BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini di berbagai belahan bumi mengalami masalah kesehatan masyarakat yang sangat kompleks dan menjadi beban ganda dalam pembiayaan pembangunan bidang kesehatan. Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 206 juta jiwa (Sensus penduduk, 2000), dihadapkan pada masalah kesehatan yang tidak jauh berbeda. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare dan penyakit kulit, namun pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes melitus dan kanker, selain itu Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome). Sejak HIV/AIDS teridentifikasi pada tahun 1982, yang dikenal sebagai Gay Related Immune Deficiency (GRID), yakni penurunan kekebalan tubuh yang dihubungkan dengan kaum gay, HIV/AIDS telah menjadi pandemi dan problem kesehatan utama di dunia hingga saat ini. WHO pada tahun 2003 mengestimasikan 37,8 juta orang terinfeksi HIV/AIDS. Pada tahun 2005 akhir, estimasi menjadi 53,6 juta, dan pada tahun 2007 estimasi menggunakan perhitungan baru dengan jumlah 33 Universitas Sumatera Utara juta orang terinfeksi, tetapi yang sudah meninggal 23 juta orang. Infeksi baru per tahun meningkat drastis dari 4 juta menuju 8 juta (UNAIDS 2008). Pandemi HIV/AIDS di Indonesia terjadi sejak kasus pertama ditemukan tahun 1987, walaupun sebenarnya sudah menjadi isu sejak 1986, dengan meninggalnya seorang pasien di sebuah rumah sakit, bahkan sejak tahun 1983, pada kelompok waria, beberapa dari mereka CD4 sangat rendah (Djoerban, 2000). Pasien angka kesakitan terhadap penyakit ini terus meningkat, karena di samping belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan, penyakit ini juga memiliki window period dan fase asimtomatik yang relatif panjang. Hal tersebut di atas menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena. Indonesia tergolong negara dengan tingkat epidemi HIV/AIDS yang terkonsentrasi, yaitu prevalensi kurang dari 1% pada populasi umum tetapi lebih dari 5% pada populasi tertentu (Depkes, 2006). Kelompok berisiko tinggi tersebut adalah; 1. Pengguna napza suntik (injection drug users / IDU), 2. Pekerja seks komersil. Kelompok terakhir ini meliputi; pekerja seks perempuan, waria dan pekerja seks lakilaki. Tingkat epidemi ini menunjukkan tingkat perilaku berisiko yang cukup aktif menularkan penyakit di suatu sub populasi tertentu. Komite Penanggulangan HIV/AIDS Nasional menyatakan status darurat terhadap bahaya penularan HIV/AIDS, artinya, bahaya HIV/AIDS dan bagaimana pencegahannya sudah sangat mendesak untuk diketahui masyarakat. Saat ini saja dilaporkan pada akhir tahun 2007 terdapat 11.141 pasien AIDS dan 6.066 orang HIV Universitas Sumatera Utara positif. Jumlah ini diperkirakan hanya 10% dari seluruh orang yang terinfeksi HIV di Indonesia (KPA Nasional, 2008). Berdasarkan data estimasi, kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara lebih kurang 12.000 hingga 13.000 orang. Data terakhir Dinas Kesehatan Sumut sejak tahun 1992 hingga Juni 2008 kasus HIV/AIDS sebanyak 1316 dengan rincian 771 kasus HIV dan 545 kasus AIDS, berarti baru 10 persen kasus yang ditemui dari perkiraan. Padahal Sumut merupakan peringkat ketujuh penderita HIV/AIDS di Indonesia (Ditjen PP&PL Depkes RI, 2008). Kota Medan memiliki jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak di antara seluruh kabupaten/kota di Sumut, hingga Juni 2008, jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS adalah 968, dengan rincian HIV (+) sebanyak 620 orang, dan AIDS sebanyak 348 orang (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2008). Problem yang sangat mengancam, selain melalui hubungan seksual timbulnya HIV/AIDS adalah efek penggunaan NAPZA melalui jarum suntik. Di Indonesia hal ini merupakan sebuah fenomena baru, dideteksi 3 – 4 tahun terakhir, jika fenomena ini timbul, maka akan terjadi second explossion of HIV/AIDS epidemic. Di Thiland pola HIV/AIDS dimulai dari IDU tapi di Indonesia pola HIV/AIDS dimulai dari seks, baru beberapa tahun terakhir pemakaian NAPZA melalui jarum suntik mulai menjadi pola penyebab timbulnya HIV/AIDS. Penularan secara cepat terjadi karena pemakaian jarum suntik bersama. Para penyalah guna NAPZA suntik ini dapat pula menulari pasangan seksualnya. Dikalangan pengguna NAPZA suntik infeksi HIV Universitas Sumatera Utara berkisar antara 50 sampai 90% . Penggunaan NAPZA suntik biasanya dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga tidak mudah memperkirakan pengguna NAPZA suntik di Indonesia. Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria memberikan kontribusi penularan HIV/AIDS yang signifikan. Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan, MSM (Man that have Sex with Man) dan waria ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit HIV ketimbang masyarakat umum, AMFAR mengeluarkan kesimpulan ini setelah melakukan penelitian di 129 negara. Hasil penelitian itu ternyata tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian badan AIDS PBB yang menyebutkan 44% dari warga negara yang terkena AIDS adalah kaum gay dan biseksual (UNAIDS, 2008) Departemen Kesehatan memperkirakan jumlah waria di Indonesia pada tahun 2007 adalah 20.960 hingga 35.300 orang. Prevalensi HIV di kalangan waria berdasarkan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP), sejak tahun 1995 yang hanya 0,3%, lalu di tahun 1996 menjadi 3,2%, dan 6% di tahun 1997. Estimasi Populasi KPAND Sumatera Utara 2008, untuk Kota Medan, diperkirakan jumlah waria 790 orang, Klien waria 11.230 orang. Beberapa faktor menyebabkan kelompok ini mudah terserang HIV, di antaranya adalah migrasi dan mobilitas yang tinggi, mereka sering berpindah dari satu lokalisasi ke lokalisasi lain, stigma dan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, Universitas Sumatera Utara dan akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan (Hawari, 2001). Orang yang terjangkit virus HIV pada tahap awal, biasanya tak merasakan tanda berarti secara fisik, sehingga mereka enggan memeriksakan dirinya ke layanan kesehatan. Waria dan gay merupakan salah satu kelompok risiko tinggi (risti) untuk tertular IMS dan HIV/AIDS. Dari pengalaman penulis dalam pendampingan waria dan gay diketahui bahwa sebagian besar waria di Kota Medan bekerja sebagai pekerja seks. Aktivitas seks mereka umumnya adalah seks anal dan oral. Seks anal atau melakukan hubungan seks melalui anus mempunyai risiko perlukaan pada anus (karena anus tidak elastis), sehingga dengan adanya luka di daerah anus, jika pasangan seks terkena IMS dan HIV maka akan lebih mudah ditularkan. Tingkat penggunaan kondom juga masih rendah, demikian juga halnya dengan informasi tentang penularan IMS dan HIV/AIDS (Gerakan Sehat Masyarakat, 2009). Waria memiliki permasalahan yang kompleks, terutama dalam masalah kesehatan dan masalah kependudukan. Banyak kasus menunjukkan waria enggan untuk datang ke tempat pelayanan kesehatan umum karena berbagai alasan. Berdasarkan pengamatan penulis selama mendampingi waria, secara sadar atau tidak mereka mengungkapkan enggan memeriksakan diri ke klinik VCT, karena VCT merupakan program yang diadakan pemerintah untuk kepentingan penyedia layanan ini. Mereka beranggapan pemerintah hanya setengah hati dan tidak tulus dalam menjalankan program. Bentuk resistensi yang mereka lakukan adalah meminta bayaran ketika petugas kesehatan yang melakukan mobile clinic datang ke lokasi Universitas Sumatera Utara mangkal mereka. Anggapan sebagian dari mereka adalah petugas kesehatan mendapatkan rupiah setiap sample darah yang diambil dari mereka. Demikian juga dalam masalah kependudukan, sebagian besar waria tidak memiliki kartu identitas, tidak jarang mereka menemui kesulitan mengurus kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu identitas lainnya. HIV/AIDS memiliki dampak besar pada penderita dan keluarga. Pencegahan penyebaran infeksi dapat diupayakan melalui peningkatan akses perawatan dan dukungan pada penderita HIV/AIDS dan keluarganya. Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah salah satu bentuk upaya tersebut. VCT merupakan strategi efektif pencegahan dan perawatan HIV (Depkes RI, 2006). VCT terutama ditujukan bagi kelompok risti HIV/AIDS dan keluarganya. Tetapi layanan VCT ini juga dapat dilakukan masyarakat umum yang ingin mengetahui status HIV melalui tes. Mereka yang menggunakan layanan VCT di dalam dirinya ada perasaan kuat tentang tata nilai, aktivitas seksual, diagnosis dan seringkali mereka betul-betul menurunkan perilaku berisikonya. VCT memberikan keuntungan baik bagi mereka yang positif maupun bagi mereka yang negatif. VCT dapat mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi mereka tentang faktor risiko terkena infeksi HIV, mengembangkan perubahan perilaku, secara dini mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi anti retroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat (UNAIDS, 2001). Universitas Sumatera Utara Tim monev Sekretariat KPAN pada tahun 2007 mencatat jumlah cakupan program populasi kelompok risiko tinggi seksual yang mendapat pelayanan VCT pada WPS 69,95%, waria 50%, laki-laki suka laki-laki (LSL) 53,64%. Masalah yang kemudian timbul adalah masih sedikit waria yang mau melakukan tes HIV/AIDS, meskipun telah mendapatkan informasi baik melalui proses konseling maupun media lainnya, dalam artian masih rendahnya pemanfaatan klinik VCT yang tersedia, baik klinik VCT yang ada di rumah sakit maupun yang berdiri sendiri. Padahal VCT merupakan salah satu bagian kecil dari rumah sakit, sehingga untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit secara umum seyogyanya terlebih dahulu dimulai dari unit-unit kecil tersebut, salah satunya adalah klinik VCT. Rendahnya pemanfaatan VCT diperkirakan karena VCT berbasis pada kebutuhan dan memerlukan persetujuan (informed consent) dari orang yang akan dites, dalam artian tes HIV harus selalu atas keputusan klien. Terkait dengan keputusan, Starr (1981) menyebutkan bahwa keputusan yang diambil seseorang yang berlaku umum unsur-unsur atau komponennya adalah: 1. Tujuan harus ditegakkan dalam pengambilan keputusan. 2. Identifikasi alternatif. 3. Faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya. 4. Dibutuhkan sarana untuk mengukur hasil yang dicapai. Robbins (2003) menyebutkan dalam mengambil keputusan, kualitas dari pilihan terakhir mereka sebagian besar dipengaruhi oleh persepsi mereka. Keputusan Universitas Sumatera Utara tidak selalu mengikuti proses rasional yang diracik cermat. Ketika individu memandang ke objek tertentu dan coba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi itu. Selanjutnya Robbins mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi persepsi adalah faktor pada pemersepsi, faktor dalam situasi, dan faktor pada target. Faktor pada pemersepsi, adalah sikap, motif, kepentingan, pengalaman, dan pengharapan. Variabel dalam situasi adalah waktu, keadaan lingkungan, keadaan sosial. Adapun faktor pada target meliputi hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan. Perbedaan ini menggambarkan bahwa persepsi individu tidak sama antara satu individu dengan individu lainnya. Hubungan persepsi dengan pengambilan keputusan, merujuk penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurjannah (2003), tentang persepsi dengan keputusan pembelian obat penurun panas anak yang diiklankan media elektronik di Jakarta, menjelaskan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi dan sikap konsumen terhadap keputusan pembelian. Kristiyanto dkk (2003) tentang faktor psikologis yang berpengaruh pada pengambilan keputusan nasabah untuk menjadi anggota BMT, menyimpulkan terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara variabel persepsi dengan pengambilan keputusan untuk menjadi anggota. Klinik IMS dan VCT Veteran merupakan salah satu layanan kesehatan yang dapat melakukan pemeriksaan HIV di Kota Medan. Walaupun terdapat klinik IMS dan VCT di 4 rumah sakit rujukan, puskesmas, dan beberapa klinik lainnya, namun Universitas Sumatera Utara Klinik IMS dan VCT Veteran merupakan satu–satunya klinik di bawah Dinas Kesehatan Propinsi yang khusus melayani pemeriksaan IMS dan VCT (Dinas Kesehatan Propinsi, 2008). Klinik ini juga dirasa kelompok waria memiliki lokasi strategis dan cukup nyaman untuk mengungkapkan status dibandingkan tempat pemeriksaan lainnya. Data Klinik IMS dan VCT Veteran Medan menyebutkan dari bulan Februari 2008 sampai dengan Juni 2009, hanya 187 orang waria yang melakukan tes HIV dari 455 kunjungan. Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan penulis terhadap 100 orang waria yang mengunjungi Klinik IMS dan VCT Veteran Medan, setelah diberikan pra tes konseling, hanya 47% dari mereka yang bersedia diambil sample darahnya untuk dilakukan tes HIV, padahal secara nasional sepertiga dari kelompok risiko tinggi ini merupakan HIV positif (KPAN, 2008). Atas realitas tersebut penulis menganggap penting untuk memahami lebih dalam mengenai waria, kebutuhankebutuhan atau dorongan yang mengarahkan dan memberi energi pada waria, tekanan-tekanan yang dialami, konflik-konflik yang terjadi, hingga bagaimana mekanisme pertahanan diri yang digunakan oleh waria tersebut. Cara yang paling tepat adalah dengan mempelajari dinamika kepribadian beserta faktor-faktor yang memengaruhi perjalanan hidupnya, dimana hal ini dapat diketahui dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan antisipasi masa depan orang tersebut terkait dengan pengambilan keputusan melakukan tes. Universitas Sumatera Utara 1.2. Perumusan Masalah Layanan VCT merupakan bagian dari promosi dan organ dalam mengurangi laju epidemi HIV/AIDS. Insiden HIV positif di komunitas waria, yang merupakan kelompok risiko tinggi terpapar, salah satunya disebabkan rendahnya pemanfaatan layanan VCT yang mensyaratkan dilakukan tes HIV/AIDS, Penyebab sementara dirumuskan karena anggapan negatif terhadap pemerintah sebagai penyedia layanan VCT, resistensi kecil–kecilan terhadap penyedia layanan, pengalaman yang buruk dari waria lainnya, hasil tes yang berbeda dari harapan, pendidikan maupun aspek lainnya seperti orientasi seksual yang terkait dengan kemauan waria melakukan tes HIV/AIDS. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, dirumuskan masalah penelitian yakni bagaimana pengambilan keputusan waria melakukan tes HIV/AIDS pasca konseling HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan waria melakukan tes HIV/AIDS pasca konseling HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan. Universitas Sumatera Utara 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan rumah sakit yang memiliki klinik IMS dan VCT untuk mengembangkan konsep penanggulangan HIV/AIDS dalam perspektif waria. 2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan manajemen Klinik IMS dan VCT Veteran Medan dalam mengembangkan layanan VCT berbasis komunitas waria. 3. Sebagai bahan masukan konseling yang efektif guna menambah informasi, pengetahuan dan pemahamam tentang proses pengambilan keputusan waria melakukan VCT. 4. Sebagai penambah wawasan bagi penulis untuk melatih diri berpikir secara ilmiah pada bidang sumber daya manusia dan bekal pengetahuan dan pengalaman untuk penerapan di lingkungan kerja. 5. Sebagai bahan referensi dan perbandingan bagi penulis selanjutnya yang memfokuskan penelitian pada masalah yang sama di masa yang akan datang. Universitas Sumatera Utara