suatu tinjauan teori keagenan:asimetri informasi dalam praktik

advertisement
SUATU TINJAUAN TEORI KEAGENAN:ASIMETRI INFORMASI
DALAM PRAKTIK MANAJEMEN LABA
Nunung Aini Rahmah1), Ferikawita M. Sembiring 2)
1)
Program Studi Akuntansi, Universitas Jenderal Achmad Yani
Jl. Terusan Jenderal Sudirman-Cimahi
Email:[email protected]
2)
Program Studi Manajemen, Universitas Jenderal Achmad Yani
Jl. Terusan Jenderal Sudirman-Cimahi
Email:[email protected]
Abstrak – Paper ini merupakan kajian literatur yang mendeskripsikan tentang kaitan asimetri informasi dengan
manajemen laba sebagai dampak dari hubungan keagenan. Teori keagenan merupakan teori yang mendasari
praktik bisnis perusahaan. Hubungan keagenan muncul ketika pemilik (principal) mempekerjakan pihak lain
(agent) untuk memberikan jasa dan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent.
Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi
(asymmetrical information).
Manajer sebagai pengelola perusahaan atau agent lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan principal, dengan demikian agent memiliki informasi yang
asimetris sehingga dapat lebih fleksibel mempengaruhi pelaporan keuangan untuk memaksimalkan
kepentingannya.. Akibat adanya kondisi asimetri informasi tersebut, maka agent dapat mempengaruhi angkaangka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan praktik manajemen laba.
Implementasi Good Corporate Governance (GCG) diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara
principal dan agent yang pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.
Kata Kunci: Teori Keagenan, Asimetri informasi, Manajemen laba
Proceedings SNEB 2014: Hal. 1
I. PENDAHULUAN
Teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu
versi dari game theory (Mursalim, 2005) yang
merupakan teori yang mendasari praktik bisnis
perusahaan. Prinsip utama teori keagenan adalah
adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi
wewenang yaitu pemilik (principal) dengan pihak
yang menerima wewenang yaitu manajer (agent).
Hubungan ini mengimplikasikan adanya potensi
konflik kepentingan antara pemilik dan manajer
karena masing-masing pihak memiliki kepentingan
yang berbeda. Sebagai agent, manajer secara moral
bertanggung
jawab untuk mengoptimalkan
keuntungan para pemegang saham (principal).
Namun disisi lain manajer
juga memiliki
kepentingan
memaksimumkan
kesejahteraan
mereka, sehingga ada kemungkinan besar agent
tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik
principal (Jensen & Meckling), 1976).
Hubungan antara pemilik/pemegang saham
(principal) dan manajer (agent) dapat mengarah
pada kondisi ketidakseimbangan informasi/asimetri
informasi (asymmetrical information) karena
informasi perusahaan yang dimiliki manajer lebih
lengkap dibandingkan pemilik. Laporan keuangan
diperlukan oleh pihak internal (agent/manajer) dan
pihak eksternal (pemegang saham/principal).
Laporan keuangan penting bagi para pengguna
eksternal terutama karena kelompok ini berada
dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya
(Ali, 2002). Para pengguna internal (manajemen)
memiliki kontak langsung dengan perusahaan dan
mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang
terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya
terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para
pengguna eksternal (pemegang saham/pemilik).
Penyajian
informasi
akuntansi
dalam
penyusunan laporan keuangan, agent memiliki
informasi yang asimetri sehingga dapat lebih
fleksibel mempengaruhi pelaporan keuangan untuk
memaksimalkan kepentingannya. Karena kondisi
asimetri tersebut maka agent dapat mempengaruhi
angka-angka akuntansi yang disajikan dalam
laporan keuangan dengan cara manajemen laba.
Ketika asimetri informasi tinggi, pemegang saham
(principal) tidak memiliki sumber daya yang
cukup, intensif, atau akses atas informasi yang
relevan untuk memonitor tindakan manajer, di
mana hal ini memberikan kesempatan atas praktik
rekayasa keuangan. Adanya asimetri informasi ini
akan mendorong manajer untuk menyajikan
informasi yang tidak sebenarnya terutama jika
informasi tersebut terkait dengan pengukuran
kinerja manajer (Halim, dkk, 2005).
Untuk meminimalkan konflik kepentingan
antara agent dan principal, salah satu caranya
adalah dengan implementasi Good Corporate
Governance (GCG) dalam pengelolaan perusahaan.
Prinsip-prinsip
pokok
GCG
yang
perlu
diperhatikan untuk terselenggaranya praktik Good
Corporate Governance adalah transparansi
(transparancy), akuntabilitas (accountability),
keadilan
(fairness),
dan
responsibilitas
(responsibility). GCG diarahkan untuk mengurangi
asimetri informasi antara principal dan agent yang
pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan
tindakan manajemen laba.
II. LANDASAN TEORI
2.1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan
bahwa hubungan agency terjadi ketika satu orang
atau
lebih
pemegang
saham
(principal)
mempekerjakan orang lain (agent) untuk
memberikan jasa dan kemudian mendelegasikan
wewenang pengambilan keputusan kepada agent
tersebut. Scott (2000) menyatakan bahwa
perusahaan mempunyai banyak kontrak, seperti
kontrak pekerja dengan para manajernya dan
kontrak pinjaman antara perusahaan dengan
kreditur. Kontrak kerja yang dimaksud adalah
kontrak kerja antara pemilik modal dan manajer
perusahaan, dimana antara agent dan principal
bertujuan memaksimumkan utility masing-masing
dengan informasi yang dimiliki.
Ber le dan Means (1932) dan Pratt dan
Zeckhauser (1985) berpendapat bahwa dalam
agency theory saham dimiliki sepenuhnya oleh
pemilik (pemegang saham) sedangkan manajer
diberi wewenang untuk memaksimalkan tingkat
pengembalian pemegang saham.
Masalah
keagenan akan timbul diantaranya jika pihak
manajemen (agent) tidak memiliki saham biasa
perusahaan. Dengan kondisi seperti ini agent
kurang
berupaya
untuk
memaksimumkan
keuntungan perusahaan dan agent berusaha untuk
mengambil keuntungan dari beban yang
ditanggung pemegang saham, dalam bentuk
peningkatan kekayaan dan juga dalam bentuk
kepuasan dan fasilitas perusahaan.
2.2. Asimetri Informasi
Asimetri informasi merupakan suatu kondisi
di mana manajer (agent) memiliki lebih banyak
informasi atas prospek perusahaan dibandingkan
dengan pemegang saham (principal).
Teori
Agensi
menekankan pentingnya pemilik
perusahaan (principal) menyerahkan pengelolaan
perusahaan kepada profesional (agent) yang lebih
mengerti dan memahami cara menjalankan suatu
usaha. Kondisi ini menyebabkan adanya
ketidakseimbangan informasi (asimetri informasi)
antara manajer (agent) dan pemegang saham
(principal).
Ketika asimetri informasi tinggi, pemegang
Proceedings SNEB 2014: Hal. 2
saham tidak memiliki sumber daya yang cukup,
intensif, atau akses atas informasi yang relevan
untuk memonitor tindakan manajer, di mana hal
ini memberikan kesempatan atas praktik
manajemen laba. Adanya asimetri informasi ini
akan mendorong manajer untuk menyajikan
informasi yang tidak sebenarnya terutama jika
informasi tersebut terkait dengan pengukuran
kinerja manajer (Halim, dkk, 2005).
Scott (2000) menyatakan bahwa terdapat dua
jenis asimetri informasi sebagai berikut:
1. Adverse Selection, adalah bahwa para manajer
serta orang-orang dalam lainnya biasanya
mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan
prospek perusahaan dibandingkan investor
(pemegang saham). Fakta yang mungkin dapat
mempengaruhi keputusan yang akan diambil
oleh pemegang saham tersebut tidak
disampaikan informasinya kepada pemegang
saham.
2. Moral Hazard, adalah bahwa kegiatan yang
dilakukan oleh manajer tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun
investor (pemberi pinjaman), sehingga manajer
dapat melakukan tindakan di luar pengetahuan
pemegang saham yang melanggar kontrak yang
secara etika tidak layak dilakukan.
Asimetri informasi menimbulkan terjadinya
konflik antara manajer dan pemegang saham untuk
saling mencoba memanfaatkan masing-masing
pihak untuk kepentingannya. Eisenhardt (1989)
mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia
yaitu:
1. Manusia pada umumnya mementingkan diri
sendiri (self interest)
2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai
persepsi masa yang akan datang (bounded
rationality)
3. Manusia selalu menghindari risiko (risk
adverse)
2.3. Manajemen Laba
Beidlemen
dalam
Belkaoui
(2004)
mendefinisikan manajemen laba sebagai
pengurangan atau fluktuasi yang disengaja
terhadap beberapa tingkatan laba yang saat ini
dianggap normal oleh perusahaan. Dari definisi
ini, manajemen laba mencerminkan suatu usaha
dari manajemen perusahaan untuk menurunkan
variasi yang abnormal dalam laba sejauh yang
diizinkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dan
manajemen yang baik.
Schipper (1989) dalam Arief (2010)
mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu
intervensi dengan maksud tertentu terhadap
proses pelaporan keuangan eksternal dengan
sengaja
untuk
memperoleh
beberapa
keuntungan pribadi. Healy dan Wahlen (1999)
dalam Arief (2010) menyatakan bahwa
pengertian manajemen laba mengandung
beberapa aspek sebagai berikut:
1. Intervensi manajemen laba terhadap
pelaporan keuangan dapat dilakukan
dengan penggunaan judgement, seperti
judgement
yang
digunakan
dalam
mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi
dimasa depan untuk ditunjukkan dalam
laporan keuangan, seperti perkiraan umur
ekonomis dan nilai residu aset tetap,
tanggung jawab pensiun, penangguhan
pajak, kerugian piutang, dan penurunan
nilai asset. Disamping itu manajer
memiliki pilihan untuk penerapan metode
akuntansi seperti metode penyusutan aset
tetap dan metode biaya.
2. Tujuan
manajemen
laba
untuk
menyesatkan pemegang saham mengenai
kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini
muncul ketika manajemen memiliki akses
terhadap informasi yang tidak dapat
diakses oleh pihak principal.
Belkaoui (2004) menyatakan bahwa pada
dasarnya definisi operasional dari manajemen
laba adalah potensi penggunaan manajemen
akrual dengan tujuan memperoleh keuntungan
pribadi. Banyak penelitian menunjukkan bukti
dimana akrual spesifik atau metode akuntansi
digunakan untuk praktik manajemen laba,
seperti:
1. Estimasi penyusutan dan provisi piutang tak
tertagih yang melingkupi penawaran saham
perdana.
2. Cadangan kerugian pinjaman bank dan
cadangan kerugian klaim asuransi
3. Cadangan penilaian pajak tangguhan.
Informasi tentang laba akan mengukur
keberhasilan atau kegagalan bisnis dalam mencapai
tujuan operasi yang ditetapkan (Parawiyati, 1996)
dalam Ndaruningpuri (2008) sehingga hal tersebut
dapat menyebabkan para manajer melakukan
manajemen laba. Belkaoui (2004) menyatakan
motivasi manajer dalam melakukan manajemen
laba didasari oleh hipotesis berikut:
1. Hipotesis rencana bonus berpendapat bahwa
manajer perusahaan dengan rencana bonus
kemungkinan besar menggunakan metoda
akuntansi yang meningkatkan laporan laba
periode berjalan. Dasar pemikirannya adalah
bahwa tindakan seperti itu mungkin akan
meningkatkan nilai bonus jika tidak terdapat
penyesuaian terhadap metode terpilih.
2. Hipotesis ekuitas utang berpencapat bahwa
semakin tinggi utang/ekuitas perusahaan ,
yaitu sama dengan semakin ketatnya
perusahaan terhadap batasan-batasan yang
terdapat di dalam perjanjian utang dan semakin
besar kesempatan atas pelanggaran perjanjian
dan terjadinya biaya kegagalan teknis, maka
semakin besar kemungkinan bahwa para
Proceedings SNEB 2014: Hal. 3
3.
manajer
menggunakan
metode-metode
akuntansi yang meningkatkan laba.
Hipotesis biaya politis berpendapat bahwa
perusahaan besar kemungkinan besar akan
memilih
metode
akuntansi
untuk
menurunkan laporan laba.
2.
2.4. Good Corporate Governance (GCG)
Good corporate governance didefinisikan
sebagai suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai
tambah (value added) untuk semua stakeholdernya.. Perkembangan terbaru membuktikan bahwa
manajemen tidak cukup hanya memastikan bahwa
proses pengelolaan manajemen berjalan dengan
efisien. Diperlukan instrument baru Good
Corporate Governance (GCG) untuk memastikan
bahwa manajemen berjalan dengan baik. Dua hal
yang menjadi perhatian konsep ini adalah, pertama,
pentingnya hak pemegang saham untuk
memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan
tepat pada waktunya, dan, kedua, kewajiban
perusahaan untuk melakukan pengungkapan
(disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan
transparan terhadap semua informasi dan kinerja
perusahaan, kepemilikan dan stakeholder (Thomas
Kaihatu : 2006). Kedua hal tersebut penting karena
secara empiris terbukti bahwa penerapan prinsip
GCG dapat meningkatkan kualitas laporan
keuangan (Beasly et al., 1996; Wright, 1996).
Penerapan Good Corporate Governance
(GCG) dapat didorong dari dua sisi yaitu etika dan
peraturan. Dorongan dari etika (ethical driven)
datang dari kesadaran individu –individu pelaku
bisnis untuk menjalankan praktik bisnis yang
mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan,
kepentingan pemegang saham, dan menghindari
cara-cara
menciptakan
keuntungan
sesaat.
Sedangkan dorongan dari peraturan (regulatory
driven) memaksa perusahaan untuk patuh terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas
GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan
semua jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu
transparansi,
akuntabilitas,
responsibilitas,
independensi, kewajaran dan kesetaraan diperlukan
untuk
mencapai
kesinambungan
usaha
(sustainability) perusahaan dengan memperhatikan
pemangku kepentingan atau stakeholder, (Komite
Nasional Kebijakan Governance/KNKG:2006).
penjelasan asas GCG adalah sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparancy)
Untuk menjaga obyektifitas dalam bisnis,
perusahaan harus menyediakan informasi yang
materiil dan relevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oleh pemangku
kepentingan. Perusahaan harus mengambil
inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya
masalah yang disyaratkan oleh peraturan
3.
4.
5.
perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh
pemegang saham, kreditur, dan pemangku
kepentingan lainnya.
Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan
harus
dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya
(2.4 secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan
harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan
kepentingan
pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain.
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang
berkesinambungan.
Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan
sehingga
dapat
terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang
dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen.
Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan pelaksanaan
asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak
dapat diintervensi oleh pihak lain.
Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan
harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan
kesetaraan.
III. PEMBAHASAN
Teori keagenan merupakan teori yang
mendasari praktik bisnis perusahaan. Teori
keagenan menyebabkan adanya potensi konflik
kepentingan antara principal dan agent dalam
perusahaan.
Teori
Agensi
tersebut
mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara
manager (agent) dengan pemilik (principal).
Sistem Corporate Governance yang baik dapat
memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak
yang berkepentingan yaitu para pemegang saham,
manajemen maupun kreditor. Sistem Corporate
Governance terdiri dari mekanisme Corporate
Governance internal dan eksternal.
Untuk mengurangi konflik kepentingan antara
principal dan agent salah satu caranya adalah
dengan penerapan Corporate Governance. Hal ini
dibuktikan oleh Frank Yu (2006) dalam
Ndaruningpuri (2008), yang menemukan adanya
hubungan
antara
mekanisme
Corporate
Governance dengan manajemen laba. Dengan
menggunakan mekanisme internal Corporate
Proceedings SNEB 2014: Hal. 4
Governance yaitu konsentrasi kepemilikan dan
struktur dewan direksi, serta mekanisme eksternal
Corporate Governance yaitu tekanan take over dan
kepemilikan institusional , Yu menemukan bahwa
perusahaan yang memiliki struktur kepemilikan
yang tinggi dan struktur dewan komisaris yang
kecil akan menyebabkan meningkatnya manajemen
laba. Sedangkan perusahaan dengan kepemilikan
institusional dan tekanan yang tinggi akan
mengurangi manajemen laba. Sedangkan Warfield,
et al
(1995) dalam Ndaruningpuri (2008)
menyatakan bahwa indikator GCG (kepemilikan
manajerial)
berhubungan
negatif
dengan
manajemen laba.
IV. KESIMPULAN
1. Teori keagenan menyebabkan adanya potensi
konflik kepentingan antara principal dan agent
dalam perusahaan. Teori Agensi tersebut
mengimplikasikan adanya asimetri informasi
antara manager (agent)
dengan pemilik
(principal).
2. Asimetri informasi terjadi karena adanya
ketidakseimbangan informasi yang dimiliki
oleh agent dan principal. Agent mengetahui
informasi dan prospek perusahaan lebih
banyak, sehingga mempengaruhi manajer
untuk melakukan manajemen laba.
3. Manajemen laba mencerminkan suatu usaha
dari
manajemen
perusahaan
untuk
menurunkan variasi yang abnormal dalam
laba sejauh yang diizinkan oleh prinsipprinsip akuntansi dan manajemen yang baik.
4. Salah satu cara mengatasi masalah keagenan
adalah dengan implementasi GCG. Setiap
perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG
diterapkan pada setiap aspek bisnis dan semua
jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi, kewajaran dan kesetaraan.
REFERENSI
Ali Irfan (2002). Pelaporan Keuangan dan
Asimetri Informasi dalam Hubungan
Agensi. Lintasan Ekonomi Vol. XIX
No. 2. Juli 2002
Ahmed Riahi Belkaoui (2004). Accounting
Theory. Penerbit Salemba Empat.
Arief Ujiyantho (2010). Asimetri Informasi
dan Manajemen Laba:Suatu Tinjauan
dalam Hubungan Keagenan. Institut
Akuntan Publik Indonesia
Beiner, S., W. Drobetz, F Schmid dan H.
Zimmerman. 2003. “Is Board Size an
Independent Corporate Governance
Mechanism?”
Jensen, Michael C dan W.H, Meckling (1976).
Theory of the Firm:Managerial
Behaviour,
Agency
Cost
and
Ownership Structure. Journal of
Financial Economics3. Pp. 305-360
Julia Halim, Carmel Meiden dan Rudolf
Lumban Tobing (2005). Pengaruh
Manajemmen Laba pada Tingkat
pengungkapan Laporan Keuangan
pada Perusahaan Manufaktur yang
termasuk dalam Indeks LQ 45” SNA
VIII Solo
Mursalim (2005). Income Smoothing dan
Motivasi Investor. Studi Empiris pada
Investor di BEJ. SNA VIII IAI
Ndaruningpuri Wulandari dan Widaryanti
(2008). Pengaruh Asimetri Informasi,
Manajemen Laba, dan Indikator
Mekanisme Corporate Governance
terhadap Kinerja Perusahaan Publik di
Indonesia. Fokus Ekonomi Vol. 3 No.
1 Juni 2008. ISSN:1907-6304. Pp. 1-23
Thomas Kaihatu. (2006). Good Corporate
Governance dan penerapannya di
Indonesia. Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan. Vol. 8 No. 1
Biodata Penulis
Nunung Aini Rahmah, SE., MSi, memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi (SE), Jurusan Akuntansi
STIE YPKP Bandung, lulus tahun 1995.
Memperoleh gelar Magister Science (MSi)
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Jenderal Soedirman, lulus tahun 2004.
Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi
Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi
Ferikawita M Sembiring, memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi (SE), Jurusan Manajemen
Universitas Jenderal Achmad Yani, lulus tahun
1994. Memperoleh gelar Magister Science (MSi)
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran Bandung, lulus tahun
2004. Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi
Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi
Proceedings SNEB 2014: Hal. 5
Proceedings SNEB 2014: Hal. 6
Download