BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara religius yang menganjurkan warganya untuk memeluk sebuah agama. Untuk menegaskan hal ini para pendiri bangsa kita menuangkannya dalam dasar negara Pancasila, khususnya sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kereligiusan ini juga tampak secara fisik dimana-mana gedung ibadah dibangun, maraknya pemakaian simbolsimbol religius, ibadah-ibadah dan perayaan keagamaan masih ramai dikunjungi, adanya partai-partai yang berazaskan agama, timbulnya berbagai aliran, sekte, organisasi religius, dan lain-lain. Menurut Hans Kung, seorang teolog Katolik, agama merupakan sesuatu dalam diri manusia untuk dihayati, bukan sekedar konsep teknis yang abstrak, merupakan iman yang kongkrit, bukan sekedar lembaga.1 Panggilan beragama menurut Kung adalah terlibat dan bertanggung TIDAK ADA BAB 5 jawab untuk menciptakan sebuah tatanan dunia baru yang lebih baik.2 Dari pengertian dan panggilan agama yang diungkapkan Kung, maka kita akan menemukan perbedaannyabila dibandingkan dengan fenomena beragama di Indonesia. Agama justru terkungkung pada lembaga, sementara panggilan agama untuk menciptakan sebuah tatanan dunia baru yang lebih baik tidak begitu kentara. Hal ini terlihat ketika bangsa yang mengakui agama sebagai dasar bernegara dinilai bermoralitas lebih rendah dan melakukan tindakan amoral, seperti korupsi yang merajalela di hampir setiap bidang kehidupan, hukum sulit ditegakkan, hak azasi manusia tidak dihormati, kemiskinan pun menjadi persoalan yang tak kunjung usai, tindakan kriminal dan kekerasan atas nama agamapun kerap kali mewarnai media massa kita, bahkan pengeksploitasian lingkunganpun sering terjadi. Ada apa dengan eksistensi agama di Indonesia? Seakan-akan tidak ada pengaruh atau korelasi antara agama dengan ‘tatanan dunia yang lebih baik’ di Indonesia. Praktik keaagamaan selama ini disibukkan pada persoalan-persoalan doktrinal, ritual dan simbol yang hanya 1 Sunardi, “Sumbangan Hans Kung bagi Dialog Antar Agama”, dalam Seri Dian I, Dialog, Kritik, dan Identitas Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994, h. 60-61. 2 Hans Kung, “What is True Religion? Toward an Ecumenical Criteriology,” dalam Leonard Swidler (Ed.), Toward a Universal Theology of Religion, 1998, h. 249-250. 1 berbicara tentang superioritas keagamaan sehingga tidak mampu membawa pengikutnya memahami secara esensial makna agama dalam kehidupannya. Agama tidak berfungsi sebagai sesuatu yang memberikan kekuatan etis dalam perilaku manusia. Agama yang seharusnya membawa manusia menemukan nilai-nilai autentik dalam hidupnya, seperti keadilan, kebenaran, kemanusiaan, martabat, dan beradab, malah justru menjadi musuh atas semuanya itu. Praktik keagamaan tidak mampu membawa manusia lebih manusiawi dan beradab. Sebaliknya, menjadi ancaman bagi kemanusiaan, bahkan semangat hidupnya menunjukkan cita-cita dehumanisasi.3 Menarik bila kita memperhatikan apa yang dikatakan Andreas A. Yewangoe dalam buku Spiritualitas Agama-agama untuk Keadilan dan Perdamaian : mengapa keimanan tidak bertindih tepat dengan kemajuan di dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya karena iman hanya mengarah ke dalam diri sendiri (self oriented faith). Iman hanya beroritentasi hanya kepada kepentingan diri. Iman kita adalah iman yang penuh pamrih pribadi. Artinya, kalau saya melakukan kewajiban-kewajiban iman saya, itu hanya karena saya mengharapkan surga dan/ atau takut kepada hukuman neraka. Alhasil, memang keprihatinan kita kepada persoalanpersoalan sosial bukanlah demi kepentingan mereka yang kita hadapi, melainkan karena saya sendiri TIDAK ADA BAB 5 menginginkan sesuatu sebagai balasan dari yang saya kerjakan.4 Sikap keagamaan yang diungkapkan Yewangoe seperti ini bukanlah sebuah sikap rasional karena tidak muncul dari kesadaran hati dan pikiran, melainkan sebuah sikap yang muncul sekedar karena ada faktor eksternal. Apa yang dituliskan diatas menjadi titik pangkal dalam melihat kekristenan sebagai salah satu agama yang dianut masyarakat Indonesia. Baik langsung maupun tidak langsung, tentu kekristenan (baca : gereja) juga turut andil dalam persoalan-persoalan yang ada, karena kekristenan hadir di bumi Indonesia dan menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Jika persoalan-persoalan kehidupan menjadi tantangan yang besar pada zaman kini, berarti ada peran dan tanggung jawab gereja yang perlu digumuli lagi. Karena gereja dipanggil dan diutus bukan hanya untuk dirinya sendiri (internal), namun juga untuk dunia (eksternal). Pengutusan ini adalah dalam rangka mewujudkan kehidupan berdasarkan pesan Injil Yesus Kristus, yakni menghadirkan Kerajaan Allah dalam kehidupan nyata. 3 Novemberi Choeldahono , “Gereja, lembaga Pelayanan Kristen, dan Diakonia Transformatif” dalam “Agama dalam Praksis”, Bambang Subandrijo (Ed), Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003, h.34. 4 Andreas Yewangoe ’’Agama dan Fungsi Transfomatifnya’’ dalam Spiritualitas Agama-agama untuk Keadilan dan Perdamaian, Yogyakarta: Interfidei, 2011, h. 54. 2 Kerajaan Allah adalah pesan utama pewartaan Yesus dan akhirnya Ia mengarahkan keseluruhan hidup-Nya pada Kerajaan tersebut (Mrk 1:14-15). Yesus pertama-tama datang untuk mewartakan datangnya Kerajaan Allah, bukan tentang diri-Nya sendiri atau soal Allah pada umumnya. Kerajaan Allah ( Yunani : basileia tou theou) artinya Allah meraja dalam tindakan-tindakan-Nya yang penuh kuasa dan Allah meraja dalam kerangka pembangunan atau perubahan positif yang berkaitan dengan tata realitas yang ada. Disitu ada transformasi sebuah situasi yang buruk, menghapuskan situasi yang menindas manusia.5 Dengan demikian mereka yang tersingkir menjadi alamat utama bagi pewartaan tentang Kerajaan Allah di tengah-tengah mereka. Maka Kerajaan Allah berbicara tentang pembebasan bagi manusia dan alam ciptaan. Itulah sebabnya komitmen untuk menghadirkan Kerajaan Allah semestinya menjadi inspirasi dalam hidup menggereja di bumi Indonesia ini. Gereja memiliki panggilan akan pembebasan bagi manusia dan alam ciptaan. Dengan demikian menjadi murid Kristus berarti mengikuti Dia dengan menempuh jalan kehidupan yang Ia tawarkan untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Memang jalan yang Yesus tempuh sendiri adalah jalan yang tidak mudah dan penuh resiko. TIDAK ADA BAB 5 Jika komitmen menghadirkan Kerajaan Allah tidak dijunjung tinggi maka pertumbuhan iman umat hanya akan berorientasi pada diri sendiri dan akan jatuh pada persoalan untuk mengejar surga dan menghindari neraka. Hal ini pun bisa menyebabkan seseorang cepat menilai orang lain sesat karena berbeda pandangan dengan keyakinannya, maka bersemailah sifat eklusif dalam bergereja. Bahkan ada yang mengamini hidup kekristenan adalah seputar mengejar kesuksesan material hidup. Alhasil rasa solidaritas terhadap sesama manusia dan alam ciptaan lainnya akan menipis. Jika hal ini tidak diantisipasi maka kekristenan kita tidak akan begitu berdampak bagi persoalan nyata kehidupan ini. Dengan demikian, agama masih belum memasuki ranah praksis. Agama seperti itu adalah agama yang tidak membebaskan, tidak transformatif.6 Masih adanya jarak antara agama dan pembebasan menjadi bukti adanya polemik dalam hidup beragama itu sendiri. Agama seakan-akan kehilangan roh/ intinya(spiritualitas) dalam mengada di Indonesia. Itu sebabnya menurut Eka Darmaputera kebutuhan mendesak kini adalah untuk mulai berbicara dengan serius tentang spiritualitas (sari pati religius). Untuk mulai menggali agar kita tidak cuma 5 Budi Hartono “Yesus”dalam “Meniti Kalam Kerukunan”, Nur Kholis Setiawan dan Djaka Soetapa (Ed), Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010, h. 435-436. 6 Andreas Yewangoe, “Pengantar” dalam “Agama dalam Praksis”, Bambang Subandrijo (Ed), Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003, h. x. 3 memperoleh ‘abu’nya, tetapi menemukan ‘api’nya. Sebab apabila ‘agama’ bisa berdaya untuk menghancurkan, sesungguhnyalah ia juga bisa berdaya untuk menyejahterakan.7 Hal ini penting untuk ditinjau kembali dalam ranah kekristenan di bumi Indonesia. Jika agama tidak membebaskan dan tidak transformatif, berarti inti persoalan agama tersebut terdapat pada spiritualitasnya. Ada banyak orang memiliki pandangan yang ekslusif mengenai spiritualitas. Yang paling terlihat misalnya adanya kecenderungan untuk memisahkan kehidupan spiritualitas dari masalah-masalah yang ada di sekitar, termasuk jika masalah-masalah itu adalah masalah pokok yang menyangkut keberadaan sesama sebagai manusia. Tidak hanya diri sendiri, tetapi gereja pun cenderung menghendaki hal yang serupa. Orang dapat saja lantas cenderung menginginkan gereja hanya berurusan dengan ‘hal-hal rohani’ saja, sambil sedapat mungkin menjauhkan diri dari ‘hal-hal duniawi’- juga yang dimaksud dengan ‘hal-hal duniawi’ itu berarti masalah penindasan, kelaparan dan ketidakadilan sosial.8 Itu berarti persoalannya adalah adanya dikotomi antara spiritualitas dan pembebasan. Seakan-akan spiritualitas dan pembebasan adalah dua hal yang berbeda dan tidak terkait erat. Misalnya adanya dikotomi antara spiritualitas dan politik, karena spiritualitas dan politik tak bisa dicampurkan. Politik dianggap sesuatu yang kotor dan TIDAK ADA BAB 5 spiritualitas dianggap suci, keduanya tak dapat dipertemukan. Padahal pemahaman yang dikotomis ini sebenarnya membuat gereja tidak dapat terlibat dalam kehidupan sosial lebih utuh, karena justru akan mendukung status quo yang ada, termasuk jika status itu bersifat tidak adil. Sikap dan pandangan yang mendikotomikan antara spiritualitas dan pembebasan merupakan warisan dari alam pikir Yunani. Karena alam pikir Yunani pada waktu itu memiliki pandangan dunia yang dikotomis. Misalnya saja mereka percaya bahwa tubuh itu jahat sedangkan jiwa itu baik; waktu itu buruk sedangkan keabadian itu murni; yang bersifat duniawi itu harus disangkal sedangkan yang bersifat surgawi harus dicari; serta bahwa daging itu merupakan tempat tinggal kemurnian hati. “Diselamatkan” dengan demikian berarti memisahkan diri dari dunia yang jahat ini. Bisa diduga bahwa pandangan dunia yang demikian akan menekankan pesan berikut : sangkallah tubuh dan utamakanlah jiwa, tinggalkanlah dunia demi surga, dan kutuklah daging demi kemurnian hati.9 7 Eka Darmaputera, “Spiritualitas Baru dan Kepedulian terhadap Sesama : Suatu Persepektif Kristen”, dalam Spiritualitas Baru : Agama dan Aspirasi Rakyat, Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei, 2004, h. 66. 8 Wardaya Baskara, Spiritualitas Pembebasan, Yogyakarta : Kanisius. 1995, h. 29-30. 9 Wardaya Baskara, Spiritualitas Pembebasan, h. 35. 4 Sikap dan pandangan seperti ini mendorong untuk menjauhkan diri (dan Tuhan) dari dunia kongkrit sehari-hari. Padahal spiritualitas dan pembebasan semestinya berjalan secara integratif. Albert Nolan OP (Dominikan), seorang teolog pembebasan Afrika Selatan memberikan sumbangan pemikirannya terkait spiritualitas dan pembebasan (Kerajaan Allah) tersebut. Ia menuliskan sebuah spiritualitas langsung berdasar pada hidup Yesus Kristus. Nolan menekankan spiritualitas dan pembebasan terintegrasi sempurna dalam diri Yesus. Sebagai pengikut Yesus kita harus bersumber pada-Nya, baik itu secara pemikiran, keprihatinan, bahkan visi-Nya adalah visi gereja pula. Semua itu tentu terejawantahkan dalam apa yang Yesus lakukan dalam kehidupannya. Dalam awal pelayanan-Nya Ia mendeklarasikan pengutusan-Nya yang dicatat Lukas 4 : 18-19 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Dari ayat ini kita TIDAK ADA BAB 5 menyadari bahwa Yesus adalah seorang yang concern dalam pembebasan. Namun untuk memahami mengapa dan bagaimana Yesus melakukan hal-hal yang dilakukan-Nya, itu sangat terkait dengan apa yang ada di balik tindakan-tindakan-Nya yaitu relasi mendalam Yesus dengan Abba-Nya. Inilah inti pengertian Nolan tentang Yesus. Konteks berteologi Nolan berangkat dari situasi keprihatinan di Afrika Selatan ketika terjadi penindasan yang dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam yaitu sistem apartheid. Dari titik inilah beliau menguraikan pemikirannya demi pembebasan di Afrika Selatan. Namun, menurut Martin Lukito Sinaga pemikirannya tidak terbatas tentang tempat itu saja, sebab teologi yang dibangun Nolan adalah sebuah teologi kontekstual berwarna pembebasan ala Amerika Latin; tentu karena Nolan seorang Katolik maka teologi ini juga bersifat global, dan karena ia juga rekan sekerja pendeta Desmond Tutu yang Protestan, maka tulisannya ini bersifat oikumenis. Teologi kontekstual yang ia ceritakan ialah teologi yang juga melampaui konteksnya, sehingga maknanya ada bagi kita di Indonesia sini.10 Albert Nolan melihat pentingnya kekeristenan kembali pada Yesus. Persoalan yang kerap terjadi adalah banyak orang terlalu menekankan ke-Allahan-Nya sehingga Yesus tidak lagi 10 Albert Nolan, Harapan di tengah Kesesakan Masa Kini, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009. h. Viii. 5 manusia sepenuhnya. Itu sebabnya beliau menyoroti kemanusiaan Yesus. Bagaimana Yesus hidup di dalam dunia untuk menyatakan Kerajaan Allah. Dengan pembahasannya yang lugas dan menarik tentang Yesus inilah yang menjadi sebuah alasan penulis mencoba menggali lebih jauh tentang spiritualitas Yesus. Banyak tokoh yang berbicara tentang spiritualitas, namun justru cenderung meminggirkan Yesus. Atau barangkali mereka yang memperlakukan Yesus sebagai pusat spiritualitas cenderung menjadikan-Nya sebagai objek spiritualitas mereka sendiri daripada sebagai seorang pribadi yang memiliki spiritualitas-Nya sendiri yang dari-Nya kita dapat belajar sesuatu. Menurut Albert Nolan kita tidak akan dapat menghargai kepenuhan makna Yesus bagi perjuangan-perjuangan kita sekarang ini tanpa sebuah penghargaan yang lebih dalam akan spiritualitas-Nya.11 Melalui tulisan ini, penulis ingin menunjukkan bahwa fungsi dan tugas Gereja dalam menghadirkan Kerajaan Allah di kehidupan ini sangat dipengaruhi oleh spiritualitas yang hidup di gereja tersebut. Dasar pemikirannya, melalui spiritualitas Yesus tersebut akan memberikan pengaruh bagi gereja, terkhusus dalam hal ini bagi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). TIDAK ADA BAB 5 Mengapa GBKP? Karena bagi penulis, GBKP memiliki ciri khas sendiri dalam membangun spiritualitasnya yaitu Calvinis dan Budaya Karo. Namun dari spiritualitas yang dibangun selama ini tampaknya persoalan-persoalan yang dikemukakan diatas padu dengan konteks GBKP saat ini, sebagai gereja yang ada di bumi Indonesia. Darisitulah penulis merasa penting untuk mendalaminya lebih jauh dalam skripsi ini. 1.2 Rumusan Pertanyaan Dengan melihat latar belakang, penulis akan membahas dan membatasi karya tulis ini terutama pada : 1. Apakah Spiritualitas Kebebasan Radikal Yesusdalam pemikiran Albert Nolan? 2. Bagaimanakah relevansi Spiritualitas yang ditawarkan oleh Albert Nolan bagi gerejagereja di Indonesia, khususnya GBKP? 1.3 Tujuan Penulisan Melalui rumusan masalah pertanyaan di atas maka tujuan yang akan diperoleh melalui skripsi ini adalah : 11 Albert Nolan, Jesus Today, Yogyakarta : Kanisius, 2006, h. 16-17. 6 1. Mendeskripsikan spiritualitas kebebasan radikal Yesus dalam pemikiran Albert Nolan. 2. Mendeskripsikan relevansi spiritualitas kebebasan radikal Yesus dalam pemikiran Albert Nolan bagi GBKP. 1.4 Judul Dalam skripsi ini penulis mengambil judul : Spiritualitas Kebebasan Radikal Yesus (Sebuah Tinjauan Terhadap Spiritualitas Kebebasan Radikal Yesus dalam Pemikiran Albert Nolan dan Relevansinya bagi Gereja Batak Karo Protestan) Dari judul tersebut penulis hendak merajut Spiritualitas Kebebasan Radikal Yesus dalam pemikiran Albert Nolan.Setelah menemukan rumusan spiritualitas tersebut, makapenulis akan merelevansikannya dengan konteks GBKP. 1.5 Metode Penyusunan TIDAK ADA BAB 5 Metode penulisan yang dipakai adalah metode deskriptif-analitis berdasarkan studi literatur. Penelitian deskriptif, yakni melakukan penelitian dengan menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.12 Sehubungan dengan itu, maka dibutuhkanlah berbagai literatur dan dokumen yang membahas tentang rumusan pertanyaan diatas. Sumber data tersebut berupa literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang membahas seputar teologi dan spiritualitas pembebasan, khususnya yang terkait dengan Albert Nolan. Begitu juga sumber data yang terkait dengan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yaitu berupa Tata Gereja, Konfesi, Garis-garis Besar Pelayanan (GBP) GBKP, bahan pengajaran katekisasi, buku-buku, jurnal, makalah-makalah dan artikel yang berhubungan dengan topik ini. Baik yang diperoleh dari media cetak maupun elektronik. 12 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, h. 6. 7 1.6 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisannya adalah : BAB I PENDAHULUAN Bagian ini berisi, latar belakang masalah, rumusan pertanyaan, tujuan dan alasan pemilihan judul, metode, sistematika penulisan. BAB II SPIRITUALITAS RADIKAL YESUS DALAM PEMIKIRAN ALBERT NOLAN Bagian ini akan mendeskripsikan biografi Albert Nolan, spiritualitas Radikal Yesus dalam pemikiran Albert Nolan dan tanggapan kritis bagi pemikirannya. BAB III RELEVANSI SPIRITUALITAS KEBEBASAN RADIKAL YESUS DALAM PEMIKIRAN ALBERT NOLAN BAGI GBKP Bab ini penulis akan melihat Spiritualitas Yesus dalam pemikiran Albert Nolan dan relevansinya bagi GBKP. BAB IV TIDAK ADA BAB 5 PENUTUP Kesimpulan dan Saran 8