1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Menurut WHO yang dimaksud sehat adalah keadaan
jasmani, rohani dan sosial yang sempurna serta tidak hanya bebas dari penyakit
atau kecacatan, tetapi juga dapat bekerja secara produktif (Sarudji, 2010).
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh. Salah
satunya adalah upaya kesehatan lingkungan yang ditujukan untuk mewujudkan
kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial.
Lingkungan sehat yang dimaksud adalah terbebas dari unsur-unsur yang
menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain makanan yang terkontaminasi
(Depkes, 2009).
Makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan penyakit atau gangguan
kesehatan apabila dikonsumsi (foodborne diseases). Salah satu penyakit yang
disebarkan oleh makanan adalah Hepatitis A yang disebabkan virus Hepatitis.
Berkaitan dengan penyakit Hepatitis A, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas
telah menetapkan wilayah Kabupaten Banyumas berstatus Kejadian Luar Biasa
(KLB) akibat kasus penyebaran penyakit Hepatitis A yang terjadi pada bulan
September 2011 sampai dengan 11 Januari 2012. Penyebaran kasus Hepatitis A
tahun 2011 pertama kali dilaporkan terjadi di Asrama Poltekkes Keperawatan
Mersi Kecamatan Purwokerto Timur pada minggu ke-3 bulan September 2011
dengan 8 (delapan) orang penderita, kemudian pada bulan berikutnya dilaporkan
sudah terjadi kasus di wilayah lain. Total keseluruhan ditemukan 48 penderita
dengan perincian sebagai berikut:
2
Tabel 1 Data Penderita Hepatitis A di Kabupaten Banyumas Bulan September
Tahun 2011-11 Januari 2012
No.
Alamat Penderita
Jumlah Penderita
1.
2.
3.
4.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Kecamatan Purwokerto Timur
20
Kecamatan Sokaraja
7
Kecamatan Kedungbanteng
2
Kecamatan Kembaran
7
Kecamatan Purwokerto Selatan
2
Kecamatan Karanglewas
2
Kecamatan Gumelar
1
Kecamatan Sumbang
2
Kecamatan Baturaden
1
Kecamatan Wangon
1
Kecamatan Patikraja
1
Kecamatan Purwokerto Utara
2
Total
48
Sumber: Bidang P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun 2012
Berdasarkan Penyelidikan Epidemiologi (PE) yang telah dilakukan,
didapatkan hasil bahwa kondisi lingkungan di sekitar penderita terutama yang
banyak terjadi penularan kasus (Kecamatan Purwokerto Timur) banyak ditemukan
pedagang makanan siap saji
atau pedagang makanan kaki lima yang
kemungkinan dapat menjadi media penularan. Pengetahuan pedagang kaki lima
yang masih rendah mengenai hygiene dan sanitasi makanan merupakan faktor
risiko terjadinya foodborne diseases. Kontaminasi makanan dapat disebabkan
oleh perilaku penjamah makanan (food handlers) yang tidak hygienis, sanitasi
tempat dan fasilitas pengelolaan makanan minuman yang belum memenuhi
syarat kesehatan serta proses pengelolaan makanan kurang memperhatikan aspek
kesehatan dan keamanan makanan. Penelitian Djaja (2008) menyatakan bahwa
pedagang kaki lima berisiko 3,5 kali lipat terhadap terjadinya kontaminasi
makanan dibandingkan dengan usaha jasaboga, restoran dan rumah makan.
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang
Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, terdapat beberapa aspek
yang harus diperhatikan oleh pengelola makanan yaitu penjamah makanan,
peralatan, air, bahan makanan, bahan tambahan, penyajian, sarana penjaja dan
sentra pedagang.
Untuk meningkatkan mutu dan hygiene sanitasi makanan
3
jajanan, dapat ditetapkan lokasi tertentu sebagai sentra pedagang makanan
jajanan. Sentra pedagang makanan lokasinya harus cukup jauh dari sumber
pencemaran atau dapat menimbulkan pencemaran makanan jajanan (Depkes,
2004).
Terkait dengan penyelenggaraan sentra pedagang makanan jajanan dan
penataan PKL, Pemerintah Kabupaten Banyumas telah mengeluarkan kebijakan
penataan pedagang makanan kaki lima dengan cara merelokasi pedagang dari 3
lokasi di Kecamatan Purwokerto Timur (Ragasemangsang, Pereng, Jalan Jendral
Soedirman) ke Pusat Kuliner Pratistha Harsa yang diresmikan pada tanggal 9 Juni
2012. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Penataan dan Pemberdayaan PKL, bahwa tujuan dari kebijakan ini agar tercipta
ketertiban, keindahan, kebersihan, keamanan dan kenyamanan dalam pemanfaatan
ruang publik. Oleh karena itu Pemerintah Daerah khususnya Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi menyusun konsep penataan PKL tersebut. Kebijakan
ini merupakan langkah awal Pemkab Banyumas dalam melakukan penataan PKL
di Purwokerto pada khususnya dan Kabupaten Banyumas pada umumnya.
Pembangunan pusat kuliner merupakan salah satu alternatif solusi untuk
mencegah terjadinya masalah-masalah kesehatan, seperti KLB Heptitis A.
Keberadaan para pedagang ini dapat menjadi media penularan penyakit Hepatitis
A karena praktek hygiene sanitasi makanan masih sulit untuk diterapkan pada
pedagang makanan (Rheinländer et al., 2008), sementara kebijakan penataan
pedagang belum melibatkan instansi terkait dalam pembinaan dan pengawasan
hygiene sanitasi makanannya. Pemerintah daerah belum melaksanakan regulasi
kesehatan yang berkaitan dengan keamanan makanan pada pedagang yang sudah
direlokasi tersebut. Pedagang makanan kaki lima seharusnya dikontrol dan
diregulasi agar mereka tidak menjadi sumber penularan penyakit. Pengontrolan
terhadap mereka berdasarkan ketiga aspek, yaitu praktek hygiene perorangan,
sanitasi makanan dan sanitasi lingkungan. Salah satunya penjaja makanan harus
bebas dari penyakit, misalnya Hepatitis A. Satu orang penjamah makanan yang
terinfeksi virus tersebut dapat menularkan ke puluhan atau bahkan ratusan orang
dan mengakibatkan beban ekonomi besar bagi kesehatan masyarakat. Vaksinasi
4
secara rutin pada penjamah makanan yang berisiko terkena Hepatitis A dapat
mengurangi penularan penyakit bawaan makanan ini (Fiore, 2004). Seperti yang
dilakukan oleh pemerintah Malaysia, Filipina dan India. Mereka mempunyai
regulasi untuk melindungi pedagang makanan kaki lima. Malaysia merupakan
satu-satunya negara yang semua penjaja makanan mempunyai lisensi dan
menyediakan fasilitas yang mereka butuhkan untuk mengembangkan usaha
mereka (Rane, 2011).
Belum adanya implementasi kebijakan yang berkaitan dengan praktek
hygiene sanitasi makanan di Pratistha Harsa menyebabkan paguyuban pedagang
yang merupakan community based organization berupaya berperan menerapkan
public health regulation, antara lain melakukan penyuluhan kesehatan sendiri
kepada pedagang, memantau kebersihan lingkungan dan kebersihan penanganan
makanan seperti cara mencuci peralatan, kebersihan tempat mencuci peralatan,
membersihkan selokan serta pembuangan sampah dan memasukkan masalah
kebersihan dalam anggaran rumah tangga paguyuban. Paguyuban itu adalah
bentuk dari self regulation dimana mereka
mengelola diri mereka sendiri.
Paguyuban merupakan self help organization atau organisasi yang membantu diri
mereka sendiri untuk mempromosikan, memelihara dan memulihkan kesehatan
((Nutbeam, 1998). Teorinya pada pemerintahan yang lemah paguyuban akan kuat,
namun jika pemerintahan sudah kuat, community based organization akan lemah.
Seperti di Filipina yang pemerintahannya lemah dan masyarakat sipil yang kuat,
community based organization (CBOs) Filipina ikut merumuskan kebijakan dan
mengimplementasikan kebijakan tersebut untuk pembangunan nasional. Mereka
mempengaruhi kebijakan pemerintah agar pemerintahan lebih demokratis. Di
Malaysia, seluruh pedagang harus mempunyai ijin dan mereka diawasi ketat oleh
Departemen
Kesehatan.
Kolaborasi
antara
paguyuban
dan
pemerintah
memberikan keuntungan bagi kedua pihak. Paguyuban merasa beruntung karena
mendapatkan
perlindungan
hukum
dan
memperoleh ijin berdagang (Ujiyati, 2005).
membantu
anggota
paguyuban
5
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mempelajari lebih jauh mengenai
implementasi public health regulation sesudah pemerintah daerah melaksanakan
kebijakan penataan pedagang makanan kaki lima di Pusat Kuliner Pratistha Harsa
dan peran paguyuban pedagang sebagai community based organisations serta
bentuk self help organization dalam meningkatkan praktek hygiene dan sanitasi
makanan agar masyarakat terlindung dari foodborne diseases.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan penelitian adalah:
Bagaimana implementasi public health regulation setelah pemerintah daerah
melaksanakan kebijakan penataan pedagang makanan kaki lima di Pusat Kuliner
Pratistha Harsa Purwokerto dan peran paguyuban pedagang sebagai community
based organisations dalam meningkatkan praktek hygiene dan sanitasi makanan?
C.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengkaji masalah penataan pedagang makanan kaki lima dan praktek
hygiene sanitasi di pusat kuliner Pratistha Harsa Purwokerto.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi
implementasi public health regulation pada
kebijakan pemerintah daerah dalam penataan pedagang makanan kaki lima
di Pusat kuliner Pratistha Harsa Purwokerto.
b. Untuk mengidentifikasi praktek higiene dan sanitasi makanan pada
pedagang makanan kaki lima di pusat kuliner Pratistha Harsa Purwokerto.
c. Untuk mengidentifikasi peran paguyuban pedagang sebagai community
based organisations di pusat kuliner Pratistha Harsa Purwokerto.
d. Untuk mengidentifikasi persepsi pedagang tentang hygiene dan sanitasi
makanan di pusat kuliner Pratistha Harsa Purwokerto.
6
e. Untuk mengidentifikasi peran dan kerjasama stakeholders di Kabupaten
Banyumas dalam melaksanakan penataan dan
pembinaan serta
pengawasan hygiene dan sanitasi makanan pada pedagang makanan kaki
lima di pusat kuliner Pratistha Harsa Purwokerto.
D.
Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Memperoleh informasi mengenai konsep penataan pedagang, penerapan
hygiene sanitasi makanan serta peran community based organization
(paguyuban pedagang) di pusat kuliner Pratistha Harsa.
2. Bagi pemerintah daerah
Bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam menyusun masterplan
penataan pedagang makanan kaki lima secara komprehensif, baik dari sisi
penataan ruang publik maupun kesehatan serta kemitraan dengan paguyuban
dalam melaksanakan penataan pedagang dan meningkatkan praktek hygiene
sanitasi di pusat kuliner Pratistha Harsa.
7
E.
Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang mirip dengan penelitian ini, antara lain:
Tabel 2. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Peneliti
(tahun)
Thilde
Rheinländer
(2006)
Jenis & Rancangan
Judul
Lokasi
Street
Food Kumasi, Ghana
Quality
A
Matter
of
Neatness and
Trust:
A
Qualitative
Study of Local
Practices and
Perceptions of
Food Quality,
Food Hygiene
and
Food
Safety in Urban
Kumasi, Ghana
Tujuan
Untuk
menginvestigasi Kualitatif
dengan
pikiran tentang kualitas wawancara,
FGD
keamanan makanan diantara dan observasi
pedagang dan konsumen di
Kumasi dan mencari solusi
bagaimana menghubungkan
praktek
dan
persepsi
tentang
hygiene
dan
keamanan makanan
Hasil
Pemahaman kualitas makanan di
kalangan
konsumen
dan
pedagang sangat subjektif dan
multidimensi,
termasuk
perhatian tentang bio-medis
keamanan
makanan
sebaik
faktor kebersihan,sosial, budaya,
estetika dan
faktor
moral.
Parameter
fungsional
seperti
harga,
ketersediaan dan aksesibilitas
lebih
penting
daripada
kebersihan makanan. Strategi
untuk promosi kesehatan adalah
dengan menguatkan jaringan
pedagang dan melaksanakan
kemitraan
dengan
jaringan
pedagang.
8
Tatak Prapti The Street
Ujiyati
Vendor
(2002)
Movement in
The Southeast
Asian Cities:
Case Study of
Street Vendor
Organisations
in Power
Relations with
The State in
Metro Manila
and Kuala
Lumpur
Manila
dan Untuk
menggambarkan Kualitatif
dengan
Kuala Lumpur
kondisi
dan
sejarah rancangan
studi
organisasi pedagang kaki kasus deskriptif.
lima di Manila dan Kuala
Lumpur,
untuk
menganalisis
kekuatan
hubungan
pemerintah
daerah dengan organisasi
PKL di Manila dan Kuala
Lumpur.
-
-
Manila mempunyai banyak
asosiasi pedagang namun
masing-masing
hanya
memiliki beberapa anggota,
berbanding terbalik dengan
Kuala Lumpur. Hal ini
dipengaruhi struktur politik
yang mereka hadapi.
Di Metro Manila, masalah
yang
dihadapi
oleh
pedagang
biasanya
di
tingkat
lokal
seperti
sengketa dengan pedagang
lainnya, konflik dengan
pejabat kota, tekanan oleh
polisi,
dan
kebijakan
pemerintah kota sehingga
membutuhkan
solusi
langsung dan cepat yang
dapat
dipenuhi
oleh
organisasi kecil. Sebaliknya,
di Kuala Lumpur, masalah
pedagang terletak di tingkat
nasional, karena kebijakan
lokal sangat dipengaruhi
oleh kebijakan nasional.
Oleh karena itu, diperlukan
organisasi besar di tingkat
kota atau nasional untuk
membantu
memecahkan
masalahnya.
9
-
Di Manila, PKL bergabung
dengan organisasi oposisi
yan menekan kebijakan
pemerintah. Sedangkan di
Kuala Lumpur, para PKL
bergabung
dengan
organisasi
yang
pro
pemerintah.
Indira
Chakravarty
& Colette
Canet (1996)
Street Foods in Calcutta India
Calcutta
Meneliti tentang aspek Survey,
dengan Adanya kerjasama yang baik
hukum,
keamanan wawancara
antara pemerintah daerah dengan
makanan,
faktor
sosio
pedagang makanan kaki lima,
ekonomi
yang
salah satunya dengan melibatkan
mempengaruhi PKL dan
mereka
dalam
penyusunan
konsumen, praktek industri
regulasi tentang street foods di
makanan
jajanan,
Calcutta. Sejumlah upaya telah
kontaminasi
makanan,
dilakukan
untuk
konsekuensi sanitasi dan
mengembangkan pembangunan
lingkungan,
keterlibatan
berkelanjutan di sektor street
asosiasi
pedagang dan
foods sesuai dengan ketentuan
implementasi
kebijakan
administrasi,
hygienis
dan
street foods.
lingkungan.
Thilde
Rheinländer,
Mette Olsen,
John
Abubakar
Bakang,
Harriet
Takyi,
Keeping
Up Kumasi, Ghana
Appearances:
Perceptions of
Street
Food
Safety in Urban
Kumasi, Ghana
Mengetahui persepsi lokal
keamanan makanan diantara
penjual makanan jajanan
dan konsumen agar dapat
mengidentifikasi
aspek
yang paling penting untuk
intervensi
kesehatan
masyarakat dimasa depan
Study
area Meskipun penjual dan konsumen
(kualitatif), dengan sudah
menunjukkan
triangulasi metode pengetahuan
dasar
tentang
(observasi,
keamanan makanan namun
wawancara, FGD)
praktek
hygiene
sanitasi
makanan
seperti
mencuci
tangan, pencucian peralatan,
sayuran mentah belum sesuai
10
Flemming
Konradsen,
&
Helle
Samuelsen
(2008)
Eric
Donkor,
Boniface
Kayang,
Jonathan
Quaye
Moses
Akyeh
(2009)
terkait keamanan makanan
jajanan.
S. Application of Chorkor, Accra, Untuk menerapkan 5 kunci
the WHO Keys Ghana
keamanan makanan WHO
B. of Safer Food
dalam
suatu
program
to
Improve
pelatihan bagi pedagang
Food Handling
makanan
untuk
& Practices
of
meningkatkan
keamanan
L. Food Vendors
makanan
jajanan
atau
in
a
Poor
makanan siap saji pada
Resource
komunitas miskin di Accra.
Community in
Ghana
Deskriptif
kuantitatif,
kuosioner
Leikert)
observasi.
kriteria. Empat aspek yang
paling penting: penampilan
estetika makanan dan tempat
berjualan,
penampilan
pedagang, kepercayaan pada
pedagang, konsumen lebih
memprioritaskan harga dan
kemudahan
memperoleh
makanan-tidak mengutamakan
keamanan makanan. Mendidik
pedagang mengenai penanganan
makanan tidak cukup. Intervensi
di
masa
depan
harus
memberikan penekanan pada
penampilan dan kebersihan.
Paguyuban
pedagang
merupakan
kunci
bagi
peningkatan hygiene sanitasi
makanan.
Hasil dari pelatihan pengamanan
dengan makanan menunjukkan bahwa
(Skala 67,6% pedagang makanan kaki
dan lima
telah
memperoleh
pengetahuan dari workshop dan
menerapkan praktek keamanan
makanan. Kekurangan peralatan
keamanan makanan merupakan
penghalang
terbesar
untuk
merubah perilaku pedagang
makanan kaki lima. Secara
umum
pedagang
sudah
11
mempunyai informasi mengenai
hygiene
dan
pencegahan
penyakit,
namun
mereka
membutuhkan pelatihan untuk
menerapkan
pengetahuan
keamanan
makanan
dalam
praktek
hygiene
sanitasi
makanan.
Rina Rifqie
Mariana,
Imam
Santoso,
Wignyanto,
Bambang
Supriyono
(2011)
The Situation Malang,
Analysis
of Timur
Food Safety to
Formulate
Policy of Food
Safety
Operational for
Food
Street
Vendors
in
Malang,
Indonesia
Jawa Untuk menyiapkan suatu
naskah akademik yang
dapat digunakan sebagai
acuan
dalam
bidang
kebijakan
keamanan
makanan dan programprogramnya,
terutama
makanan jajanan di Malang.
Deskriptif,
Mix Kondisi keamanan makanan di
(kualitatif
dan Malang masih rendah. Hal ini
kuantitatif),
uji disebabkan oleh faktor internal
laboratorium, untuk dan eksternal seperti kondisi
menentukan
pedagang makanan kaki lima,
prioritas kebijakan pemahaman dan pengetahuan
menggunakan
anak-anak sekolah mengenai
analisis
proses keamanan makanan, belum
hierarki.
diterapkannya
manajemen
keamanan makanan, aspek
hukum dan
implementasi
kebijakan keamanan makanan
masih lemah. Analisis proses
hierarki menunjukkan bahwa
prioritas utaman pengembangan
kebijakan keamanan makanan
adalah untuk meningkatkan
sistem
badan
keamanan
makanan dengan menerapkan
sistem manajemen makanan,
pengendalian faktor berbahaya
12
melalui lingkungan kerja dan
proses lingkungan, sehingga
bebas dari kontaminasi.
Download