st]rat ttjgas - Universitas Udayana Repository

advertisement
rd(e1)oE,hs (c:)zn
ST]RAT TTJGAS
Ud4@D@qasldgnuDGiFfu
i.blukd@didfuFqdder4d
di$.bn $4d n@ 46dry4
'
PENINGKATAN PRODUKSI RADIKAL BEBAS PADA
KASUS DIABETES MELITUS
NI LUH EKA SETIASIH
NI NYOMAN WERDI SUSARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
DIABETES MELITUS DAN RADIKAL BEBAS
Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyakit degeneratif yang bersifat kronis ditandai
dengan kadar gula darah penderita berada di atas rata-rata normal. Penyakit ini
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang berhubungan dengan disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh. Ada beberapa penyebab munculnya diabetes
mellitus, beberapa diantaranya adalah destruksi sel beta pankreas, gangguan sekresi
insulin, defek genetik, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis), endokrinopati,
infeksi, karena obat atau zat kimia, serta sindroma genetik lainnya. Salah satu
penyebab tersebut dapat mengakibatkan abnormalitas patofisiologi sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya.
American Diabetes Association
(2012) mengeluarkan beberapa kriteria
standar penderita diabetes melitus meliputi: kadar HbA 1c ≥ 6,5%, konsentrasi fasting
plasma glucose (FPG) ≥126 mg/dl (7,0 mmol/l) dan konsentrasi postprandial plasma
glucose (PPG) 2 jam setelah pemberian beban 75 g glukosa adalah ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/l). Menurut PERKENI (2011) diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan bila
ditemukannya keluhan klasik DM dengan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu atau
FPG ≥ 200 mg/dl atau glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar gula plasma 2
jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. Diagnosis diabetes melitus
dengan uji toleransi glukosa oral merupakan salah satu cara efektif yang dapat
digunakan. Penderita dipuasakan paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan,
kemudian diperiksa kadar glukosa darah puasanya. Setelah itu penderita diberikan
beban glukosa 75 g (dewasa) yang dilarutkan dalam 250 ml air. Pemberian beban
glukosa dilakukan selama 5 menit kemudian diperiksa kadar glukosa darah dua jam
setelah pemberian beban glukosa. Kadar glukosa darah pada orang dewasa maupun
anak normal setelah pembebanan glukosa meningkat menjadi 120-140 mg/dL, setelah
dua jam akan turun ke nilai normal. Pada penderita diabetes melitus kadar glukosa
darah setelah pembebanan ≥ 200 mg/dL, sedangkan kadar glukosa darah puasa selalu
di atas 126 mg/dL.
Menurut American Diabetes Association
(ADA) tahun 2012, ada dua
kelompok besar diabetes melitus bila kita tinjau secara klinis yaitu diabetes tipe-1 atau
dikenal dengan insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan diabetes tipe-2
disebut juga non insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM).
Diabetes tipe-1
merupakan bentuk klasik dari diabetes mellitus (DM), dimana penderita sangat
tergantung pada insulin, sedangkan karakteristik DM-2 adalah terjadi resistensi
insulin. Klasifikasi diabetes melitus menurut Perkeni (2011) dapat dilihat pada Tabel
1.
Cnop et al. (2005) menyatakan, bahwa diabetes tipe-1 dan tipe-2 dapat
mengakibatkan kematian sel-β pankreas. Terdapat perbedaan mekanisme kematian
sel-β pankreas pada kedua tipe diabetes tersebut. Pada DM-1 melalui mekanisme DM1 NF-κB dependen yang diperantarai oleh sejumlah sitokin proinflamasi seperti IL1β, TNF-α dan IFN-γ sedangkan DM2 melalui mekanisme NF-κB independen karena
stimulasi tingginya kadar gula darah dan free fatty acids (FFAs).
Diabetes Melitus Tipe-1
Secara histopatologi DM-1 menunjukkan adanya peradangan pankreas
(insulitis) yang ditandai dengan adanya infiltrasi makrofag dan limfosit T teraktivasi
disekitar dan di dalam sel islet. Keadaan ini terjadi karena mekanisme imunologis
tubuh yang berlebihan terhadap agen penyakit sehingga
menimbulkan penyakit
autoimun. Insulitis ini salah satunya dapat terjadi karena infeksi virus seperti
cocksakie, rubella, atau herpes. Disfungsi dan destruksi sel-β pankreas disebabkan
oleh adanya infiltrasi leukosit pada pulau langerhan pankreas.
Reaktivitas makrofag dan sel T yang tidak terkendali pada DM-1 dapat
menyebabkan destruksi sel-β. Kerusakan ini menyebabkan terbentuknya islet cell
antibody (ICA) yang bersifat autoreaktif terhadap sel-β sehingga mengganggu
produksi insulin. Makrofag memiliki kemampuan menginduksi apoptosis sel islet
melalui sintesis sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TNF-α,
sementara
sel T
teraktivasi juga mensintesis sitokin proinflamasi seperti TNF-α, limphotoxin (TNF-β),
dan INF-γ (Gambar 1), sehingga mengakibatkan defisiensi insulin dan hiperglikemia
pada penderita DM-1 (Kay et al., 2000). Mediator inflamasi ini ditemukan pada
pankreas pasien yang menderita DM-1 yang secara langsung mempengaruhi ekspresi
gen proapoptosis (salah satu) pada sel-β pankreas dan secara tidak langsung
mengaktivasi sistem imun dan sel-sel inflamasi di pulau langerhan
pankreas
(Cardozo et al., 2001).
Gambar 1.
Mediator dan Mekanisme Apoptosis Sel-β Pankreas pada DM-1 (Pirot, et al., 2008).
Adanya ikatan antara FasL dari sel T bermarka CD8  dengan reseptor Fas
yang terdapat pada permukaan sel target seperti sel-β pankreas menyebabkan
apoptosis melalui cascade cystein aspartic acid protease (caspase) sampai ke effector
caspase (caspase-3). Sel T bermarka CD8  memiliki granul sitolitik perforin dan
granzyme yang dikeluarkan setelah sel tersebut mengalami stimulasi. Granzyme
masuk ke dalam sitoplasma target sel melalui pori-pori membran sel yang dibentuk
oleh perforin dan mengaktivasi caspase yang memicu kematian sel target (Kreuwel
and Sherman, 2001; Pirot, et al., 2008). Sutirtayasa, et al. (2009) menyatakan bahwa
terjadi peningkatan kematian sel CD8

pada ulkus kaki diabetikum akibat
meningkatnya kematian sel-sel melalui apoptosis yang diperantarai oleh caspase-3
(effector caspase). Peristiwa apoptosis dapat terjadi melalui jalur ekstrinsik dan
intrinsik. Apoptosis melalui jalur ekstrinsik salah satunya dapat distimulasi oleh
sitokin proinflamasi (IL-1, IFN-γ, dan TNF-α) yang diawali dengan ligasi antara
sitokin proinflamasi tersebut dengan cell surface death receptor. Mekanisme
apoptosis sel melalui
jalur
intrinsik merupakan respon yang diinisiasi oleh sel
sebagai reaksi terhadap stress.
Interleukin-1 merupakan familia protein yang terdiri dari IL-1α, IL-1β, dan IL1 receptor antagonist (IL-1Ra). Interleukin-1α dan IL-1β memiliki reseptor yang
sama yaitu IL-1R1 (memiliki afinitas rendah) dan IL-1R2 (memiliki afinitas tinggi),
dimana ikatannya menyebabkan transduksi sinyal pada sel, sementara IL-1Ra tidak
memiliki aktivitas tersebut. Ikatan komplek IL-1 / IL-1R1 yang diperkuat oleh IL1receptor accessory protein (IL-1AcP) menyebabkan tranduksi sinyal yang sangat
penting pada proses apoptosis sel target, melalui tiga jalur utama meliputi: aktivasi
nuclear factor κB (NF-κB), mitogen-activated protein kinases (MAPK) dan protein
kinase C (Eizirik and Poulsen, 2001). Transduksi sinyal IL-1 lainya melalui
phosphatidylinositol-3 kinase (PI 3 K) yang melakukan induksi sinyal melalui NFκB
dan activating transcriptional factor 1 (AP-1). Phosphatidylinositol-3 kinase (PI 3 K)
juga dapat meregulasi PKC dan protein kinase B (PKB/Akt) activity (Eizirik and
Poulsen, 2001).
Ikatan IL-1 dengan IL-1R activated kinase (IRAK) disebabkan oleh adanya
ikatan komplek IL-1/IL-1R1/IL-1AcP dengan adaptor protein myeloid differentiation
primary-respons protein 88 (My88). Tahap selanjutnya terjadi fosforilasi IRAK1 oleh
IRAK4 dan menghasilkan tempat ikatan untuk TNF-receptor-associated factor-6
(TRAF6), sehingga menyebabkan aktivasi NF-κB dan MAPK. Aktivasi NF-κB
melalui NF-κB inducing kinase (NIK) yang mengaktifkan inhibitory κB kinase (IKK)
sehingga menyebabkan fosforilasi dan degradasi inhibitory κB (IκB), selanjutnya
terjadi pelepasan NF-κB pada nukleus serta menginduksi terjadinya transkripsi
berbagai macam gen (Eizirik and Poulsen, 2001; Pirot, et al., 2008).
Apoptosis sel-β melalui TNF-α yang berikatan dengan TNF-R1 diawali
dengan terjadinya trimerisasi dan recruitment adaptor protein TNF receptorassociated death domain protein (TRADD). Tahap selanjutnya adalah terjadi
pemesanan TRAF-2 dan serine threonine kinase Rip oleh TRADD. Aktivitas yang
dimiliki oleh TRAF-2 sama dengan TRAP-6 yaitu mengaktivasi NFκB dan MAPK.
Sementara ikatan komplek TNF-α/TNF-R1 melalui Fas-associated death domain
(FADD) menyebabkan terjadinya recruitment dan aktivasi pro-caspase-8 yang
berperanan terhadap aktivasi effector caspase seperti pada apoptosis melalui Fas/FasL
(Pirot, et al., 2008).
Sitokin mediator lain yang berperan terhadap fungsi dan kelangsungan hidup
sel-β pankreas adalah IFN-γ. Interferon-γ berikatan dengan reseptor yang terdapat
pada sel-β dan menginduksi oligomerisasi dan recruitment Janus Kinase (JAK)-1 dan
-2. Transfosforilasi JAK1 dan JAK2 menimbulkan docking site untuk signal
transducer and activator of transcription (STAT)-1. Setelah terjadi fosforilasi dengan
bantuan JAK, STAT-1 mengalami homodimerisasi dan migrasi ke nukleus serta
menginisiasi ekspresi gen (Eizirik and Poulsen, 2001; Pirot, et al., 2008).
Apabila diperhatikan mekanisme apoptosis sel-β pankreas yang melibatkan
sitokin proinflamasi menunjukkan bahwa terjadi cross-talk antara IL-1, TNF-α, dan
IFN-γ melalui jalur mitogen-activated protein kinases (MAPK).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa IL-1, atau kombinasinya dengan IFN-γ
atau TNF-α berperanan terhadap disfungsi dan kematian sel islet. Sementara
penelitian lain juga melaporkan bahwa kombinasi antara IL-1β dengan IFN-γ dan atau
TNF-α dapat menyebabkan kematian sel melalui nekrosis teteapi terutama melalui
apoptosis (Eizirik and Poulsen, 2001).
Diabetes Melitus Tipe-2
Secara genetik DM-2 dapat dikontrol dengan diet, agen hipoglikemia atau
insulin eksogen. Kejadian DM-2 semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat gaya
hidup yang kurang sehat, seperti diet tidak sehat, kurang olah raga atau aktivitasnya
rendah sehingga semakin banyak orang yang mengalami obesitas. Data menunjukkan
penderita DM-2 meningkat di seluruh dunia, dan Asia menempati tempat pertama.
Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2009 menyatakan bahwa
prevalensi diabetes sebesar 285 juta pada tahun 2010, dan diprediksi menjadi 438 juta
tahun 2030 dan mayoritas penderita baru berasal dari asia (Kitada et al., 2010).
Penderita DM-2 di Indonesia sebesar 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 dan
diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Tabel 2), sementara penelitian lain
menunjukkan bahwa jumlah penderita diabetes sebesar 150 juta pada tahun 2000 dan
diperkirakan meningkat berlipat ganda pada tahun 2025 (Ahmed et al., 2010).
Tabel 2. Estimasi penderita diabetes di beberapa negara pada tahun 2000 dan 2030
(Ahmed et al., 2010)
Rangking
Country
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
India
China
U.S.
Indonesia
Japan
Pakistan
Russia
Brazil
Italy
Bangladesh
2000
People with
diabetes (millions)
31.7
20.8
17.7
8.4
6.8
5.2
4.6
4.6
4.3
3.2
Country
India
China
U.S.
Indonesia
Pakistan
Brazil
Bangladesh
Japan
Philippines
Egypt
2030
People with diabetes
(millions)
79.4
42.3
30.3
21.3
13.9
11.3
11.1
8.9
7.8
6.7
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan
prevalensi DM tipe-2 pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat diabetes sejumlah 8,2 juta di
daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Berdasarkan pola pertambahan penduduk,
diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas
20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM tipe-2 di daerah urban 14,7% dan daerah
rural 7,2 % maka diperkirakan terdapat 12 juta diabetes di daerah urban dan 8,1 juta
di daerah rural.
Pada penderita DM tipe-2 terjadi abnormalitas patofisiologi sekresi dan kerja
insulin dari sel-sel-β pankreas. Kondisi ini mengakibatkan
meningkatnya kadar
glukosa darah pada penderita. Resistensi insulin merupakan keadaan patologik yang
terjadi di sel target untuk merespon insulin secara fisiologi sehingga menyebabkan
terjadinya abnormalitas metabolisme glukosa. Ketika sel atau jaringan yang
merupakan target dari kerja insulin berfungsi secara tidak normal maka tidak terjadi
respon meskipun kadar insulin dalam darah tinggi, sehingga kadar glukosa dalam
darah meningkat dan pada kasus kronis akan menyebabkan penyakit DM (Ahmed et
al., 2010).
Pada kasus resistensi insulin, kadar glukosa darah yang tinggi, menyebabkan
tubuh bekerja untuk menjadikan terjadinya hemostasis glukosa kea rah normal dengan
jalan meningkatkan produksi insulin oleh sel-ß pankreas. Pada akhirnya kondisi
hiperglikemia kronis menyebabkan sel-ß pankreas tidak merespon glukosa, kemudian
terjadi disfungsi dari sel-sel tersebut (Leonardi et al., 2003; Ahmed et al., 2010).
Pembentukan Senyawa Oksigen Reaktif pada Diabetes Melitus
Penurunan sekresi dan atau efektivitas kerja hormon insulin mengakibatkan
seluruh glukosa yang dikonsumsi di dalam tubuh akan meningkat. Peningkatan kadar
glukosa darah disebabkan oleh kerusakan sel-β pankreas sehingga
tidak dapat
menghasilkan insulin atau akibat adanya resistensi insulin. Kerusakan pankreas ini
dapat disebabkan oleh meningkatnya senyawa radikal bebas akibat kadar gula darah
yang meningkat pada kasus DM. Schalkwijk and Stehouwer (2005) menyatakan,
bahwa peningkatan stress oksidatif terjadi melalui empat mekanisme yaitu: melalui
jalur sorbitol/polyol pada saraf perifer, jalur hexosamine, jalur aktivasi protein kinase
C (PKC), dan jalur peningkatan produksi Advanced glycation end products (AGEs)
atau dikenal juga glyoxylation pathway (Gambar 3).
Gambar 3.
Empat Jalur Terbentuknya Stress Oksidatif karena Hiperglikemi Intraseluler pada
Diabetes Melitus Schalkwijk and Stehouwer (2005)
Apabila terjadi peningkatan kadar glukosa pada penderita diabetes maka
akan merangsang aktivitas enzim aldose reductase (AR) untuk mengkatalisasi
glukosa menjadi sorbitol melalui jalur sorbitol/polyol. Tahap selanjutnya adalah
terjadi proses oksidasi oleh enzim sorbitol dehydrogenase (SDH) membentuk
fruktosa. Selain dapat meningkatkan kadar sorbitol dan fruktosa intaseluler, juga
menurunkan rasio NADPH terhadap NADP  maupun rasio NADH terhadap NAD  .
Menumpuknya sorbitol intrasel akan mengaktifkan p38 MAPK dan JNK sehingga
dapat memicu produksi beberapa mediator inflamasi dan terjadi proses inflamasi
(Brownlee, 2005; Schalkwijk and Stehouwer, 2005).
Pada keadaan normal, glukosa intraseluler mengalami proses metabolisme
melalui glikolisis menghasilkan glukosa-6-fosfat yang dibantu oleh enzim hexokinase
atau glukokinase. Proses selanjutnya adalah terbentuknya fruktosa-6-fosfat dari
glukosa-6-fosfat. Tingginya kadar glukosa intraseluler menyebabkan sebagian dari
senyawa fruktosa-6-fosfat akan dikonversi menjadi glucosamine-6-phosphate dan
UDP (uridine diphosphate) N-acetyl glucosamine (GlcNAc) oleh enzim glucosamine
fructose-6-phosphate amidotransferase /GFAT melalui jalur heksosamin (Schalkwijk
and Stehouwer, 2005). N-acetyl glucosamine yang terbentuk selanjutnya akan
berikatan dengan faktor transkripsi serine-threonine residues critical activating
cofactor, sehingga dapat menginduksi ekspresi gen seperti transforming growth
factor-β1 (TGF-1), dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Peningkatan kadar
TGF-1 dan PAI-1 ditengarai berperanan penting terhadap mekanisme terjadinya
hipoperfusi seluler sehingga memicu peningkatan senyawa oksigen reaktif (Inoguchi
et al., 2003).
Pada jalur diacyl glycerol (DAG)/protein kinase C (PKC), tingginya kadar
glukosa intraseluler meningkatkan sintesa molekul diacyl glycerol. Molekul ini
merupakan bentuk klasik dari senyawa protein kinase-C, -β, -α, dan –δ. Aktivasi
PKC menyebabkan ekspresi berbagai gen seperti endothelin-1, VEGF, TGF-β, PAI1, NF-κB, NAD(P)H oksidase serta menurunnya kadar endotheline nitric oxide
syntethase/eNOS. Meningkatnya ekspresi gen tersebut menyebabkan kelainan sistem
vaskuler dan reaksi inflamasi (Inoguchi et al., 2003; Brownlee, 2005). Enzim
NADPH oksidase yang meningkat pada jalur PKC akan meningkatkan senyawa
oksigen reaktif, sedangkan menurunnya eNOS akan menurunkan produksi nitric
oxide/NO. Rendahnya kadar NO menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah
sehingga menyebabkan hipoperfusi seluler dan akhirnya meningkatkan produksi
senyawa oksigen reaktif (Brownlee, 2005).
Advanced glycation end products (AGEs) merupakan produk proses glikasi
non-enzimatis dari protein heterogen, lipid, dan asam nukleat pada penderita diabetes
mellitus melalui jalur glyoxylation. Terbentuknya AGEs karena tingginya kadar gula
darah dan meningkatnya produksi stress oksidatif pada penderita diabetes. Pada tahap
awal reaksi reduksi gula (aldosa) dengan protein secara non-enzimatis akan terbentuk
basa Schiff dan produk Amadori (senyawa ketoamin) yang bersifat reversible.
Pemaparan dalam jangka waktu panjang mengakibatkan terbentuknya AGEs yang
bersifat irreversible. AGEs yang terbentuk akan terakumulasi pada berbagai jaringan
tubuh dan pembuluh darah, dan menjadi penyebab munculnya berbagai komplikasi
penyakit diabetes. Produk glikasi ini akan berikatan dengan reseptornya (RAGE).
Meningkatnya ikatan antara RAGE dan AGEs pada penyakit diabetes memicu
meningkatnya produksi reactive oxygen species (ROS) dan terjadi up-regulasi proses
inflamasi. Reseptor tersebut dapat terekspresi pada berbagai jenis jaringan maupun
sel meliputi sel endotel, sel otot polos pembuluh darah maupun makrofag. Pada
umumnya RAGE diekspresikan pada permukaan sel monosit (makrofag) yang akan
menimbulkan sinyal postreseptor pada sel tersebut yaitu mengaktivasi NF-κB,
sehingga terjadi tahapan inflamasi yaitu terbentuknya sitokin proinflamasi seperti
tumor necrosis factors (TNF-α dan TNF-β), interleukins (IL) 1, 6, 8 dan 18 dan
interferon-γ (Gambar 4) maupun faktor pertumbuhan seperti vascular endothelial
growth factor (VEGF), dan meningkatnya permiabilitas endotel serta kemotaksis
monosit (Schalkwijk and Stehouwer, 2005).
Gambar 4.
Mekanisme reaksi non-enzimatik melalui jalur AGEs pada hiperglikemi
(Wright, et al., 2006).
Salah satu sequelae akibat tingginya ROS pada penderita DM adalah
produksi sitokin proinflamasi melalui stimulasi acute-phase reactants yang disintesis
oleh hati. Sitokin terutama TNF-α dan IL-6 menstimulasi sintesa C-reactive protein,
komplemen, serum amyloid A dan fibrinogen. Acute-phase reactants lainnya seperti
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), von Willebrand factor, lipoprotein (a) dan
cortisol. Efek lain tingginya kadar ROS akibat hiperglikemia adalah terhadap fungsi
vaskuler, yaitu terjadi peningkatan ekspresi cellular adhesion molecules pada
permukaan sel endotel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada individu diabetes
terjadi peningkatan ekspresi cellular adhesion molecules terutama intercellular
adhesion molecule (ICAM)-1, vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1 dan Eselectin (Wright, et al., 2006)
Senyawa oksigen reaktif yang berlebihan akibat hiperglikemi pada penderita
diabetes akan merangsang reaksi kaskade serine kinase sehingga terjadi proses
fosforilasi dan degradasi dari I-κB. Proses tersebut dapat mengaktifkan NF-κB
sehingga terjadi translokasi ke dalam inti sel. Nuklear factor kappa B (NF-κB)
berperanan meregulasi pembentukan berbagai gen sitokin pro-inflamasi (TNF-α dan
IL-1), faktor pertumbuhan (Vascular Endothelial Growth Factor/VEGF, Receptor
Advanced Glycation end Products/RAGE), molekul adesi seperti intercellular
adhesion molecule/ICAM dan vascular cell adhesion molecule/VCAM
(Taylor,
2001). Produksi berbagai molekul tersebut menimbulkan reaksi kaskade berantai
dengan mekanisme yang sangat kompleks dan menyebabkan kelainan patologis
berupa reaksi inflamasi pada endotel, kardiovaskuler, ginjal, mata, saraf dan lainnya.
Kelainan patologis yang terjadi akibat tingginya kadar gula darah
merupakan
manifestasi terjadinya komplikasi makro dan mikrovaskuler dari diabetes mellitus
(Ahmed et al., 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, K.A., Muniandy, S. and Ismail, I.S. 2010. Type 2 Diabetes and vascular
complications: A Pathophysiologic view. Biomedical Research, 21(2): 147155
American Diabetes Assosiation (ADA). 2012. Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care 35 (1): 64-71.
Brownlee, M. 2005 The pathobiology of diabetic complications: a unifying
mechanism. Diabetes 54: 1615–1625.
Cardozo, A.K., Kruhoffer, M., Leeman, R., Orntoft, T., Eizirik, D.L. 2001.
Identification of novel cytokine-induced genes in pancreatic beta-cells by
high-density oligonucleotide arrays. Diabetes 50:909-920.
Cnop, M., N. Welsh, J.C. Jonas, A. Jörns, S. Lenzen, and D.C. Eizirik. 2005.
Mechanisms of pancreatic β-cell in type 1 and type 2 diabetes. Many
differences, few similarities. Diabetes. Vol 54 (2), 97-107).
Inoguchi, T., Sonra, T., Tsu Bouchi, H., Etoh, T., Kakimoto,M., Sonoda, N., Sato, N.,
Sakiguchi, N., Kobayashi, K., Sumimoto, H., Utsumi, H., Nawata, H. 2003.
Protein Kinase C-Dependent Increase in Reactive Oxygen Species (ROS)
Production in Vascular tissue of Diabetic: Role of vascular NAD(P)H
oxidase. J. Am.Soc. of Nephrol. Vol 4, no 8
Kay, T.W.H., Thomas, H.E., Harrison, L.C., Allison, J. 2000. The beta cell in
autoimmune diabetes: many mechanisms and pathways of loss (Review).
Trends Endocrinol Metab. 11:11-15
Kitada, M., Zhang, Z., Mima, A. & King, G. L. 2010. Molecular Mechanisms of
Diabetic Vascular Complications. Journal of Diabetes Investigation Vol. 1
(77-89)
Leonardi, O., Mints, G. and Hussain, M. A. 2003. Beta-cell Apoptosis in the
Pathogenesis of Human Type 2 Diabetes Mellitus. European Journal of
Endocrinology (149) 99–102.
PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. PB Perkeni. Jakarta.
Pirot, P., A.K. Cardozo, and D.L. Eizirik. 2008. Mediator and mechanisms of
pancreatic beta-cell death in type 1 diabetes. Arq Bras Endrocrinol Metab.
52 (2): 156-165.
Wright, J.R., J . L. Scim-Bacon, L. C. Glass. 2006. Oxidative stress in type 2
diabetes: the role of fasting and postprandial glycaemia. Rev. Int. J Clin Pract.
60(3) 308–314
Eizirik, D.L. and T.M., Poulsen. 2001. A choice of death- the signal-transduction of
immune-mediated beta-cell apoptosis. Diabetologia 44: 2115-2133.
Kreuwel, H.T. and L.A. Sherman. 2001. The role of Fas and FasL in CD8  T-cellmediated insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM). J Clin. Immunol. 21:
15-18.
Sutirta Yasa, I.W.P., A.A.G. Sudewa Djelantik, K. Suastika, N. Mantik Astawa, dan
I.F. Yuatmadja. 2009. Hubungan Jumlah sel limfosit T CD8  pada ulkus kaki
diabetik derajat 3, 4, 5 dan ulkus non diabetik. E-Journal.Unud, Vol. 10 (1).
11-17.
Schalkwijk , C.G. and Stehouwer,C.D.A. 2005. Vascular Complications in Diabetes
Mellitus: the role of endothelial disfunction. Rev. Clinical Science 109: 143159.
Taylor, A.A. 2001. Pathophysiology of Hypertension and Endothelial Dysfunction in
Patients with Diabetes Mellitus. Endocrinology and Metabolism Clinics of
North America. 30 (4) 983-997
Download