BAB II LANDASAN TEORI II.1 Manajemen Laba II.1.1 Pengertian

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1
Manajemen Laba
II.1.1 Pengertian Manajemen Laba
Salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan bisnis adalah laba yang dihasilkan perusahaan.
Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial
Accounting Concept (SFAC) Nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan
keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena
memiliki nilai prediktif. Hal tersebut membuat pihak manajemen berusaha
untuk melakukan manajemen laba agar kinerja perusahaan tampak baik oleh
pihak eksternal.
Manajemen laba (earning management) didefinisikan oleh beberapa
peneliti akuntansi secara berbeda-beda sbb :
1. Widyaningdyah (2001 :92) membagi definisi manajemen laba menjadi dua
yaitu:
14 15 a.
Definisi sempit
Earning management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan
metode akuntansi. Earning management dalam artian sempit ini
didefinisikan sebagai perilaku manager untuk “bermain” dengan
komponen discretionary accruals dalam penentuan besarnya laba.
b.
Definisi luas
Earning
management
merupakan
tindakan
manajer
untuk
meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas unit
dimana
manager
bertanggung
jawab,
tanpa
mengakibatkan
peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit
tersebut.
2. Healy dan Wahlen (1999: 368) memberikan definisi manajemen laba yang
ditinjau dari sudut pandang penetap standar, yaitu manajemen laba terjadi
ketika para manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan
keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan
sehingga menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi
yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang
menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu.
3. Schipper (1989: 92) mengartikan manajemen laba dari sudut pandang fungsi
pelaporan pada pihak eksternal, sebagai disclosure management, dalam
pengertian bahwa manajemen melakukan intervensi terhadap proses
16 pelaporan keuangan kepada pihak eksternal dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan pribadi.
4. Menurut Assih dan Gundono (2000: 37) mengartikan manajemen laba sebagai
suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Accepted
Accounting Pincipples (GAAP) untuk mengarah pada suatu tingkat yang
diinginkan atas laba yang dilaporkan.
Meskipun sudut pandang definisi manajemen laba yang telah
dikemukakan oleh beberapa peneliti akuntansi berbeda, namun pada dasarnya
definisi manajemen laba yang dikemukakan mengarah pada perspektif
opportunist.
Scott (2000: 351) membagi cara pemahaman atas manajemen laba
menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer
untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi,
kontrak uang, dan political cost (opportunistic Earnings Management).
Kedua, memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting
(efficient Earning Management), dimana manajemen laba memberi manajer
suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam
mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihakpihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian manajer dapat
mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melakukan manajemen laba,
misalnya dengan membuat perataan laba dan pertumbuhan laba sepanjang
17 waktu. Selain itu, dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
manajemen laba yang dilakukan oleh manajer tidak hanya dengan cara
memaksimalkan laba tetapi juga dengan meminimalkan laba.
II.1.2 Bentuk-bentuk Manajemen Laba
Bentuk-bentuk pengaturan laba yang dikemukakan oleh Scott (2003:
383) yaitu :
1.
Taking a bath
Disebut juga big baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi tekanan
dalam organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya penggantian direksi.
Jika teknik ini digunakan maka biaya-biaya yang ada pada periode yang
akan datang diakui pada periode berjalan. Ini dilakukan jika kondisi yang
tidak menguntungkan tidak bisa dihindari. Akibatnya, laba pada periode
yang akan datang menjadi tinggi meskipun kondisi tidak menguntungkan.
2.
Income minimization
Pola meminimumkan laba mungkin dilakukan karena motif politik atau
motif meminimunkan pajak. Cara ini dilakukan pada saat perusahaan
memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat
perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa
penghapusan (write off) atas barang-barang modal dan aktiva tak
berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, riset, dan pengembangan yang
cepat.
18 3.
Income maximization
Maksimalkan laba bertujuan untuk memperoleh bonus yang lebih besar,
selain itu tindakan ini juga bisa dilakukan untuk menghindari pelanggaran
atas kontrak hutang jangka panjang (debt covenant).
4.
Income smoothing
Perusahaan
umumnya
lebih
memilih
untuk
melaporkan
trend
pertumbuhan laba yang stabil daripada menunjukkan perubahan laba yang
meningkat atau menurun secara drastis.
5.
Timing Revenue dan Expenses Recognation.
Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang berkaitan
dengan timing suatu transaksi, misalnya pengakuan premature atas
pendapatan.
II.1.3 Motivasi Manajemen Laba
Menurut Scott (2003: 377), motivasi manajemen melakukan tindakan
pengaturan laba adalah sebagai berikut :
1.
Rencana Bonus (bonus scheme)
Manajer perusahaan yang mendapatkan rencana bonus akan memilih
kebijakan akuntansi yang sedikit konservatif dibandingkan dengan
manajer perusahaan tanpa rencana bonus. Manajer dengan rencana bonus
akan menghindari metode akuntansi yang mungkin melaporkan net
income lebih rendah. Manajer menggunakan laba akuntansi untuk
19 menentukan besarnya bonus, cenderung memilih kebijakan akuntansi
yang dapat memaksimumkan laba.
Dalam rencana bonus ada istilah bogey dan capbogey merupakan
tingkat laba minimum untuk memperoleh bonus. Sedangkan cap adalah
tingkat laba maksimum untuk memperoleh bonus. Jika laba ada di atas
cap, ada tidaknya bonus tergantung pada kontrak yang dilakukan antara
pemegang saham dan manajer. Manajemen laba dapat dilakukan dengan
menggeser laba ke periode berikutnya. Jika laba berada dibawah bogey
maka manajer akan semakin mengurangi laba bersih. Dengan demikian
kemungkinan untuk mendapatkan bonus di periode berikutnya akan
meningkat.
2. Kontrak utang jangka panjang (Debt Covenant)
Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian
untuk melindungi pemberi pinjaman (lender atau kreditur) dari tindakantindakan manajer terhadap kepentingan kreditur, seperti deviden yang
berlebihan, pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja dan
kekayaan pemilik berada dibawah tingkat yang telah ditentukan yang
mana semuanya menurunkan keamanan atau menaikkan risiko bagi
kreditur yang telah ada.
Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori
akuntansi positif yaitu semakin dekat suatu perusahaan dengan
pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih
20 metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke
periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami pelanggaran kontrak.
3. Motivasi Politis (political motivation)
Aspek politis tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya
perusahaan besar dan strategis, karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup
orang banyak. Perusahaan yang berkecimpung dibidang penyediaan
fasilitas bagi kepentingan orang banyak seperti listrik, air, telekomunikasi,
dan sarana infrastruktur, secara politis akan mendapat perhatian dari
pemerintah dan masyarakat. Perusahaan seperti ini cenderung menurunkan
laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya selama periode
kemakmuran
tinggi.
Tindakan
ini
dilakukan
untuk
memperoleh
kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi.
4. Motivasi Perpajakan (taxation motivation)
Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan
mengurangi laba bersih yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang
dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besarnya pajak yang
harus dibayarkan ke pemerintah. Sebagai contoh, cara yang dilakuan
misalnya merubah metode pencatatan persediaan menjadi LIFO agar laba
bersih yang dihasilkan rendah.
21 5. Pergantian Direksi
Beragam motivasi timbul disekitar waktu pergantian direksi sebagai
contoh, direksi yang mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan
melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya.
Demikian juga dengan direksi yang kurang berhasil memperbaiki kinerja
perusahaan akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau
membatalkan pemecatannya.
6. Penawaran Perdana (initial public offering)
Ketika perusahaan dinyatakan telah go public, informasi keuangan yang
ada didalam prospektus merupakan sumber informasi penting. Informasi
ini dapat digunakan sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai
perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor, maka
manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan. Selain itu, motivasi
pasar modal juga mempengaruhi dalam tindakan manajemen laba.
Penggunaan informasi secara luas oleh investor dan analisi keuangan
untuk melindungi nilai sekuritasnya, dapat menciptakan dorongan manajer
untuk memanipulasi laba dalam usahanya untuk mempengaruhi kinerja
sekuritas jangka pendek.
II.1.4 Teknik Manajemen Laba
Teknik dan pola manajemen laba menurut Asyik (2000: 23) dapat
dilakukan dengan tiga teknik yaitu :
22 1.
Perubahan metode akuntansi
Manajemen mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode
sebelumnya sehingga dapat menaikkan atau menurunkan angka laba.
Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat
suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda, misalnya :
a) Mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode jumlah angka
tahun (sum of the year digit) ke metode depresiasi garis lurus (straight
line).
b) Mengubah periode depresiasi.
2.
Memainkan kebijakan perkiraan akuntansi.
Manajemen mempengaruhi laporan keuangan dengan cara memainkan
judgment (kebijakan) perkiraan akuntansi. Hal tersebut memberikan
peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektivitas dalam
menyusun estimasi, misalnya :
a) Kebijakan mengenai perkiraan jumlah piutang tidak tertagih
b) Kebijakan mengenai perkiraan biaya garansi
c) Kebijakan mengenai perkiraan terhadap proses pengadilan yang belum
terputuskan.
3.
Menggeser periode biaya atau pendapatan
Manejemen menggeser periode biaya atau pendapatan (sering disebut
manipulasi keputusan operasional), misalnya :
23 a) Mempercepat/menunda
pengeluaran
untuk
penelitian
dan
pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya.
b) Mempercepat/menunda
pengeluaran
promosi
sampai
periode
berikutnya.
c) Kerjasama dengan vendor untuk mempercepat/menunda pengiriman
tagihan sampai periode akuntansi berikutnya.
d) Menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba.
e) Mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai.
II.1.5 Model-Model Pendeteksian Manajemen Laba
Terdapat beberapa metode pendeteksian manajemen laba. Jones
(1991) memberikan sebuah model untuk membantu mengidentifikasi
perusahaan yang melakukan manajemen laba. Tujuan model jones adalah
untuk memisahkan akrual kelolaan dan non kelolaan. Model modifikasi Jones
mengestimasi tingkat akrual yang diharapkan (akrual non kelolaan) sebagai
fungsi perbedaan antara perubahan pendapatan dan perubahan dalam piutang
dagang serta aktiva tetap (Thomas dan Zhang, 2000:347).
Perhitungan total akrual dengan pendekatan arus kas dan laporan rugi
laba dihitung dengan rumus sebagai berikut (Sloan.1996) :
Tat = Earnt - CFOt
Dimana :
Tat = total akrual
24 Earn = earnings
CFO = Arus kas operasi
Seluruh persamaan di atas dibagi dengan menggunakan total aktiva awal
tahun pada perusahaan yang diobservasi.
Menurut Sulistyanto (2008: 211) model-model pemisahan akrual
menjadi kelolaan dan non kelolaan yang dibandingkan oleh Dechow, dkk
adalah sebagai berikut :
1. The Healy Model
Pengujian Healy untuk manajemen laba dengan cara membandingkan
rata-rata total akrual (dibagi total aktiva periode sebelumnya). Healy
(1985) menganggap non discretionary accrual (NDA) tidak dapat
diobservasi. Model untuk non discretionary accrual adalah sebagai
berikut :
NDA = 0
sehingga
TA = NDA
2. The De Angelo Model
Model De Angelo (1986) menguji manajemen laba dengan menghitung
perbedaan awal dalam total akrual dan dengan asumsi bahwa perbedaan
pertama tersebut diharapkan nol, yang berarti tidak ada manajemen laba.
Model ini menggunakan total akrual periode terakhir (dibagi total aktiva
periode sebelumnya) untuk mengukur non discretionary accrual.
NDAt = TAt-1
25 Keterangan :
NDAt = estimasi non discretionary accrual
TAt-1 = total accrual dibagi total aktiva 1 tahun sebelum tahun t
3. The Jones Model
Jones (1991) mengajukan model yang menolak asumsi bahwa non
discretionary accrual adalah konstan. Model ini mencoba mengontrol
pengaruh perubahan keadaan ekonomi perusahaan pada non discretionary
accrual sebagai berikut :
NDAt = α1 1/ TAt-1 + α2 ∆ REVt / TAt-1 + α3 PPEt / TAt-1
Keterangan :
∆ REVt
= revenue pada tahun t dikurangi revenue pada tahun t-1
dibagi total aktiva tahun t-1.
PPEt
= gross property plan and equipment pada tahun t dibagi total
aktiva tahun t-1
At-1
= total aktiva tahun t-1
α1, α2, α3 = Firm-spesific parameters
4. The Modified Jones Model
Model ini dibuat untuk mengeliminasi tendensi konjungtor yang terdapat
dalam the jones model.
NDAt = α1
1
At-1
+ α2 (∆ REVt - ∆ RECt ) + α3 (PPEt)
26 Keterangan :
∆ RECt = net receivable (piutang bersih) pada tahun t dikurangi piutang
bersih pada tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1.
5. Industry Adjusted Model
Industry Adjusted Model (Dechow dan Sloan,1991) mengasumsikan
bahwa variasi determinan dari non discretionary accrual adalah sama
dalam jenis industry yang sama. Non discretionary accrual dari model ini
diperoleh dengan :
NDAt = γ1 + γ1 median1 (TAτ)
6. Akrual Khusus (Beaver dan Engel, 1996)
NDAit = α0 + α1 COit + α3 NPAit + α4 ∆NPAit+1 + e
Keterangan :
COit
: loan charge-off (pinjaman yang dihapus bukukan)
LOAN
: loans outstanding (pinjaman yang beredar)
NPAit
: nonperforming assets (aktiva produktif yang bermasalah)
terdiri
dari
aktiva
produktif
kolektibilitasnya yaitu
a) Dalam perhatian khusus (DPK)
b) Kurang lancer (KL)
c) Diragukan (D)
d) Macet (M)
berdasarkan
tingkatan
27 ∆NPAit+1
: selisih nonperforming assets t+1 dengan nonperforming
assets t
Semua variable dideflasi dengan nilai buku ekuitas ditambah cadangan
kerugian pinjaman.
Jadi perhitungan akrual kelolaan yaitu :
DAit = TAit - NDAit
Keterangan :
TAit
: total akrual (untuk yang model akrual khusus, total akrual
dihitung berdasarkan total saldo penyisihan penghapusan
aktiva produktif
(PPAP))
DAit
: akrual kelolaan
NDAit
: akrual non kelolaan
7. The Cross-Sectional Models
Baik model Jones cross-sectional dan model Jones modifikasi crosssectional adalah sama dengan model Jones dan model Jones modifikasi,
kecuali bahwa parameter model diestimasi dengan menggunakan data
cross-sectional bukan data time series. Model cross-sectional dan time
series berbeda asumsi. Model cross-sectional mengasumsikan bahwa
korelasi antara akrual non kelolaan dan penentuan akrual, seperti
perubahan dalam pendapatan dan PPE (bruto), ditentukan oleh kelompok
industri dan situasi ekonomi sekarang sedangkan model time-series
28 mengasumsikan bahwa korelasi ditentukan oleh karakteristik spesifik
perusahaan.
Pada penelitian ini digunakan model modifikasi Jones dalam mendeteksi
manajemen laba. Penggunaan model modifikasi Jones dikarenakan model
ini runtun waktu dan secara statistik paling baik dibandingkan modelmodel lainnya.
II.1.6 Teori Keagenan
Penjelasan konsep manajemen laba menurut Salno dan Baridwan
(2000: 19) menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) yang
menyatakan bahwa “praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik
kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul
karena setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertimbangkan tingkat
kemakmuran yang dikehendakinya.” Dalam hubungan keagenan, manajer
memiliki informasi asimetri terhadap pihak eksternal perusahaan, seperti
kreditor dan investor. Informasi asimetri terjadi ketika manajer memiliki
informasi internal perusahaan yang relative lebih banyak dan mengetahui
informasi tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Dalam
kondisi demikian pihak manajer dapat menggunakan informasi yang
diketahuinya untuk membuat laporan keuangan dalam usaha memaksimalan
kemakmurannya. Intervensi manajemen mengandung kejahatan moral (moral
hazard) apabila memanfaatkan informasi asimetri tersebut debgan manajemen
29 laba. Kesenjangan informasi antara kedua belah pihak menimbulkan/memicu
munculnya manajemen laba. Masing-masing pihak dalam hubungan keagenan
terdorong oleh motivasi yang berbeda sesuai dengan kepentingannya. Teori
keagenan menggambarkan perusahaan sebagai fokus (titik temu) hubungan
keagenan antara pemilik perusahaan (principal) dan manajemen perusahaan
(agent) dan berusaha memberi suatu pemahaman prilaku organisasi dengan
mengungkapkan bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan
keagenan dalam perusahaan untuk memaksimalkan utilitas usahanya. Usaha
memaksimalkan utilitas ini mendorong timbulnya konflik kepentingan antara
pemilik (principal) dan manajemen (agency), karena setiap perusahaan
memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya melalui
kontrak kompensasi.
Pemilik
menempatkan
fungsi
pemantauan
(monitoring)
untuk
mengatasi konflik. Menurut Salno dan Baridwan (2000: 19), bentuk
pemantauan yang umum digunakan diantaranya adalah :
1.
Penyusunan laporan keuangan periodic untuk kepentingan pemilik
(stewardships, accountability).
2.
Adanya fungsi auditing yang bersifat auditor independen dalam
menyatakan pendapatan mereka atas kewajiban laporan keuangan
perusahaan.
30 II.1.7 Discretionary Accrual
Menurut Surifah (2001: 95) discretionary accrual (kebijakan
akuntansi akrual) adalah suatu cara untuk mengurangi pelaporan laba yang
sulit dideteksi melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan
akrual, misalnya dengan cara menaikkan biaya amortisasi dan depresiasi,
mencatat kewajiban yang besar atas jaminan produk (garansi), kontinjensi dan
potongan harga, dan mencatat persediaan yang sudah usang. Lebih lanjut,
akrual adalah semua kejadian yang bersifat operasional pada suatu tahun yang
berpengaruh terhadap arus kas. Perubahan piutang dan hutang merupakan
akrual, juga perubahan persediaan. Biaya depresiasi merupakan akrual negatif.
Akuntan memperhitungkan akrual untuk menandingkan biaya dengan
pendapatan, melalui perlakuan transaksi yang berkaitan dengan laba bersih
sesuai dengan yang diharapkan.
II.2
Corporate Governance
II.2.1 Pengertian Corporate Governance
Perhatian terhadap corporate governance kian meningkat seiring
dengan banyaknya masalah skandal keuangan yang muncul di lingkungan
bisnis. Krisis ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diyakini muncul
karena kegagalan penerapan good corporate governance (Daniri, 2005: 6).
Konsep corporate governance telah banyak dikemukakan oleh banyak
pakar dan badan sebagai alat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja
31 manajemen. Banyak pakar yang telah mendefinisikan istilah corporate
governance secara berbeda-beda. Darmawati (2003: 7) mendifinisikan
corporate governance sebagai keseluruhan set aransement legal, kebudayaan,
dan institusional yang menentukan apa yang dapat dilakukan oleh perusahaan
publik, siapa yang mengendalikan, bagaimana pengendalian dilakukan dan
bagaimana resiko dan return dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
perusahaan tersebut dialokasikan.
Lang (1999: 153) mendifinisikan corporate governance berkenaan
dengan cara untuk meyakinkan para penyedia dana perusahaan untuk
mendapatkan return pada investasi mereka. Sedangkan menurut Boediono
(2005: 6) mengemukakan bahwa corporate governance merupakan suatu
mekanisme yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier
keuangan atau pemilik modal perusahaan memperoleh pengembalian atau
return dari kegiatan yang dijalankan oleh manajer atau dengan kata lain
bagaimana supplier keuangan perusahaan melakukan pengendalian terhadap
manajer. Kalihatu (2006: 6) mengemukakan corporate governance sebagai
sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai
tambah untuk semua stakeholder.
Sedangkan definisi corporate governance menurut beberapa badan
diantaranya FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) (2001)
dalam
publikasi
yang
pertamnya
mempergunakan
definisi
Cadbury
Committee, yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
32 pemegang
saham,
pengurus
(pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah karyawan serta para pemegang kepentingan intern, dan ekstern
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan
kata lain system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Darmawati (2003: 7) dalam makalahnya menyertakan berbagai definisi
corporate governance yang dikemukakan oleh beberapa badan corporate
governance yaitu :
1.
OECD Principles of Corporate Governance mendefinisikan corporate
governance sebagai sistem mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
2.
PWC-ADB SOE Reform Project mengemukakan corporate governance
berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif bersumber pada
budaya perusahaan, etika, nilai, system, proses bisnis, kebijakan dan
struktur organisasi untuk mendorong dan mendukung pengembangan
perusahaan, pengelolaan sumberdaya, dan risiko secara lebih efisien dan
efektif
dan
pertanggungjawaban
kepada
pemegang
saham
dan
stakeholder lainnya.
3.
CalPERS mengemukakan corporate governance merujuk pada hubungan
diantara berbagai pihak yang berperan serta dalam menentukan arah dan
kinerja perusahaan. Pemeran serta utama adalah pemegang saham,
pengurus (yang dipimpin oleh Direktur Utama/CEO) dan pengawas.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa
pakar dan badan corporate governance di atas, meskipun berbeda-beda namun
33 memiliki maksud yang sama. Dapat disimpulkan bahwa corporate
governance merupakan mekanisme pengendalian perusahaan yang mengatur
tidak hanya shareholder tetapi juga stakeholder. Corporate governance tidak
hanya sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban saja namun juga
meningkatkan nilai perusahaan.
II.2.2 Prinsip-Prinsip Corporate Governance
Prinsip-prinsip corporate governance yang dikemukakan oleh OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development) ada lima.
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Hak-hak pemegang saham. Rerangka kerja corporate governance harus
melindungi hak-hak pemegang saham.
2. Perlakuan yang adil kepada pemegang saham. Rerangka kerja corporate
governance harus meyakinkan adanya kesetaraan perlakuan kepada seluruh
pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh
pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan
perbaikan yang efektif atas penyimpangan dari hak-hak mereka.
3. Peranan stakeholder dalam corporate governance. Rerangka kerja
corporate governance harus mengakui adanya hak-hak stakeholder seperti
yang ditentukan oleh hukum dan mendorong kerjasama yang aktif antara
perusahaan dan stakeholder dalam penciptaan kesejahteraan, pekerjaanpekerjaan, dan kemampuan untuk mempertahankan perusahaan yang sehat
secara financial.
34 4. Pengungkapan dan transparansi. Rerangka kerja corporate governance
harus meyakinkan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah
dilakukan atas seluruh hal-ha yang material berkenaan dengan perusahaan,
termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan ketaatan perusahaan.
5. Tanggung jawab dewan (direksi). Rerangka kerja corporate governance
harus meyakinkan pedoman strategik perusahaan, pemonitor yang efektif
pada manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan terhadap perusahaan
dan pemegang saham.
Kelima prinsip tersebut dilandasi oleh empat unsur penting dalam
corporate governance yaitu keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan
pertanggungjawaban.
1. Fairness (keadilan)
Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak
pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta
menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.
2. Transparency (transparansi)
Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas,
dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan,
pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.
35 3. Accountability (Akuntabilitas)
Menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk
menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham,
sebagaimana yang diawasi oleh dewan komisaris.
4. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai
cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.
II.3
Dewan Komisaris
Struktur dewan dalam perusahaan di Indonesia menganut sistem dua
tingkat (two tiers system) yang menganut sistem hukum continental Eropa
(FCGI). Di sini perusahaan mempunyai dua badan terpisah yaitu dewan
pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan
direksi mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan
pengawasan dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh
dewan komisaris. Sehingga dewan komisaris bertanggungjawab untuk
mengawasi tugas-tugas manajemen serta tidak boleh melibatkan diri dalam
tugas-tugas manajemen serta tidak boleh mewakii perusahaan dalam
transaksi-transaksi dengan pihak ketiga.
Dewan komisaris memegang peranan penting dalam mewujudkan
corporate governance. Menurut FCGI (2001) dewan komisaris, merupakan
inti dari corporate governance, yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan
36 strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan,
serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Lebih lanjut tugas-tugas utama
dewan komisaris meliputi :
1.
Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana
kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana
usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja
perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi
dan penjualan asset.
2.
Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan
pengganjian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses
pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil.
3.
Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat
manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris
termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi
perusahaan.
4. Memonitor pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan dimana
perlu.
5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam
perusahaan.
Untuk memastikan dewan komisaris independen dapat menjalankan
tugasnya secara independen, komisaris independen harus memenuhi beberapa
kriteria sebagai berikut :
37 1.
Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan
pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali perusahaan
tercatat yang bersangkutan.
2.
Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada
perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang
bersangkutan.
3.
Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di
pasar modal.
4.
Komisaris indenpenden harus mengerti peraturan perundang-undangan di
pasar modal.
5.
Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham
minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Wedari (2004: 7) menyatakan bahwa aktivitas manajemen laba yang
terjadi di perusahaan dapat dibatasi dengan adanya dewan komisaris eksternal
(komisaris independen). Komisaris independen adalah anggota dewan
komisaris
yang
tidak
memiliki
hubungan
keuangan,
kepengurusan,
kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan
komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau
hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.
38 Keberadaan dewan komisaris independen di Indonesia telah diatur
dengan berbagai peraturan. Menurut peraturan Pencatatan Nomor IA tentang
Ketentuan Umum Pencatatan Efek bersifat Ekuitas di bursa yaitu jumlah
komisaris
independen
minimum
30%.
Lebih
lanjut
dalam
rangka
penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate
governance), perusahaa tercatat wajib memiliki komisaris independen yang
jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh
bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris
independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris.
Dalam mewujudkan good corporate governance di lingkungan
perbankan, Bank Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi
Bank Umum. Berdasarkan peraturan tersebut, paling kurang 50% (lima puluh
per seratus) dari jumlah anggota dewan komisaris adalah komisaris
independen.
Kusumaning (2004) menyatakan bahwa aktivitas manajemen laba
yang terjadi di perusahaan dapat dibatasi dengan adanya dewan komisaris
eksternal (komisaris independen). Proporsi dewan komisaris eksternal yang
tinggi dalam perusahaan dapat menurunkan manajemen laba.
Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan Paket Kebijakan
Perbankan Januari 2006 sebagai bagian dari upaya membuka ruang gerak
perbankan agar terus berperan dalam pembiayaan pembangunan sekaligus
39 memperkuat fondasi indstri perbankan sesuai arah dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) (Kompas,2006). Peraturan BI No.8/4/PBI/2006
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum
merupakan salah satu paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Dalam peraturan tersebut salah satu pasal yang penting dalam PBI
No.8/4/PBI/2006 adalah pasal 5 ayat (2). Dalam pasal itu disebutkan
keharusan bagi bank agar memiliki komisaris independen sedikitnya 50% dari
jumlah anggota dewan komisaris.
Ketentuan tentang kewajiban adanya komisaris independen minimal
50% ini tidak melihat apakah bank bersangkutan telah go public atau belum.
Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan di pasar modal, di mana kewajiban
adanya komisaris independen hanya diberlakukan bagi perusahaan go public
dan jumlahnya pun hanya mensyaratkan minimal 30% dari jumlah anggota
dewan komisaris.
II.4
Keberadaan Komite Audit
Dalam rangka penerapan good corporate governance yang baik
Bapepam
melalui
surat
edaran
Bapepam
No.SE-03/PM/2000
merekomendasikan imbauan perusahaan publik untuk membentuk komite
audit. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa komite audit bertugas
untuk membantu dewan komisaris dengan memberikan pendapat professional
yang independen untuk meningkatkan kualitas kerja serta mengurangi
penyimpangan pengelolaan perusahaan. Komite audit lebih lanjut diatur
40 dalam KEP-339/BEJ/07-2001, yang mengharuskan semua perusahaan yang
listed di Bursa Efek Jakarta memiliki komite audit.
Di Indonesia komite audit merupakan salah satu komite yang berperan
penting dalam pelaksanaan corporate governance, selain komite kompensasi
dan komite nominasi. Dewan Komite Audit bertugas memberikan suatu
pandangan
tentang
masalah
akuntansi,
pelaporan
keuangan
dan
penjelasannya, sistem pengawasan internal, serta auditor independen
(FCGI,2000).
Tujuan dan manfaat dibentuknya komite audit adalah sebagai berikut :
1) Komite audit melaksanakan pengawasan independen atas proses
penyusunan pelaporan keuangan dan pelaksanaan audit ekstern.
2) Komite
audit
memberikan
pengawasan
independen
atas
proses
pengelolaan risiko dan kontrol.
3) Komite audit melaksanakan pengawasan independen atas proses
pelaksanaan corporate governance.
Mekanisme corporate governance yang baik penting dalam mempengaruhi
kualitas pelaporan keuangan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas
laba.
Menurut Baridwan (2004 :9) komite audit dapat menjembatani
masalah keagenan. Beberapa penelitian emperis menjelaskan bahwa
keberadaan komite audit dapat menurunkan tindakan manajemen laba
(Fleming,2002; Klien,2002; Sanjaya,2004; Wendari,2004).
41 II.5
Struktur kepemilikan dengan Manajemen Laba
Organisasi memiliki kemampuan untuk bertahan apabila terdapat
pemisahan antara pemilik dan pengendalinya. Hal ini sesuai dengan penelitian
Fama dan Jensen (1983: 192) yang menganalisa bahwa organisasi yang
mampu bertahan tidak mendasarkan pengambilan keputusan pada pemegang
saham yang terbesar, tetapi terdapat pemisahan antara pemilik dengan
pengendali. Struktur kepemilikan saham dalam suatu perusahaan terdiri atas
kepemilikan saham yang dimiliki oleh institusi dan kepemilikan saham oleh
manajerial. Institusi sebagai pemilik saham dianggap lebih mampu
mendeteksi kesalahan yang terjadi. Hal ini dikarenakan investor institusi lebih
berpengalaman dibandingkan dengan investor individual. Institusi sebagai
investor yang sophisticated karena mempunyai kemampuan dalam memproses
informasi dibandingkan dengan investor individual. Dengan demikian, akan
semakin membatasi manajemen dalam memainkan angka-angka dalam
laporan keuangan.
Wedari (2004: 12) menyatakan bahwa investor institusional mempunyai
waktu yang lebih banyak untuk melakukan analisis investasi dan memiliki
akses informasi yang mahal dibandingkan dengan investor individual. Oleh
karenanya, memiliki kemampuan mengawasi tindakan manajemen yang lebih
baik dibandingkan dengan investor individual. Dari beberapa teori tersebut
dapat diketahui bahwa semakin tinggi kepemilikan oleh institusi maka akan
42 semakin kecil peluang manajemen melakukan manipulasi angka-angka dalam
bentuk manajemen laba.
Demikian halnya dengan kepemilikan saham oleh manajerial, yaitu
dengan semakin banyaknya saham yang dimiliki oleh manajer maka akan
cenderung tidak mengatur labanya dalam bentuk akrual diskresioner.
Penelitian Jensen dan Meckeling (1976) menyatakan bahwa terdapat
kesejajaran antara kepentingan manajer dan pemegang saham pada saat
manajer memiliki saham perusahaan dalam jumlah yang besar. Dengan
demikian, keinginan untuk membodohi pasar modal berkurang karena
manajer ikut menanggung baik dan buruknya akibat dari setiap keputusan
yang diambil.
Penelitian Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa dewan direksi
adalah mekanisme pengendali internal yang paling tinggi yang bertanggung
jawab untuk memonitor tindakan top manajemen dalam melakukan tindakan
manipulasi laba atau kecurangan dalam laporan keuangan. Pendapat tersebut
sejalan dengan dengan penelitian Beasley (1996) yang juga menyatakan
bahwa dewan direksi sebagai mekanisme pengendalian intern untuk mencegah
kecurangan dalam penyajian laporan keuangan.
Jensen (1986) menemukan bukti bahwa tekanan pasar modal
menyebabkan perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang rendah akan
memilih metode akuntansi yang dapat membuat peningkatan laba sehingga
tidak mencerminkan kondisi ekonomi perusahaan yang sebenarnya.
43 Berdasarkan beberapa penelitian tersebut tampak semakin besar
proporsi saham yang dimilki oleh manajer sehingga cenderung mengurangi
tindakan manajemen laba.
II.6.
Leverage dengan Manajemen Laba
Kata leverage menurut ensiklopedia manejemen berarti kemampuan
untuk mengadakan operasi dengan suatu rasio yang berarti dari hutang-hutang
terhadap kekayaan kotor (Komaruddin, 1994: 492). Mengukur tingkat
leverage berarti mengukur efisiensi penggunaan dana suatu perusahaan.
Semakin efisien penggunaan dana suatu perusahaan, maka tingkat leverage
akan semakin menguntungkan. Sebaliknya, semakin tidak efisien penggunaan
dana, maka menunjukkan besarnya kewajiban/hutang yang diemban
perusahaan.
Dengan
demikian,
leverage
dapat
diartikan
sebagai
hutang/kewajiban.
Rasio leverage merupakan rasio untuk mengukur sampai seberapa jauh
aktiva perusahaan dibiayai dengan hutang. Selain itu rasio leverage digunakan
dalam menentukan keputusan, untuk memenuhi kebutuhan modal dengan
berbagi alternative pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi
financial yang ada pada perusahaan, apakah memungkinkan bila ditambah lagi
hutang-hutangnya. Karena penggunaan financial leverage selain dapat
meningkatkan pendapatan bagi pemilik juga dapat menambah ketidakpastian
dan resiko. Semakin tinggi nilai rasionya menunjukkan alokasi yang terlalu
besar (berlebihan) pada pos ini (hutang) akan berakibat buruk bagi perusahaan
44 karena kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Sebaliknya, semakin rendah
nilai rasionya, menunjukkan alokasi yang terlalu sedikit pada pos hutang juga
akan menyebabkan perusahaan kehilangan kesempatan untuk mengalokasikan
dana tersebut pada pos lain yang dapat memberikan keuntungan melebihi
bunga yang harus dibayar oleh perusahaan (Helfert, 1996: 97)
Lai (2005) menyatakan perusahaan yang dekat dengan pelanggaran
perjanjian hutang lebih memungkinkan melakukan manajemen laba. Hal ini
sesuai dengan hipotesis hutang atau ekuitas (debt/equity hypothesis). Makin
tinggi rasio hutang/ekuitas perusahaan, makin besar kemungkinan bagi
manajer untuk memilih metode akuntasi yang dapat menaikkan laba. Makin
tinggi rasio utang/ekuitas, makin dekat perusahaan dengan batas perjanjian
atau peraturan kredit. Makin tinggi batasan kredit, makin besar kemungkinan
penyimpangan perjanjian kredit dan pengeluaran biaya. Manajer akan
memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat
mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis
(Masodah, 2007: 19).
Leverage didefinisikan sebagai total utang terhadap total aktiva.
Menurut Widyaningdyah (2001: 9) perusahaan yang memiliki rasio leverage
yang lebih tinggi diduga melakukan manajemen laba, karena perusahaan
terancam gagal dalam memenuhi kewajiban utang pada waktunya. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Widyaningdyah (2001) memberikan hasil
emperis bahwa hanya leverage yang terbukti positif mempengaruhi
45 manajemen laba. Andriyani (2004) memberikan bukti emperis tentang adanya
manajemen laba yang lebih besar pada perusahaan yang terikat perjanjian
utang dengan perusahaan yang tidak terikat perjanjian utang. Watt dan
Zimmerman (1978), dan Magnan dan Cormer (1997) membuktikan bahwa
variable debt to quity ratio berpengaruh terhadap pemilihan metode
menaikkan atau menurunkan pelaporan laba. Variable total debt to equity
ratio, total debt to total equity, long term debt to total equity,dan komposisi
modal kerja berpengaruh positif terhadap earning management.
II.7
Kualitas Auditor
Untuk mengatasi terjadinya konflik kepentingan antara agen dan
principal yang terjadi dalam perusahaan termasuk mengurangi perilaku
manipulasi laba oleh manajemen, maka diperlukan beberapa mekanisme
pengawasan dan kontrak. Salah satunya adalah dengan audit atas laporan
keuangan. Manajemen perusahaan sebagai agen memerlukan jasa pihak ketiga
agar
tingkat
kepercayaan
pihak
eksternal
perusahaan
terhadap
pertanggungjawaban semakin tinggi, begitu pula sebaliknya pihak eksternal
perusahaan memerlukan jasa pihak ketiga untuk meyakinkan dirinya bahwa
laporan keuangan yang disajikan manajemen perusahaan dapat dipercaya
sebagai dasar pengambilan keputusan. Auditor merupakan salah satu
mekanisme untuk mengendalikan perilaku manajemen, dengan demikian
proses pengauditan memiliki peranan penting dalam mengurangi biaya
keagenan dengan membatasi perilaku opportunistik manajemen. Penelitian
46 terdahulu yang dilakukan oleh Becker (1998) menemukan bahwa manajemen
laba besar dalam perusahaan dengan kualitas auditor yang lebih rendah
daripada perusahaan dengan kualitas auditor lebih tinggi. Penelitian yang
dilakukan oleh Teoh dan Wong (1993) menunjukkan bahwa auditor yang
berskala besar lebih dapat dipercaya, hal ini dibuktikan dengan earnings
respon coefficient untuk perusahaan yang diaudit oleh auditor Big Six lebih
besar dibandingkan dengan klien auditor non big six.
Praptitorini (2006) telah melakukan penelitian mengenai analisis
pengaruh kualitas audit, debt default, dan opinion shopping terhadap
penerimaan opini going concern. Dalam penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa variable kualitas
audit yang diproksikan dengan auditor industry specialization tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.
Tetapi, arah koefisiennya menunjukkan arah positif sesuai dengan hipotesis,
berarti bahwa auditor spesialis berusaha mempertahankan reputasinya dengan
bersikap obyektif terhadap opini yang dikeluarkannya, serta pengklasifikasian
auditor spesialis di Indonesia belum ada, sehingga pengaruh terhadap kualitas
audit belum dapat dibuktikan.
II.8
Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan dapat diketahui dari total aktiva perusahaan,
semakin besar jumlah aktiva perusahaan maka semakin besar ukuran
perusahaan tersebut (Jin dan Machfoedz, 1998: 180). Menurut Jin dan
47 Machfoedz (1998: 180), besaran perusahaan dapat diketahui dari rata-rata
nilai pasar saham. hasil penelitian Jin dan Machfoedz menunjukkan ukuran
perusahaan merupakan faktor yang mendorong adanya praktik manajemen
laba.
Menurut Mardiyah dan Indriantoro (2001:289) menyatakan bahwa
‘asset size perusahaan yang besar dianggap mempunyai resiko yang lebih
kecil dibandingkan dengan perusahaan yang kecil, karena perusahaan yang
besar dianggap lebih mempunyai akses ke pasar modal sehingga dianggap
mempunyai beta yang lebih kecil.” Watt dan Zimmerman (1978) sebagimana
dikutip Mardiyah dan Indriantoro (2001:280) mencoba dengan teori akuntansi
positif (positive accounting theory) yang menghipotesakan bahwa perusahaan
besar cenderung menginvetasikan dananya ke proyek yang mempunyai varian
lebih rendah dengan beta yang rendah pula guna menghindari laba yang
berlebihan. Disamping itu, Hartono (2000: 254) menyebutkan bahwa
perusahaan besar merupakan subyek dari tekanan politik sehingga jika
melaporkan laba yang berlebihan nantinya akan menarik perhatian politikus
dan dapat dicurigai melaksanakan monopoli.
Semakin besar total asset suatu perusahaan, berarti resiko yang akan
ditanggung oleh para investor juga semakin kecil. Oleh karena itu diharapkan
ukuran perusahaan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap manajemen
laba.
48 II.9. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan
metode pengolahan data secara elektronik (electronic data processing) dengan
bantuan software EViews 5.1. Kelebihan penggunaan software Eviews 5.1
adalah output dari EViews 5.1 dapat menampilkan hasil dari pengolahan data
dan pengujian hipotesis secara bersamaan. Menurut Winarno dalam Analisis
Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews (2007) teknik pengolahan data
dilakukan dengan :
1. Uji Statistik Deskriptif
Analisis ini berguna sebagai alat untuk menganalisa data dengan cara
menggambarkan sampel yang telah ada tanpa maksud membuat
kesimpulan
yang
menggambarkan
berlaku
umum.
karakteristik
Analisis
sampel
yang
ini
digunakan
diujikan.
untuk
Analisis
ini
menghitung nilai minimum, maksimum, mean, standar deviasi, dan
keterangan lainnya.
2. Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik untuk menguji kelayakan penggunaan model
regresi dan kelayakan variabel bebas. Tujuan pengujian asumsi klasik
adalah agar dapat menghasilkan nilai parameter yang baik sehingga
hasil penelitian dapat lebih diandalkan. Menurut Winarno (2007,
49 p51), pengujian asumsi klasik dalam penelitian ini, yang dilakukan
dengan bantuan EViews 5, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
a. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model
regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen,
model
regresi
yang
baik
seharusnya
tidak
mengandung
multikolinearitas. Jika korelasi kuat terjadi antara variabel
independen maka terjadi masalah multikolinearitas. Dalam
penelitian ini uji multikolinearitas dilakukan dengan correlation
matrix test. Suatu data dikatakan tidak mengalami atau bebas dari
multikolinearitas jika memiliki koefisien korelasi antarvariabel
lebih kecil dari 0,5. Jika terjadi multikolinearitas maka akan dibuat
pemodelan khusus untuk setiap variabel independen.
b. Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
suatu model regresi terjadi ketidaksamaan variance dan residual
dari suatu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dan
residual dari suatu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap
maka disebut homoskedastisitas, dan jika berbeda disebut
heteroskedastisitas. Suatu model regresi yang baik adalah regresi
yang tidak terjadi heteroskedastisitas.
50 Untuk mendeteksi terdapat heteroskedastisitas pada model regresi
dapat dilakukan uji white. Dasar pengambilan keputusan dapat
dilihat dari nilai probabilitas untuk Obs*R-squared, jika nilai
probabilitas lebih kecil dari 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa
data tersebut bersifat heteroskedastis.
Untuk
pengolahan
dengan
software
EViews
5
masalah
heteroskedastisitas dapat diatasi dengan mudah, yaitu dengan
menggunakan pemodelan ARCH (Auto Regressive Conditional
Heteroscedasticity) atau GARCH (Generalized Auto Regressive
Conditional
Heteroscedasticity).
ARCH/GARCH
secara
Pemodelan
langsung
dapat
dengan
mengatasi
heteroskedastisitas.
c. Uji Autokorelasi
Pengujian Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam
suatu model regresi linier ada korelasi antara kesalahan
pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada
periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada masalah
autokorelasi.
Autokorelasi
muncul
karena
observasi
yang
berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini
timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari
satu pengamatan ke pengamatan lainnya.
51 Hal ini sering ditemukan pada data time series atau urutan waktu
karena gangguan pada satu individu atau kelompok cenderung
mempengaruhi gangguan pada individu atau kelompok yang sama
pada periode berikutnya. Model regresi yang baik adalah regresi
yang bebas dari autokorelasi. Panduan yang digunakan untuk
mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi akan dipakai besaran
Durbin-Watson (D-W). Secara umum dapat diambil patokan :
1) angka D – W; 0 - 1,10 berarti ada autokorelasi yang positif
2) angka D-W; 1,54 - 2,46 berarti tidak ada autokorelasi
3) angka D-W; 2,90 – 4 berarti ada autokorelasi yang negatif.
II.9.
Hipotesis
Menurut Dr. Hj. Dewi L. Badriah, M.Kes. dalam jurnalnya yang
berjudul “Studi Kepustakaan/Menyusun Kerangka Teoritis, Hipotesis
Penelitian, Dan Jenis Penelitian” (2005, p4), menyusun landasan teori juga
merupakan langkah penting untuk membangun suatu hipotesis. Landasan teori
yang dipilih haruslah sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang akan
menjadi suatu asumsi dasar peneliti dan sangat berguna pada saat menentukan
suatu hipotesis penelitian.
Peneliti harus selalu bersikap terbuka terhadap fakta dan
kesimpulan terdahulu baik yang memperkuat maupun yang bertentangan
dengan prediksinya. Jadi, dalam hal ini telaah teoritik dan temuan penelitian
52 yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan prediksi
akan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Kesimpulan
yang
diambil
adalah
hipotesis
penelitian
dapat
dirumuskan melalui jalur:
1.
Membaca dan menelaah ulang (review) teori dan konsep-konsep yang
membahas variabel-variabel penelitian dan hubungannya dengan proses
berfikir deduktif.
2. Membaca dan menelaah ulang (review) temuan-temuan penelitian
terdahulu yang relevan dengan permasalahan penelitian lewat berfikir
induktif.
Menurut Ghozali (2007, p84) hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris.
Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau ingin kita pelajari.
Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena
yang kompleks. Oleh karena itu, perumusan hipotesis menjadi sangat penting
dalam sebuah penelitian.
Menurut Ghozali (2007, p84) ada dua jenis hipotesis yang digunakan
dalam penelitian antara lain :
1.
Hipotesis kerja atau alternatif (Ha)
Hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y,
atau adanya perbedaan antara dua kelompok.
53 2.
Hipotesis nol atau null hypotheses (Ho)
Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau
tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y
II.10. Teknik Pengujian Hipotesis
Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh
adalah analisis kuantitatif. Teknik pengujian hipotesis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Granger Causality Test
Uji kausalitas granger adalah pengujian untuk melihat bentuk hubungan
antar variabel (searah atau simultan). Pengujian ini dilakukan antara
masing-masing variabel independen dengan variabel dependen.
2. Perumusan Model
a. Model VAR
Merupakan model yang digunakan jika hubungan antara variabel
independen dan variabel dependen adalah simultan atau saling
mempengaruhi.
b. Model regresi
Untuk menguji hipotesis digunakan alat uji analisa regresi linier
berganda dengan model interaksi metode Least Squares. Selanjutnya
dari output software Eviews 5, perlu diperhatikan nilai dari probabilitas
dari setiap variabel independen untuk mengetahui apabila semua
54 variabel independen yang dimasukkan ke dalam model mempunyai
pengaruh signifikan secara parsial terhadap variabel dependen. Dasar
pengambilan keputusannya adalah jika probabilitas > 0,05 maka Ho
ditolak, jika probabilitas < 0,05 maka Ho diterima.
Selain melihat nilai probabilitas di atas, untuk menentukan apakah
suatu model sudah baik maka perlu diperhatikan nilai koefisien determinasi
(adjusted R2). Koefisien korelasi (R) sendiri digunakan untuk melihat hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen. Nilai dari R berkisar dari
0 sampai dengan 1. Jika R semakin mendekati 1 maka hubungan yang terjadi
semakin kuat. Tetapi jika R semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi
semakin lemah. Hal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
1) 0,00 – 0,199 = sangat lemah
2) 0,20 – 0,399 = lemah
3) 0,40 – 0,599 = sedang
4) 0,60 – 0,799 = kuat
5) 0,80 – 1,000 = sangat kuat.
Analisis koefisien determinasi (adjusted R2) dilakukan untuk mengetahui
berapa besar presentase dari variabel independen dapat menjelaskan variabel
dependen. Nilai adjusted R2 yang mendekati seratus persen berarti variabelvariabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan
untuk memprediksi variasi variabel dependen.
55 II.11 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Terakhir dari bab ini mencoba untuk meringkas hasil-hasil penelitian
relevan sebelumnya, termasuk hasil penelitian ini untuk membantu para
pembaca dalam memperoleh gambaran mengenai pengaruh variabel-variabel
yang diteliti terhadap praktik manajemen laba di suatu perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Agnes utari widyaningdyah dalam
jurnal akuntansi dan keuangan mengenai analisis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap earning management pada perusahaan go public di
Indonesia mengunakan reputasi auditor, jumlah dewan direksi, leverage,
presentase yang ditawarkan pada saat IPO sebagai variabel bebas dan
manajemen laba sebagai variabel terikat memberikan hasil penelitian bahwa
hanya variabel leverage yang terbukti berpengaruh terhadap manajemen laba.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deni Darmawati
dalam jurnal bisnis dan akuntansi dengan judul corporate governance dan
manajemen laba yang menggunakan komite audit, Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), dewan direksi, kualitas hubungan perusahaan dengan
pemegang saham, kepemilikan institusional dan transparansi sebagai variabel
bebas dan manajemen laba sebagai variabel terikat memberikan hasil tidak
ditemukannya hubungan negatif antara variabel corporate governance dengan
manajemen laba.
56 Penelitian mengenai manajemen laba oleh Sri H Sulistyanto yang
berjudul analisis pengaruh proporsi dewan komisaris dan keberadaan komite
audit terhadap aktivitas manajemen laba yang menggunakan perubahan
penjualan, perubahan piutang dagang, perubahan gross plant property and
equipment sebagai variabel terikat dan manajemen laba sebagai variabel bebas
memberikan hasil penelitian semua variabel memberikan pengaruh terhadap
manajemen laba kecuali variabel leverage.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmawati dan Zaki Baridwan
yang berjudul pengaruh asimetri informasi perbankan dan ukuran perusahaan
pada manajemen laba dengan model akrual khusus perbakan dalam jurnal
akuntansi dan bisnis dengan menggunakan asimetri informasi, regulasi
tentang tingkat kesehatan, regulasi tentang tingkat kesehatan, regulasi tentang
kehati-hatian dan ukuran bank sebagai variabel bebas dan manajemen laba
sebagai variabel bebas memberikan hasil penelitian semua variabel secara
signifikan terbukti mempengaruhi manajemen laba.
Veronica, Sylvia dan Siddharta Utama melakukan penelitian mengenai
pengaruh struktur kepemilikan yang diukur dengan proporsi kepemilikan
keluarga dan kepemilikan institusional, ukuran perusahaan yang diukur
dengan leverage dan pertumbuhan penjualan dan praktek corporate
governance yang dukur dengan kualitas audit, proporsi dewan komisaris
independen, keberadaan komite audit memberikan hasil penelitian hanya
proporsi kepemilikan keluarga, ukuran perusahaan dan leverage yang terbukti
57 memiliki pengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh
Rahmawati yang meneliti mengenai proporsi kepemilikan manajer dan
determinan-determinan yang berhubungan dengan akrual kelolaan dengan
menggunaan proporsi kepemilikan manajer, pertumbuhan perusahan, ukuran
perusahaan, resiko sistematis saham, variansi laba tahunan dan persistensi
laba sebagai variabel bebas dan manajemen laba sebagai variabel terikat
memberikan hasil penelitian hanya resiko sistematis saham, pertumbuhan
perusahaan dan variansi laba tahunan yang terbukti berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Download