rd(e1)oE,hs (c:)zn ST]RAT TTJGAS Ud4@D@qasldgnuDGiFfu i.blukd@didfuFqdder4d di$.bn $4d n@ 46dry4 ' PENINGKATAN PRODUKSI RADIKAL BEBAS PADA KASUS DIABETES MELITUS NI LUH EKA SETIASIH NI NYOMAN WERDI SUSARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 DIABETES MELITUS DAN RADIKAL BEBAS Diabetes Melitus Diabetes mellitus adalah penyakit degeneratif yang bersifat kronis ditandai dengan kadar gula darah penderita berada di atas rata-rata normal. Penyakit ini merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang berhubungan dengan disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh. Ada beberapa penyebab munculnya diabetes mellitus, beberapa diantaranya adalah destruksi sel beta pankreas, gangguan sekresi insulin, defek genetik, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis), endokrinopati, infeksi, karena obat atau zat kimia, serta sindroma genetik lainnya. Salah satu penyebab tersebut dapat mengakibatkan abnormalitas patofisiologi sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. American Diabetes Association (2012) mengeluarkan beberapa kriteria standar penderita diabetes melitus meliputi: kadar HbA 1c ≥ 6,5%, konsentrasi fasting plasma glucose (FPG) ≥126 mg/dl (7,0 mmol/l) dan konsentrasi postprandial plasma glucose (PPG) 2 jam setelah pemberian beban 75 g glukosa adalah ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Menurut PERKENI (2011) diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan bila ditemukannya keluhan klasik DM dengan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu atau FPG ≥ 200 mg/dl atau glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar gula plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. Diagnosis diabetes melitus dengan uji toleransi glukosa oral merupakan salah satu cara efektif yang dapat digunakan. Penderita dipuasakan paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan, kemudian diperiksa kadar glukosa darah puasanya. Setelah itu penderita diberikan beban glukosa 75 g (dewasa) yang dilarutkan dalam 250 ml air. Pemberian beban glukosa dilakukan selama 5 menit kemudian diperiksa kadar glukosa darah dua jam setelah pemberian beban glukosa. Kadar glukosa darah pada orang dewasa maupun anak normal setelah pembebanan glukosa meningkat menjadi 120-140 mg/dL, setelah dua jam akan turun ke nilai normal. Pada penderita diabetes melitus kadar glukosa darah setelah pembebanan ≥ 200 mg/dL, sedangkan kadar glukosa darah puasa selalu di atas 126 mg/dL. Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012, ada dua kelompok besar diabetes melitus bila kita tinjau secara klinis yaitu diabetes tipe-1 atau dikenal dengan insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan diabetes tipe-2 disebut juga non insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM). Diabetes tipe-1 merupakan bentuk klasik dari diabetes mellitus (DM), dimana penderita sangat tergantung pada insulin, sedangkan karakteristik DM-2 adalah terjadi resistensi insulin. Klasifikasi diabetes melitus menurut Perkeni (2011) dapat dilihat pada Tabel 1. Cnop et al. (2005) menyatakan, bahwa diabetes tipe-1 dan tipe-2 dapat mengakibatkan kematian sel-β pankreas. Terdapat perbedaan mekanisme kematian sel-β pankreas pada kedua tipe diabetes tersebut. Pada DM-1 melalui mekanisme DM1 NF-κB dependen yang diperantarai oleh sejumlah sitokin proinflamasi seperti IL1β, TNF-α dan IFN-γ sedangkan DM2 melalui mekanisme NF-κB independen karena stimulasi tingginya kadar gula darah dan free fatty acids (FFAs). Diabetes Melitus Tipe-1 Secara histopatologi DM-1 menunjukkan adanya peradangan pankreas (insulitis) yang ditandai dengan adanya infiltrasi makrofag dan limfosit T teraktivasi disekitar dan di dalam sel islet. Keadaan ini terjadi karena mekanisme imunologis tubuh yang berlebihan terhadap agen penyakit sehingga menimbulkan penyakit autoimun. Insulitis ini salah satunya dapat terjadi karena infeksi virus seperti cocksakie, rubella, atau herpes. Disfungsi dan destruksi sel-β pankreas disebabkan oleh adanya infiltrasi leukosit pada pulau langerhan pankreas. Reaktivitas makrofag dan sel T yang tidak terkendali pada DM-1 dapat menyebabkan destruksi sel-β. Kerusakan ini menyebabkan terbentuknya islet cell antibody (ICA) yang bersifat autoreaktif terhadap sel-β sehingga mengganggu produksi insulin. Makrofag memiliki kemampuan menginduksi apoptosis sel islet melalui sintesis sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TNF-α, sementara sel T teraktivasi juga mensintesis sitokin proinflamasi seperti TNF-α, limphotoxin (TNF-β), dan INF-γ (Gambar 1), sehingga mengakibatkan defisiensi insulin dan hiperglikemia pada penderita DM-1 (Kay et al., 2000). Mediator inflamasi ini ditemukan pada pankreas pasien yang menderita DM-1 yang secara langsung mempengaruhi ekspresi gen proapoptosis (salah satu) pada sel-β pankreas dan secara tidak langsung mengaktivasi sistem imun dan sel-sel inflamasi di pulau langerhan pankreas (Cardozo et al., 2001). Gambar 1. Mediator dan Mekanisme Apoptosis Sel-β Pankreas pada DM-1 (Pirot, et al., 2008). Adanya ikatan antara FasL dari sel T bermarka CD8 dengan reseptor Fas yang terdapat pada permukaan sel target seperti sel-β pankreas menyebabkan apoptosis melalui cascade cystein aspartic acid protease (caspase) sampai ke effector caspase (caspase-3). Sel T bermarka CD8 memiliki granul sitolitik perforin dan granzyme yang dikeluarkan setelah sel tersebut mengalami stimulasi. Granzyme masuk ke dalam sitoplasma target sel melalui pori-pori membran sel yang dibentuk oleh perforin dan mengaktivasi caspase yang memicu kematian sel target (Kreuwel and Sherman, 2001; Pirot, et al., 2008). Sutirtayasa, et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi peningkatan kematian sel CD8 pada ulkus kaki diabetikum akibat meningkatnya kematian sel-sel melalui apoptosis yang diperantarai oleh caspase-3 (effector caspase). Peristiwa apoptosis dapat terjadi melalui jalur ekstrinsik dan intrinsik. Apoptosis melalui jalur ekstrinsik salah satunya dapat distimulasi oleh sitokin proinflamasi (IL-1, IFN-γ, dan TNF-α) yang diawali dengan ligasi antara sitokin proinflamasi tersebut dengan cell surface death receptor. Mekanisme apoptosis sel melalui jalur intrinsik merupakan respon yang diinisiasi oleh sel sebagai reaksi terhadap stress. Interleukin-1 merupakan familia protein yang terdiri dari IL-1α, IL-1β, dan IL1 receptor antagonist (IL-1Ra). Interleukin-1α dan IL-1β memiliki reseptor yang sama yaitu IL-1R1 (memiliki afinitas rendah) dan IL-1R2 (memiliki afinitas tinggi), dimana ikatannya menyebabkan transduksi sinyal pada sel, sementara IL-1Ra tidak memiliki aktivitas tersebut. Ikatan komplek IL-1 / IL-1R1 yang diperkuat oleh IL1receptor accessory protein (IL-1AcP) menyebabkan tranduksi sinyal yang sangat penting pada proses apoptosis sel target, melalui tiga jalur utama meliputi: aktivasi nuclear factor κB (NF-κB), mitogen-activated protein kinases (MAPK) dan protein kinase C (Eizirik and Poulsen, 2001). Transduksi sinyal IL-1 lainya melalui phosphatidylinositol-3 kinase (PI 3 K) yang melakukan induksi sinyal melalui NFκB dan activating transcriptional factor 1 (AP-1). Phosphatidylinositol-3 kinase (PI 3 K) juga dapat meregulasi PKC dan protein kinase B (PKB/Akt) activity (Eizirik and Poulsen, 2001). Ikatan IL-1 dengan IL-1R activated kinase (IRAK) disebabkan oleh adanya ikatan komplek IL-1/IL-1R1/IL-1AcP dengan adaptor protein myeloid differentiation primary-respons protein 88 (My88). Tahap selanjutnya terjadi fosforilasi IRAK1 oleh IRAK4 dan menghasilkan tempat ikatan untuk TNF-receptor-associated factor-6 (TRAF6), sehingga menyebabkan aktivasi NF-κB dan MAPK. Aktivasi NF-κB melalui NF-κB inducing kinase (NIK) yang mengaktifkan inhibitory κB kinase (IKK) sehingga menyebabkan fosforilasi dan degradasi inhibitory κB (IκB), selanjutnya terjadi pelepasan NF-κB pada nukleus serta menginduksi terjadinya transkripsi berbagai macam gen (Eizirik and Poulsen, 2001; Pirot, et al., 2008). Apoptosis sel-β melalui TNF-α yang berikatan dengan TNF-R1 diawali dengan terjadinya trimerisasi dan recruitment adaptor protein TNF receptorassociated death domain protein (TRADD). Tahap selanjutnya adalah terjadi pemesanan TRAF-2 dan serine threonine kinase Rip oleh TRADD. Aktivitas yang dimiliki oleh TRAF-2 sama dengan TRAP-6 yaitu mengaktivasi NFκB dan MAPK. Sementara ikatan komplek TNF-α/TNF-R1 melalui Fas-associated death domain (FADD) menyebabkan terjadinya recruitment dan aktivasi pro-caspase-8 yang berperanan terhadap aktivasi effector caspase seperti pada apoptosis melalui Fas/FasL (Pirot, et al., 2008). Sitokin mediator lain yang berperan terhadap fungsi dan kelangsungan hidup sel-β pankreas adalah IFN-γ. Interferon-γ berikatan dengan reseptor yang terdapat pada sel-β dan menginduksi oligomerisasi dan recruitment Janus Kinase (JAK)-1 dan -2. Transfosforilasi JAK1 dan JAK2 menimbulkan docking site untuk signal transducer and activator of transcription (STAT)-1. Setelah terjadi fosforilasi dengan bantuan JAK, STAT-1 mengalami homodimerisasi dan migrasi ke nukleus serta menginisiasi ekspresi gen (Eizirik and Poulsen, 2001; Pirot, et al., 2008). Apabila diperhatikan mekanisme apoptosis sel-β pankreas yang melibatkan sitokin proinflamasi menunjukkan bahwa terjadi cross-talk antara IL-1, TNF-α, dan IFN-γ melalui jalur mitogen-activated protein kinases (MAPK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa IL-1, atau kombinasinya dengan IFN-γ atau TNF-α berperanan terhadap disfungsi dan kematian sel islet. Sementara penelitian lain juga melaporkan bahwa kombinasi antara IL-1β dengan IFN-γ dan atau TNF-α dapat menyebabkan kematian sel melalui nekrosis teteapi terutama melalui apoptosis (Eizirik and Poulsen, 2001). Diabetes Melitus Tipe-2 Secara genetik DM-2 dapat dikontrol dengan diet, agen hipoglikemia atau insulin eksogen. Kejadian DM-2 semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat gaya hidup yang kurang sehat, seperti diet tidak sehat, kurang olah raga atau aktivitasnya rendah sehingga semakin banyak orang yang mengalami obesitas. Data menunjukkan penderita DM-2 meningkat di seluruh dunia, dan Asia menempati tempat pertama. Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2009 menyatakan bahwa prevalensi diabetes sebesar 285 juta pada tahun 2010, dan diprediksi menjadi 438 juta tahun 2030 dan mayoritas penderita baru berasal dari asia (Kitada et al., 2010). Penderita DM-2 di Indonesia sebesar 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Tabel 2), sementara penelitian lain menunjukkan bahwa jumlah penderita diabetes sebesar 150 juta pada tahun 2000 dan diperkirakan meningkat berlipat ganda pada tahun 2025 (Ahmed et al., 2010). Tabel 2. Estimasi penderita diabetes di beberapa negara pada tahun 2000 dan 2030 (Ahmed et al., 2010) Rangking Country 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 India China U.S. Indonesia Japan Pakistan Russia Brazil Italy Bangladesh 2000 People with diabetes (millions) 31.7 20.8 17.7 8.4 6.8 5.2 4.6 4.6 4.3 3.2 Country India China U.S. Indonesia Pakistan Brazil Bangladesh Japan Philippines Egypt 2030 People with diabetes (millions) 79.4 42.3 30.3 21.3 13.9 11.3 11.1 8.9 7.8 6.7 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM tipe-2 pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM tipe-2 di daerah urban 14,7% dan daerah rural 7,2 % maka diperkirakan terdapat 12 juta diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Pada penderita DM tipe-2 terjadi abnormalitas patofisiologi sekresi dan kerja insulin dari sel-sel-β pankreas. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya kadar glukosa darah pada penderita. Resistensi insulin merupakan keadaan patologik yang terjadi di sel target untuk merespon insulin secara fisiologi sehingga menyebabkan terjadinya abnormalitas metabolisme glukosa. Ketika sel atau jaringan yang merupakan target dari kerja insulin berfungsi secara tidak normal maka tidak terjadi respon meskipun kadar insulin dalam darah tinggi, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat dan pada kasus kronis akan menyebabkan penyakit DM (Ahmed et al., 2010). Pada kasus resistensi insulin, kadar glukosa darah yang tinggi, menyebabkan tubuh bekerja untuk menjadikan terjadinya hemostasis glukosa kea rah normal dengan jalan meningkatkan produksi insulin oleh sel-ß pankreas. Pada akhirnya kondisi hiperglikemia kronis menyebabkan sel-ß pankreas tidak merespon glukosa, kemudian terjadi disfungsi dari sel-sel tersebut (Leonardi et al., 2003; Ahmed et al., 2010). Pembentukan Senyawa Oksigen Reaktif pada Diabetes Melitus Penurunan sekresi dan atau efektivitas kerja hormon insulin mengakibatkan seluruh glukosa yang dikonsumsi di dalam tubuh akan meningkat. Peningkatan kadar glukosa darah disebabkan oleh kerusakan sel-β pankreas sehingga tidak dapat menghasilkan insulin atau akibat adanya resistensi insulin. Kerusakan pankreas ini dapat disebabkan oleh meningkatnya senyawa radikal bebas akibat kadar gula darah yang meningkat pada kasus DM. Schalkwijk and Stehouwer (2005) menyatakan, bahwa peningkatan stress oksidatif terjadi melalui empat mekanisme yaitu: melalui jalur sorbitol/polyol pada saraf perifer, jalur hexosamine, jalur aktivasi protein kinase C (PKC), dan jalur peningkatan produksi Advanced glycation end products (AGEs) atau dikenal juga glyoxylation pathway (Gambar 3). Gambar 3. Empat Jalur Terbentuknya Stress Oksidatif karena Hiperglikemi Intraseluler pada Diabetes Melitus Schalkwijk and Stehouwer (2005) Apabila terjadi peningkatan kadar glukosa pada penderita diabetes maka akan merangsang aktivitas enzim aldose reductase (AR) untuk mengkatalisasi glukosa menjadi sorbitol melalui jalur sorbitol/polyol. Tahap selanjutnya adalah terjadi proses oksidasi oleh enzim sorbitol dehydrogenase (SDH) membentuk fruktosa. Selain dapat meningkatkan kadar sorbitol dan fruktosa intaseluler, juga menurunkan rasio NADPH terhadap NADP maupun rasio NADH terhadap NAD . Menumpuknya sorbitol intrasel akan mengaktifkan p38 MAPK dan JNK sehingga dapat memicu produksi beberapa mediator inflamasi dan terjadi proses inflamasi (Brownlee, 2005; Schalkwijk and Stehouwer, 2005). Pada keadaan normal, glukosa intraseluler mengalami proses metabolisme melalui glikolisis menghasilkan glukosa-6-fosfat yang dibantu oleh enzim hexokinase atau glukokinase. Proses selanjutnya adalah terbentuknya fruktosa-6-fosfat dari glukosa-6-fosfat. Tingginya kadar glukosa intraseluler menyebabkan sebagian dari senyawa fruktosa-6-fosfat akan dikonversi menjadi glucosamine-6-phosphate dan UDP (uridine diphosphate) N-acetyl glucosamine (GlcNAc) oleh enzim glucosamine fructose-6-phosphate amidotransferase /GFAT melalui jalur heksosamin (Schalkwijk and Stehouwer, 2005). N-acetyl glucosamine yang terbentuk selanjutnya akan berikatan dengan faktor transkripsi serine-threonine residues critical activating cofactor, sehingga dapat menginduksi ekspresi gen seperti transforming growth factor-β1 (TGF-1), dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Peningkatan kadar TGF-1 dan PAI-1 ditengarai berperanan penting terhadap mekanisme terjadinya hipoperfusi seluler sehingga memicu peningkatan senyawa oksigen reaktif (Inoguchi et al., 2003). Pada jalur diacyl glycerol (DAG)/protein kinase C (PKC), tingginya kadar glukosa intraseluler meningkatkan sintesa molekul diacyl glycerol. Molekul ini merupakan bentuk klasik dari senyawa protein kinase-C, -β, -α, dan –δ. Aktivasi PKC menyebabkan ekspresi berbagai gen seperti endothelin-1, VEGF, TGF-β, PAI1, NF-κB, NAD(P)H oksidase serta menurunnya kadar endotheline nitric oxide syntethase/eNOS. Meningkatnya ekspresi gen tersebut menyebabkan kelainan sistem vaskuler dan reaksi inflamasi (Inoguchi et al., 2003; Brownlee, 2005). Enzim NADPH oksidase yang meningkat pada jalur PKC akan meningkatkan senyawa oksigen reaktif, sedangkan menurunnya eNOS akan menurunkan produksi nitric oxide/NO. Rendahnya kadar NO menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga menyebabkan hipoperfusi seluler dan akhirnya meningkatkan produksi senyawa oksigen reaktif (Brownlee, 2005). Advanced glycation end products (AGEs) merupakan produk proses glikasi non-enzimatis dari protein heterogen, lipid, dan asam nukleat pada penderita diabetes mellitus melalui jalur glyoxylation. Terbentuknya AGEs karena tingginya kadar gula darah dan meningkatnya produksi stress oksidatif pada penderita diabetes. Pada tahap awal reaksi reduksi gula (aldosa) dengan protein secara non-enzimatis akan terbentuk basa Schiff dan produk Amadori (senyawa ketoamin) yang bersifat reversible. Pemaparan dalam jangka waktu panjang mengakibatkan terbentuknya AGEs yang bersifat irreversible. AGEs yang terbentuk akan terakumulasi pada berbagai jaringan tubuh dan pembuluh darah, dan menjadi penyebab munculnya berbagai komplikasi penyakit diabetes. Produk glikasi ini akan berikatan dengan reseptornya (RAGE). Meningkatnya ikatan antara RAGE dan AGEs pada penyakit diabetes memicu meningkatnya produksi reactive oxygen species (ROS) dan terjadi up-regulasi proses inflamasi. Reseptor tersebut dapat terekspresi pada berbagai jenis jaringan maupun sel meliputi sel endotel, sel otot polos pembuluh darah maupun makrofag. Pada umumnya RAGE diekspresikan pada permukaan sel monosit (makrofag) yang akan menimbulkan sinyal postreseptor pada sel tersebut yaitu mengaktivasi NF-κB, sehingga terjadi tahapan inflamasi yaitu terbentuknya sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factors (TNF-α dan TNF-β), interleukins (IL) 1, 6, 8 dan 18 dan interferon-γ (Gambar 4) maupun faktor pertumbuhan seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), dan meningkatnya permiabilitas endotel serta kemotaksis monosit (Schalkwijk and Stehouwer, 2005). Gambar 4. Mekanisme reaksi non-enzimatik melalui jalur AGEs pada hiperglikemi (Wright, et al., 2006). Salah satu sequelae akibat tingginya ROS pada penderita DM adalah produksi sitokin proinflamasi melalui stimulasi acute-phase reactants yang disintesis oleh hati. Sitokin terutama TNF-α dan IL-6 menstimulasi sintesa C-reactive protein, komplemen, serum amyloid A dan fibrinogen. Acute-phase reactants lainnya seperti plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), von Willebrand factor, lipoprotein (a) dan cortisol. Efek lain tingginya kadar ROS akibat hiperglikemia adalah terhadap fungsi vaskuler, yaitu terjadi peningkatan ekspresi cellular adhesion molecules pada permukaan sel endotel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada individu diabetes terjadi peningkatan ekspresi cellular adhesion molecules terutama intercellular adhesion molecule (ICAM)-1, vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1 dan Eselectin (Wright, et al., 2006) Senyawa oksigen reaktif yang berlebihan akibat hiperglikemi pada penderita diabetes akan merangsang reaksi kaskade serine kinase sehingga terjadi proses fosforilasi dan degradasi dari I-κB. Proses tersebut dapat mengaktifkan NF-κB sehingga terjadi translokasi ke dalam inti sel. Nuklear factor kappa B (NF-κB) berperanan meregulasi pembentukan berbagai gen sitokin pro-inflamasi (TNF-α dan IL-1), faktor pertumbuhan (Vascular Endothelial Growth Factor/VEGF, Receptor Advanced Glycation end Products/RAGE), molekul adesi seperti intercellular adhesion molecule/ICAM dan vascular cell adhesion molecule/VCAM (Taylor, 2001). Produksi berbagai molekul tersebut menimbulkan reaksi kaskade berantai dengan mekanisme yang sangat kompleks dan menyebabkan kelainan patologis berupa reaksi inflamasi pada endotel, kardiovaskuler, ginjal, mata, saraf dan lainnya. Kelainan patologis yang terjadi akibat tingginya kadar gula darah merupakan manifestasi terjadinya komplikasi makro dan mikrovaskuler dari diabetes mellitus (Ahmed et al., 2010). DAFTAR PUSTAKA Ahmed, K.A., Muniandy, S. and Ismail, I.S. 2010. Type 2 Diabetes and vascular complications: A Pathophysiologic view. Biomedical Research, 21(2): 147155 American Diabetes Assosiation (ADA). 2012. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care 35 (1): 64-71. Brownlee, M. 2005 The pathobiology of diabetic complications: a unifying mechanism. Diabetes 54: 1615–1625. Cardozo, A.K., Kruhoffer, M., Leeman, R., Orntoft, T., Eizirik, D.L. 2001. Identification of novel cytokine-induced genes in pancreatic beta-cells by high-density oligonucleotide arrays. Diabetes 50:909-920. Cnop, M., N. Welsh, J.C. Jonas, A. Jörns, S. Lenzen, and D.C. Eizirik. 2005. Mechanisms of pancreatic β-cell in type 1 and type 2 diabetes. Many differences, few similarities. Diabetes. Vol 54 (2), 97-107). Inoguchi, T., Sonra, T., Tsu Bouchi, H., Etoh, T., Kakimoto,M., Sonoda, N., Sato, N., Sakiguchi, N., Kobayashi, K., Sumimoto, H., Utsumi, H., Nawata, H. 2003. Protein Kinase C-Dependent Increase in Reactive Oxygen Species (ROS) Production in Vascular tissue of Diabetic: Role of vascular NAD(P)H oxidase. J. Am.Soc. of Nephrol. Vol 4, no 8 Kay, T.W.H., Thomas, H.E., Harrison, L.C., Allison, J. 2000. The beta cell in autoimmune diabetes: many mechanisms and pathways of loss (Review). Trends Endocrinol Metab. 11:11-15 Kitada, M., Zhang, Z., Mima, A. & King, G. L. 2010. Molecular Mechanisms of Diabetic Vascular Complications. Journal of Diabetes Investigation Vol. 1 (77-89) Leonardi, O., Mints, G. and Hussain, M. A. 2003. Beta-cell Apoptosis in the Pathogenesis of Human Type 2 Diabetes Mellitus. European Journal of Endocrinology (149) 99–102. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni. Jakarta. Pirot, P., A.K. Cardozo, and D.L. Eizirik. 2008. Mediator and mechanisms of pancreatic beta-cell death in type 1 diabetes. Arq Bras Endrocrinol Metab. 52 (2): 156-165. Wright, J.R., J . L. Scim-Bacon, L. C. Glass. 2006. Oxidative stress in type 2 diabetes: the role of fasting and postprandial glycaemia. Rev. Int. J Clin Pract. 60(3) 308–314 Eizirik, D.L. and T.M., Poulsen. 2001. A choice of death- the signal-transduction of immune-mediated beta-cell apoptosis. Diabetologia 44: 2115-2133. Kreuwel, H.T. and L.A. Sherman. 2001. The role of Fas and FasL in CD8 T-cellmediated insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM). J Clin. Immunol. 21: 15-18. Sutirta Yasa, I.W.P., A.A.G. Sudewa Djelantik, K. Suastika, N. Mantik Astawa, dan I.F. Yuatmadja. 2009. Hubungan Jumlah sel limfosit T CD8 pada ulkus kaki diabetik derajat 3, 4, 5 dan ulkus non diabetik. E-Journal.Unud, Vol. 10 (1). 11-17. Schalkwijk , C.G. and Stehouwer,C.D.A. 2005. Vascular Complications in Diabetes Mellitus: the role of endothelial disfunction. Rev. Clinical Science 109: 143159. Taylor, A.A. 2001. Pathophysiology of Hypertension and Endothelial Dysfunction in Patients with Diabetes Mellitus. Endocrinology and Metabolism Clinics of North America. 30 (4) 983-997