Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik

advertisement
DEMAM TYPHOID
Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi.
Penyakit ini ditandai oleh :
1. Panas berkepanjangan.
2. Di topang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endocardial.
3. Invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam cell-cell mononuclear phagocyt dari
liver, lympha, kelenjar lympha usus dan Peyer's patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah sebagai berikut :
Demam Parathypoid
Secara pathologi maupun klinis adalah sama dan biasanya lebih ringan, penyakit ini
disebabkan oleh species Salmonella enteritidis. Ada 3 Bio serotype Salmonella enteritidis
yaitu Bioserotype para typhi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S.
Hirschfeldii).
Demam Enteric.
Dipakai baik pada demam typhoid maupun demam paratyphoid.
Pada tahun 1829 orang Perancis yang bernama Pierre Louis mengeluarkan istilah
"typhoid" yang berarti seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata
Yunani "Typhos". Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami panas disertai
kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari
Philadelphia dapat membedakan typhoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth
menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar
lymphamesenteric dan lympha. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan salmonella
typhi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara. Pada tahun
1896 Widal mendapatkan salah satu metoda untuk diagnosis penyakit demam typhoid.
Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinasi
terhadap demam typhoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi
kuman hidup dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi VI capsul polysacharida. Pada
tahun 1948 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa Chloramphenicol adalah
efektif untuk pengobatan penyakit demam typhoid.
Demam typhoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting pada
kebanyakan negara-negara sedang berkembang. Besarnya angka-angka pasti kasus
demam typhoid di dunia ini sangat sukar menentukannya, sebab penyakit ini dikenal
mempunyai gejala yang spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan incidencenya
adalah dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan sampai 900/100.000/tahun di Asia.
Umur penderita yang terkena di negara Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka-angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan
dari Amerika Selatan.
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi dengan salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui secret saluran napas, urine dan faeces dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada "rawsewage", dan mudah
dimatikan dengan Chlorinasi dan pasteurisasi (Temp 63oC).
Terjadinya penularan dengan salmonella typhi sebagian besar adalah karena tercemarnya
minuman/makanan oleh kuman yang berasal dari penderita/pembawa kuman, biasanya
keluar bersama-sama dengan faeces. Dapat juga terjadi transmisi secara transplacental
dari seorang ibu hamil yang berada dalam keadaan bacteremia kepada bayinya. Pernah
dilaporkan juga terjadinya transmisi fecal oral dari seorang ibu pembawa kuman pada
saat proses kelahirannya kepada bayinya. Pernah juga dilaporkan adanya wabah demam
typhoid dimana sumber kumannya adalah laboratorium penelitian.
S. typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri gram negatif,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora dan fakultative anaerobe.
Mempunyai somatic antigen (O) yang terdiri dari oligo sacharide, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari poly sacharida.
Mempunyai macro molecular lipopoly sacharida komplek yang membentuk lapis luar
dari dinding cel dan dinamakan endotoxin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotika.
Diagram skematis sebuah cell salmonella typhose, khususnya lokasi antigen-antigen H
(Flagella), O (Salmonella) dan VI (K envelope).
(Dari Thompson BM, Cherry WB, Moody MD, J.Bacteriol 74 : 525, 1957).
Route Bacteri
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (PH < 2) banyak
bakteri yang mati. Yang masih hidup akan mencapai usus halus, dan di usus halus
tepatnya di Ileum (?), Yeyunum (?) akan menembus dinding usus. Mereka ada yang
mencapai lymphoid fallicle usus halus, ada yang terus ikut aliran ke kelenjar lymphe
mesenterica bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di
organ liver dan lympha Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam cell phagocyte
mononuclear di dalam lymphoid fallicle, kel. lympha mesenterica, liver dan lympha.
Setelah melaui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta response immunologi host maka salmonella typhi akan
ke luar dari habitatnya dan melalui ductus thoracicus akan masuk circulasi sistemik. Dan
dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat-tempat
favorabel salmonella typhi adalah liver, lympha, sumsum tulang, kandung empedu dan
Peyer's patch dari ileum terminal.
Peran Endotoxin
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam typhoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi menstimulasi
macro¬phage didalam liver, lympha, lymphoid fallicle usus halus dan kelenjar lymphe
mesenterica untuk memproduksi cytokine dan zat-zat lain. Produk dari macrophage inilah
yang dapat menimbulkan nekrosis cell, instabilitas vaskuler, panas, depresi sumsum
tulang, kelainan-kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem immunologi.
Respon Immunologi
Pada demam typhoid terjadi response immunologi humoral maupun cellular baik
di tingkat local (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme
immunologi ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella
typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa immunitas cellular lebih
berperan.
Gejala-gejala
Pada anak-anak periode inkubasi demam tifoid antara 5 - 40 hari dan kebanyakan
antara 10 - 14 hari. Gejala klinis demam typhoid sangat bervariasi, dari yang ringan dan
tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus mengalami
rawat tinggal di rumah sakit dengan kemungkinan komplikasi macam-macam. Tentang
bervariasinya gejala ini disebabkan faktor strain salmonella, status nutrisi dan imunologis
host serta perbedaan dimensi waktu sakit penderita pada saat datang ke institusi
pelayanan kesehatan.
Semua penderita demam typhoid selalu diawali dengan gejala panas. Pada era
pemakaian antibiotika belum sebebas sekarang, penampilan panas pada penderita demam
typhoid mempunyai istilah khusus yaitu "step ladder temperature chart" yang ditandai
dengan panas yang timbulnya insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu panas akan bertahan
tinggi dan pada minggu ke empat panas akan turun perlahan secara lysis, kecuali apabila
terjadi fokus-fokus infeksi seperti cholecystitis, abces di soft tissue maka penderita tetap
panas. Banyak orang tua penderita demam typhoid melaporkan bahwa panas lebih tinggi
saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada saat panas sudah tinggi, maka pada penderita demam typhoid bisa didapatkan
gejala-gejala pada sistem syaraf central. Ada yang berupa kesadaran yang berkabut atau
delirium atau obtundasi, dan ada juga yang berupa penurunan kesadaran mulai dari yang
ringan sampai dengan yang berat.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya panas adalah sakit kepala, malaise,
anorexia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada penderita yang
berpenampilan klinis berat maka pada saat panas tinggi akan tampak toksik/sakit berat.
Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam typhoid yang datang dengan gambaran
hypovolemik shock sebagai akibat kurangnya intake cairan dan makanan.
Gejala gastrointestinal pada penderita demam typhoid juga sangat bervariasi. Ada
yang mengeluh obstipasi, ada yang dengan obstipasi kemudian disusul episode diare,
pada sebagian penderita lidah dapat nampak kotor dan putih di tengah sedang tepi dan
ujungnya kemerahan.Pada kebanyakan penderita dapat dijumpai adanya meteorismus,
dan berbeda dengan buku-buku bacaan barat, pada anak Indonesia hepatomegali lebih
sering dijumpai dibandingkan dengan sple-nomegali.
"Rose Spot" suatu rash maculopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2 4m yang biasanya didapatkan pada daerah abdomen, thorax, extremitas dan punggung
pada orang-orang kulit putih, tidak pernah dijumpai pada anak Indonesia.
Bronchitis banyak dijumpai pada penderita demam typhoid sehingga buku-buku lama
bahkan menganggap sebagai bagian dari penyakit demam typhoid. Brady Cardy relatif
jarang dijumpai pada penderita anak.
Pada pengamatan selama 6 tahun (1987 - 1992) di Lab./UPF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya terha¬dap 434 anak berumur antara 1 s/d 12 tahun
dengan diagnosis demam typhoid atas dasar ditemukannya Salmonella typhosa dalam
darah, dimana 85% penderita sudah mendapat antibiotika sebelum masuk rumah sakit
dan tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit dari penderita, maka didapatkan
keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut; Anoreksia (88%), nyeri perut
(49%), Vomit (46%), Obstipasi (43%), Diare (31%) dan Panas (100%).Delirium (16%),
apati (5%), somnolence (5%), sopor (1%), lidah kotor (54%), meteorismus (66%),
hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).
Komplikasi
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 1/2 - 3%, sedang perdarahan
usus pada 1 - 10% penderita demam tifoid anak. Komplikasi ini biasanya terjadi pada
minggu III sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu I. Penampilan klinis
komplikasi ini biasanya didahului dengan turunnya temperatur, tekanan darah dan
meningkatnya frekwensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen
yang biasanya lokal pada kwadrant bawah kanan akan tetapi dilaporkan juga ada yang
difus. Kemudian akan disusul dengan muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance
muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Pernah
dilaporkan bahwa ada penderita dengan komplikasi perforasi usus halus yang manifestasi
klinisnya sangat tidak jelas.
Pada akhir-akhir ini dilaporkan banyaknya timbul komplikasi neuropsykiatri.
Sebagian besar penderita manifestasi klinisnya adalah gangguan kesadaran, dapat berupa
disorientasi, delirium, obtundansi, stupor bahkan coma. Ada yang mengaitkan
manifestasi klinis ini dengan prognosis yang buruk pada penderita. Komplikasi di bidang
neurologi yang lain adalah cerebral thrombosi, aphasia, acute cerebellar ataksia, tuli,
tranverse myelitis, neuritis perifer maupun cranial, meningitis, en-cephalomyelitis,
Guillaim-Barre syndrome. Walaupun macam-macam komplikasi neurologi dapat terjadi,
akan tetapi jarang dilaporkan adanya gejala sisa yang permanent (sequelae).
Myocarditis dapat timbul, dengan manifestasi klinis berupa arrhytmia, perubahan
ST-T pada EKG, shock cardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.
Asymptomatic hepatitis typhosa sering dijumpai pada penderita demam tifoid dengan
ditandai naiknya nilai transaminase yangg tidak mencolok. Icterus dengan atau tanpa
disertai kenaikan nilai transaminase, maupun cholecystitis akut juga dapat dijumpai
sedang cholecystitis kronis yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid
dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman.
Sebagian penderita demam tifoid mengeluarkan bakteri salmonella typhosa melalui urine
pada saat sakit maupun setelah sembuh.
Cystitis bahkan pyelonephritis dapat juga merupakan komplikasi demam tifoid.
Transient protein uria sering dijumpai, sedang glomerulo nephritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun nefrotic syndrome mempunyai prognosis
yang buruk.
Pneumonia adalah bentuk komplikasi yang sering dijumpai pada demam tifoid.
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman salmonella typhosa sendiri, tapi seringkali
sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.
Bentuk-bentuk komplikasi lain yang dapat dijumpai adalah thrombocytopenia,
DIC, HUS, fokal infeksi di sembarang lokasi sebagai akibat bacteremia seperti infeksi
pada tulang, otak, liver, lympha, otot, kelenjar ludah, persendian dsb.
Relaps yang didapat pada 5 sampai 10% penderita demam tifoid saat era preantibiotika,
sekarang sudah lebih jarang ditemukan. Kalau terjadi relaps, panas kembali timbul
seminggu setelah penghentian antibiotika. Akan tetapi pernah juga dilaporkan relaps
timbul pada stadium convalesence, pada saat penderita sudah tidak panas akan tetapi
gejala yang lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotika. Biasanya relaps
lebih ringan dibanding gejala demam tifoid sebelumnya.
Pada pengamatan penderita demam tifoid di Lab./UPF I.Kes.Anak FK. Unair RSUD Dr.
Soetomo angka kejadian komplikasi adalah sebagai berikut kejang (0,3%),
encephalopathy (11%), shock (10%), carditis (0,2%), pneumonia (12%), ileus (3%),
melena (0,7%), icterus (0,7%).
Gambaran Laboratorium
Gambaran darah tepi Anemia normochromic, normocytic mungkin sebagai akibat
hilangnya darah dari usus atau supresi toxic pada sungsum tulang. Hitung leukosit
biasanya rendah, tapi jarang di bawah 3000/mm3. Sedang apabila abses pyogenik terjadi
maka leukosit dapat meningkat sampai 20.000 - 25.000/mm3. Trombocitopenia sering
dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.
Berdasarkan gejala klinis berupa panas, gangguan gas¬trointestinal dan mungkin disertai
perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis
suspek demam tifoid.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhi dari darah penderita. Pada dua
minggu pertama sakit, kemungkinan menangkap S.typhosa dari dalam darah penderita
lebih besar. Kultur yang dilakukan pada urine dan faeces penderita, kemungkinan
positipnya lebih kecil. Kultur spesimen yang berasal dari aspirasi sungsum tulang
mempunyai sensitivitis tertinggi, hasil positip didapat pada 90% kasus. Akan tetapi
prosedur ini sangat invasive, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada
keadaan tertentu dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum
dan memberikan hasil yang cukup bagus.
Widal test suatu metode serologi yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap
antigen somatik (O), Flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam
tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai test
widal "slide aglutination" (yang prosedur pemeriksaannya membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positip 96%. Artinya apabila hasil test positip, 96%
penderita betul-betul sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatip tidak
menyingkirkan. Yang banyak dianut adalah dengan pemeriksaan aglutinasi, yang
membutuhkan waktu sehari, apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat dibuat. Aglutinin H
banyak dikaitkan dengan post imunisasi atau infeksi masa lalu, sedang Vi aglutinin
dipakai pada deteksi pembawa kuman S.typhi (carrier). Banyak peneliti mengemukakan
bahwa test serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positip palsu pada
daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatip palsu pada kasus demam tifoid yang
terbukti kultur darahnya positip.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis test untuk memberikan
deteksi antibodi terhadap S.typhi dalam serum, antigen terhadap S.typhi dalam darah,
serum dan urine bahkan DNA S.typhi dalam darah dan faeces. Walaupun laporan-laporan
pendahuluan menunjukkan hasil yang bagus tapi sampai sekarang tidak salah satupun
dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya test yang dapat
menggantikan test serologi widal.
Diagnosa Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang secara klinis dapat
merupakan diagnosis banding yaitu influenza, gastroenteritis, bronchitis dan
bronchopneumonia.
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti
tuberculosis, infeksi jamur sistemik, brucellosis, tularemia, shigellosis dan malaria juga
perlu dipikirkan.
Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, lymphoma dan Hodgkin disease dapat
sebagai diagnosis banding.
Terapi / Pengobatan
Sebagian besar penderita demam tifoid dapat diobati di rumah dengan bedrest,
isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotika,
sedang untuk kasus yang tampil berat harus di rawat di rumah sakit agar pemenuhan
cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observa¬si kemungkinan timbul komplikasi
dapat dilakukan dengan seksama.
Chloramphenicol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 50 - 100mg/Kg BB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian selama 10 sampai 14 hari, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau
komplikasi, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari. Salah satu kelemahan
Chloramphenicol adalah tingginya angka relaps dan status pembawa kuman.
Ampicillin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila
dibandingkan dengan Chloramphenicol. Dosis yang dianjurkan adalah 100 - 200mg/Kg
BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara suntikan intravena.
Ammoxicillin dengan dosis 100mg/Kg BB/hari dalam 4x pemberian memberikan
hasil yang setara dengan Chloramphenicol.
Kombinasi Trimethopin Sulfa methoxazole memberikan hasil yang kurang baik
dibanding Chloramphenicol.
Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap
Chloramphenicol.
Ceftriaxone dan Cefoperazone dapat memberikan angka kesembuhan 90% dan
relaps 0 - 4%.
Pada kasus dengan tampilan yang berat seperti delirium, koma dan atau renjatan,
dexamethasone dosis tinggi disamping antibiotika yang memadai dapat menurunkan
angka kematian.
Penderita demam tifoid dengan komplikasi perdarahan usus kadang memerlukan
transfusi darah. Sedang apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum
dan udara bebas dalam foto abdomen dapat menegakkan diagnosis. Laparatomi yang
segera dilakukan disertai penambahan antibiotika gentamicin dapat memperbaiki
prognosis.
Penderita demam tifoid yang mengalami relaps obati sebagai penderita demam tifoid
serangan yang pertama.
Sedang kasus pembawa kuman kronis dapat diobati dengan memakai
Ampicllin/Amoxicillin dengan dosis 100mg/Kg BB/hari ditambah dengan pro-benecid.
Apabila didapatkan batu kandung empedu atau cholecystitis, maka colecystectomi dapat
menghilangkan status pembawa kuman.
Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk memperkecil kemungkinan terkena demam
tifoid, maka setiap individu harus memperhatikan kwalitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi.
Salmonella typhi didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57oC untuk beberapa
menit atau dengan proses iodinasi/chlorinasi. Untuk makanan pemanasan setinggi 57oC
selama beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella typhi.
Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan
sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap
hygiene pribadi.
Dikatakan bahwa imunisasi dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
"Vaksin Demam Tifoid"
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid yaitu yang berisi
kuman yang dimatikan, kuman yang masih hidup dan komponen Vi dari Salmonella
Typhi.
Vaksin yang berisi kuman Salmonella Typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang
dimatikan ("TAB Vaccine") sudah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian
subkutan dan hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping memberikan
efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering.
Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemah¬kan (Ty 21a) dengan
cara pemberian per oral. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang
berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit.
Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhosa diberikan secara parenteral
memberikan perlindungan 60 - 70%.
1. Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC. Ty- phoid Fever. Dalam :
Nelson Textbook of Pediatrics. 14 Philadelphia : WB Saunders Co, 1992 : 731 - 34.
2. Butler T. Typhoid Fever. Dalam : Warren K.S., Mahmoud A.F Eds. Tropical and
Geographical Medicine Edisi 2 New York Mc Graw-Hill Information Services Co 1990,
753 - 57.
3. Hayani C.H, Pickering LK. Salmonella Infections. Dalam : Feigin RD, Cherry JD. Eds.
Textbook of Pediatric Infectious Diseases. Edisi 3 Tokyo : WB Saunders Co, 1992 : 620 33.
4. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT Eds. Hunter's Tropical Medicine.
Edisi 7 Philadelphia WB Saunders Co 1991 : 344 - 58.
Download