digital (binary 1 dan 0) dan
durasi dari setiap bit.
2. Data Link Layer
Lapisan ini berfungsi untuk memastikan transmisi data yang dilakukan bebas
dari kesalahan. Selain itu, lapisan ini juga bertugas untuk menerima data dari
lapisan diatasnya, membagi datanya menjadi beberapa paket / frame, yang
kemudian paket-paket / frame-frame tersebut ditransmisikan. Pada lapisan ini
juga terdapat mekanisme pendeteksian dan mentransmisi ulang paket yang
rusak atau hilang.
3. Network Layer
Layer ini bertanggung jawab dalam routing paket data dari node sumber ke
node tujuan. Selain itu, network layer juga bertanggung jawab dalam
pengalamatan node. Congestion control juga menjadi tanggung jawab
network layer.
4. Transport Layer
Transport Layer memiliki beberapa fungsi penting seperti, segmentasi dan
penyusunan kembali pesan, perbaikan kesalahan yang terjadi, pemantauan
Quality of Service (QoS), dan end to end flow control.
5. Session Layer
Sebuah session bisa didefinisikan sebagai koneksi antar 2 presentation layer
(yang akan dijelaskan setelah Session Layer). Tugas dari Session Layer
adalah pembangunan dan pelepasan dari sebuah sesi dalam suatu koneksi,
interaction manager (yang menentukan apakah sesi tersebut two-way
simultaneous, two-way alternate, atau one-way interaction) dan sinkronisasi
antar sesi.
6. Presentation Layer
Lapisan ini berhubungan dengan sintaks dan semantik dari pertukaran
informasi antar dua sistem. Presentation layer memastikan pertukaran pesan
antar dua proses yang ada pada komputer yang berbeda dimana representasi
data yang digunakan berbeda, memiliki arti secara umum yang sama.
7. Application Layer
Application Layer berperan sebagai interface kepada proses suatu aplikasi
yang membutuhkan bantuan komunikasi. Lapisan ini mengacu pada
pelayanan komunikasi pada suatu aplikasi.
2.1.2
TCP / IP (Transmission Control Protocol – Internet Protocol) Model
Model ini yang biasa digunakan pada internet sekarang ini. Model ini awalnya
dirancang oleh ARPANET sebelum menjadi model standar yang digunakan secara luas.
TCP/IP hanya memiliki 4 layer yang diantaranya adalah host-to-network layer,
internet/network layer, transport layer dan application layer dan berikut adalah
penejelasan singkatnya.
Host-to-network Layer
Lapisan ini bersifat mirip seperti physical layer pada OSI. Host harus
terhubung pada jaringan menggunakan beberapa protokol yang bertujuan untuk
mentransmit paket yang dikirim.
Internet Layer
Fungsi utama dari lapisan ini adalah routing dan congestion control.
Internet layer mendefinisikan sebuah protocol yang biasa disebut IP atau
Internet Protocol. Paket yang dikirim oleh Internet Layer kepada lapisan
dibawahnya harus mengikuti format IP ini.
Transport Layer
Transport layer pada TCP/IP juga memiliki cara kerja yang mirip dengan
Transport Layer pada model OSI. Namun, faktanya adalah desain dari model
transport layer OSI dipengaruhi oleh operasi dan performa dari TCP. Pada layer
ini juga, protokol komunikasi Transmission Control Protocol (TCP) dan User
Datagram Protocol (UDP) ditetapkan. TCP bersifat connection oriented. Pada
TCP, dibutuhkan pembangunan koneksi untuk pertama kalinya sebelum transfer
data yang sebenarnya dapat dilakukan. Setelah koneksi terjalin, barulah
kemudian pengiriman paket dapat dilakukan melalui jalur yang sudah ditentukan.
Paket yang dipecah pada saat sebelum proses pengiriman akan dikirimkan secara
terurut dan akan disatukan kembali sesuai dengan urutan diterimanya paket
tersebut. Pada TCP juga terdapat flow control yang dapat mengatur arus
transmisi data, sehingga resiko kehilangan data dan jaringan overloaded lebih
kecil.
UDP merupakan protokol transport layer yang sederhana dan tidak
menjamin keandalan dalam pengiriman paket. Protokol ini mendukung multicast
dan broadcast. UDP mengutamakan waktu pengiriman data daripada keutuhan
data. Protokol UDP bersifat connectionless.
Komunikasi dicapai dengan
mengirimkan informasi satu arah, dari sumber ke tujuan tanpa memeriksa
terlebih dahulu keberadaan tujuan dan kesiapan koneksi dalam menerima data.
UDP menggunakan metode Cyclic Redundancy Check (CRC) untuk memeriksa
integritas paket. Saat error pada paket terdeteksi, paket dinyatakan hilang dan
dibuang. Protokol ini didefiniskan untuk komunikasi packet-switched pada
jaringan komputer yang saling terhubung (RFC 768). UDP tidak menyediakan
mekanisme congestion control untuk mengatasi jaringan yang padat. UDP cocok
digunakan untuk aplikasi seperti Voice Over-IP, online games, internet radio
dimana keutuhan paket tidak menjadi prioritas utama.
Gambar 2.1 Profil UDP
Source port address mengindikasikan port yang mengirim proses
pengiriman datagram. Destination port adress mengindikasikan port yang
menerima datagram. Length berisi ukuran datagram dalam bytes yang juga
termasuk header di dalamnya. Checksum merupakan bagian optional 16-bit 1's
komplemen dari jumlah header pseudo-IP, header UDP, data UDP dimana
header pseudo-IP berisi alamat IP sumber dan alamat IP tujuan, protokol dan
ukuran UDP.
Application Layer
Bersifat sama seperti Application Layer pada model OSI. Pada Layer ini
berisi level protocol yang lebih tinggi seperti File Transfer Protocol (FTP) yang
digunakan untuk pengiriman file antar komputer, Virtual Terminal (TELNET)
yang dapat menyediakan fasilitas remote login, Simple Mail Transfer Protocol
(SMTP) yang biasa digunakan untuk pengiriman e-mail dan HyperText Transfer
Protocol (HTTP) untuk mentransfer halaman web melalui internet.
2.1.3
ATM Model
Asynchronous Transfer Mode (ATM) model pertama kali dikembangkan oleh
Broadband-Integrated Service Digital Network (B-ISDN). Model ATM ini cukup
berbeda dengan model OSI ataupun TCP/IP. Pada model ini, semua informasi
ditransmisikan kedalam bentuk paket – paket kecil berukuran tetap yang disebut dengan
cells. Ukuran dari cells tersebut adalah 53 byte, dimana 5 byte sebagai header diikuti
oleh 48 byte yang dapat diisi. ATM menggunakan teknologi yang disebut cell switching.
Cell switching mirip dengan packet switching, yang dimana membagi data kedalam
beberapa cell yang berukuran sama, lalu ditransmisikan melalui channel tertentu yang
biasa disebut sebagai virtual channel dan saling berbagi dengan node – node lainnya.
Perbedaan antara packet switching dengan cell switching adalah ukuran cell pada cell
switching sifatnya tetap, pada packet switching tidak. ATM juga dapat berjalan pada
physical layer apapun dan biasanya ATM berjalan pada fiber optic menggunakan
standar SONET pada kecepatan 155,52 Mbps, 622 Mbps dan lebih tinggi lagi (James F.
Kurose et al., 2000).
2.2
Wireless Network
Wireless Network atau Jaringan Nirkabel adalah jaringan komputer yang
menggunakan frekuensi radio sebagai perantara komunikasinya. Sistem komunikasi
radio nirkabel pertama kali ditemukan oleh Guglielmo Marconi pada tahun 1897. Pada
tahun 1901, beliau sukses mendemonstrasikan sistem telegraph nirkabelnya dengan
mentransmisikan sinyal radio menyeberangi Samudra Atlantik dari Inggris ke Amerika,
menjangkau lebih dari 1.700 mil (C. Siva Ram, 2004). Mobile Wireless Network terbagi
menjadi dua tipe jaringan yang dibedakan berdasarkan infrastruktur yang menunjang
terbentuknya jaringan tersebut. Jaringan mobile yang memiliki infrastruktur lengkap,
misalnya memiliki access point, gateway dan routing support disebut sebagai Mobile IP
dan jaringan mobile yang tidak memiliki infrastruktur dinamakan Ad Hoc Network (A.
Ali, 2004).
2.3
Mobile Ad Hoc Network
Mobile Ad Hoc Network (MANET) adalah jaringan wireless yang tidak
mempunyai sebuah infrastruktur yang tetap atau administrasi yang terpusat. Node-node
pada jaringan ini bergerak secara acak dan berubah – ubah sehingga topologi jaringan ini
dapat berubah dengan cepat dan tidak dapat diperkirakan (Basagni, 2004).
Secara umum, rute diantara node di dalam jaringan ad hoc termasuk jaringan
wireless multi hop. Gambar dibawah ini menunjukkan sebuah contoh jaringan mobile ad
hoc. Seperti yang ditunjukkan pada gambar, sebuah jaringan mobile ad hoc terdiri dari
beberapa peralatan home-computing, seperti notebook dan yang lainnya. Setiap node
mampu berkomunikasi secara langsung dengan node yang lainnya yang terletak pada
jarak transmisi. Untuk berkomunikasi dengan node yang berada di luar jarak tersebut,
node membutuhkan node perantara untuk menyampaikan message dari hop ke hop.
Gambar 2.2 Mobile Ad-Hoc Network (Basagni)
Karakteristik yang spesifik pada jaringan mobile ad hoc wireless network
(Basagni, 2004:13) :
Wireless / Nirkabel.
Node-node berkomunikasi secara wireless dan dapat berbagi pada media
yang sama (radio, infrared, dll.).
Ad-hoc-based.
Mobile ad hoc network adalah jaringan sementara yang dibangun secara
dinamis dengan cara yang berubah-ubah oleh sekumpulan node.
Mandiri dan tanpa infrastruktur.
MANET tidak bergantung pada infrastruktur yang tetap atau administrasi
yang terpusat. Setiap node berjalan dengan cara peer-to-peer terdistribusi,
bertindak sebagai router, dan menghasilkan data sendiri
Multihop routing.
Setiap node bertindak sebagai router dan menyampaikan paket yang lainnya
sehingga memungkinkan penyebaran informasi diantara mobile host.
Mobility / Pergerakan.
Setiap node bebas untuk bergerak dalam berkomunikasi dengan node yang
lain. Topology dari ad-hoc network bersifat dinamis karena pergerakan
nodenya yang tergantung oleh situasi tertentu sehingga hubungan antar
nodenya terus berubah secara berkala
2.3.1
Protokol Routing
Routing adalah sebuah aksi memindahkan informasi dari node sumber ke node
tujuan melalui sebuah jaringan. Selama proses ini, minimal harus ada sebuah node
penengah antara node sumber dan node tujuan. Konsep routing pada dasarnya
melibatkan 2 aktifitas: Pertama, menentukan jalur routing yang paling optimal dan yang
kedua, pengiriman sekumpulan informasi (biasa disebut paket) melalui suatu jaringan.
Menurut C. Siva Ram (2004), tanggung jawab sebuah routing protocol adalah
melakukan pertukaran informasi rute; menemukan jalur yang mungkin untuk sampai ke
node tujuan dengan memperhatikan panjang lompatan, energi yang dibutuhkan
seminimal mungkin, dan lama jangka hidup dari hubungan nirkabel tersebut;
mengumpulkan informasi tentang jalur yang putus; memperbaiki jalur yang rusak; dan
memanfaatkan bandwidth yang minimum. Adapun masalah-masalah yang dihadapi
protokol routing yaitu:
Pergerakan
Salah satu faktor penting dari ad hoc wireless network adalah pergerakan
atau mobilitas node – nodenya. Mobilitas node – node tersebut juga yang
menyebabkan terjadinya jalur yang putus, paket data yang bertabrakan,
terlewatinya sebuah node, routing information yang sudah tidak cocok, dan
kesulitan dalam penggunan sumber daya.
Batasan bandwidth
Oleh karena channel yang digunakan terbagi ke semua node yang masih
dalam daya jangkau, bandwidth untuk setiap wireless linknya tergantung dari
jumlah node dan traffic yang ditangani.
Potensi Error dan channel yang terbagi
Bit Error Rate (BER) pada wireless channel sangatlah tinggi jika
dibandingankan dengan jaringan yang menggunakan kabel. Pertimbangan akan
keadaan dari wireless link, rasio signal-to-noise, dan jalur yang berpotensi hilang
pada ad hoc wireless network dapat meningkatkan efisiensi dari sebuah routing
protocol.
Ketergantungan terhadap lokasi
Sebuah
lokasi
menentukan
kebutuhan
sebuah
channel
dalam
menggunakan sumber daya yang ada. Perebutan penggunaan sumber daya yang
tinggi pada suatu channel dapat menghasilkan tingkat tabrakan paket yang tinggi
dan pembuangan bandwidth secara sia-sia. Sebuah routing protocol yang bagus
diharapkan didalamnya dapat memiliki mekanisme untuk mendistribusikan isi
dari channel tersebut secara merata, sehingga perebutan sumber daya tersebut
dapat dihindari.
Batasan dari sumber lain
Ada juga batasan – batasan dari sumber lain seperti computing power,
kekuatan batere, dan kapasitas buffer yang juga membatasi kemampuan sebuah
routing protocol.
Gambar 2.3 Hirarki Protokol Routing Ad-Hoc
Dalam ad hoc routing protocols, ada 3 bagian utama bedasarkan topologinya
yaitu:
1. Flat Routing
Protokol yang tergolong dalam kategori flat routing menggunakan skema
pengalamatan yang sama dengan yang digunakan oleh IEEE 802.3 LAN.
Semua node yang terhubung memiliki alamat yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya (C. Siva Ram, 2004). Namun, protokol routing yang
tergolong dalam kategori ini memiliki kekurangan dari segi daya cakup
jumlah node-nya yang rendah dibandingkan dengan hierarchical ataupun
position-based routing, karena setiap node harus memelihara setiap routing
table dari node lainnya (Basagni, 2004). Dalam flat routing pun terbagi
kembali atas 3 bagian, berdasarkan cara pembaharuan informasinya, yaitu
Proactive, Reactive, dan Hybrid.
Proactive
Protokol routing ini disebut juga “table-driven routing protocol”.
Pada protokol ini, node secara terus menerus melakukan pembaharuan
rute untuk node-node sekitarnya yang bisa dicapai dan berusaha untuk
tetap melakukan pembaharuan secara konsisten. Pada routing protokol
yang tergolong proactive ini, setiap node-nya memiliki informasi yang
konsisten terhadap topologi jaringan yang sedang berjalan saat itu. Nodenode yang ada pada jaringan tersebut terus membaharui informasi rute
yang mungkin tanpa memperhatikan ada tidaknya data traffic saat itu.
Oleh karena proses pembaharuan ini dilakukan tanpa henti selama
jaringan tersebut masih ada, overhead yang terjadi di dalam jaringan
tersebut tergolong tinggi (Subir Kumar, 2008). Berikut adalah contohcontoh protokol routing yang tergolong proactive:
DSDV (Destination-sequenced Distance Vector)
Destination-sequenced Distance Vector (DSDV) merupakan
protokol routing yang menggunakan algoritma Distance-Vector dan
algoritma shortest path Bellman-Ford. Mekanisme DSDV dalam
menemukan rute di dalam mobile ad hoc network (MANET) berbeda.
Routing table yang digunakan protokol ini menyimpan hop (loncatan)
selanjutnya dari node awal, cost dari node awal ke node tujuan, serta
destination sequence number yang berasal dari node tujuan. (Subir
Kumar Sarkar, 2008) Pada dasarnya algoritma Distance-Vector tidak
bebas pengulangan (loop free), oleh karena itu destination sequence
number digunakan supaya tidak terjadi looping dalam proses routing.
Destination sequence number juga berguna untuk menjaga informasi
routing
table
supaya
menjadi
informasi
yang
memperbaharui rute lama menjadi rute yang baru.
terbaru
dengan
Gambar 2.4 Node B melakukan broadcast
Setiap node mencatat destination (tujuan) yang mungkin tercapai,
next node yang mengarah ke destination, cost (metric), dan sequence
number. Setiap node saling bertukar informasi secara rutin dengan
melakukan broadcast ke node tetangga (neighbor node). Pembaruan
routing table juga bisa terjadi apabila ada event tertentu, seperti rute
putus atau pergerakkan node yang menyebabkan perubahan topologi
jaringan dan perubahan informasi pada tabel.
Node B melakukan increment terhadap sequence number menjadi
102 dan melakukan broadcast informasi routing table baru ke node-node
tetangganya (A dan B). Broadcast ini akan terus dilakukan selama masih
ada node pada jaringan yang terhubung sehingga routing table senantiasa
baru.
Gambar 2.5 Node D mengirim paket ke node A melalui 2 jalur dengan hop
berbeda
Node D merupakan source node, sedangkan node A merupakan
destination node. Karena adanya routing table, maka D dapat dengan
mudah mengidentifikasi rute dengan cost atau hops (loncatan) terpendek
yaitu melalui Q. Node D melakukan broadcast dengan sequence number
D-102 melalui P dan Q. Informasi sampai ke P dan Q dengan sequence
number 102 dengan jumlah hop 14 di Q dan 15 di P. Routing table yang
dipilih adalah routing table dengan sequence number terbesar dan jumlah
hop terkecil. Oleh karena sequence number di P dan Q sama-sama 102,
maka informasi yang akan diteruskan ke node A adalah informasi routing
table dari node Q dengan jumlah hop 14.
Pembaharuan rute pada protokol routing DSDV bersifat timedriven (periodik) ataupun event-driven (digerakkan oleh fenomena
tertentu). Setiap node bertukar informasi dengan node-node tetangganya
secara periodik untuk memperoleh informasi routing table yang terbaru.
Saat terjadi perubahan signifikan tertentu dari update terakhir, suatu node
dapat mengirim informasi dari routing table yang telah berubah dengan
digerakkan oleh trigger / event tertentu.
DSDV memiliki dua cara saat memperbaharui routing table.
Pertama adalah full-dump yang memperbarui seluruh isi routing table.
Incremental update, merupakan cara lain yang hanya memuat informasi
yang berubah sejak pembaharuan terakhir (Sushil Kumar, 2011).
Incremental update dapat dikirim dengan satu NDPU (Network Data
Packet Unit) sedangkan full-dump dikirim dengan menggunakan
beberapa NDPU.
DSDV merupakan protokol routing yang efisien. Dengan adanya
sequence number, DSDV bebas dari pengulangan (loop free). Delay
(keterlambatan) untuk penemuan rute baru juga relatif rendah karena saat
dibutuhkan destination yang baru, source node telah menyimpan rute dari
source ke destination di dalam routing table yang diperbarui secara rutin.
Sebagai protokol proaktif, DSDV perlu memperbaharui routing
table-nya secara rutin sehingga mengkonsumsi banyak energi baterai dan
bandwith meskipun jaringan tersebut sedang dalam kondisi idle.
Akibatnya protokol ini kurang cocok untuk jaringan dengan jumlah node
yang sangat besar. Saat topologi jaringan berubah, sequence number baru
dibutuhkan. DSDV tidak stabil hingga perubahan routing table tersebar
di seluruh node pada jaringan. Karena alasan ini DSDV tidak tepat
digunakan pada jaringan dengan mobilitas tinggi (Marc Esquius Morote,
2010).
DSDV efektif untuk jaringan ad-hoc dengan populasi rendah
karena perubahan topologi juga relatif rendah. Jaringan dengan populasi
tinggi namun frekuensi perubahan topologi yang rendah juga baik untuk
protokol DSDV. Hal ini disebabkan karena tidak dibutuhkan pencarian
rute baru pada saat pengiriman data akan dilakukan sehingga delay
menjadi rendah.
OLSR (Optimized Link State Routing Protocol)
OLSR merupakan protokol routing proaktif, yang dapat dengan
segera menyediakan routing ke semua network tujuan yang ada. Protokol
ini merupakan pengembangan dari algoritma link-state klasik untuk
memenuhi persyaratan dari jaringan nirkabel dinamis seperti MANET
(Clausen & jacquet, 2003). OLSR merupakan protokol routing yang
menggunakan algoritma link-state klasik dan algoritma djikstra untuk
mencari shortest path. Optimalisasi ini berdasarkan pada konsep
multipoint relays (MPR). Setiap node menyeleksi node-node tetangganya
sebagai multipoint relay (MPR). Pada OLSR, hanya node yang berperan
sebagai MPR yang bertanggung jawab untuk melanjutkan control traffic
(paket kontrol), yang dimaksud untuk penyebaran ke seluruh jaringan.
Multipoint relays (MPRs) menyediakan mekanisme untuk mem-flood
control traffic dengan mengurangi jumlah transmisi yang dibutuhkan
(Kirti Annirudha Adoni & Radhika D. Joshi, 2012).
Pertama dengan menggunakan multipoint relay dapat mengurangi
ukuran dari control message. Daripada menyatakan semua link, node
menyatakan hanya sekumpulan links dengan node tetangganya sebagai
“multipoint relay”. Penggunaan MPR juga meminimalisasi flooding dari
control traffic. Teknik ini secara signifikan mengurangi jumlah retransmisi dari broadcast control message. Sistem link state mempunyai
cara yang lebih efisien dibanding dengan system distance vector. Router
dengan tipe ini akan mengirimkan routing table melalui multicast (tidak
melalui paket broadcast) setiap lima menit. Jika ada proses pembaharuan,
maka hanya pembaharuan itu yang akan dikirimkan. Koleksi jalur terbaik
kemudian akan membentuk tabel routing node. OLSR menyediakan dua
fungsi utama yaitu neighbor discovery dan topology dissemination.
Neighbor discovery adalah proses penambahan node baru dialam suatu
jaringan sedangkan topology dissemination adalah proses penyebaran
informasi routing table yang berasal dari perubahan topologi.
Gambar 2.6 Proses packet flooding pada OLSR
Sebuah node OLSR yang sedang beroperasi akan secara periodik
menyebarkan paket “hello” sehingga tetangga dapat mendeteksi
keberadaan node tersebut. Setiap node menghitung berapa jumlah paket
“hello” yang hilang atau diterima dari tetangga sehingga mendapatkan
informasi tentang topologi dan kualitas sambungan node lingkungan.
Informasi topologi yang diterima di broadcast sebagai pesan topology
control (TC) dan diteruskan oleh tetangga yang dipilih sebagai
multipoint-relay (MPR) (Flickenger,2007). Pada gambar 1 melalui MPR,
hanya node yang dipilih saja yang bertugas untuk membanjiri jaringan
dengan mengirimkan broadcast-messages ke seluruh jaringan.
OLSR tepat digunakan untuk jaringan yang besar dan padat
karena penggunaan MPRs. Semakin besar dan padat suatu jaringan, maka
optimasi akan semakin berpengaruh dibanding dengan protokol link-state
klasik. OLSR menggunakan proses pencarian rute hop-by-hop dimana
setiap node menggunakan informasi routing table lokalnya untuk
mengirim paket. OLSR lebih efisien apabila bekerja dalam jaringan padat
dengan traffic yang rendah. OLSR membutuhkan bandwith yang konstan
untuk memperoleh topology update message (Aleksandr Huhtonen,
2004).
WRP (Wireless Routing Protocol)
WRP merupakan unicast routing protocol yang bersifat proaktif.
WRP menggunakan pengembangan algoritma routing Bellman-Ford
Distance-Vector (Subir Kumar Sarkar et al, 2008). Untuk mengatasi
masalah count-to-infinite dan mempercepat proses konvergensi, WRP
menggunakan sebuah metode unik yaitu dengan menjaga informasi
mengenai shortest distance ke semua node tujuan yang ada pada jaringan
dan satu node setelahnya yang mengarah ke node tujuan (predecessor
node). WRP menjaga rute supaya senantiasa baru, setiap node telah
memiliki informasi di dalam routing table mengenai rute ke tiap tujuan.
Perbedaannya dengan DSDV adalah DSDV hanya menggunakan satu
topology table, sedangkan WRP menggunakan satu set tabel agar
informasi menjadi lebih akurat. Tabel yang ada pada tiap node adalah
distance table (DT), routing table (RT), link cost table (LCT), dan
message retransmission list (MRL).
DT adalah sebuah matriks dimana setiap node menyimpan data
mengenai jarak ke tujuan dan informasi mengenai predecessor node pada
setiap rute yang ada untuk setiap destination. RT berisi tentang
sekumpulan informasi terbaru mengenai sekumpulan tujuan node yang
bisa dicapai oleh suatu source node, jarak terpendek yang bisa dicapai
dari source node ke destination node, predecessor node dan successor
node (satu node sebelum destination node), dan sebuah pointer atau flag
yang mengindikasikan status dari rute (bisa berupa loop atau correct).
LCT berisi cost atau hop (jumlah loncatan dari source node ke
destination node). Cost untuk rute yang terputus adalah infinite (∞). LCT
juga berisi number of update periods (interval dari 2 periodic update
yang
berhasil)
dimana
interval
yang
sangat
tinggi
atau
∞
mengindikasikan rute yang terputus. MRL berisi entri dari setiap update
message yang akan dikirim ulang dan menjaga counter dari setiap entri.
Counter ini di-decrement setelah setiap update message dikirim ulang
(retransmitted). Sebuah node juga menandai setiap node dalam routing
table yang harus menerima acknowledgement dari update message yang
dikirim oleh node penanda tersebut. Setelah counter mencapai nol, entri
pada update message yang tidak menerima ack harus dikirim ulang dan
update message dihapus. Dengan demikian, node mendeteksi adanya
jalur yang putus dengan menetahui update period yang hilang sejak
transmisi sukses terakhir. Setelah memperoleh update message, sebuah
node tidak hanya mengupdate jarak dari tetangga yang baru saja
ditransmit tetapi juga memeriksa jarak dari tetangga yang lain, maka dari
itu konvergensi WRP menjadi lebih cepat dari DSDV.
WRP memiliki keunggulan yang sama dengan DSDV tetapi WRP
memiliki konvergensi yang lebih cepat dan memerlukan table update
yang lebih sedikit. Tetapi kompleksitas maintenance dari beberapa tabel
membutuhkan memory dan energi pemrosesan yang lebih besar. Dalam
keadaan mobilitas yang tinggi, control overhead yang menyangkut
pembaruan table entries hampir sama dengan DSDV dan menyebabkan
WRP tidak tepat untuk jaringan yang sangat dinamis dan populasi yang
besar. (Shiva Ram, 2004)
STAR (Source-tree adaptive routing protocol)
Source-tree adaptive routing protocol (STAR) diciptakan oleh
Garcia-Luna-Aceves dan Spohn. Protokol ini merupakan variasi dari
table-driven routing protocol dengan metode least overhead routing
approach (LORA) sebagai kunci dari konsep, berbeda dengan optimum
routing approach (ORA) yang digunakan untuk table-driven routing
protocol terdahulu. Protokol ORA mencoba untuk memperbarui
informasi routing yang cepat untuk memperoleh jalur yang optimum,
dalam hal ini adalah jalur dengan loncatan terkecil. LORA mencoba
untuk menyediakan jalur yang memungkinkan namun tidak selalu
optimal sehingga menciptakan control overhead yang lebih kecil. Pada
protokol STAR, setiap mem-broadcast informasi source tree-nya. Source
tree mengandung wireless link yang digunakan oleh node tersebut untuk
mencapai node tujuan. Setiap node menggunakan jalur terdekatnya dan
source tree broadcast dari node tetangganya untuk membangun sebuah
partial graph dari topologi jaringan tersebut. Saat inisialisasi, sebuah
node mengirim sebuah pesan pembaharuan ke node tetangganya. Setiap
node juga harus mengembalikan pesan pembaharuan tentang tujuan yang
baru, kemungkinan perulangan dalam routing, dan cost dari jalur yang
melebihi batas tertentu. Dengan demikian, setiap node dapat memiliki
jalur ke setiap node tujuan. Dalam banyak hal jalur tersebut bersifat suboptimal.
Karena mekanisme link layer broadcast-nya yang kurang dapat
diandalkan, STAR menggunakan pendekatan khusus dalam teknik path
finding-nya. Saat node S ingin mengirim paket data ke node tujuan D,
dengan tidak ada jalur yang tersedia dalam source-tree, node S
mengembalikan pesan pembaharuan ke seluruh neighbor node yang
menyatakan bahwa node S tidak memiliki rute ke node D. Update
message tersebut kemudian menggerakkan pesan pembaharuan lain dari
neighbor node S yang memiliki rute ke node D. Node S mentransmisikan
pesan pembaharuan selama node S tidak memiliki rute ke D dengan
meningkatkan interval berdasarkan pengiriman ulang (retransmissions)
yang sukses. Setelah node S memperoleh source-tree update dari node
tetangganya, node S memperbaharui source-treenya dan dengan
menggunakan source-tree barunya, node S menemukan jalur ke seluruh
node dalam jaringan. Paket data yang berisi informasi mengenai jalur
tersebut
akan
disebar
dengan
tujuan
mencegah
kemungkinan
pembentukan perulangan routing.
STAR menggunakan perbaikan rute yang implisit. Jalur dengan
pesan pembaharuan tentang ketidaktersediaan sebuah next-hop node akan
menggerakkan pesan pembaharuan dari neighbor node yang memiliki
source tree alternatif dan next-hop node alternatif ke tujuan. Intermediate
node juga bertanggung jawab untuk mengatasi routing loops dalam hal
rute yang terputus. Saat intermediate node K menerima paket data ke
destination D, dan apabila terdapat sebuah node yang ada pada jalur
lewat paket antara node K dan node D, maka node tersebut membuang
paket tersebut dan sebuah Route Repair update message dikirim ke node
kepala (head node) yang berada di awal jalur route repair. Jalur route
repair berhubungan dengan jalur K ke X, dimana X adalah router
terakhir yang ada pada jalur lewat paket yang ditemukan diantara jalur
node K ke D, milik node sumber K. Paket Route Repair berisi source tree
lengkap dari node K dan jalur lewat paket. Saat sebuah node menerima
Route Repair update message, node tersebut memindahkan dirinya dari
jalur route repair dan secara handal mengirim Route Repair update
message tersebut ke head node dari jalur route repair.
STAR memiliki overhead komunikasi yang kecil. Penggunaan
metode LORA pada table-driven routing protocol mengurangi control
overhead dibanding protokol routing lain. Protokol ini cocok untuk
jaringan berskala besar namun membutuhkan memori dan tenaga
pemrosesan yang besar untuk memelihara tree yang besar (S.Sujatha &
P.Soundeswari, 2012).
Reactive
Protokol yang tergolong dalam kategori ini tidak memelihara
topologi jaringannya. Pada saat suatu node ingin melakukan transaksi
dengan node lain, biasa disebut dengan destination node atau node
tujuan, proses pembuatan koneksi dan penentuan rute menuju node tujuan
dari node sumber baru akan dilakukan. Protokol ini tidak melakukan
pergantian informasi tentang informasi routing-nya secara berkala,
karena hanya akan menentukan rute dari node sumber ke node tujuan
pada saat dibutuhkan saja atau biasa diistilahkan “on-demand” (C. Siva
Ram et al., 2004). Menurut Subir Kumar (2008), jika dibandingkan
dengan proactive routing, reactive routing memiliki control overhead
yang lebih rendah oleh karena tidak adanya proses pembaharuan routing
table secara terus menerus. Selain itu, reactive routing protocol lebih
unggul disisi skalabilitas atau daya cakup jumlah node. Namun, node
sumber pada protokol jenis ini akan mengalami delay yang cukup besar
oleh karena proses pembuatan koneksi dan penentuan rute tersebut.
Berikut adalah contoh – contoh protokol routing yang tergolong reactive:
AODV ( Ad-hoc On-demand Distance-Vector)
Menurut C. Siva Ram (2004:320), routing protocol AODV
menggunakan pendekatan on-demand dalam menentukan rutenya, yang
mana rute akan dibangun hanya bila dibutuhkan saja oleh node sumber
dalam mentransmisikan sebuah paket. Node sumber dan node
pertengahan menyimpan informasi tentang ada tidaknya next-hop atau
node selanjutnya yang berguna sebagai penentu jalur transmisi paket.
Pada setiap routing protocol yang bersifat on-demand, node sumber
selalu mengirimkan paket RouteRequest ke seluruh node dalam jaringan
tersebut pada saat rute tersebut mencari rute menuju node yang dituju.
Hal ini memungkinkan juga adanya lebih dari satu rute yang dapat
menuju node tujuan dari sebuah RouteRequest. Perbedaan yang paling
mencolok dari AODV dengan algoritma routing yang bersifat on-demand
lainnya adalah AODV menggunakan destination sequence number
(DestSeqNum) untuk menentukan ada tidaknya jalur baru yang dapat
menuju node tujuan. Ada atau tidaknya node baru dapat diketahui apabila
DestSeqNum dari paket yang saat ini diterima lebih besar daripada
DestSeqNum terakhir yang disimpan pada node.
Sebuah RouteRequest membawa source identifier (SrcID),
destination identifier (DestID), source sequence number (SrcSeqNum),
destination sequence number (DestSeqNum), broadcast identifier
(BcastID), dan time to live (TTL). DestSeqNum mengindikasikan baru
tidaknya sebuah rute yang dapat diterima oleh node sumber. Pada saat
node yang ada di pertengahan menerima sebuah RouteRequest, node
tersebut dapat meneruskannya atau menyiapkan sebuah Route Reply
apabila ada rute baru yang valid yang dapat menuju ke node tujuan.
Validitas sebuah rute pada node pertengahan ditentukan dengan
membandingkan nomer urutan atau sequence number pada node
pertengahan tersebut dengan destination sequence number yang terdapat
didalam paket RouteRequest. Apabila sebuah RouteRequest diterima
beberapa kali, yang dimana dapat diindikasikan dari BcastID-SrcIDnya,
salinan lainnya akan dibuang. Semua node pertengahan dan node sumber,
dapat mengirimkan paket Route Reply kepada node sumber. Setiap node
yang berada ditengah, sembari meneruskan sebuah Route Request,
memasukan alamat node sebelumnya dan Bcast ID-nya ke dalam paket.
Dalam hal ini, sebuah timer digunakan untuk menentukan apa sebuah
Route Reply dapat dihapus atau tidak. Apabila Route Reply tersebut tidak
diterima oleh node sumber, maka dalam waktu tertentu yang sudah
ditentukan oleh timer, Route Reply tersebut dapat dihapus. Pada saat
sebuah node menerima sebuah paket Route Reply, informasi mengenai
node sebelumnya dari mana paket tersebut diterima akan disimpan
didalam node tersebut dan paket data tersebut diteruskan menuju ke node
berikutnya sampai menemukan node tujuan yang diinginkan.
Gambar 2.7 Proses pengiriman RREQ sampai RREP pada saat node
tujuan sudah ditemukan dan pengiriman paket RERR (RouteError)
apabila jaringan menuju node tujuan (node D) terputus (Basagni et
al., 2004)
AODV tidak memperbaiki sebuah jalur yang rusak secara lokal.
Pada saat sebuah hubungan terputus, yang mana ditentukan dengan
melihat dari periodical beacons-nya atau melalui penelusuran setiap
nodenya, akan disebarkan sebuah notifikasi. Saat node sumber telah
mengetahui dimana jalur node yang terputus, pembangunan jalur akan
dilakukan kembali apa bila node tujuan masih memerlukan hubungan dari
node sumber.
Secara umum, tujuan dari algoritma AODV ini adalah (Subir
Kumar et al. ,2008):
1. Menyebarkan paket pencarian rute apabila diperlukan.
2. Dapat membedakan pengaturan pendeteksian antar node dalam
konektifitas lokal dan pemeliharaan umum pada topologi jaringan.
3. Dapat menyebarkan informasi mengenai adanya perubahan posisi
dan atau jumlah node dalam jaringan tersebut pada saat
dibutuhkan.
AODV memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah
rute akan
dibangun
sesuai
dengan
permintaan. Setelah rute optimal ditemukan, maka node sumber
tidak perlu mencari kembali rute alternatif dan mengirimkan
RouteRequest secara terus menerus, sehingga delay pengiriman
paket tergolong kecil setelah rute tersebut terbangun. Kelemahan
dari routing protocol ini adalah node – node yang berada diantara
node sumber dan node tujuan dapat menimbulkan rute yang tidak
konsisten oleh karena node sumber tidak secara terus menerus
membaharui rute menuju tujuan. Selain itu, beberapa paket
RouteReply yang ditujukan untuk merespon sebuah paket
RouteRequest dapat menimbulkan control overhead
yang
berlebihan dan dimana akan memakan bandwidth yang cukup
besar dan penyimpanan informasi rute yang disimpan pada
intermediate node atau node yang menjadi perantara antara node
sumber dengan node tujuan. Kelemahan yang lain adalah sistem
periodic beaconing pada AODV juga cukup memakan bandwidth.
DSR ( Dynamic Source Routing)
Subir Kumar (2008) menyatakan bahwa Dynamic Source Routing
atau yang biasa disingkat DSR, adalah routing protocol yang tergolong
bersifat on-demand dan dirancang khusus MANET yang bersifat
multihop. Dalam protokol routing DSR, tiap node yang ada dapat
menemukan beberapa rute menuju node tujuan secara dinamis. Setiap
paket data yang dikirim dari node sumber, terdapat informasi lengkap
tentang urutan node yang harus dilalui pada header paket, dengan tujuan
menghindari kemungkinan terjadinya looping rute pengiriman paket.
Protokol DSR terdiri atas 2 mekanisme yang dapat bekerja secara
bersamaan yaitu route discovery dan route maintenance. Route discovery
adalah mekanisme yang mana node sumber ingin mengirim paket kepada
node tujuan, tanpa mengetahui rute sebelumnya. Route discovery hanya
dilakukan apabila diperlukan saja. Kemudian, route maintenance adalah
mekanisme yang dijalankan pada saat node sumber sudah mengetahui
rute menuju node tujuan dan menentukan apakah rute yang sedang
dipakai saat ini masih berlaku atau tidaknya, karena apabila terjadi
perubahan topologi yang mempengaruhi rute menuju node tujuan, maka
rute tersebut tidak bisa dipakai kembali. Pada saat route maintenance
mengindikasikan adanya rute yang rusak, maka node sumber dapat
mencoba untuk menggunakan rute lain yang sudah diketahui oleh node
sumber sebelumnya atau dapat melakukan route discovery kembali dari
node sumber menuju node tujuan. Route maintenance dijalankan hanya
pada saat node sumber mengirimkan paket ke node tujuan. Baik route
maintenance maupun route discovery, keduanya dijalankan secara ondemand. DSR tidak melakukan pencarian rute secara berkala, status
hubungan antar node, atau pendeteksian node tetangga melalui paket
yang dikirim secara berkala. Oleh karena perilaku yang secara
keseluruhan bersifat on-demand dan kurangnya aktifitas pengiriman
paket yang dilakukan secara berkala, menjadikan jumlah dari paket yang
overhead bisa diminimalisir hingga tidak ada sama sekali, hanya saja
apabila semua node sudah stabil dan semua rute yang dibutuhkan untuk
komunikasi yang sedang berlangsung sudah ditemukan.
Pada saat proses route discovery berlangsung, setiap node dapat
menyimpan dan mengingat rute-rute alternatif menuju ke node manapun.
Hal tersebut memungkinkan perubahan rute yang cepat apabila rute yang
saat itu digunakan mengalami gangguan atau kerusakan dan juga dapat
menghindari routing overhead apabila dilakukan kembali route discovery
yang baru setiap adanya rute yang rusak.
Cara kerja dari algoritma routing ini pada awalnya node sumber
akan melakukan proses route discovery dengan mengirimkan paket
RouteRequest (RREQ) ke node – node tetangganya. Saat node – node
tetangga itu mendapat paket RREQ tersebut, node – node tersebut
meneruskan paket tersebut kepada node tetangganya yang belum
menerima paket RREQ tersebut. Apabila ada satu node yang menerima 2
paket RREQ, maka salah satu paket RREQ tersebut akan dibuang. Paket
RREQ tersebut akan terus diteruskan melalui node – node perantara
sampai menemukan node yang dituju. Pada saat paket RREQ tersebut
sampai pada node yang dituju, maka node tujuan akan mengirimkan
kembali paket RouteReply (RREP) melalui rute yang memungkinkan
pada saat proses route discovery sebelumnya.
Gambar 2.8 RREQ dan RREP pada routing DSR (Basagni et al.,
2004)
Dalam proses pengiriman RREP tersebut, node sumber akan
menerima beberapa paket RREP bedasarkan rute yang mungkin menuju
node tujuan, maka akan dipilih bedasarkan yang paling optimal,
sedangkan rute lainnya akan disimpan pada route cache yang apabila
terjadi kerusakan atau hubungan yang terputus pada rute yang sedang
digunakan, maka node yang mengalami masalah dalam pengiriman paket
tersebut akan mengirimkan paket Route Error yang kemudian akan
diterima oleh node sumber. Pada saat node sumber menerima paket Route
Error tersebut maka rute akan dialihkan ke rute yang sebelumnya telah
ditemukan yang kemudian digunakan untuk pengiriman paket menuju
node yang dituju (C. Siva Ram et al., 2004:318).
Kelebihan dari protokol routing ini adalah tidak adanya
pengiriman paket secara berkala seperti “hello” message yang bertujuan
untuk memeriksa apakah ada hubungan antar node yang rusak di dalam
jaringan, yang mana dapat meminimalisir routing overhead dan
penghematan energi tiap node. Selain itu, rute dibangun bedasarkan ondemand atau saat diperlukan saja, sehingga energi yang terpakai dan
routing overhead-nya lebih kecil. Node – node yang ada dalam jaringan
pun memiliki route cache yang akan sangat berguna apabila terjadi
kerusakan atau hubungan yang terputus menuju node tujuan, karena
setelah node sumber menerima paket RouteError, node sumber dapat
menentukan rute alternatif menuju node tujuan. Sedangkan, kelemahan
dari protokol routing ini, salah satunya, adalah mekanisme pemeliharaan
rute tidak memperbaiki hubungan yang rusak, melainkan hanya
mengalihkan rute yang sebelum ke rute yang lain. Persiapan
pembangunan koneksi lebih besar jika dibandingkan dengan protokol
routing yang bersifat table-driven. Walaupun DSR bekerja cukup baik
pada lingkungan jaringan yang bersifat statis atau mobilitasnya rendah,
performa DSR akan terus menurun seiring dengan pergerakan node yang
semakin besar.
Hybrid
Katergori hybrid adalah protokol routing yang menggabungkan
keunggulan dari kedua jenis protokol routing sebelumnya yaitu proactive
dan reactive. Penggunaan keunggulan dari proactive dan reactive
tergantung oleh posisi geografis atau jarak dari node sumber yang
menjadi acuan. Oleh karena proactive lebih unggul dalam jarak dan daya
cakup node yang kecil, maka untuk node yang lebih dekat dengan node
sumber akan dilakukan pendekatan secara “table-driven” seperti yang
diterapkan pada protokol proactive. Selanjutnya, apabila jarak node
sumber melebihi kapasitas jarak dari jangkauan protokol proactive, maka
pendekatan “on-demand” yang akan digunakan (C. Siva Ram et al.,
2004).
2. Hierarchical Routing
Oleh karena kekurangan yang terdapat pada flat routing adalah daya cakup
node-nya yang rendah, maka hierarchical routing dapat menjadi solusinya.
Hierarchical routing menerapkan sistem teknik clustering, membagi lalu
mengelompokan node yang biasanya berdasarkan posisinya atau fungsinya
(Basagni et al., 2004). Berbeda dengan flat routing, teknik pengalamatan
yang digunakan pada hierarchical routing bersifat assosiatif (C. Siva Ram et
al., 2004). Berikut adalah contoh – contoh dari hierarchical routing:
HSR (Hierarchical State Routing)
Menurut Mehran Abolhasan (2003), Hierarchical State Routing
adalah sebuah protokol routing yang didasari oleh algoritma Link State
yang merupakan sebuah algoritma tradisional. C. Siva Ram (2004) dalam
bukunya mendeskripsikan HSR sebagai sebuah hierarchical routing
protocol yang terdistribusi secara multi-level Dalam HSR peta topologi
dan
pengalamatan
(addressing)
dikelola
secara
hirarkis.
HSR
mengelompokkan node – node yang jaraknya berdekatan kedalam suatu
cluster secara multi-level. Sistem clustering yang digunakan dalam HSR
dapat membuat pengaturan alokasi sumber daya menjadi lebih optimal.
Setiap cluster yang terbentuk mempunyai 3 tipe node yang memiliki
fungsi berbeda yaitu :
•
Cluster Head Node / Cluster Leader
Node ini berperan sebagai koordinator untuk setiap node yang
terdapat dalam cluster tersebut. Node ini bertanggung jawab atas
alokasi frekuensi, pertukaran informasi routing, penjadwalan
pengiriman paket, call admission control,dan mengatasi apabila
terjadi route breaks.
•
Gateway Nodes
Node – node yang terletak di antara dua atau lebih cluster yang
berbeda.
•
Internal Nodes / Normal Member Nodes
Node – node lainnya yang ada di dalam setiap cluster
yang
terbentuk.
Gambar 2.9 Penggambaran routing HSR
Level pertama dari physical clustering terbentuk dari node – node
yang dapat dijangkau dalam sebuah single wireless hop. Level berikutnya
dari physical clustering terdiri dari node – node yang terpilih sebagai
leader (Cluster Head Node) pada setiap cluster yang terbentuk di level
sebelumnya. Berikut ini adalah contoh dari HSR multi-level clustering
yang lebih kompleks
Gambar 2.10 Penggambaran multi-level clustering pada HSR
Pada gambar di atas terdapat 6 cluster leader pada level 0 (L = 0)
yaitu node 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. L0-1 menunjukkan level clustering yaitu
(L = 0). Node-node yang berada dibawah pimpinan node 6 pada level 0,
yaitu node 9, 10, 11, 12, dan 17 merupakan gateway nodes karena
terletak pada lebih dari satu cluster secara bersamaan. Setiap node
mengelola informasi mengenai semua node tetangga yang ada dan status
hubungan dengan setiap
node yang bertetangga dengannya tersebut.
Informasi itu disebarkan di dalam cluster setiap rentang waktu yang telah
ditentukan. Cluster leader dengan cluster leader
lainnya bertukar
informasi mengenai topologi dan route. Pertukaran informasi ini
dilakukan melalui multiple hops yang terdiri dari cluster head dan
gateway nodes. Setelah mendapatkan informasi tersebut, cluster head
mengalirkan informasi tersebut ke level dibawahnya, sehingga setiap
node mendapatkan informasi topologi hirarkis. Setiap node mempunyai
ID unik yang berfungsi sebagai MAC address bagi tiap node tersebut.
Selain itu setiap node juga mempunyai hierarchical ID (HID), HID
merupakan sebuah rangkaian MAC address dari hirarki teratas ke source
node. HID dapat digunakan untuk mengirim paket dari node manapun ke
node manapun juga. Misalnya ketika node 11 akan mengirimkan paket ke
node 4, paket tersebut akan diteruskan ke node tertinggi dalam hirarki
yaitu node 6, lalu kemudian node 6 akan mengirimkan paket tersebut ke
node 4.
CGSR (Cluster-Head Gateway Switch Routing Protocol)
CGSR
adalah
sebuah
routing
protokol
hirarkis
yang
mengkelompokkan node-node-nya kedalam cluster (Mehran Abolhasan,
2003). Setiap cluster yang terbentuk dikoordinir oleh sebuah node yang
dinamakan cluster head. Cluster head ini dipilih secara dinamis dengan
menggunakan algoritma least cluster head (LCC). Dalam algoritma LCC,
sebuah cluster head node hanya akan berhenti menjadi sebuah cluster
head ketika node tersebut berada dalam jangkauan cluster head node
lainnya, dimana pertalian dilepaskan berdasarkan ID terendah atau
konektivitas tertinggi (C. Siva Ram, 2004). Cluster head mengatur
medium transmisi dan semua komunikasi di dalam sebuah cluster
berlangsung melalui cluster head.
Gambar 2.11 Contoh penggambaran routing CGSR
Kelebihan dari protokol ini adalah bahwa node-node yang ada
hanya memelihara rute ke cluster head-nya saja, hal ini dapat menekan
routing overhead menjadi lebih rendah dibandingkan dengan cara
membanjiri (flooding) routing information ke semua bagian jaringan.
Akan tetapi masih dapat terjadi overheads yang cukup signifikan dalam
proses pemeliharaan cluster-cluster yang ada. Hal demikian dapat terjadi
karena setiap node harus menyiarkan tabel anggota cluster-nya dan
memperbaharui tabel tersebut secara berkala. Komunikasi diantara dua
buah cluster berlangsung melalui node biasa (bukan cluster head) yang
posisinya terletak diantara dua cluster tersebut dan menjadi anggota dari
kedua cluster tersebut. Node-node yang merupakan anggota dari dua atau
lebih cluster yang berbeda disebut sebagai gateway nodes. Sebuah
gateway yang baik harus dapat mendengar (listen) terhadap beberapa
code yang tersebar yang sedang beroperasi dalam cluster tempat dimana
gateway node tersebut berada. Gateway conflict bisa terjadi ketika sebuah
cluster head mengeluarkan token ke sebuah gateway disaat gateway
tersebut sedang mendengarkan code yang lain. Gateway conflict dapat
dihindari dengan cara menggunakan gateway yang dapat berkomunikasi
dengan dua atau lebih interface secara simultan.
MMWN (Multi-media Support in Mobile Wireless Networks)
Gambar 2.12 Contoh penggambaran routing MMWN
MMWN routing protocol mengelola jaringan ad hoc dengan
sistem clustering secara hirarkis (Mehran Abolhasan, 2003). Node-node
yang terdapat dalam setiap cluster dibedakan menjadi dua jenis yaitu
switches dan endpoints. Setiap cluster di-manage oleh location manager
(LM) dan semua informasi dalam MMWN disimpan pada database yang
terdistribusi secara dinamis. Pencarian dan update lokasi hanya dilakukan
oleh LM, hal ini menjadikan routing overhead pada MMWN menjadi
jauh lebih kecil dibandingkan dengan algoritma tradisional lainnya
seperti pada protokol routing DSDV dan WRP. Akan tetapi MMWN
memiliki kekurangan dalam hal pencarian dan pembaruan informasi
lokasi node-node. Hal ini dikarenakan dalam proses pencarian dan
pembaruan informasi lokasi dari sebuah node, messages atau pesan harus
berjalan melalui hierarchical tree dari LM sehingga proses tersebut
menjadi sangat kompleks.
3. Geographic Position Assisted Routing
Georgraphic Position Assisted Routing atau yang biasa disebut
Position-Based Routing ini menggunakan informasi geografis sebagai
acuan optimisasi performa routing-nya. Menurut Basagni (2004),
informasi geografis yang dipakai pada position-based routing ini didapat
dari GPS (Global Positioning System) yang dapat menampilkan koordinat
geografis dari wilayah tertentu, khususnya wilayah dimana jaringan ad
hoc tersebut ada. Penggunaan informasi geografis ini adalah untuk
membatasi area pencarian untuk menuju ke node tujuan dan juga dapat
menentukan rute yang biasa dilalui atau yang paling optimal bedasarkan
letak geografisnya. Kekurangan dari kategori ini adalah setiap node yang
ada dalam jaringan harus terus memperbaharui posisi geografisnya agar
protokol routing yang diterapkan dapat berjalan dengan baik.
2.3.2
Faktor Performa Routing
Berikut adalah beberapa faktor – faktor yang mempengaruhi performa sebuah
routing :
Throughput
Throughput adalah rata-rata data yang dikirim dalam suatu jaringan, biasa
diekspresikan dalam satuan bits per second (bps), bytes per second (Bps) atau
packet per second (pps). Throughput merujuk pada besar data yang di bawa oleh
semua trafik jaringan, tetapi dapat juga digunakan untuk keperluan yang lebih
spesifik, misalnya hanya mengukur transaksi Web, VoIP (Voice over IP), atau
trafik jaringan yang menuju alamat jaringan tertentu, dll.
Throughput diukur dengan cara menghitung bytes yang dikirimkan
selama rentang waktu tertentu. Besarnya selang waktu pengukuran dapat
mempengaruhi hasil gambaran perilaku jaringan. Selang waktu pengukuran yang
terlalu besar dapat berakibat menghilangkan gambaran perilaku burstiness yang
terjadi, sedangkan selang waktu pengukuran yang terlalu kecil memberikan
koleksi kelajuan data yang lebih banyak dan dapat mengubah gambaran perilaku
burstiness yang sebenarnya (Brownlee & Loosley 2001).
Packet Loss Ratio
Packet loss ratio didefinisikan sebagai suatu paket data yang hilang dari
keseluruhan paket data yang dikirim selama proses pengiriman dari client menju
ke server dan kembali lagi ke client selama rentang waktu tersebut (Brownlee &
Loosley 2001).
Delay
Delay merupakan waktu yang dibutuhkan data untuk menempuh jarak
dari asal ke tujuan. Untuk streaming, delay tidak boleh lebih dari 4 atau 5 detik
(Szigeti & Hattingh 2004).
Packet Delivery Ratio
Total paket yang diterima berbanding total paket yang dikirim. Rasio dari
angka paket data yang berhasil terkirim ke tujuan yang di-generate oleh sumber
CBR (Constant Bit Rate). Rasio paket yang dikirim menjelaskan tingkat
kehilangan (loss rate). Itu menunjukkan kelengkapan dan akurasi dari protokol
routing. (Sachan P. & Khilar, P. M., 2011)
Normalized Control Packet Overhead
Jumlah dari paket routing yang ditransmisikan per data paket yang
terkirim ke tujuan. Setiap pengiriman melalui 1 hop oleh protokol routing
dihitung sebagai 1 paket routing. Overhead meningkat seiring dengan
meningkatnya pergerakan semenjak kecepatan node bertambah menyebabkan
lebih banyak kegagalan link yang berakibat pada lebih banyak penemuan rute
sehingga meningkatkan overhead paket routing. (Sachan P. & Khilar, P. M.,
2011)
2.4
Network Simulator
Simulator jaringan adalah sebuah program yang meniru kinerja jaringan
komputer pada keadaan yang sebenarnya. Dalam simulator, jaringan komputer biasanya
dimodelkan dengan perangkat, traffic dll dan kinerjanya akan dianalisa. Simulator
biasanya datang dengan dukungan protokol paling populer yang digunakan saat ini,
seperti WLAN, Wi-Max, UDP, dan TCP.
2.4.1
Network Simulator-3 (NS-3)
Simulator NS-3 adalah sebuah network simulator peristiwa yang memiliki ciri
tersendiri yang ditargetkan secara utama untuk tujuan riset dan pendidikan. Proyek NS3, dimulai pada tahun 2006, adalah sebuah proyek open source yang diatur oleh
komunitas peneliti dan pengembang. NS-3 hanya dapat digunakan bagi pengguna sistem
operasi Linux dan MacOS. Pada MANET, NS-3 mempunyai beberapa fitur yang dapat
dimanfaatkan untuk memodelkan dan menguji MANET.
Dengan NS-3, MANET disimulasikan dengan membuat salah satu skenario.
Pembuatan topologi, node dan protokol yang digunakan untuk MANET sudah didukung
oleh NS-3. Dengan NS-3 kita dapat menambahkan fungsi-fungsi baru di dalam core NS3 karena NS-3 bersifat open source. NS-3 dikembangkan menggunakan bahasa C++ di
lapisan inti dan script python. Fitur-fitur NS-3 di antaranya adalah sistem atribut NS-3
terdokumentasi dengan baik. Setiap objek NS-3 memiliki seperangkat atribut (name,
type, initial value) dan NS-3 selaras dengan sistem nyata.
Model node yang lebih seperti komputer nyata, dukungan utama antarmuka
seperti soket API dan IP atau perangkat driver antarmuka (di Linux) serta NS-3 juga
telah meng-update model-model (memuat campuran model baru dan ported model). NS-
3 juga terintegrasi dengan software/tools lain seperti wireshark untuk melihat trace
output. Representasi hasil data simulasi pada NS-3 dapat ditampilkan dalam bentuk
grafik, sehingga memudahkan untuk menganalisa dan mengevaluasi hasil terhadap suatu
model jaringan MANET.
2.5
Nilai Ukur Pengujian
Parameter yang akan dievaluasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Packet Delivery Ratio (PDR)
PDR adalah ukuran untuk menentukan perbandingan antara data yang
dikirim oleh node sumber dengan data yang diterima oleh node
penerima. PDR dapat diukur dengan menggunakan rumus berikut.
Gambar 2.13 Rumus PDR
2. Throughput
Throughput merupakan ukuran untuk menentukan tingkat rata-rata
keberhasilan pengiriman pesan yang dikirim melalui chanel
komunikasi. Data tersebut disampaikan melalui physical atau logical
link. Selain itu data tersebut juga dapat disampaikan melalui jaringan
node tertentu. Throughput dapat diukur berdasarkan bits per detik
(bit/s atau bps).
Gambar 2.14 Rumus Throughput
3. End to End Delay
End to End Delay adalah selisih waktu antara waktu ketika paket
UDP mulai dikirimkan oleh node sumber dengan waktu ketika paket
tersebut diterima oleh node tujuan. End to End Delay dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut.
Gambar 2.15 Rumus Delay
2.6
Review Pustaka
(Siddhu Warrier, 2007) Dilakukan analisa kemungkinan penggunaan MANET
pada Wireless Sensor Network (WSN). Protokol yang digunakan adalah DSDV dan
ZRP. Aplikasi VTS diimplementasikan dengan prototype Specks yang disebut
ProSpeckz. VTS merupakan suatu sistem pencarian pengunjung (visitor) di dalam suatu
bangunan yang memberi informasi kepada pengunjung apabila user mendekati suatu
area yang dibatasi. Sistem ini memperkirakan lokasi dari node bergerak dan
menyediakan informasi dari lokasi dan arah dari setiap node ke satu central node dengan
manggunakan bantuan sensor node.
Namun, karema gelombang radio yang bersifat omni-directional dan perambatan
yang bersifat multi-path membuat perkiraan lokasi yang akurat menjadi suatu masalah
yang rumit. Maka dari itu, digunakan suatu aplikasi yang dapat menentukan lokasi suatu
node dengan kekuatan sinyal dari sinyal radio yang diterima. Algoritma routing DSDV
digunakan untuk menyampaikan informasi berupa paket dari sensor node ke sink node.
Dilakukan performance test untuk mengurukur kesesuaian algoritma dengan berbagai
eksperimen. Dari hasil eksperimen diperoleh bahwa algoritma seperti DSDV merupakan
kandidat untuk digunakan pada aplikasi WSN (dalam hal ini adalah VTS). Juga dapat
diperoleh bahwa DSDV lebih responsif daripada ZRP di dalam jaringan dengan skala
kecil.
Coarse-gained tracking (Zhao, et al, 2003) merupakan suatu metode pencarian
(tracking) yang menggunakan dua sensor node atau lebih sepanjang jalur pergerakan
target node. Koordinat dari target node ditentukan dengan merata-rata koordinat lokasi
dari sensor node yang dapat me-detect target node, secara logis sensor node tersebut
adalah beberapa node terdekat dengan target. Dengan pendekatan ini, ketepatan dari
perkiraan lokasi target dipengaruhi oleh tingkat kepadatan sensor node pada area
tersebut.
Pada fine-grained tracking (Smith, et al, 2004), tiga atau lebih sensor node
bertugas untuk melacak target pada suatu area. Deteksi target dilakukan dengan
menghitung jarak antara dua entitas yang disebut ranging. Menggunakan penghitungan
yang disebut ranging tersebut, koordinat lokasi dari target dapat ditemukan dengan
menggunakan teknik yang disebut angulation atau lateration (Hightower, et al, 2001).
Dengan metode ini, kepadatan sensor node tidak terlalu mempengaruhi ketepatan dari
perkiraan lokasi target. Ketepatan perkiraan koordinat lokasi target lebih dipengaruhi
oleh ketepatan penghitungan ranging.
Gambar 2.16 Klasifikasi Location Tracking
Aspek posisi
Dari aspek posisi, ada 3 teknik perkiraan lokasi yang dapat digunakan untuk
menentukan koordinat lokasi. Metode tersebut antara lain proximity, angulation dan
lateration. (Hightower, et al., 2001).
Estimasi metode proximity (pendekatan) adalah berbasis range-free (He, et al.,
2005) atau detection (Nakajuma, 2007) serta tidak mengitung koordinat lokasi setepat
mungkin. Teknik penentuan lokasi ini disebut metode coarse-grained. Teknik estimasi
angulation dan lateration merupakan teknik yang dapat menghitung secara tepat
koordinat lokasi target yang diinginkan dari sensor data yang telah diukur. Teknik
seperti ini disebut metode fine-grained. Perbedaan antara kedua metode tersebut adalah
angulation (Kamath, et al., 2007) menghitung koordinat lokasi dari sudut antara lokasi
target dan lokasi reference, sedangkan lateration (Rice, et al., 2005) menghitung
koordinat lokasi dari jarak antara lokasi target dan lokasi reference.
Aspek variabel
Dari gambar 1 diatas, ditunjukkan bahwa ada 3 jenis teknik pencarian lokasi dari
aspek variabel. Variabel tersebut dapat dihitung secara fisikal dengan menggunakan
received angle, propagation time, dan signal strength. Received angle antara target dan
lokasi reference adalah variabel utama yang diukur untuk estimasi angulation.
Propagation time merupakan durasi waktu yang dibutuhkan oleh sinyal untuk berpindah
dari transmitter ke receiver. Karena propagation speed yang terjadi pada suatu medium
adalah konstan, jarak antara transmitter dan receiver dapat ditemukan. Signal Strength
dapat diukur pada saat receiver menerima sinyal dari transmitter. Jika jarak semakin
besar, maka signal strength akan semakin besar (semakin lemah) akibat atenuasi yang
terjadi apda jalur. Jarak dapat diketahui dengan mengevaluasi total atenuasi.
Propagation time dan signal strength dapat digunakan untuk menghitung jarak antara
transmitter dan receiver, dimana digunakan di dalam estimasi lateration.
Aspek Ranging
Aspek ranging dari sistem location tracking pada gambar 1 diatas dikategorikan
berdasarkan angle of arrival (AOA), time of arrival (TOA), time difference of arrival
(TDOA), dan received signal strength (RSS). AOA merupakan metode untuk mengukur
sudut kedatangan dari sinyal yang diperoleh (Tian, et al., 2007). Dengan
membandingkan arah dari kedatangan sinyal dengan orientasi reference (object locator)
tertentu, sudut datang sinyal atau disebut received angle dapat dihitung.
TOA digunakan saat komunikasi terpusat dapat dilakukan (Mak, et al., 2006).
Metode ranging ini menghitung waktu kedatangan sinyal dari trasmitter ke receiver.
Dua pendekatan dapat dilakukan untuk mengimplementasikan metode ranging ini.
Pendekatan pertama menggunakan transmitter untuk metransmit sinyal ke berbagai
receiver. Receivers kemudian meforward waktu kedatangan sinyal mereka ke suatu node
/ sistem secara terpusat untuk perbandingan. Pendekatan kedua menggunakan beberapa
transmitter untuk mengirim sinyal ke receiver. Receiver menghitung waktu kedatangan
dari beberapa sinyal dan membuat perbandingan. Pendekatan kedua ini dapat
menyebabkan masalah yang bersifat teknis karena semua transmitter harus mengirim
sinyal secara bersamaan pada suatu waktu (synchronized) sehingga pengiriman dapat
dilakukan diatara time segment tertentu.. Beberapa sinyal yang dikirim sekaligus
tersebut dapat hilang akibat banyaknya sinyal yang diterima pada waktu yang sama
apabila propagation time sinyal sama dengan durasi dari time segment.
TDOA merupakan pengembangan dari TOA untuk mengatasi kesulitan
sinkronisasi dan masalah paket yang hilang (Najar, et al., 2001). Untuk
mengimplementasi TDOA, sebuah transmitter dibutuhkan untuk mengirim dua sinyal
dengan propagation speed yang berbeda. Saat dua sinyal diterima oleh receiver,
perbedaan dari waktu datang antar kedua sinyal dapat dihitung. Menggunakan perbedaan
waktu datang, time of flight (TOF) dari sinyal dapat ditemukan sama halnya seperti
propagation time.
RSS merupakan metode untuk menemukan jarak dari atenuasi dari propagation
path (Cong, et al., 2008). Saat transmission power diketahui, total atenuasi sinyal yang
merambat sepanjang jalan dapat dihitung dengan mengurangi received power dengan
transmitted power.
Aspek Device
Aspek device pada sistem location tracking memilik 3 tipe pengukur jarak, yaitu
antenna array, RF transceiver, ultrasonic transducer. Antenna array digunakan untuk
menghitung sudut dari kedatangan sinyal (Abdalla, et al., 2003) dengan membandingkan
perbedaan fase sinyal dari antena yang berbeda. Penghitungan dapat dilakukan dengan
menggunakan AOA ranging.
RF transceiver digunakan untuk menghitung power yang diterima (receiver
power) dan RSS untuk digunakan ke dalam metode ranging. Dari kebanyakan RF
transceiver, sebuah dedicated register digunakan untuk menyimpan received signal
strength indicator (RSSI). Krena itu cara tersebut merupakan salah satu cara untuk
mengukur jarak yang mudah dan rendah biaya.
Penggunaan RF transceiver ataupun ultrasonic transducer hanya mengukur
waktu kedatangan sinyal yang dapat digunakan di dalam metode ranging TOA. Apabila
RF transceiver dan ultrasonic transducer digunakan, maka dia sinyal yang berbeda
(sinyal RF dan sinyal ultrasound) akan merambat sepanjang jalur dengan kecepatan yang
berbeda (Smith, et al., 2004). Di dalam aplikasi jarak pendek, propagation time RF dapat
diabaikan dan dianggap nol detik sedangkan ultrasound membutuhkan waktu yang lebih
panjang. Karena itu, perbedaan waktu dari kedua sinyal dapat dihitung dengan
mengaktifkan timer pada saat kedatangan sinyal RF dan menghentukan timer pada saan
kedatangan sinyal ultrasonic.
Download