penyakit respon imun bab 9

advertisement
BAB
PENYAKIT RESPON IMUN
9
9.1. PENDAHULUAN
Definisi: Hipersensitivitas adalah reaksi yang tidak diinginkan (adanya
kerusakan, ketidaknyamanan, kadang-kadang fatal) yang dihasilkan oleh adanya
sistem imun pada kondisi tertentu. Reaksi hipersensitivitas memerlukan status
imun awal dari hospes.
Dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV, berdasar pada
mekanisme yang terlibat dan waktu yang diperlukan untuk timbulnya reaksi
tersebut. Seringkali, suatu kondisi klinik khusus (penyakit) dapat melibatkan lebih
dari satu tipe reaksi hipersensitivitas.
9.2. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Juga dikenal sebagai hipersensitivitas tipe cepat atau anafilaksis, yang
dapat terjadi pada kulit (urtikaria dan eksim), mata (konjungtivitas), nasofaring
(rinorea, rinitis), jaringan bronkhopulmonari (asma) dan traktus gastro-intestinal
(gastroenteritis).
Reaksinya dapat menyebabkan simtom ketidaknyamanan minor sampai
kematian. Waktu yang diperlukan 15-30 menit dari saat terjadinya paparan
antigen (alergen), meskipun kadang-kadang mempunyai onset yang lebih
panjang (10-12 jam ). Reaksi hipersensitivitas tipe I, diperantarai antibodi IgE.
Komponen sel utama yang terlibat: sel mast atau basofil. Reaksi dapat
diperbesar dan/atau dimodifikasi oleh platelet, neutrofil dan eosinofil.
Biopsi dari tempat terjadinya reaksi, mengandung terutama sel mast dan basofil.
Mekanisme reaksi didahului dengan produksi IgE dalam respon terhadap antigen
tertentu (alergen).
IgE mempunyai afinitas yang tinggi untuk reseptornya pada sel mast dan
basofil. Paparan berikutnya dengan alergen yang sama, membentuk ikatan
silang dengan IgE yang terikat pada sel dan membebaskan berbagai senyawa
aktif secara farmakologis. (Gambar 1).
Ikatan silang diatas penting dalam memacu sel mast. Degranulasi sel mast dan
didahului dengan kenaikan Ca++ influk, merupakan proses yang menentukan;
ionofor yang meningkatkan Ca++ sitoplasmik juga mendukung degranulasi,
sedangkan antigen yang mengosongkan Ca++ sitoplasmik menekan terjadinya
degranulasi.
Gambar 1 : Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Senyawa yang dilepas oleh sel mast dan efeknya terdapat dalam Tabel 1.
Sel mast dapat juga dipacu oleh perangsang yang lain, misal olahraga, stres,
senyawa kimia (media pengembang fotografi, kalsium ionofor, kodein dll.),
Anafilatoksin (C4a, C3a, C5a, dll.).
Reaksi yang terjadi tanpa adanya interaksi dengan IgE-alergen, bukan
merupakan reaksi hipersensitivitas meskipun simtom yang timbul sama.
Tabel 1. Mediator Farmakologik Hipersensitivitas tipe I
Mediator
Bentuk Pre-mediator dalam granul
Histamin
bronkhokonstriksi, sekresi mukus, vasodilatasi,
permeantibodiilitas vaskuler
Triptase
Proteolisis
Kininogenase
kinin dan vasodilatasi, permeantibodiilitas
vaskuler edema
ECF-A
menarik eosinofil and neutrofil (tetrapeptida)
Bentuk baru mediator
Leukotriene B4
menarik basofil
Leukotrien C4, D4
sama seperti histamine tetapi 1000 x lebih poten
Prostaglandin D2
edema dan nyeri
PAF
agregasi
platelet
dan
pelepasan
heparin:
mikrotrombi
Reaksi tersebut diperbesar oleh PAF (platelet activating factor) yang
menyebabkan agregasi platelet dan membebaskan histamin, heparin, dan amin
vasoaktif. ECF-A dan NCF-A, yang menarik eosinofil dan neutrofil, melepas
enzim hidrolitik dan menyebabkan nekrosis. Eosinofil juga mengontrol reaksi
setempat dengan membebaskan arilsulfatase, histaminase, fosfolipase-D dan
prostaglandin-E, meskipun perannya masih menjadi pertanyaan.
Nukleotida
siklik
juga
mempunyai
peran
dalam
memodulasi
reaksi
hipersensitivitas tipe I, meskipun fungsi yang tepat belum jelas. Senyawa yang
mengubah level cAMP dan cGMP secara signifikan mengubah simtom alerginya.
Jadi senyawa yang meningkatkan cAMP intraseluler melepas simtom alergik,
khususnya pada bronkhopulmonari, dan digunakan untuk pengobatan (Tabel 2).
Sebaliknya, senyawa yang menurunkan cAMP atau menstimulasi cGMP
menambah berat kondisi alergik.
Tabel 2. Hubungan antara Simtom Alergi dan Siklik Nukleotida
Meningkatkan cyclic-AMP
Menurunkan cyclic-AMP
Stimulasi reseptor a-adrenergik
Stimulasi reseptor B-adrenergik
(nor-epinephrin, phenyl-
(epinephrine, isoproterenol)
epinephrine)
atau
Memblok reseptor a-adrenergic
Memblok reseptor 13-adrenergik
(phenoxybenzamine)
(propanolol)
Menghambat phosphodiesterase
(theophylline)
Meningkatkan cyclic-GMP
Mengikat histamin-2 or PGE ke
Stimulasi reseptor ?-cholinergic
reseptornya
(acetyl choline, carbachol)
MEMPERBURUK SIMTOM
MEMPERBAIKI SIMTOM
Tes diagnostik hipersensitivitas tipe I, termasuk test kulit, pengukuran IgE total
dan Antibodi IgE spesifik terhadap alergen yang dicurigai,
dengan ELISA
yang dimodifikasi.
Kenaikan jumlah IgE menunjukkan adanya kondisi atopik, meskipun IgE dapat
juga meningkat jumlahnya dalam beberapa penyakit non atopik (misal miloma,
infeksi cacing, dll).
Pengobatan simtomatik dapat dicapai dengan anti-histamin yang memblok
reseptor histamin. Natrium kromolin menghambat degranulasi sel mast,
kemungkinan dengan jalan menghambat Ca ++ influk.
Simtom onset alergi yang tertunda, khususnya
bronkhokonstriksi yang
diperantarai leukotrien diberi pengobatan pemblok reseptor leukotrien (Singulair,
Accolate) atau inhibitor jalur siklooksigenase (Zileutoin). Simtomatik, meskipun
singkat waktunya, pertolongan
dengan
Albuterol).
untuk
bronkhokonstriksi dapat
diperoleh
bronchodilator (inhalan) seperti derivat isoproterenol (Terbutalin,
Teofilin
juga
dapat
digunakan
untuk
membebaskan
simtom
bronkhopulmonari.
Hiposensitisasi (imunoterapi atau desensitisasi) adalah pengobatan lain yang
juga berhasil dalam beberapa alergi, khususnya gigitan serangga dan polen.
Mekanismenya belum jelas, tetapi ada korelasi antara munculnya antibodi IgG
dan pembebasan dari simtom. Sel T supresor yang menghambat IgE adalah
yang berperan.
9.3. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II
Juga dikenal sebagai hipersensitivitas sitotoksik dan mempengaruhi
bermacam-macam
organ
dan
jaringan.
Antigen
secara
normal
adalah
endogenus, meskipun senyawa kimia eksogenus yang dapat mengikat membran
sel, juga dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe II. Sebagai contoh adalah
obat yang menginduksi terjadinya anemia hemolitik, granulositopenia dan
trombositopenia. Waktu timbulnya reaksi, beberapa menit sampai beberapa jam.
Hipersensitivitas tipe II terutama diperantarai oleh antibodi IgM atau IgG dan
komplemen (Gambar 2). Sel fagosit dan sel K juga berperan.
Gambar 2 : Mekanisme hipersensitivitas tipe H (sitotoksisitas)
Lesinya mengandung antibodi, komplemen dan neutrofil. Test diagnostik meliputi
pendeteksian antibodi terhadap jaringan yang terlibat, yang terdapat dalam
sirkulasi,
terdapatnya
antibodi
serta
komplemen
dalam
biopsi
dengan
imunofluoresen Pengobatan melibatkan agen anti-inflamasi dan imuno-supresif.
9.4. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Juga dikenal sebagai hipersensitivitas kompleks imun. Reaksinya umum
(mis. Serum Sickness) atau melibatkan organ, misal kulit (mis. S L K, Arthus
Reaction), ginjal (mis. Lupus Nephritis), paru-paru (mis. Aspergillosis), pembuluh
darah (mis. Polyarthritis), sendi (mis. Rheumatoid Arthritis) atau organ yang lain.
Reaksi ini merupakan gambaran mekanisme patogenik suatu penyakit yang
disebabkan oleh beberapa bakteri. Waktu reaksi terjadi 3-10 jam setelah paparan
antigen. (Arthus Reaction), diperantarai kompleks imun larut, terutama IgG,
meskipun IgM juga terlibat.
Antigennya, eksogenus (Chronic bacterial, infeksi atau parasit) atau
endogenus (non-organ autoimunitas spesifik, misal SLE). Antigennya, antigen
larut dan tidak melekat pada organ yang terlibat. Komponen utama adalah
kompleks imun dan produk komplemen larut (C3a, 4a dan 5a).
Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh platelet dan neutrofil (Gambar 3).
Lesinya mengandung, terutama neutrofil dan timbunan kompleks imun serta
komplemen. Masuknya makrofag pada tahap akhir, terlibat dalam proses
penyembuhan. Afinitas antibodi dan besarnya kompleks imun, adalah hal yang
penting untuk timbulnya penyakit dan determinasi jaringan yang terlibat.
Diagnosa melibatkan pemeriksaan biopsi jaringan untuk mengetahui adanya
timbunan
imunoglobulin
dan
komplemen,
dengan
imunofluoresen.
Hasil
pengecatan imunofluoresen hipersensitivitas tipe III adalah granular (untuk
hipersensitivitas tipe II adalah linier). Adanya kompleks imun dan berkurangnya
jumlah komplemen dalam serum, juga dapat digunakan sebagai diagnosa.
Turbiditas yang diperantarai polietilenglikol (Nephelometri) dan tes
dengan sel Raji, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kompleks imun.
Pengobatan dengan menambahkan agen anti-inflamasi.
Gambar 3 : Mekanisme Terjadinya Kerusakan dalam Hipersensitivitas
Tipe III
9.5. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
Dikenal
sebagai
hipersensitivitas
yang
diperantarai
sel
atau
hipersensitivitas tipe lambat (tertunda). Contoh hipersensitivitas tipe IV adalah
Tes Tuberkulin (Mantoux) yang dapat diketahui puncaknya pada jam ke 48
setelah suntikan antigen. Lesi karakteristik, terjadinya indurasi dan eritema.
Hipersensitivitas tipe IV terlibat dalam patogenesis dari beberapa penyakit
autoimun dan infeksi (tuberkulosis, leprosi, blastomikosis, histoplasmosis,
leishmaniasis, dll.) dan granuloma yang terjadi karena infeksi dan antigen asing.
Bentuk lain dari hipersensitivitas tipe IV adalah dermatitis kontak (racun Ivy,
senyawa kimia, logam berat, dll.), dimana lesinya lebih papular. Hipersensitivitas
tipe IV dapat diklasifikasi menjadi 3 katagori tergantung pada waktu onset,
presentasi klinik dan histologikal (Tabel 3).
Tabel 3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Tipe
kontak
Waktu
Penampakan
Reaksi
Klinis
48-72 jam
Eksim
Histologi
Antigen dan
tempat reaksi
Limfosit disertai
Epidermal
makrofag; edema
(senyawa organik,
dari epidermis
racun ivy, logam
berat, dll.)
tuberkulin
48-72 jam
indurasi lokal
limfosit, monosit,
intradermal (tuber-
makrofag
kulin, lepromin,
dll).
granuloma
21-28 hari
Pengerasan
Makrofag,
antigen menetap
epitheloid dan
atau antigen asing
giant cells,
(tuberkulosis,
fibrosis
leprosi, dll.)
Mekanisme terjadinya kerusakan dalam hipersensitivitas tipe IV , meliputi
sel T dan monosit, dan / atau makrofag. Sel T sitotoksik menyebabkan kerusakan
langsung, sedangkan sel Th 1 mensekresi sitokin yang mengaktifkan sel T
sitotoksik dan merekrut dan mengaktifkan monosit dan makrofag, yang
menyebabkan besarnya kerusakan. Lesinya mengandung monosit dan sejumlah
sel T.
Limfokin yang terutama terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV,
yaitu: MCF (Monocyte Chemotactic Factor), EL-2, INF-γ, TNF-α/β, dll. Tes
diagnostik in vivo, misal reaksi Mantoux dan Tes Goresan (untuk dermatitis
kontak). In vitro: respon mitogenik, produksi limfositotoksisitas dan EL-2.
Pengobatan: kortikosteroid dan imuno-supresif yang lain.
Tabel 4. Perbandingan Tipe-tipe Hipersensitivitas
Karakteristik
Tipe-I
Tipe- II
Tipe-III
Tipe-IV
(anafilakik)
(sitotoksik)
(kompleks
(tipe
imun)
tertunda)
IgG, IgM
-
IgE
Antibodi
eksogenus
Antigen
IgG, IgM
Permukaan
larut
jaringan & sel
organ
15-30 menit
Waktu
menit- jam
3-8 jam
lisis dan
eritema dan
eritema dan
nekrosis
edema,
indurasi
Respon
Penampakan
weal & flare
48-72 jam
nekrosis
Histologi
basofil dan
antibodi dan
komplemen
monosit dan
eosinofil
komplemen
dan neutrofil
limfosi
antibodi
sell
Eritroblastosis
SLE, penyakit
tes tuberkulin,
fetalis,
paru-paru
racun ivy,
goodpasture's
pada petani
granuloma
Antibodi
Transfer
dengan
alergi asma,
Contoh
hay-fever
antibodi
nefritis
9.6. PENYAKIT AUTOIMUNITAS
Beberapa penyakit yang bersifat individual dapat terjadi oleh adanya
respon imun. Secara umum, penyakit yang disebabkan oleh respon imun dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Autoimunitas
2. Hipersensitivitas (sudah diberikan dalam satu bab dengan
autoimunitas)
Autoimunitas
Definisi gagalnya mekanisme yang bertanggungjawab untuk toleransi self dan
induksi respon imun terhadap komponen self. Respon imun yang terjadi tidak
selalu merugikan bagi hospes (misal : antibodi anti-idiotype). Walaupun
demikian, telah dikenal adanya beberapa penyakit autoimun yang merupakan
produk sistem imun yang menyebabkan kerugian pada hospes itu sendiri. Efektor
yang terlibat dalam mekanisme penyakit autoimun adalah antibodi dan sel T
Klasifikasi penyakit autoimun
Klasifikasinya berdasar pada organ dan jaringan yang terlibat. Pada label 5
diberikan nama penyakit, organ yang terlibat, antibodi yang berperan, serta tes
diagnostik yang digunakan.
Tabel 5 : Spektrum penyakit autoimun, organ target dan tes diagnostik
Penyakit
Hashimoto's
Organ
Tiroid
thyroiditis
Miksidem primer
Antibodi
Tiroglobulin, tiroid
Tes Diagnostik
RIA
peroksidase
Tiroid
Reseptor TSH
Imunofluoresen
sitoplasmik
Graves disease
Tiroid
-
Bioassay
Anemia pernisiosa
Sel darah merah
Faktor intrinsik, sel
Imunofluoresen B
perietal gastrik
12 binding to IF
Penyakit addison
Adrenal
Sel adrenal
Imunofluoresen
Onset menopos
Ovarium
Sel yg mem-
Imunofluoresen
prematur
Infertilitas laki-laki
produksi steroid
Sperma
Spermatozoa
Aglutinasi.
Imunofluoresen
Reaksi Silang Antigen
Antigen pada patogen tertentu mempunyai determinan (epitop) yang
bereaksi silang dengan antigen self dan respon imun terhadap determinan
tersebut dapat menghasilkan efektor sel dan antibodi terhadap antigen jaringan.
Misal pada paska penyakit nefritis dan karditis yang disebabkan streptokokus
dan terjadinya antibodi antikardiolipin selama sifilis.
Diagnosis
Diagnosis penyakit autoimun didasarkan pada simtom dan deteksi antibodi
(dan/atau sel T sangat awal) reaktif terhadap antigen jaringan dan sel yang
terlibat. Metode Imunoflouresen digunakan untuk deteksi antibodi terhadap
antigen seyjaringan, sedangkan Elisa atau radioimunoasay untuk deteksi antibodi
terhadap antigen larut.(Tabel 1). Pada beberapa penyakit dapat digunakan asay
secara biologik/biokimiawi, misal penyakit Grave dan anemia pernisiosa
Pengobatan : Pada saat ini penggunaan anti-inflamasi (kortikosteroid) dan
imunosupresor (siklosporin), diberikan untuk pengobatan penyakit autoimun.
Diharapkan dimasa yang akan datang dapat digunakan metode pengobatan
yang lebih tepat berdasar pada pengertian modern sistem imun, misal:
penggunaan antibodi anti-idiotipe, peptide antigen, antibody anti IL-2, antibody
anti CD4, antibody TCR dll).
Model Eksperimenental Penyakit Autoimun
Ada beberapa binatang uji yang dapat digunakan sebagai model penelitian untuk
penyakit autoimun dan penelitian yang dilakukan dapat berupa ensefalitis
autoalergik, tiroidisme, arthritis yang diinduksi dengan adjuvant dll.
Gambar 4: Mekanisme Induksi Autoimunitas
Anda telah Mempelajari :
1. Perbedaan antara tipe hipersensivitas I, II, III, dan IV
2. Mekanisme kerusakan yang diperantai dan overlap diantara mereka
3. Tes diagnostic untuk penyakit hipersensitivitas dan pengobatannya
4. Keadaan autoimun dan contoh penyakit akibat autoimun
Download