Oreochromis niloticu - Digital Library UNS

advertisement
TOXICITY TEST of HEAVY METAL Cr6+ (HEXAVALENT CHROMIUM) ON
HISTOPATHOLOGICAL LIVER And GILLS Of NILE TILAPIA
(Oreochromis niloticus)
Siti Badriyah, Agung Budiharjo, Tetri Widiyani
Departement of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Science
Sebelas Maret University
Jl. Ir Sutarmi No. 36A, Kentingan, Jebres, Surakarta
ABSTRACT
Textile industrial waste contains chemicals derived from bleaching and coloration
process. Cromium, a heavy metal derived from these process, is known toxic in living organism.
Hexavalent cromium in small quantity causes damage in many organs, such as lung, liver, and
kidneys. Therefore, this study aims to observe toxicity effect of cromium in tilapia's liver and
gills histopathological structure.
Forty tilapia fishes were placed in 4 glass containers filled with 36 liter freshwater. Fishes
were treated with hexavalent cromium from K2Cr2O7 compound, in 4 various concentrations, i.e:
0; 57,69; 59,94; and 83,20 ppm. Hexavalent chromium treatment was conducted for 96 hours.
Liver and gills were removed and preserved for histopathological observation. The damage level
of gill and liver were determined according to the standart from other previous studies on
toxicology assay. Data were analysed descriptevely.
The study showed that cromium heavy metal caused various damages on gill and liver of
tilapia fishes. At 0 ppm concentration did not show any damage. At concentrations of 57.69 ppm
causes damage in the form of edema, hyperplasia, melano macrophages center, and fibrosis. At
concentrations of 59.94 ppm causes damage in the form of edema, hyperplasia, melano
macrophages center, and hydropsis degeration. At a concentration of 83.20 ppm causes damage
in the form of edema, hyperplasia, fusion of lamella, melano macrophages center, congestion,
fibrosis, and fat degeneration.
Keywords: hexavalent chromium, liver, gills, histopathologic, Oreochromis
niloticus
UJI TOKSISITAS LOGAM BERAT Cr6+ (KROMIUM HEKSAVALEN) TERHADAP
HISTOPATOLOGIS HATI DAN INSANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
SitiBadriyah, Agung Budiharjo, Tetri Widiyani
Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir Sutarmi No. 36A, Kentingan, Jebres, Surakarta
ABSTRAK
Limbah industri tekstil mengandung bahan-bahan kimia yang berasal dari
pengelantangan dan pewarnaan. Logam berat kromium berasal dari proses tersebut, dikenal
bersiat toksik terhadap makhluk hidup. Kromium heksavalen dalam jumlah yang relatif sedikit
dapat menyebabkan kerusakan pada beberapa organ, seperti paru-paru, hati, dan ginjal. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas logam berat kromium terhadap
histopatologis hati, dan insang ikan nila (Oreochromis niloticus).
Ikan nila degan jumlah 40 ekor ditempatkan pada 4 buah akuarium yang telah diisi air
sebanyak 36 liter. Ikan diberi perlakuan dengan kromium heksavalen yang berasal dari senyawa
K2Cr2O7 pada 4 macam konsentrasi, yaitu: 0; 57,69; 59,94; dan 83,20 ppm. Pemaparan dengan
kromium heksavalen dilakukan selama 96 jam. Setelah diberi perlakuan, hati dan insang diambil
untuk pembuatan preparat histologis. Kerusakan pada hati dan insang ikan nila ditentukan
berdasarkan standar dari peneltian yang telah dilakukan sebelumnya. Data dianalisis secara
deskriptif.
Penelitian menunjukkan bahwa logam berat kromium menyebabkan beberapa kerusakan
pada hati, dan insang ikan nila. Pada konsentrasi 0 ppm tidak menunjukkan adanya kerusakan.
Pada konsentrasi 57,69 ppm menyebabkan kerusakan berupa edema, hiperplasia, melano
macrophages center, dan fibrosis. Pada konsentrasi 59,94 ppm menyebabkan kerusakan berupa
edema, hiperplasia, melano macrophages center, dan degerasi hidropsis. Pada konsentrasi 83,20
ppm menyebabkan kerusakan berupa edema, hiperplasia, fusi lamella, melano macrophages
center, kongesti, fibrosis, dan degenerasi lemak.
Katakunci: kromium heksavalen, hati, insang, histopatologis, Oreochromis
niloticus
PENDAHULUAN
Logam berat yang dibuang dan masuk ke perairan dapat mempengaruhi kualitas
lingkungan perairan dan mengakibatkan terganggunya ekosistem. Pencemaran logam berat pada
perairan merupakan salah satu pencemaran yang dapat membahayakan baik organisme maupun
manusia yang mengkonsumsi organisme tercemar.
Limbah yang sering dihasilkan dalam industri tekstil adalah kromium (Cr) yang
merupakan salah satu logam berat. Apabila limbah industri tekstil yang mengandung kromium
dibuang langsung ke dalam lingkungan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu akan
menambah jumlah ion logam pada air lingkungan, serta akan menimbulkan dampak negatif bagi
keberlangsungan hidup biota air dan lingkungannya (Khaerani dkk.,2007).
Kromium merupakan logam yang banyak digunakan dalam berbagai macam aplikasi,
yaitu pada proses penyamakan kulit, finishing logam, elektroplating dan industri pewarna.
Kromium terdapat di lingkungan dalam bentuk kromium(III) dan dalam bentuk kromium(VI).
Kromium heksavalen dalam jumlah yang relatif sedikit memiliki efek yang bersifat racun pada
makhluk hidup dan dapat merusak paru-paru, hati dan ginjal. Kromium(VI) bersifat mutagenik,
karsinogenik dan teratogenik (Gupta et al., 2013). Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51
tahun 1995 tentang baku mutu limbah cair untuk Cr(VI) adalah 0,1-0,5 mg/L, sedangkan untuk
Cr total adalah 0,5-1 mg/L. Batas maksimum kromium total pada air minum yang
direkomendasikan oleh WHO adalah 0,05 mg/L (Memon et al., 2009).
Pencemaran logam berat atau persenyawaan chromium (Cr) yang masuk ke dalam
tubuh akan ikut dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Logam atau persenyawaan Cr
akan berinteraksi dengan bermacam-macam unsur biologis yang terdapat dalam tubuh. Interaksi
yang terjadi antara Cr dengan unsur-unsur biologis tubuh, dapat menyebabkan terganggunya
fungsi-fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme tubuh (Palar, 2008). Logam berat
diserap oleh hewan air melalui insang dan saluran pencernaan karena sifatnya toksik maka logam
ini dapat mematikan (Darmono, 2005). Akumulasi logam berat kromium (Cr) dapat
menyebabkan kerusakan terhadap organ respirasi dan dapat juga menyebabkan timbulnya kanker
pada manusia (Suprapti, 2008).
Ikan nila adalah jenis ikan konsumsi air tawar yang telah lama dibudidayakan di
Indonesia. Ikan nila memiliki beberapa kelebihan dibandingkan ikan budidaya lainnya
diantaranya mudah berkembang biak, pertumbuhan cepat, kandungan protein cukup tinggi,
ukuran tubuh relatif besar, lebih tahan terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan,
harga yang ekonomis, dan memiliki nilai gizi cukup tinggi sebagai sumber protein hewani
(Carman dan Sucipto, 2009).
Pada proses budidaya ikan nila, air yang digunakan untuk memelihara ikan sampai
dipanen kebanyakan berasal dari sungai. Sedangkan sungai sering digunakan sebagai tempat
pembuangan limbah, terutama limbah tekstil yang mengandung logam berat, sehingga ikan
berpotensi terkena dampak pencemaran.
METODE PENELITIAN
A. Alat
Akurium ukuran 64 liter, aerator, timbangan digital, jaring ikan, kotak paraffin, botol
flakon, dissecting kit, gelas benda, gelas penutup, oven, mikrotom, hot plate, pipet tetes, gelas
beker, staining jar, spatula, bak paraffin, kertas label, kapas dan mikroskop.
B. Bahan
Kalium permanganat, ikan nila (berat ±45 -50 gr, umur ±1-2 bulan, panjang ±13-15 cm),
kromium heksavalen dari senyawa kalium dikromat, pellet terapung, organ hati dan insang
ikan nila, larutan bouin, garam fisiologis, alkohol bertingkat (30%, 50%, 60%, 70%, 80%,
90%, 96%, absolut), akuades, toluol, xylol, paraffin, albumin meyer, hematoxylin, eosin,
enthelan, dan gliserin.
C. Cara Kerja
Persiapan Wadah dan Ikan Uji
Akuarium disterilisasi dengan menggunakan Kalium Permanganat dengan dosis 25
ppm dan dibilas dengan menggunakan air bersih sebagai media hidup. Akuarium
kemudian diisi dengan air hingga 36 liter dan dipasang aerator. Setiap akuariumdiisi 10 ekor
ikan uji. Masa pemeliharaan diawali dengan mengadaptasikan ikan terhadap lingkungan
yang baru selama 3 hari. Ikan uji diberi pakan buatan berupa pellet terapung secara ad
libitum yaitu ±2-3% berat tubuh ikan. Setiap pukul 08.00 WIB dan pukul 15.30 WIB.
Uji Toksisitas Letal
Tahap ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas kromium heksavalen yang berasal dari
senyawa kalium dikromat (K2Cr2O7) terhadap hatidan insang ikan nila (Oreochromis
niloticus). Pemaparan kromium dilakukan selama 96 jam. Kosentrasi yang digunakan dalam
penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Wirespathi dkk. (2012)
yaitu, 0 ppm (kontrol), 57,69 ppm, 59,94 ppm, dan 83,20 ppm.
Pembuatan Preparat Histologis Hati, dan Insang
Pengamatan biota ikan yang terkena bahan pencemar, dilakukan pengamatan dengan
menggunakan metode mikroteknik, yaitu dengan cara membuat preparat histologis. Preparat
histologis yang dibuat adalah hati, dan insang ikan. Proses pembuatan preparat histologis
meliputi proses fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, sectioning, affixing,
deparafinasi, staining atau pewarnaan dan mounting (Kiernan, 1990 dalam Setyowati dkk.,
2010).
Pengamatan
Pengamatan preparat dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 4x10,
10x10, dan 40x10.
D. Analisis Data
Data hasil pengamatan adalah preparat histologi hati, dan insang ikan nila (Oreochromis
niloticus). Penelitian ini menggunakan 4 faktor konsentrasi dengan masing-masing
konsentrasi memiliki 10 kali ulangan. Konsentrasi yang digunakan berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan Wirespathi dkk. (2012) yaitu, 0 ppm (kontrol), 57,69 ppm, 59,94 ppm,
dan 83,20 ppm.
Data hasil gambaran organ insang dan hati yang terkontaminasi logam berat kromium
heksavalen (Cr6+) dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu membandingkan struktur
mikroatomi insang dan hati ikan nila (Oreochromis niloticus) antara kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan, untuk mengetahui gambaran histopatologinya. Preparat yang telah
dibuat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 4x10, 10x10, dan 40x10 untuk
mengetahui seberapa besar kerusakannya, kemudian dilakukan penilaian kerusakan hati dan
insang dengan mengacu pada metode Tandjung (1982), Ressang (1986) dan Sudiono (2003)
serta Darmono (2005) dalam Wikiandy dkk. (2013). Menurut metode tersebut, adanya melano
macrophages center (MMC), edema, hiperplasia dan degenerasi digolongkan tingkat
kerusakan ringan. Kongesti dan hemoragi digolongkan pada tingkat kerusakan sedang,
sedangkan nekrosis, antropi, dan fusi lamela digolongkan pada tingkat kerusakan berat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Suhu dan pH
Hasil pengukuran suhu menunjukkan bahwa suhu semakin tinggi apabila konsentrasi
kromium semakin besar. Suhu pada konsentrasi kromium 0 ppm; 57,69 ppm; 59,94 ppm 0 83,20
ppm berturut-turut yaitu 26,8°C; 27,2°C; 27,5°C dan 28,3°C. pH yang diperoleh dari konsentrasi 0
ppm; 57,69 ppm; 59,94 ppm dan 83,20 ppm berturut-turut adalah 8,06; 7,89; 7,81 dan 7,74. pH
semakin rendah apabila konsentrasi kromium semakin besar.
Dari data tersebut, suhu air mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya
konsentrasi kromium heksavalen. Peningkatan suhu tersebut mempengaruhi aktivitas ikan nila,
karena pengaruh suhu mengakibatkan berubahnya kecepatan metabolisme dan mekanisme
pengangkutan ion pada permukaan membran tubuh ikan (Fujaya, 2008).
Suhu air yang meningkat akan mengakibatkan derajat kelangsungan hidup ikan menurun
karena dengan naiknya suhu air akan menurunkan DO pada air dan meningkatkan kecepatan
reaksi kimia (Kristanto, 2002). Penurunan jumlah oksigen terlarut (DO) mengakibatkan bahan
organik dalam air menurun dan mengakibatkan bahan anorganik meningkat. Bahan anorganik
pada penelitian ini adalah kromium heksavalen, sehingga pengaruh naiknya suhu air juga
mengakibatkan ikan kekurangan oksigen, metabolisme terganggu karena kromium heksavalen
yang diberikan akan mudah diabsorbsi oleh tubuh baik kontak langsung dengan insang maupun
melalui saluran pencernaan (Wirespathi et al., 2012). Sehingga pada konsentrasi 83,20 ppm
aktivitas hidup ikan serta penyerapan kromium heksavalen lebih aktif karena suhu meningkat
menjadi 28°C.
Pada penelitian ini nilai pH mengalami penurunan. Pada konsentrasi 0 ppm/kontrol nilai
pH 8,06 sedangkan pada konsentrasi tertinggi 83,20 ppm nilai pH sebesar 7,74. Akan tetapi nilai
pH tersebut masih dalam kisaran normal, karena menurut PP Nomor 82 Tahun 2001 menyatakan
bahwa pH normal berkisar antara nilai 6-9. Hal ini sesuai denga pernyataan Yefrida (2007)
Kromium heksavalen pada senyawa kalium dikromat (K2Cr2O7) merupakan senyawa yang
bersifat asam, maka nilai pH pun turun menuju pH asam sesuai pertambahan kromium
heksavalen.
Tabel 1. Suhudan pH air setelah terpapar kromium heksavalen 96 jam
0
Konsentrasi (ppm)
Suhu ( C)
pH
0
26,833±0,2887
7,9900±0,2646
57,69
27,167±0,2887
7,8900±0,07810
59,94
27,500±0,500
7,8133±0,03215
83,20
28,333±0,5774
7,7400±0,4359
Meningkatnya suhu air yang mengakibatkan dekomposisi bahan organik dan respirasi
dalam perairan yang dapat menurunkan kandunganoksigen terlarut (DO) serta menaikkan
kandungan CO2 yang berpengaruh pada penurunan nilai pH (Erlangga, 2007). Proses penguraian
terjadi secara aerobik sehingga membutuhkan DO. DO dipakai oleh bakteri untuk
mendekomposisi atau mendegradasi bahan-bahan organik sehingga menyebabkan berkurangnya
kadar oksigen terlarut dalam air. Nilai pH air yang semakin lama semakin menurun seperti pada
penelitian ini dikarenakanbertambahnya bahan-bahan organik yang mengalami dekomposisi dan
membebaskan CO2, sehingga semakin asam nilai pH maka aktivitas hidup ikan semakin
terganggu karena sulit untuk mendapatkan oksigen dalam air (Effendi, 2003). pH yang asam
dapat pula memudahkan reaksi kimia pada logam berat untuk terurai menjadi ion-ion. Ion-ion
tersebut akan lebih mudah terserap tubuh pada kondisi pH rendah yang memiliki kandungan
bahan organik yang rendah (Fardiaz, 1992), dikarenakan ion logam berat atau logam non
essensial akan lebih mudah masuk ke dalam sel karena ion logam nonessensial terurai menjadi
seperti ion essensial (Darmono, 2005).
Ketika pada saat interaksi toksikan kromium heksavalen dalam senyawa K 2Cr2O7 yang
memiliki ion Cr6+ (ion kromat) pada media air dengan ikan nila. Ion kromat dapat masuk ke
dalam sel untuk menggantikan posisi ion essensial, maka ion kromat tersebut terurai menjadi ion
Cr3+ yang bersifat stabil dan merupakan ion yang essensial bagi metabolisme sel seperti
meningkatkan kadar glukosa darah, ekskresi NH3-N, dan meningkatkan pertumbuhan (Setyo,
2006). Proses reduksi yang terjadi atas senyawa Cr6+ menjadi Cr3+ dapat berlangsung bila media
perairan berada pada lingkungan yang bersifat sangat asam. Jika tidak dalam keadaan yang
sangat asam, ion Cr6+ akan berikatan dengan ligand binding agar menjadi bentuk yang lebih
mudah terdifusi untuk masuk ke dalam jaringan (Palar, 2008). Pada kondisi suhu air tertinggi dan
nilai pH terendah, maka pada perlakuan tersebutlah aktivitas metabolisme ikan terganggu
(Erlangga, 2007).
Pada penelitian ini, pemaparan kromium heksavalen 96 jam, mengacu pada penelitian
yang telah dilakukan oleh Wirespathi et al.(2012). Data tingkat kelangsungan hidup ikan nila
menurun sesuai naiknya konsentrasi kromium heksavalen. Pada konsentrasi 0 ppm/kontrol
tingkat kelangsungan hidup ikan sebesar 100%, konsentrasi 57,69 ppm sebesar 70%, konsentrasi
59,69 ppm sebesar 50%, dan pada konsentrasi 83,20 ppm sebesar 0%.Semakin besar konsentrasi
logam berat yang dipaparkan pada media pemeliharaan akan berbanding lurus dengan derajat
kelangsungan hidup organisme akuatik yang berada di dalamnya (Lu, 1995).
Paparan kromium heksavalen, dapat menyebabkan ikan menjadi stress. Di dalam upaya
pemulihan diri dari keadaan stress, ikan akan memproduksi hormon kortisol. Namun untuk
jangka panjang kadar kortisol yang tinggi akan berdampak negatif terhadap kesehatan ikan
(Yuniar, 2009). Jika kesehatan ikan menurun maka ikan mengalami stress berkepanjangan
sehingga menurunkan kemampuannya untuk mempertahankan diri dari serangan penyakit. Stress
dapat mengganggu sistem imunitas yang berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup.
Senyawa K2Cr2O7 yang dilarutkan dalam media air akan mengubah kondisi fisika-kimia air dari
kondisi normal. Ion-ion kromium heksavalen terurai karena reaksi kimia yang terjadi akibat
adanya perbedaan kepekatan cairan dalam tubuh ikan nila dengan media air. Cr yang masuk ke
dalam tubuh akan ikut dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Interaksi yang terjadi
antara Cr dengan unsur biologis tubuh menyebabkan terganggunya fungsi tertentu yang bekerja
dalam proses metabolisme karena ion Cr6+ yang telah masuk ke dalam sel seterusnya larut dalam
darah (Palar, 2008).
Logam yang dapat terkakumulasi dalam beberapa jangka waktu menunjukkan bahwa
ion-ion logam telah masuk ke dalam sel, berinteraksi secara kimia, dan dapat menyebabkan
terganggunya fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme tubuh (Palar, 2008).
Kromium heksavalen melewati membran sel melalui empat mekanisme yaitu, difusi pasif lewat
membran, filtrasi lewat pori-pori membran, transport dengan perantaraan carrier, dan
pencaplokan oleh sel (pinositosis) (Lu, 1995).
Kromium heksavalen yang masuk melalui saluran pernafasan (insang) dapat mudah
menembus membran sel karena insang langsung bersentuhan dengan air karena Cr heksavalen
adalah senyawa yang mudah menembus membran sel melalui sistem transportasi anion dan
memiliki kemampuan meminjam atau mengurangi elektron pada Cr (III). Cr (VI) lebih aktif
hingga 1000 kali dibanding Cr (III) terhadap sel hidup (Yilmaz, 2010). Sehingga Cr (VI) lebih
aktif masuk menembus membran sel kemudian merusak sel tersebut. Kemudian Cr (VI)
menembus sel epitel endothelial kapiler darah dan masuk dalam aliran darah hingga akhirnya
ikut dalam proses metabolisme (Connel, 1995).
B. Pengamatan Histopatologi Hati dan Insang Ikan Nila
1. Insang
Data gambaran kerusakan insang ikan nila diperoleh dari pengamatan langsung terhadap
struktur mikroanatomi insang ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan menggunakan mikroskop
cahaya perbesaran 4x10, 10x10, dan 40x10. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Gambar 7.
Tabel 3. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi insang ikan nila setelah perlakuan kromium
heksavalen
Konsentrasi
Perubahan
Tingkat
(ppm)
Histopatologi
Kerusakan
0 (kontrol)
57,69
edema,
ringan
hiperplasia
(tingkat 1)
59,94
edema,
ringan
hiperplasia
(tingkat 1)
83,20
edema,
berat
hiperplasia, fusi
(tingkat 4)
lamella
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua sampel yang diberi perlakuan dengan
menggunakan kromium mengalami kerusakan, meliputi edema, hiperplasia, dan fusi lamela.
Gambaran struktur mikroanatomi insang pada berbagai konsentrasi dengan perbesaran
mikroskop 10x10, 10x40, dan 40x10 dapat dilihat pada Gambar 7.
Struktur mikroanatomi insang ikan nila tanpa pemberian perlakuan logam berat kromium
tampak normal seperti ditunjukkan pada Gambar 7 A1,2 ditandai dengan tampaknya lamela
primer dan lamela sekunder dengan bentuk dan ukuran yang normal. Lamella primer bentuknya
tipis, berupa dua garis melengkung ke belakang dan saling berhubungan. Lamella sekunder
berbentuk setengah lingkaran mengelilingi semua bagian dari lamella primer (Takasima dan
Hibiya 1995).
Pengaruh logam berat kromium dengan konsentrasi 57,69 ppm dan 59,94 ppm
menyebabkan kerusakan mikroanatomi insang ikan berupa edema dan hiperplasia. Seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 7 B dan Gambar 7 C dengan keterangan E dan H. Pada konsentrasi
59,94 ppm, bagian yang mengalami edema terlihat lebih banyak daripada konsentrasi 57,69 ppm.
Pengaruh logam berat kromium dengan konsentrasi 83,20 ppm menyebabkan kerusakan
mikroanatomi insang ikan nila berupa edema dan hiperplasia yang menyebabkan dua lamela
bersatu atau disebut fusi lamela. Edema pada lamela menunjukkan telah terjadi kontaminasi
tetapi belum ada pecemaran (Gambar 7 B, C, dan D). Edema merupakan pembengkakan sel atau
penimbunan cairan secara berlebihan di dalam jaringan tubuh (Laksman, 2003).
Lp
Lp
E
H
Ls
Ls
A1 perbesaran 40x
A2 perbesaran 400x
B perbesaran 400x
E
E
H
FL
C perbesaran 400x
D perbesaran 400x
Gambar 7.Struktur mikroanatomi insang ikan nila pada perlakuan kromium dengan berbagai
konsentrasi
Keterangan :
A1,2
: Kromium 0 ppm
E
: Edema
B
: Kromium 57,69 ppm
H
: Hiperplasia
C
: Kromium 59,94 ppm
Lp
: Lamela primer
D
: Kromium 83,20 ppm
Ls
: Lamela sekunder
FL
: Fusi lamela
Terjadinya edema dalam insang ikan nila kemungkinan juga disebabkan adanya kontak
langsung antara zat toksik yang dalam penelitian ini berupa kromium dengan sel epitel di insang
yang dapat mengakibatkan terjadinya iritasi. Iritasi pada jaringan epitel menyebabkan
terganggunya transportasi ATP bebas dan membuat sel tidak mampu memompa ion natrium
dengan cukup sehingga ion-ion natrium terakumulasi di dalam sel. Kenaikan konsentrasi ion
natrium di dalam sel mengakibatkan masuknya air ke dalam sel sehingga terjadi pembengkakan
atau degenerasi (Guyton, 1997).
Edema pada jaringan insang biasa dijumpai pada lamela sekunder. Menurut Hibiya dan
Fumio (1995), edema adalah suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam rongga-rongga
tubuh atau di dalam ruang-ruang interstitial dari jaringan dan organ yang dapat mengakibatkan
kebengkakan. Edema mengindikasikan adanya suatu ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau
kesalahan pada tekanan osmotis darah, peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, limfe,
obstruksi atau disfungsi ginjal. Kondisi-kondisi ini dapat dihubungkan dengan bahan-bahan
toksik kimia, virus, bakteri dan penyakit parasitik.
Pada jaringan insang terdapat pembengkakan/perlekatan lamela atau dinamakan
hiperplasia (Gambar 7 B, C) yang merupakan tingkatan lanjut dari edema. Menurut Ersa (2008)
hiperplasia sel dapat terjadi bersamaan dengan peningkatan sel-sel penghasil mukus yang
berfungsi melapisi permukaan insang. Pada keadaan normal mukus yang dihasilkan berupa
glikoprotein basa yang berfungsi sebagai pelindung pertama, dengan adanya gangguan berupa
parasit atau zat toksik maka terjadi proliferasi sel-sel penghasil mukus sebagai bentuk reaksi
pertahanan. Bentuk tidak normal dari sel-sel lamela ini juga dapat terjadi akibat reaksi terhadap
gangguan kimia misalnya perubahan pH yang asam di perairan sehingga terjadi penumpukan gas
karbondioksida (CO2), amonia (NH3) dan zat-zat atau gas lain sisa metabolisme atau karena
adanya cemaran pada air yang berasal dari lingkungan perairan seperti sampah atau buangan
industri.
Lamela sekunder insang mengalami hiperplasia ditandai dengan banyaknya proliferasi
pada sel epitel akibatnya lamela sekunder mengalami penebalan. Hiperplasia terjadi pada tingkat
iritasi dan biasanya disertai peningkatan jumlah sel-sel mucus di dasar lamela dan
mengakibatkan fusi lamela (Gambar 7 D). Ruang interlamela yang merupakan saluran air dan
ruang produksi mucus dapat tersumbat akibat hiperplasiasel epitel yang berasal dari filamen
primer. Terjadinya fusi lamella diakibatkan dari sel mucus yang berada di dasar lamela
meningkat jumlahnya sehingga terjadi penggabungan antar lamela sekunder dan terjadi edema
sel.
2. Hati
Data gambaran kerusakan hati ikan nila diperoleh dari pengamatan langsung terhadap
struktur mikroanatomi hati ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan menggunakan mikroskop
cahaya perbesaran 4x10, 10x10, dan 40x10. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Gambar 8.
Tabel 4. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi hati ikan nila setelah perlakuan
kromium heksavalen
Konsentrasi Cr
Perubahan
Tingkat
(ppm)
Histopatologi
Kerusakan
0 (kontrol)
57,69
melano macrophages
Ringan
center, fibrosis
59,94
melano macrophages
Ringan
center, degenerasi
hidropsis
83,20
melano macrophages
Sedang
center, kongesti, fibrosis,
degenerasi lemak
He
MMC
Vs
NHe
Si
A1 perbesaran 40x
A2 perbesaran 400x
B1 perbesaran 100x
Vs
F
MMC
MMC
B2 perbesaran
400x
C1perbesaran 100x
C2 perbesaran 400x
DL
MMC
Vs
K
K
D1 perbesaran 100x
D2 perbesaran 400x
Gambar 8.Struktur mikroanatomi hati ikan nila pada perlakuan kromium dengan berbagai
konsentrasi
Keterangan :
A1,2
: Kromium 0 ppm
DH : Degenerasi Hidropsis
B1,2
: Kromium 57,69 ppm
DL : Degenerasi Lemak
C1,2
: Kromium 59, 94 ppm
K
: Kongesti
D1,2
: Kromium 83, 20 ppm
Si
: Sinusoid
He
: Hepatosit
F
: Fibrosis
MMC
: Melano Macrophages Center NHe : Nukleus Hepatosit
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa semua sampel yang diberi perlakuan dengan
menggunakan kromium mengalami kerusakan, meliputi melano macropages center, fibrosis,
degenerasi hidropsis, dan kongesti. Gambaran struktur mikroanatomi hati pada berbagai
konsentrasi dengan perbesaran mikroskop 4x10, 10x10, dan 40x10 dapat dilihat pada Gambar 8.
Struktur mikroanatomi hati ikan nila tanpa pemberian kromium tampak normal seperti
yang terlihat pada Gambar 8 A1,2 ditandai dengan terlihatnya sel hepatosit, inti sel atau nukleus
hepatosit, sinusoid, dan vena sentralis sebagai pusat lobulus yang berbentuk bulat.
Pengaruh kromium dengan konsentrasi 57,69 ppm
menyebabkan kerusakan
mikroanatomi hati berupa melano macrophages center (MMC), seperti terlihat pada Gambar 8
B1,2,. MMC merupakan tahapan dalam reaksi peradangan. Menurut Agius dan Robert (1981)
dalam Ersa (2008) MMC adalah kumpulan makrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan
ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid
kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan. Fungsi melanin di dalam jaringan tidak
jelas. Hal ini mungkin didasarkan atas material radikal bebas yang stabil dari melanin dan
kemampuannya untuk menetralkan reaksi radikal bebas. Menurut Ellis (1981) dalam Ersa
(2008), melanin pada organ viscera dapat sebagai alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal
bebas. Pada organisme yang lebih tinggi, melanin memiliki peran yang luas dalam perlindungan
melawan invasi parasit tertentu pada jaringan dan juga pertahanan melawan mekanisme yang
berpotensi menimbulkan bahaya pada diri sendiri, selama pengaktifan sistem pertahanan dalam
tubuh itu sendiri.
Fibrosis terjadi karena akibat dari peradangan akut karena sel kehilangan kemampuan
dalam regenerasi yang menyebabkan terjadinya proliferasi fibroblast sehingga menghasilkan
serabut kolagen yang berlebih (Anderson, 1995). Fibrosis ditandai oleh kolagen lebih tebal
(Gambar 8 B2), dimana serabut halus kolagen ini berperan untuk menyokong sinusoid dan
hepatosit. Jika fibrosis ini meluas kesemua bagian hati maka akan terjadi sirosis (pemadatan
organ hati) yang menyebabkan kegagalan fungsi hati sehingga dapat menyebabkan kematian.
Hal ini dikarenakan terjadinya hipertensi vena porta yang dapat mengganggu aliran darah
sehingga akan menghambat suplai nutrien dan pertukaran oksigen.
Pengaruh kromium dengan konsentrasi 59,94 ppm menyebabkan kerusakan
mikroanatomi hati ikan nila berupa melano macrophages center (MMC), seperti yang terlihat
pada Gambar 8 C1,2. Terjadinya MMC pada konsentrasi 59,94 ppm hampir sama dengan
konsentrasi 57,69 ppm, hal ini dikarenakan konsentrasi kromium yang digunakan hampir sama
sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga hampir sama. Selain MMC, terjadi kerusakan lain
yaitu degenerasi hidropis.
Degenerasi dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur
dan fungsi normal, biasanya progresif, yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan
neoplasia. Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum
kematian sel (Spector dan Spector, 1993). Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi
mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini biasa disebut
dengan degenerasi (McGavin dan Zachary, 2007).
Degenerasi hidropis adalah pembengkakan sel hati stadium lanjut dimana terlihat
adanya ruang-ruang kosong di dalam sitoplasma dari sel dengan vakuola tampak membesar
sehingga mendesak nukleus ke tepi sel (Gambar 8 C2). Menurut Jones et al., (1997) degenerasi
hidropis adalah terjadinya peningkatan jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma
dan organel sel tampak membengkak dan bervakuola (Gambar 8 C 2). Paparan zat toksik
menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Menurut Price dan Wilson
(1995) untuk mempertahankan kekonstanan lingkungan internalnya, suatu sel harus
menggunakan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari sel. Degenerasi hidropis
umumnya disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia
(Underwood, 1992). Menurut Rusmiati dan Lestari (2004) gangguan metabolisme sel biasanya
didahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh
organisme. Dalam hal ini kromium sebagai agen toksik dapat mempengaruhi metabolisme di
dalam tubuh organisme dengan cara berikatan dengan sel darah merah, dimana sel darah merah
berfungsi untuk mengikat oksigen yang berperan dalam proses metabolisme.
Pengaruh kromium dengan konsentrasi 83,20 ppm menyebabkan kerusakan
mikroanatomi hati ikan nila berupa melano marcophages center (MMC) seperti yang terlihat
pada Gambar 8 D1 dengan keterangan MMC. Kemudian juga terdapat degenerasi lemak
(Gambar 8 D3) dengan keterangan DL, dan kongesti (Gambar 8 D4) dengan keterangan K.
Terjadinya MMC pada konsentrasi 83, 20 ppm terlihat lebih banyak daripada konsentrasi 57,69
ppm dan 59,94 ppm, hal ini dikarenakan konsentrasi yang digunakan jauh lebih tinggi dari
sebelumnya. Selain itu juga terdapat kerusakan lain berupa degenerasi lemak (Gambar 8 D4).
Degenerasi lemak terjadi sebagai respon lanjut dari degenerasi hidropis, dimana sel tidak
mampu melakukan metabolisme lemak dengan baik sehingga terjadi akumulasi lemakpada sel.
Akumulasi lemak dalam sel terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam sel
hati, peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat zat toksik yang merusak jalur
metabolisme lemak atau hipoksia yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak
(Cheville, 1999).
Sel-sel yang telah mengalami degenerasi, pada tahap selanjutnya akan mengalami
kongesti. Menurut Rusmiati dan Lestari (2004), gangguan metabolisme sel biasanya didahului
oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh. Apabila sel tidak
dapat beregenerasi maka terdapatnya edema ataupun hiperplasia menyebabkan salah satu bagian
membengkak dan yang lainya menyempit sehingga peredaran darah tersumbat, sehingga darah
menumpuk pada salah satu daerah tertentu atau dinamakan kongesti.
Menurut Saleh (1979), kongesti adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya
volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh (Gambar
D4). Kemudian, Harada et al. (1999) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem
sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadinya kongesti
diakibatkan antara lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran
darahnya.
KESIMPULAN
1. Kerusakan insang pada konsentrasi 57,69 ppm dan 59,94 ppm berupa edema,dan
hiperplasia, pada konsentrasi 83,20 ppm berupa edema, hiperplasia, dan fusi lamella.
2. Kerusakan hati pada konsentrasi 57,69 ppm berupa melano macrophages center (MMC),
dan fibrosis, pada konsentrasi 59,94 ppm berupa melano macrophages center (MMC), dan
degenerasi hidropis, kemudian pada konsentrasi 83,20 ppm kerusakan berupa melano
macrophages center (MMC), fibrosis, kongesti dan degenerasi lemak.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, P.S.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa: Peter
Anugerah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran
Carman, O dan A. Sucipto. 2009. Panen Nila 2,5 Bulan. Penebar Swadaya : Jakarta
Cheville, N.F. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa, USA. Iowa State University
Press.
Connell, D.W. 1995. Bioakumulasi Senyawaan Xenobiotik. Jakarta: UI Press.
Darmono. 2005. Logam Berat Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit UI-Press. Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan IPB. Bogor : Kanisius
Erlangga. 2007. Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar Di Provinsi Riau Terhadap Ikan
Baung (Hemibagrus nemurus). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ersa, I.M. 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Usus Dan Otot Pada Ikan Mujair
(Oreochromis mossambicus) Di Daerah Ciampea Bogor.Skripsi. Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta : Kanisius.
Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta
Guyton, A.C. dan J.E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta .
Harada T, Akiko E, Gary AB, Robert RM. 1999.Liver and Gallbladder. Di dalam: Maronpot RR,
editor. Pathology of the Mouse: Reference and Atlas. United States od America: Cache
River Press.
Hibiya T dan Fumio T. 1995.An Atlas of Fish Histology: Normal and Pathological Features.
Edisi Kedua. Japan. Kodansha Ltd.
Jones, T.C., Ronald D.H., dan Norval W.K. 1997. Veterinary Pathology. 6th Ed. Baltmore :
Blackwell Publishing.
Khaerani, M., Azzam, K., Soffian dan Soeleman.2007.Penentuan Kandungan Unsur Krom dalam
Limbah Tekstil dengan Metode Analisis Pengaktifan Neuron.Laboratorium Fisika Atom
dan Inti.Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Diponegoro dan Badan Tenaga Nuklir
Nasional Yogyakarta.Yogyakarta.
Kristanto. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: ANDI Publishing.
Laksman, H.T. 2003.Kamus Kedokteran. Jakarta : Djambatan
Lu, C. F. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia Press
McGavin M.Donald and Zachary, James . 2007. Pathologic Basic o Veterinary Disease. China:
Mosby, Inc.
Memon, JR., Saima Q. Memon, M.I. Bhanger and M.Y. Khuhawar. 2009. Use OF Modified
Sorbent for the Separation and Proconcentration of Chromium Species from Industrial
Waste Water. Journal of Hazardous Materials.163 (2) : 511-516.
Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.
Price, S. A. dan L. M. Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses Penyakit
(diterjemahkan oleh Adji Dharma). EGC. Jakarta
Rusmiati dan A. Lestari. 2004. Struktur Histologis Organ Hepar dan Ren Mencit (Mus Musculus
L.) Jantan Setelah Perlakuan dengan Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan
L.).Bioscientiae. I (1) : 23-30
Saleh S. 1979. Patologi Umum. Di dalam: Himawan, editor. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setyo BP. 2006. Efek Konsentrasi Kromium (Cr3+) dan Salinitas Berbeda Terhadap Efisiensi
Pemanfaatan Pakan Untuk Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromisniloticus).[Tesis].
Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Setyowati, A., D. Hidayati dan N. Abdulgani. 2010. Studi Histopatologi Hati Ikan Belanak
(Mugil cephalus) di Muara Sungai Alo Sidoarjo.Program Studi Biologi, Fakultas MIPA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Suprapti, N. H. Kandungan Chromium pada Sedimen dan Kerang Darah (Anadara granosa) di
Wilayah Pantai Sekitar Muara Sungai Sayung, Desa Morosari Kabupaten Demak Jawa
Tengah. Bioma J. 10 (2) : 53-56.
Spector, WG, Spector TD. 1993. Pegantar Patlogi Umum. Edisi Ke-3. Soetjipto NS,
penerjemah. Yogyakarta: Univesitas Gadjah Mada Press
Underwood, A.L. 1992. Analisa Kimia Kuantitatif, edisi kelima. Erlangga : Jakarta
Wikiandy, N., Rosidah dan Titin, H. 2013.Dampak Pencemaran Limbah Tekstil Terhadap
Kerusakan Struktur Organ Ikan yang Hidup di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum
Bagian Hulu.Jurnal Perikanan dan Kelautan. 4(3) : 215-225
Wirespathi, E. AMO,.Raharjo dan W. Budijastuti. 2012. Pengaruh Kromium Heksavalen (VI)
Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus). LenteraBio.
1(2) : 75-79
Yefrida. 2007. Regenerasi dan Pemanfaatan Kembali Serbuk Gergaji Sebagai Penyerap Ion
Logam Cd, Cu dan Cr dalam Air. Laporan AkhirPenelitian BBI. Jurnal Dampak.
Universitas Andalas.Sumatera Barat
Yilmaz, S. Cemal Turan and Tahsin Toker. 2010. Uptake and Distribution of Hexavalent
Chromium in Tissue (Gill, Skin, And Muscle) of A Freshwater Fish Oreochromis aureus.
Journal of Environmental Chemistry and Ecotoxicology. 2(3): 28-33
Yuniar, V. 2009.Toksisitas Merkuri (Hg) Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan,
Gambaran Darah dan Kerusakan Organ Pada Ikan Nila Oreochromis niloticus. Skripsi.
Departmen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Download