BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekarang ini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sekarang ini peluang untuk mendapatkan keuntungan investasi di pasar
modal semakin terbuka lebar bagi masyarakat luas, sehingga perlu memiliki
strategi yang tepat agar keuntungan tersebut bisa diraih (Manurung, 2004). Ada
beberapa strategi investasi yang biasa digunakan diantaranya adalah contrarian
strategy dan momentum strategy.
Contrarian strategy lebih mengarah kepada overreaction hypothesis (De
Bondt dan Thaler, 1985) sedangkan momentum strategy mengarah kepada
underreaction hypothesis (Jegadeesh dan Titman, 1993). Vayanos dan Wooley
(2013) menyebutkan bahwa contrarian dan momentum investing merupakan dua
anomali yang menjadi central dalam bidang keuangan. Jones (2004) juga
menyampaikan bahwa ada dua strategi yang bisa digunakan oleh investor yaitu
passive strategy dan active strategy, strategi ini biasanya digunakan karena akan
membantu dalam memilih dan mengelola portofolio saham-sahamnya.
Jegadeesh dan Titman (1993) dalam Assoe dan Sy (2003) menunjukkan
bahwa strategi momentum, merupakan tindakan untuk membeli winner (kinerja
saham yang baik di masa lalu) dan menjual loser (kinerja saham yang buruk di
masa lalu) dari enam bulan sebelumnya, sehingga memberikan keuntungan sekitar
1% per bulan selama enam bulan berikutnya di pasar Amerika Serikat.
Sebaliknya, De Bondt dan Thaler (1985) mempopulerkan contrarian strategy dan
menyarankan investor untuk membeli saham-saham loser dan menjual saham-
1
2
saham winner karena akan terjadi pembalikan harga (price reversal), sehingga
saham-saham loser akan memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan
saham-saham winner. Sedangkan momentum strategy menggambarkan bahwa
investor akan membeli pada saat harga-harga sedang mengalami momentum yang
naik dengan harapan momentum gerak naik terus berlanjut di masa depan dan
menjual kembali saat momentumnya telah berhenti dan berbalik arah.
Chan (1988), selaras dengan hasil penelitian dari De Bondt dan Thaler
(1985) mengemukakan bahwa strategi pemilihan saham merupakan membeli
saham loser dan menjual saham winner. Strategi ini diformulasikan bahwa pasar
saham akan bereaksi berlebihan terhadap berita (overreaction), sehingga winner
cenderung
overvalued
dan
loser
undervalued;
(seorang
investor
yang
mengeksploitasi keuntungan inefisiensi ketika harga saham kembali ke nilai-nilai
fundamental).
Semakin tingginya tingkat teknologi informasi akhir-akhir ini membawa
perubahan bagi kehidupan manusia secara cepat dan dinamis, terutama untuk
aliran informasi, tidak ada yang bisa menahannya. Saat ini begitu mudah untuk
mendapatkan informasi apapun, baik itu berita (informasi) yang baik atau positif
(good news) maupun berita (informasi) yang buruk atau negatif (bad news).
Banyak pihak yang terbantu akan kemudahan dalam mengakses informasi ini,
misalnya investor yang harus selalu update akan perubahan berbagai situasi dan
kondisi pada lingkungan internal atau eksternal perusahaan serta kondisi ekonomi
secara keseluruhan yang secara tidak langsung akan memberikan dampak
terhadap pengambilan keputusan dalam melakukan investasi. Namun, tidak semua
3
investor mampu menafsirkan setiap aliran informasi yang datang dengan cermat.
Tanggapan investor terhadap informasi ini dibagi menjadi dua yaitu overreaction
dan underreaction.
Kahneman dan Tversky (1982), menyatakan bahwa pedagang cenderung
overreact terhadap Informasi terbaru dan underreact terhadap data masa lalu.
Termotivasi oleh penemuan dari Kahneman dan Tversky, De Bondt dan Thaler
(1985) menyelidiki peran perilaku psikologis pada orang dalam membeli dan
menjual saham. Mereka membandingkan kinerja dua portofolio, extreme winner
dan ekstreme loser berdasarkan pada return tiga tahun terakhir menemukan bahwa
portofolio loser mengungguli portofolio winner, terbukti secara statistik signifikan
24,6 % dari 36 bulan lebih. Sesuai dengan efficient market hypothesis bahwa pasar
dikatakan efisien, apabila sekuritas mencerminkan semua informasi yang relevan.
Secara nyata tidak cukup mudah dalam memprediksi ketidakpastian yang
dihadapi dalam suatu kondisi, kendala utamanya adalah pada kemampuan kognitif
setiap individu, dari sisi psikologis jika seseorang dihadapkan dalam
ketidakpastian dan feedback yang tidak tersedia, keputusan yang diambil adalah
berdasarkan pada keyakinan yang mencerminkan probabilitas kebenaran
penilaian. Begitupun dalam aktifitas jual beli saham di pasar modal, tingkat
ketidakpastiannya cukup tinggi sehingga memungkinkan potensi munculnya
overconfidence (Kufepaksi, 2007). (Lichtenstein dan Fischhoff, 1997; Taylor dan
Brown, 1988; Ruso dan Schoemaker, 1999 dalam Kufepaksi, 2007) menyebutkan
bahwa fenomena overconfidence adalah kecenderungan pengambilan keputusan
tanpa disadari untuk memberi bobot penilaian yang berlebihan pada ketepatan
4
pengetahuan dan akurasi informasi publik yang tersedia. Peneliti mencoba untuk
menyambungkan bentuk overreaction ini dengan penelitian yang disampaikan
oleh Bloomfied (2000) dalam Habbe (2006) yang menemukan bahwa terjadinya
sikap overreaction dan underreaction terhadap suatu informasi yang diterima
berawal dari adanya kecenderungan sifat investor yang overconfidence.
Hypothesis overreaction ini berkaitan pula dengan bidang psikologi
terapan dan perilaku manusia (behavioral), yang mendorong orang cenderung
untuk bereakasi berlebihan terhadap informasi yang baik ataupun yang buruk.
Bahkan jika diamati sebagian para pelaku pasar dapat overreaction terhadap
informasi jika informasi tersebut adalah informasi yang baik maupun yang buruk
atau informasi baru yang ekstrim yang juga dapat menyebabkan overreaction,
para pelaku pasar akan secara emosional dalam menilai saham yang terlalu
rendah. Untuk menghindari kerugian, para investor akan berprilaku irrasional dan
menginginkan menjual saham-saham yang berkinerja buruk dengan cepat
(Prawitasari, 2013).
Pertanyaannya adalah mengapa investor memiliki kecenderungan untuk
bersikap overreaction atau underreaction? Maka dari para pakar behavioral
finance mencoba untuk menjelasan dari aspek psikologi beberapa perumusan
model teoretis mengenai hal ini diantaranya adalah Barbaries, et al. (1998) dalam
Habbe (2006). Ada dua asumsi yaitu (1) investor yang konservatif, dan (2)
kecenderungan bereaksi lamban. Daniel, et al. (1998) dalam Habbe (2006)
menyebutkan bahwa investor overreaction terhadap informasi pribadi dan
underreaction terhadap informasi publik. Hong dan Stein (1999) dalam Habbe
5
(2006) memberikan gambaran bahwa pasar memiliki dua kelompok investor yang
berdagang berdasarkan setting informasi yang berbeda (Analisis tekhnikal)
Secara khusus, bursa saham di negara-negara maju telah mengalami
pengujian yang kuat terhadap kinerja untuk melihat anomali yang mungkin bisa
digali. Pasar modal Indonesia masih dapat mewujudkan potensi untuk menggali
anomali yang umumnya dipandang mencerminkan pasar yang tidak efisien.
Berbagai studi menguji fenomena tertentu seperti thin trading, IPO, size effect,
nilai dibandingkan pertumbuhan saham price earning (P/E), book-to-market
(B/M) dan sebagainya, menunjukkan bahwa traders dapat membuat abnormal
profits dengan menggunakan strategi tertentu (Locke dan Gupta, 2009).
Fenomena
reaksi
yang berlebihan
(overreaction)
ini
merupakan
manifestasi dari ketidakefisienan pasar dengan adanya asymmetric information,
yaitu kondisi yang menunjukkan ketika sebagian investor memiliki informasi
yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Ketidakefisienan pasar yang ditunjukkan
oleh De Bondt dan Thaler (1985), bahwa pasar cenderung bereaksi secara
berlebihan dalam merespon informasi yang baik (good news) maupun yang tidak
baik (bad news). Hipotesis overreaction ini menjadi penyebab terjadinya anomali
winner-loser, yaitu saham yang pada awalnya (formation grade) memperoleh
tingkat return yang positif (winner) atau negatif (loser) akan mengalami
pembalikan (reversal) pada periode selanjutnya (subsequent test period).
Berkaitan dengan anomali winner-loser, dari adanya return reversal yang dialami
saham-saham loser dan winner tersebut memunculkan strategi investasi yaitu
contrarian investment startegy. (Widiastuti dan Jaryono, 2011).
6
Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulu. Yang (1997)
meneliti tentang overreaction di TSE (Taiwan) memberikan bukti dengan hasil
empiris bahwa contrarian strategy di Taiwan menggunakan anomali firm size dan
February seasonality. Chang (1995) menunjukkan bahwa short run contrarian
strategy tetap menguntungkan setelah dilakukan pengontrolan terhadap systematic
risk and size. Ahmad dan Hussain (2001) yang melakukan penelitian di Malaysia
(KLSE) selama tahun 1986-1996, memberikan bukti bahwa dengan menggunakan
strategi kontrarian akan mendapatkan profit yang cukup potensial. Hadi (2008)
dalam Widiastuti dan Jaryono (2011) melakukan penelitian dengan sampel
perusahaan-perusahaan di BEJ, membuktikan bahwa strategi investasi kontrarian
dapat diterapkan di BEJ setelah disesuaikan dengan size dan resiko karena
menghasilkan Abnormal return.
Locke dan Gupta (2009) melakukan penelitian tentang penerapan strategi
kontrarian di Bombay Stock Exchange (BSE) serta menjelaskan berbagai anomali
yang terjadi di pasar, ada tiga isu-isu spesifik yang diselidiki dalam penelitiannya
dengan beberapa model. Pertama, dapatkah trader book a profit menggunakan
strategi kontrarian? uji Portofolio menghasilkan earned a contrarian profit dari
74.40 % di atas return pasar. Kedua, perbedaan risiko antara portofolio winner
dan loser ditemukan fenomena yang independen. Ketiga, ukuran perusahaan
tampaknya memainkan peran penting dalam menjelaskan overreaction hypothesis.
Namun sebaliknya hasil penelitian dari Shen, et al (2005) tidak memberikan
dukungan terhadap adanya strategi kontrarian, begitupun penelitian yang
dilakukan oleh Warninda (1998) menyebutkan bahwa di BEJ (Bursa Efek Jakarta)
7
tidak menemukan indikasi pada overreaction pasar dan tidak mendukung bahwa
investor dapat menggunakan strategi investasi kontrarian serta tidak menemukan
perbedaan antara ukuran rata-rata dari saham winner dan loser.
Untuk menuju pada kesimpulan apakah terdapat strategi kontrarian atau
tidak, maka sebelumnya akan dilakukan pembentukan (formasi) dan pengujian
terhadap portofolio saham-saham yang akan menjadi sampel pada penelitian,
sehingga akan ada pemisahan yang jelas antara portofolio saham winner (saham
yang bernilai tinggi) dengan portofolio saham loser (saham yang bernilai rendah).
Ada dua periode pembentukan (formasi) dan pengujian pada portofolio sahamsaham winner dan loser yaitu periode overlapping dan non-overlapping.
De Bondt dan Thaler (1985) menggunakan periode non-overlapping dalam
melakukan pembentukan (formasi) dan pengujian portofolio saham-saham winner
dan loser dengan standar pembentukan sebesar 10% (decil). Begitupun dengan
penelitian yang dilakukan oleh Chan (1988), Atkins dan Dyl (1990) hanya saja
yang membedakan dalam melakukan perhitungan abnormal return. Ali, et al.
(2013) juga menggunakan periode yang sama dengan pendahulunya yaitu De
Bondt dan Thaler (1985) tetapi Ali, et al. (2013) menggunakan standar
pembentukan yang berbeda yaitu 20% dan sampel yang digunakan juga berbeda
dalam penelitiannya yaitu menggunakan saham-saham syari’ah walaupun hasilnya
mengindikasikan terdapat strategi kontrarian. Beberapa peneliti terdahulu
diantaranya adalah Ahmad dan Hussain (2001), Loughran dan Ritter (1996) serta
Chen dan Sauer (1997) melakukan pembentukan dan pengujian portofolio saham
8
winner dan loser yang berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu dengan
menggunakan periode overlapping.
Pada penelitian ini akan dilakukan dua periode pembentukan (formasi) dan
pengujian portofolio saham-saham winner dan loser yaitu periode overlapping
dan non-overlapping, seperti yang telah dilakukan oleh Locke dan Gupta (2009)
dengan tujuan untuk memberikan pemahaman mengenai dinamika dibalik strategi
kontrarian (misalnya fenomena reversal) dan untuk melihat konsistensi dari
hipotesis penelitian akan dilakukan robustness check, sehingga nantinya akan
terlihat perbedaan pada kedua periode tersebut yang pada akhirnya akan
menunjukkan bisa atau tidaknya penerapan strategi kontrarian di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
Maka dari penjelasan di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pengujian kembali strategi kontrarian di Bursa Efek Indonesia pada
periode 2009-2014.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti menetapkan rumusan
masalah sebagai berikut:
a. Apakah terdapat pembalikan return (return reversal) pada portofolio saham
winner dan loser pada periode pembentukan (formasi) dan pengujian?
b. Apakah strategi kontrarian dapat digunakan di Bursa Efek Indonesia untuk
memperoleh abnormal return?
9
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dinyatakan di atas maka
penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Untuk menguji adanya pembalikan return (return reversal) pada portofolio
saham winner dan loser pada periode pembentukan (formasi) dan pengujian.
b. Untuk menguji penggunaan strategi kontrarian di Bursa Efek Indonesia guna
mendapatkan abnormal return.
1.4
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut di atas, manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini adalah seperti di bawah ini:
a. Kontribusi Kebijakan
Dengan penelitian ini diharapkan investor mendapatkan pandangan yang
cukup kuat dalam melakukan strategi investasi di pasar modal. Sehingga bisa
mengurangi kekeliruan dalam pengambilan keputusan.
b. Kontribusi Metodologi
Pengujian kembali strategi kontrarian ini untuk melihat adanya konsistensi
hasil dengan menggunakan dua periode penelitian yaitu overlapping dan nonoverlapping sehingga akan memberikan gambaran mengenai adanya return
reversal pada kedua periode tersebut pada periode tertentu pada saat pengujian
portofolio saham-saham winner dan loser.
10
c. Kontribusi Empiris
Untuk menambah wawasan ilmu dalam bidang keuangan terutama untuk
analisis strategi investasi di pasar modal. Memberikan kontribusi serta referensi
dalam melakukan penelitian-penelitian selanjutnya yang sudah dipastikan
banyak perubahan informasi yang masuk sehingga perubahan yang besar tentu
akan terjadi pada kondisi pasar modal di Indonesia.
Download