TOXICITY TEST of HEAVY METAL Cr6+ (HEXAVALENT CHROMIUM) ON HISTOPATHOLOGICAL LIVER And GILLS Of NILE TILAPIA (Oreochromis niloticus) Siti Badriyah, Agung Budiharjo, Tetri Widiyani Departement of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Science Sebelas Maret University Jl. Ir Sutarmi No. 36A, Kentingan, Jebres, Surakarta ABSTRACT Textile industrial waste contains chemicals derived from bleaching and coloration process. Cromium, a heavy metal derived from these process, is known toxic in living organism. Hexavalent cromium in small quantity causes damage in many organs, such as lung, liver, and kidneys. Therefore, this study aims to observe toxicity effect of cromium in tilapia's liver and gills histopathological structure. Forty tilapia fishes were placed in 4 glass containers filled with 36 liter freshwater. Fishes were treated with hexavalent cromium from K2Cr2O7 compound, in 4 various concentrations, i.e: 0; 57,69; 59,94; and 83,20 ppm. Hexavalent chromium treatment was conducted for 96 hours. Liver and gills were removed and preserved for histopathological observation. The damage level of gill and liver were determined according to the standart from other previous studies on toxicology assay. Data were analysed descriptevely. The study showed that cromium heavy metal caused various damages on gill and liver of tilapia fishes. At 0 ppm concentration did not show any damage. At concentrations of 57.69 ppm causes damage in the form of edema, hyperplasia, melano macrophages center, and fibrosis. At concentrations of 59.94 ppm causes damage in the form of edema, hyperplasia, melano macrophages center, and hydropsis degeration. At a concentration of 83.20 ppm causes damage in the form of edema, hyperplasia, fusion of lamella, melano macrophages center, congestion, fibrosis, and fat degeneration. Keywords: hexavalent chromium, liver, gills, histopathologic, Oreochromis niloticus UJI TOKSISITAS LOGAM BERAT Cr6+ (KROMIUM HEKSAVALEN) TERHADAP HISTOPATOLOGIS HATI DAN INSANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SitiBadriyah, Agung Budiharjo, Tetri Widiyani Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Jl. Ir Sutarmi No. 36A, Kentingan, Jebres, Surakarta ABSTRAK Limbah industri tekstil mengandung bahan-bahan kimia yang berasal dari pengelantangan dan pewarnaan. Logam berat kromium berasal dari proses tersebut, dikenal bersiat toksik terhadap makhluk hidup. Kromium heksavalen dalam jumlah yang relatif sedikit dapat menyebabkan kerusakan pada beberapa organ, seperti paru-paru, hati, dan ginjal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas logam berat kromium terhadap histopatologis hati, dan insang ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan nila degan jumlah 40 ekor ditempatkan pada 4 buah akuarium yang telah diisi air sebanyak 36 liter. Ikan diberi perlakuan dengan kromium heksavalen yang berasal dari senyawa K2Cr2O7 pada 4 macam konsentrasi, yaitu: 0; 57,69; 59,94; dan 83,20 ppm. Pemaparan dengan kromium heksavalen dilakukan selama 96 jam. Setelah diberi perlakuan, hati dan insang diambil untuk pembuatan preparat histologis. Kerusakan pada hati dan insang ikan nila ditentukan berdasarkan standar dari peneltian yang telah dilakukan sebelumnya. Data dianalisis secara deskriptif. Penelitian menunjukkan bahwa logam berat kromium menyebabkan beberapa kerusakan pada hati, dan insang ikan nila. Pada konsentrasi 0 ppm tidak menunjukkan adanya kerusakan. Pada konsentrasi 57,69 ppm menyebabkan kerusakan berupa edema, hiperplasia, melano macrophages center, dan fibrosis. Pada konsentrasi 59,94 ppm menyebabkan kerusakan berupa edema, hiperplasia, melano macrophages center, dan degerasi hidropsis. Pada konsentrasi 83,20 ppm menyebabkan kerusakan berupa edema, hiperplasia, fusi lamella, melano macrophages center, kongesti, fibrosis, dan degenerasi lemak. Katakunci: kromium heksavalen, hati, insang, histopatologis, Oreochromis niloticus PENDAHULUAN Logam berat yang dibuang dan masuk ke perairan dapat mempengaruhi kualitas lingkungan perairan dan mengakibatkan terganggunya ekosistem. Pencemaran logam berat pada perairan merupakan salah satu pencemaran yang dapat membahayakan baik organisme maupun manusia yang mengkonsumsi organisme tercemar. Limbah yang sering dihasilkan dalam industri tekstil adalah kromium (Cr) yang merupakan salah satu logam berat. Apabila limbah industri tekstil yang mengandung kromium dibuang langsung ke dalam lingkungan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu akan menambah jumlah ion logam pada air lingkungan, serta akan menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup biota air dan lingkungannya (Khaerani dkk.,2007). Kromium merupakan logam yang banyak digunakan dalam berbagai macam aplikasi, yaitu pada proses penyamakan kulit, finishing logam, elektroplating dan industri pewarna. Kromium terdapat di lingkungan dalam bentuk kromium(III) dan dalam bentuk kromium(VI). Kromium heksavalen dalam jumlah yang relatif sedikit memiliki efek yang bersifat racun pada makhluk hidup dan dapat merusak paru-paru, hati dan ginjal. Kromium(VI) bersifat mutagenik, karsinogenik dan teratogenik (Gupta et al., 2013). Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun 1995 tentang baku mutu limbah cair untuk Cr(VI) adalah 0,1-0,5 mg/L, sedangkan untuk Cr total adalah 0,5-1 mg/L. Batas maksimum kromium total pada air minum yang direkomendasikan oleh WHO adalah 0,05 mg/L (Memon et al., 2009). Pencemaran logam berat atau persenyawaan chromium (Cr) yang masuk ke dalam tubuh akan ikut dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Logam atau persenyawaan Cr akan berinteraksi dengan bermacam-macam unsur biologis yang terdapat dalam tubuh. Interaksi yang terjadi antara Cr dengan unsur-unsur biologis tubuh, dapat menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme tubuh (Palar, 2008). Logam berat diserap oleh hewan air melalui insang dan saluran pencernaan karena sifatnya toksik maka logam ini dapat mematikan (Darmono, 2005). Akumulasi logam berat kromium (Cr) dapat menyebabkan kerusakan terhadap organ respirasi dan dapat juga menyebabkan timbulnya kanker pada manusia (Suprapti, 2008). Ikan nila adalah jenis ikan konsumsi air tawar yang telah lama dibudidayakan di Indonesia. Ikan nila memiliki beberapa kelebihan dibandingkan ikan budidaya lainnya diantaranya mudah berkembang biak, pertumbuhan cepat, kandungan protein cukup tinggi, ukuran tubuh relatif besar, lebih tahan terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan, harga yang ekonomis, dan memiliki nilai gizi cukup tinggi sebagai sumber protein hewani (Carman dan Sucipto, 2009). Pada proses budidaya ikan nila, air yang digunakan untuk memelihara ikan sampai dipanen kebanyakan berasal dari sungai. Sedangkan sungai sering digunakan sebagai tempat pembuangan limbah, terutama limbah tekstil yang mengandung logam berat, sehingga ikan berpotensi terkena dampak pencemaran. METODE PENELITIAN A. Alat Akurium ukuran 64 liter, aerator, timbangan digital, jaring ikan, kotak paraffin, botol flakon, dissecting kit, gelas benda, gelas penutup, oven, mikrotom, hot plate, pipet tetes, gelas beker, staining jar, spatula, bak paraffin, kertas label, kapas dan mikroskop. B. Bahan Kalium permanganat, ikan nila (berat ±45 -50 gr, umur ±1-2 bulan, panjang ±13-15 cm), kromium heksavalen dari senyawa kalium dikromat, pellet terapung, organ hati dan insang ikan nila, larutan bouin, garam fisiologis, alkohol bertingkat (30%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, absolut), akuades, toluol, xylol, paraffin, albumin meyer, hematoxylin, eosin, enthelan, dan gliserin. C. Cara Kerja Persiapan Wadah dan Ikan Uji Akuarium disterilisasi dengan menggunakan Kalium Permanganat dengan dosis 25 ppm dan dibilas dengan menggunakan air bersih sebagai media hidup. Akuarium kemudian diisi dengan air hingga 36 liter dan dipasang aerator. Setiap akuariumdiisi 10 ekor ikan uji. Masa pemeliharaan diawali dengan mengadaptasikan ikan terhadap lingkungan yang baru selama 3 hari. Ikan uji diberi pakan buatan berupa pellet terapung secara ad libitum yaitu ±2-3% berat tubuh ikan. Setiap pukul 08.00 WIB dan pukul 15.30 WIB. Uji Toksisitas Letal Tahap ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas kromium heksavalen yang berasal dari senyawa kalium dikromat (K2Cr2O7) terhadap hatidan insang ikan nila (Oreochromis niloticus). Pemaparan kromium dilakukan selama 96 jam. Kosentrasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Wirespathi dkk. (2012) yaitu, 0 ppm (kontrol), 57,69 ppm, 59,94 ppm, dan 83,20 ppm. Pembuatan Preparat Histologis Hati, dan Insang Pengamatan biota ikan yang terkena bahan pencemar, dilakukan pengamatan dengan menggunakan metode mikroteknik, yaitu dengan cara membuat preparat histologis. Preparat histologis yang dibuat adalah hati, dan insang ikan. Proses pembuatan preparat histologis meliputi proses fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, sectioning, affixing, deparafinasi, staining atau pewarnaan dan mounting (Kiernan, 1990 dalam Setyowati dkk., 2010). Pengamatan Pengamatan preparat dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 4x10, 10x10, dan 40x10. D. Analisis Data Data hasil pengamatan adalah preparat histologi hati, dan insang ikan nila (Oreochromis niloticus). Penelitian ini menggunakan 4 faktor konsentrasi dengan masing-masing konsentrasi memiliki 10 kali ulangan. Konsentrasi yang digunakan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Wirespathi dkk. (2012) yaitu, 0 ppm (kontrol), 57,69 ppm, 59,94 ppm, dan 83,20 ppm. Data hasil gambaran organ insang dan hati yang terkontaminasi logam berat kromium heksavalen (Cr6+) dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu membandingkan struktur mikroatomi insang dan hati ikan nila (Oreochromis niloticus) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, untuk mengetahui gambaran histopatologinya. Preparat yang telah dibuat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 4x10, 10x10, dan 40x10 untuk mengetahui seberapa besar kerusakannya, kemudian dilakukan penilaian kerusakan hati dan insang dengan mengacu pada metode Tandjung (1982), Ressang (1986) dan Sudiono (2003) serta Darmono (2005) dalam Wikiandy dkk. (2013). Menurut metode tersebut, adanya melano macrophages center (MMC), edema, hiperplasia dan degenerasi digolongkan tingkat kerusakan ringan. Kongesti dan hemoragi digolongkan pada tingkat kerusakan sedang, sedangkan nekrosis, antropi, dan fusi lamela digolongkan pada tingkat kerusakan berat. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu dan pH Hasil pengukuran suhu menunjukkan bahwa suhu semakin tinggi apabila konsentrasi kromium semakin besar. Suhu pada konsentrasi kromium 0 ppm; 57,69 ppm; 59,94 ppm 0 83,20 ppm berturut-turut yaitu 26,8°C; 27,2°C; 27,5°C dan 28,3°C. pH yang diperoleh dari konsentrasi 0 ppm; 57,69 ppm; 59,94 ppm dan 83,20 ppm berturut-turut adalah 8,06; 7,89; 7,81 dan 7,74. pH semakin rendah apabila konsentrasi kromium semakin besar. Dari data tersebut, suhu air mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya konsentrasi kromium heksavalen. Peningkatan suhu tersebut mempengaruhi aktivitas ikan nila, karena pengaruh suhu mengakibatkan berubahnya kecepatan metabolisme dan mekanisme pengangkutan ion pada permukaan membran tubuh ikan (Fujaya, 2008). Suhu air yang meningkat akan mengakibatkan derajat kelangsungan hidup ikan menurun karena dengan naiknya suhu air akan menurunkan DO pada air dan meningkatkan kecepatan reaksi kimia (Kristanto, 2002). Penurunan jumlah oksigen terlarut (DO) mengakibatkan bahan organik dalam air menurun dan mengakibatkan bahan anorganik meningkat. Bahan anorganik pada penelitian ini adalah kromium heksavalen, sehingga pengaruh naiknya suhu air juga mengakibatkan ikan kekurangan oksigen, metabolisme terganggu karena kromium heksavalen yang diberikan akan mudah diabsorbsi oleh tubuh baik kontak langsung dengan insang maupun melalui saluran pencernaan (Wirespathi et al., 2012). Sehingga pada konsentrasi 83,20 ppm aktivitas hidup ikan serta penyerapan kromium heksavalen lebih aktif karena suhu meningkat menjadi 28°C. Pada penelitian ini nilai pH mengalami penurunan. Pada konsentrasi 0 ppm/kontrol nilai pH 8,06 sedangkan pada konsentrasi tertinggi 83,20 ppm nilai pH sebesar 7,74. Akan tetapi nilai pH tersebut masih dalam kisaran normal, karena menurut PP Nomor 82 Tahun 2001 menyatakan bahwa pH normal berkisar antara nilai 6-9. Hal ini sesuai denga pernyataan Yefrida (2007) Kromium heksavalen pada senyawa kalium dikromat (K2Cr2O7) merupakan senyawa yang bersifat asam, maka nilai pH pun turun menuju pH asam sesuai pertambahan kromium heksavalen. Tabel 1. Suhudan pH air setelah terpapar kromium heksavalen 96 jam 0 Konsentrasi (ppm) Suhu ( C) pH 0 26,833±0,2887 7,9900±0,2646 57,69 27,167±0,2887 7,8900±0,07810 59,94 27,500±0,500 7,8133±0,03215 83,20 28,333±0,5774 7,7400±0,4359 Meningkatnya suhu air yang mengakibatkan dekomposisi bahan organik dan respirasi dalam perairan yang dapat menurunkan kandunganoksigen terlarut (DO) serta menaikkan kandungan CO2 yang berpengaruh pada penurunan nilai pH (Erlangga, 2007). Proses penguraian terjadi secara aerobik sehingga membutuhkan DO. DO dipakai oleh bakteri untuk mendekomposisi atau mendegradasi bahan-bahan organik sehingga menyebabkan berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air. Nilai pH air yang semakin lama semakin menurun seperti pada penelitian ini dikarenakanbertambahnya bahan-bahan organik yang mengalami dekomposisi dan membebaskan CO2, sehingga semakin asam nilai pH maka aktivitas hidup ikan semakin terganggu karena sulit untuk mendapatkan oksigen dalam air (Effendi, 2003). pH yang asam dapat pula memudahkan reaksi kimia pada logam berat untuk terurai menjadi ion-ion. Ion-ion tersebut akan lebih mudah terserap tubuh pada kondisi pH rendah yang memiliki kandungan bahan organik yang rendah (Fardiaz, 1992), dikarenakan ion logam berat atau logam non essensial akan lebih mudah masuk ke dalam sel karena ion logam nonessensial terurai menjadi seperti ion essensial (Darmono, 2005). Ketika pada saat interaksi toksikan kromium heksavalen dalam senyawa K 2Cr2O7 yang memiliki ion Cr6+ (ion kromat) pada media air dengan ikan nila. Ion kromat dapat masuk ke dalam sel untuk menggantikan posisi ion essensial, maka ion kromat tersebut terurai menjadi ion Cr3+ yang bersifat stabil dan merupakan ion yang essensial bagi metabolisme sel seperti meningkatkan kadar glukosa darah, ekskresi NH3-N, dan meningkatkan pertumbuhan (Setyo, 2006). Proses reduksi yang terjadi atas senyawa Cr6+ menjadi Cr3+ dapat berlangsung bila media perairan berada pada lingkungan yang bersifat sangat asam. Jika tidak dalam keadaan yang sangat asam, ion Cr6+ akan berikatan dengan ligand binding agar menjadi bentuk yang lebih mudah terdifusi untuk masuk ke dalam jaringan (Palar, 2008). Pada kondisi suhu air tertinggi dan nilai pH terendah, maka pada perlakuan tersebutlah aktivitas metabolisme ikan terganggu (Erlangga, 2007). Pada penelitian ini, pemaparan kromium heksavalen 96 jam, mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Wirespathi et al.(2012). Data tingkat kelangsungan hidup ikan nila menurun sesuai naiknya konsentrasi kromium heksavalen. Pada konsentrasi 0 ppm/kontrol tingkat kelangsungan hidup ikan sebesar 100%, konsentrasi 57,69 ppm sebesar 70%, konsentrasi 59,69 ppm sebesar 50%, dan pada konsentrasi 83,20 ppm sebesar 0%.Semakin besar konsentrasi logam berat yang dipaparkan pada media pemeliharaan akan berbanding lurus dengan derajat kelangsungan hidup organisme akuatik yang berada di dalamnya (Lu, 1995). Paparan kromium heksavalen, dapat menyebabkan ikan menjadi stress. Di dalam upaya pemulihan diri dari keadaan stress, ikan akan memproduksi hormon kortisol. Namun untuk jangka panjang kadar kortisol yang tinggi akan berdampak negatif terhadap kesehatan ikan (Yuniar, 2009). Jika kesehatan ikan menurun maka ikan mengalami stress berkepanjangan sehingga menurunkan kemampuannya untuk mempertahankan diri dari serangan penyakit. Stress dapat mengganggu sistem imunitas yang berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup. Senyawa K2Cr2O7 yang dilarutkan dalam media air akan mengubah kondisi fisika-kimia air dari kondisi normal. Ion-ion kromium heksavalen terurai karena reaksi kimia yang terjadi akibat adanya perbedaan kepekatan cairan dalam tubuh ikan nila dengan media air. Cr yang masuk ke dalam tubuh akan ikut dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Interaksi yang terjadi antara Cr dengan unsur biologis tubuh menyebabkan terganggunya fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme karena ion Cr6+ yang telah masuk ke dalam sel seterusnya larut dalam darah (Palar, 2008). Logam yang dapat terkakumulasi dalam beberapa jangka waktu menunjukkan bahwa ion-ion logam telah masuk ke dalam sel, berinteraksi secara kimia, dan dapat menyebabkan terganggunya fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme tubuh (Palar, 2008). Kromium heksavalen melewati membran sel melalui empat mekanisme yaitu, difusi pasif lewat membran, filtrasi lewat pori-pori membran, transport dengan perantaraan carrier, dan pencaplokan oleh sel (pinositosis) (Lu, 1995). Kromium heksavalen yang masuk melalui saluran pernafasan (insang) dapat mudah menembus membran sel karena insang langsung bersentuhan dengan air karena Cr heksavalen adalah senyawa yang mudah menembus membran sel melalui sistem transportasi anion dan memiliki kemampuan meminjam atau mengurangi elektron pada Cr (III). Cr (VI) lebih aktif hingga 1000 kali dibanding Cr (III) terhadap sel hidup (Yilmaz, 2010). Sehingga Cr (VI) lebih aktif masuk menembus membran sel kemudian merusak sel tersebut. Kemudian Cr (VI) menembus sel epitel endothelial kapiler darah dan masuk dalam aliran darah hingga akhirnya ikut dalam proses metabolisme (Connel, 1995). B. Pengamatan Histopatologi Hati dan Insang Ikan Nila 1. Insang Data gambaran kerusakan insang ikan nila diperoleh dari pengamatan langsung terhadap struktur mikroanatomi insang ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 4x10, 10x10, dan 40x10. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 7. Tabel 3. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi insang ikan nila setelah perlakuan kromium heksavalen Konsentrasi Perubahan Tingkat (ppm) Histopatologi Kerusakan 0 (kontrol) 57,69 edema, ringan hiperplasia (tingkat 1) 59,94 edema, ringan hiperplasia (tingkat 1) 83,20 edema, berat hiperplasia, fusi (tingkat 4) lamella Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua sampel yang diberi perlakuan dengan menggunakan kromium mengalami kerusakan, meliputi edema, hiperplasia, dan fusi lamela. Gambaran struktur mikroanatomi insang pada berbagai konsentrasi dengan perbesaran mikroskop 10x10, 10x40, dan 40x10 dapat dilihat pada Gambar 7. Struktur mikroanatomi insang ikan nila tanpa pemberian perlakuan logam berat kromium tampak normal seperti ditunjukkan pada Gambar 7 A1,2 ditandai dengan tampaknya lamela primer dan lamela sekunder dengan bentuk dan ukuran yang normal. Lamella primer bentuknya tipis, berupa dua garis melengkung ke belakang dan saling berhubungan. Lamella sekunder berbentuk setengah lingkaran mengelilingi semua bagian dari lamella primer (Takasima dan Hibiya 1995). Pengaruh logam berat kromium dengan konsentrasi 57,69 ppm dan 59,94 ppm menyebabkan kerusakan mikroanatomi insang ikan berupa edema dan hiperplasia. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 7 B dan Gambar 7 C dengan keterangan E dan H. Pada konsentrasi 59,94 ppm, bagian yang mengalami edema terlihat lebih banyak daripada konsentrasi 57,69 ppm. Pengaruh logam berat kromium dengan konsentrasi 83,20 ppm menyebabkan kerusakan mikroanatomi insang ikan nila berupa edema dan hiperplasia yang menyebabkan dua lamela bersatu atau disebut fusi lamela. Edema pada lamela menunjukkan telah terjadi kontaminasi tetapi belum ada pecemaran (Gambar 7 B, C, dan D). Edema merupakan pembengkakan sel atau penimbunan cairan secara berlebihan di dalam jaringan tubuh (Laksman, 2003). Lp Lp E H Ls Ls A1 perbesaran 40x A2 perbesaran 400x B perbesaran 400x E E H FL C perbesaran 400x D perbesaran 400x Gambar 7.Struktur mikroanatomi insang ikan nila pada perlakuan kromium dengan berbagai konsentrasi Keterangan : A1,2 : Kromium 0 ppm E : Edema B : Kromium 57,69 ppm H : Hiperplasia C : Kromium 59,94 ppm Lp : Lamela primer D : Kromium 83,20 ppm Ls : Lamela sekunder FL : Fusi lamela Terjadinya edema dalam insang ikan nila kemungkinan juga disebabkan adanya kontak langsung antara zat toksik yang dalam penelitian ini berupa kromium dengan sel epitel di insang yang dapat mengakibatkan terjadinya iritasi. Iritasi pada jaringan epitel menyebabkan terganggunya transportasi ATP bebas dan membuat sel tidak mampu memompa ion natrium dengan cukup sehingga ion-ion natrium terakumulasi di dalam sel. Kenaikan konsentrasi ion natrium di dalam sel mengakibatkan masuknya air ke dalam sel sehingga terjadi pembengkakan atau degenerasi (Guyton, 1997). Edema pada jaringan insang biasa dijumpai pada lamela sekunder. Menurut Hibiya dan Fumio (1995), edema adalah suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam rongga-rongga tubuh atau di dalam ruang-ruang interstitial dari jaringan dan organ yang dapat mengakibatkan kebengkakan. Edema mengindikasikan adanya suatu ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau kesalahan pada tekanan osmotis darah, peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, limfe, obstruksi atau disfungsi ginjal. Kondisi-kondisi ini dapat dihubungkan dengan bahan-bahan toksik kimia, virus, bakteri dan penyakit parasitik. Pada jaringan insang terdapat pembengkakan/perlekatan lamela atau dinamakan hiperplasia (Gambar 7 B, C) yang merupakan tingkatan lanjut dari edema. Menurut Ersa (2008) hiperplasia sel dapat terjadi bersamaan dengan peningkatan sel-sel penghasil mukus yang berfungsi melapisi permukaan insang. Pada keadaan normal mukus yang dihasilkan berupa glikoprotein basa yang berfungsi sebagai pelindung pertama, dengan adanya gangguan berupa parasit atau zat toksik maka terjadi proliferasi sel-sel penghasil mukus sebagai bentuk reaksi pertahanan. Bentuk tidak normal dari sel-sel lamela ini juga dapat terjadi akibat reaksi terhadap gangguan kimia misalnya perubahan pH yang asam di perairan sehingga terjadi penumpukan gas karbondioksida (CO2), amonia (NH3) dan zat-zat atau gas lain sisa metabolisme atau karena adanya cemaran pada air yang berasal dari lingkungan perairan seperti sampah atau buangan industri. Lamela sekunder insang mengalami hiperplasia ditandai dengan banyaknya proliferasi pada sel epitel akibatnya lamela sekunder mengalami penebalan. Hiperplasia terjadi pada tingkat iritasi dan biasanya disertai peningkatan jumlah sel-sel mucus di dasar lamela dan mengakibatkan fusi lamela (Gambar 7 D). Ruang interlamela yang merupakan saluran air dan ruang produksi mucus dapat tersumbat akibat hiperplasiasel epitel yang berasal dari filamen primer. Terjadinya fusi lamella diakibatkan dari sel mucus yang berada di dasar lamela meningkat jumlahnya sehingga terjadi penggabungan antar lamela sekunder dan terjadi edema sel. 2. Hati Data gambaran kerusakan hati ikan nila diperoleh dari pengamatan langsung terhadap struktur mikroanatomi hati ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 4x10, 10x10, dan 40x10. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 8. Tabel 4. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi hati ikan nila setelah perlakuan kromium heksavalen Konsentrasi Cr Perubahan Tingkat (ppm) Histopatologi Kerusakan 0 (kontrol) 57,69 melano macrophages Ringan center, fibrosis 59,94 melano macrophages Ringan center, degenerasi hidropsis 83,20 melano macrophages Sedang center, kongesti, fibrosis, degenerasi lemak He MMC Vs NHe Si A1 perbesaran 40x A2 perbesaran 400x B1 perbesaran 100x Vs F MMC MMC B2 perbesaran 400x C1perbesaran 100x C2 perbesaran 400x DL MMC Vs K K D1 perbesaran 100x D2 perbesaran 400x Gambar 8.Struktur mikroanatomi hati ikan nila pada perlakuan kromium dengan berbagai konsentrasi Keterangan : A1,2 : Kromium 0 ppm DH : Degenerasi Hidropsis B1,2 : Kromium 57,69 ppm DL : Degenerasi Lemak C1,2 : Kromium 59, 94 ppm K : Kongesti D1,2 : Kromium 83, 20 ppm Si : Sinusoid He : Hepatosit F : Fibrosis MMC : Melano Macrophages Center NHe : Nukleus Hepatosit Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa semua sampel yang diberi perlakuan dengan menggunakan kromium mengalami kerusakan, meliputi melano macropages center, fibrosis, degenerasi hidropsis, dan kongesti. Gambaran struktur mikroanatomi hati pada berbagai konsentrasi dengan perbesaran mikroskop 4x10, 10x10, dan 40x10 dapat dilihat pada Gambar 8. Struktur mikroanatomi hati ikan nila tanpa pemberian kromium tampak normal seperti yang terlihat pada Gambar 8 A1,2 ditandai dengan terlihatnya sel hepatosit, inti sel atau nukleus hepatosit, sinusoid, dan vena sentralis sebagai pusat lobulus yang berbentuk bulat. Pengaruh kromium dengan konsentrasi 57,69 ppm menyebabkan kerusakan mikroanatomi hati berupa melano macrophages center (MMC), seperti terlihat pada Gambar 8 B1,2,. MMC merupakan tahapan dalam reaksi peradangan. Menurut Agius dan Robert (1981) dalam Ersa (2008) MMC adalah kumpulan makrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan. Fungsi melanin di dalam jaringan tidak jelas. Hal ini mungkin didasarkan atas material radikal bebas yang stabil dari melanin dan kemampuannya untuk menetralkan reaksi radikal bebas. Menurut Ellis (1981) dalam Ersa (2008), melanin pada organ viscera dapat sebagai alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas. Pada organisme yang lebih tinggi, melanin memiliki peran yang luas dalam perlindungan melawan invasi parasit tertentu pada jaringan dan juga pertahanan melawan mekanisme yang berpotensi menimbulkan bahaya pada diri sendiri, selama pengaktifan sistem pertahanan dalam tubuh itu sendiri. Fibrosis terjadi karena akibat dari peradangan akut karena sel kehilangan kemampuan dalam regenerasi yang menyebabkan terjadinya proliferasi fibroblast sehingga menghasilkan serabut kolagen yang berlebih (Anderson, 1995). Fibrosis ditandai oleh kolagen lebih tebal (Gambar 8 B2), dimana serabut halus kolagen ini berperan untuk menyokong sinusoid dan hepatosit. Jika fibrosis ini meluas kesemua bagian hati maka akan terjadi sirosis (pemadatan organ hati) yang menyebabkan kegagalan fungsi hati sehingga dapat menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan terjadinya hipertensi vena porta yang dapat mengganggu aliran darah sehingga akan menghambat suplai nutrien dan pertukaran oksigen. Pengaruh kromium dengan konsentrasi 59,94 ppm menyebabkan kerusakan mikroanatomi hati ikan nila berupa melano macrophages center (MMC), seperti yang terlihat pada Gambar 8 C1,2. Terjadinya MMC pada konsentrasi 59,94 ppm hampir sama dengan konsentrasi 57,69 ppm, hal ini dikarenakan konsentrasi kromium yang digunakan hampir sama sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga hampir sama. Selain MMC, terjadi kerusakan lain yaitu degenerasi hidropis. Degenerasi dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif, yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel (Spector dan Spector, 1993). Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini biasa disebut dengan degenerasi (McGavin dan Zachary, 2007). Degenerasi hidropis adalah pembengkakan sel hati stadium lanjut dimana terlihat adanya ruang-ruang kosong di dalam sitoplasma dari sel dengan vakuola tampak membesar sehingga mendesak nukleus ke tepi sel (Gambar 8 C2). Menurut Jones et al., (1997) degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak membengkak dan bervakuola (Gambar 8 C 2). Paparan zat toksik menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Menurut Price dan Wilson (1995) untuk mempertahankan kekonstanan lingkungan internalnya, suatu sel harus menggunakan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari sel. Degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia (Underwood, 1992). Menurut Rusmiati dan Lestari (2004) gangguan metabolisme sel biasanya didahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh organisme. Dalam hal ini kromium sebagai agen toksik dapat mempengaruhi metabolisme di dalam tubuh organisme dengan cara berikatan dengan sel darah merah, dimana sel darah merah berfungsi untuk mengikat oksigen yang berperan dalam proses metabolisme. Pengaruh kromium dengan konsentrasi 83,20 ppm menyebabkan kerusakan mikroanatomi hati ikan nila berupa melano marcophages center (MMC) seperti yang terlihat pada Gambar 8 D1 dengan keterangan MMC. Kemudian juga terdapat degenerasi lemak (Gambar 8 D3) dengan keterangan DL, dan kongesti (Gambar 8 D4) dengan keterangan K. Terjadinya MMC pada konsentrasi 83, 20 ppm terlihat lebih banyak daripada konsentrasi 57,69 ppm dan 59,94 ppm, hal ini dikarenakan konsentrasi yang digunakan jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Selain itu juga terdapat kerusakan lain berupa degenerasi lemak (Gambar 8 D4). Degenerasi lemak terjadi sebagai respon lanjut dari degenerasi hidropis, dimana sel tidak mampu melakukan metabolisme lemak dengan baik sehingga terjadi akumulasi lemakpada sel. Akumulasi lemak dalam sel terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam sel hati, peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat zat toksik yang merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak (Cheville, 1999). Sel-sel yang telah mengalami degenerasi, pada tahap selanjutnya akan mengalami kongesti. Menurut Rusmiati dan Lestari (2004), gangguan metabolisme sel biasanya didahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh. Apabila sel tidak dapat beregenerasi maka terdapatnya edema ataupun hiperplasia menyebabkan salah satu bagian membengkak dan yang lainya menyempit sehingga peredaran darah tersumbat, sehingga darah menumpuk pada salah satu daerah tertentu atau dinamakan kongesti. Menurut Saleh (1979), kongesti adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh (Gambar D4). Kemudian, Harada et al. (1999) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadinya kongesti diakibatkan antara lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya. KESIMPULAN 1. Kerusakan insang pada konsentrasi 57,69 ppm dan 59,94 ppm berupa edema,dan hiperplasia, pada konsentrasi 83,20 ppm berupa edema, hiperplasia, dan fusi lamella. 2. Kerusakan hati pada konsentrasi 57,69 ppm berupa melano macrophages center (MMC), dan fibrosis, pada konsentrasi 59,94 ppm berupa melano macrophages center (MMC), dan degenerasi hidropis, kemudian pada konsentrasi 83,20 ppm kerusakan berupa melano macrophages center (MMC), fibrosis, kongesti dan degenerasi lemak. DAFTAR PUSTAKA Anderson, P.S.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa: Peter Anugerah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran Carman, O dan A. Sucipto. 2009. Panen Nila 2,5 Bulan. Penebar Swadaya : Jakarta Cheville, N.F. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa, USA. Iowa State University Press. Connell, D.W. 1995. Bioakumulasi Senyawaan Xenobiotik. Jakarta: UI Press. Darmono. 2005. Logam Berat Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit UI-Press. Jakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan IPB. Bogor : Kanisius Erlangga. 2007. Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar Di Provinsi Riau Terhadap Ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ersa, I.M. 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Usus Dan Otot Pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Di Daerah Ciampea Bogor.Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta : Kanisius. Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta Guyton, A.C. dan J.E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta . Harada T, Akiko E, Gary AB, Robert RM. 1999.Liver and Gallbladder. Di dalam: Maronpot RR, editor. Pathology of the Mouse: Reference and Atlas. United States od America: Cache River Press. Hibiya T dan Fumio T. 1995.An Atlas of Fish Histology: Normal and Pathological Features. Edisi Kedua. Japan. Kodansha Ltd. Jones, T.C., Ronald D.H., dan Norval W.K. 1997. Veterinary Pathology. 6th Ed. Baltmore : Blackwell Publishing. Khaerani, M., Azzam, K., Soffian dan Soeleman.2007.Penentuan Kandungan Unsur Krom dalam Limbah Tekstil dengan Metode Analisis Pengaktifan Neuron.Laboratorium Fisika Atom dan Inti.Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Diponegoro dan Badan Tenaga Nuklir Nasional Yogyakarta.Yogyakarta. Kristanto. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: ANDI Publishing. Laksman, H.T. 2003.Kamus Kedokteran. Jakarta : Djambatan Lu, C. F. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia Press McGavin M.Donald and Zachary, James . 2007. Pathologic Basic o Veterinary Disease. China: Mosby, Inc. Memon, JR., Saima Q. Memon, M.I. Bhanger and M.Y. Khuhawar. 2009. Use OF Modified Sorbent for the Separation and Proconcentration of Chromium Species from Industrial Waste Water. Journal of Hazardous Materials.163 (2) : 511-516. Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. Price, S. A. dan L. M. Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses Penyakit (diterjemahkan oleh Adji Dharma). EGC. Jakarta Rusmiati dan A. Lestari. 2004. Struktur Histologis Organ Hepar dan Ren Mencit (Mus Musculus L.) Jantan Setelah Perlakuan dengan Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.).Bioscientiae. I (1) : 23-30 Saleh S. 1979. Patologi Umum. Di dalam: Himawan, editor. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setyo BP. 2006. Efek Konsentrasi Kromium (Cr3+) dan Salinitas Berbeda Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Pakan Untuk Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromisniloticus).[Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Setyowati, A., D. Hidayati dan N. Abdulgani. 2010. Studi Histopatologi Hati Ikan Belanak (Mugil cephalus) di Muara Sungai Alo Sidoarjo.Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Suprapti, N. H. Kandungan Chromium pada Sedimen dan Kerang Darah (Anadara granosa) di Wilayah Pantai Sekitar Muara Sungai Sayung, Desa Morosari Kabupaten Demak Jawa Tengah. Bioma J. 10 (2) : 53-56. Spector, WG, Spector TD. 1993. Pegantar Patlogi Umum. Edisi Ke-3. Soetjipto NS, penerjemah. Yogyakarta: Univesitas Gadjah Mada Press Underwood, A.L. 1992. Analisa Kimia Kuantitatif, edisi kelima. Erlangga : Jakarta Wikiandy, N., Rosidah dan Titin, H. 2013.Dampak Pencemaran Limbah Tekstil Terhadap Kerusakan Struktur Organ Ikan yang Hidup di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Bagian Hulu.Jurnal Perikanan dan Kelautan. 4(3) : 215-225 Wirespathi, E. AMO,.Raharjo dan W. Budijastuti. 2012. Pengaruh Kromium Heksavalen (VI) Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus). LenteraBio. 1(2) : 75-79 Yefrida. 2007. Regenerasi dan Pemanfaatan Kembali Serbuk Gergaji Sebagai Penyerap Ion Logam Cd, Cu dan Cr dalam Air. Laporan AkhirPenelitian BBI. Jurnal Dampak. Universitas Andalas.Sumatera Barat Yilmaz, S. Cemal Turan and Tahsin Toker. 2010. Uptake and Distribution of Hexavalent Chromium in Tissue (Gill, Skin, And Muscle) of A Freshwater Fish Oreochromis aureus. Journal of Environmental Chemistry and Ecotoxicology. 2(3): 28-33 Yuniar, V. 2009.Toksisitas Merkuri (Hg) Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, Gambaran Darah dan Kerusakan Organ Pada Ikan Nila Oreochromis niloticus. Skripsi. Departmen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor