BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Mahkota Dewa Berikut

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Mahkota Dewa
Berikut adalah sistematika tanaman, daerah, deskripsi tanaman, bagian yang
digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa.
2.1.1 Sistematika Tanaman
Sistematika tanaman mahkota dewa adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Malvales
Familia
: Malvaceae
Genus
: Phaleria
Spesies
: Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.
2.1.2 Nama Daerah
Sumatera
: simalakama (Melayu),
Jawa
: makutadewa (Jawa) (Depkes, 1999).
2.1.3 Deskripsi Tanaman
Tanamanmahkota dewa berbentuk perdu yang berumur tahunan. Tinggi
tanaman umumnya 1-3 m, tetapi ada yang bisa mencapai 5 m. Kulit batang
mahkota dewa berwarna coklat kehijauan, sementara kayunya berwarna putih.
Batangnya bulat dan bergetah dengan diameter batang tanaman dewasa mencapai
15 cm. Tanaman ini akan mengeluarkan bunga dan diikuti dengan munculnya
Universitas Sumatera Utara
buah setelah 9-12 bulan kemudian. Buahnya berwarna hijau saat muda dan
menjadi merah marun setelah berumur 2 bulan. Buahnya berbentuk bulat dengan
ukuran bervariasi mulai dari sebesar bola pingpong sampai sebesar buah apel.
Daun mahkota dewa merupakan daun tunggal bentuknya lonjong, memanjang dan
berujung lancip dengan letak daun berhadapan, bertangkai pendek, ujung dan
pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin, warnanya hijau
tua, panjang 7-10 cm, dan lebar 2-5 cm (Harmanto, 2001).
2.1.4 Bagian yang digunakan
Daun dan kulit buah mahkota dewa dapat digunakan dalam keadaan segar
atau setelah dikeringkan (Hariana, 2009). Daun mahkota dewa yang berwarna
hijau dengan permukaan licin juga digunakan sebagai pengobatan alergi dengan
cara direbus (Dyah, 2007).
2.1.5 Manfaat daun mahkota dewa
Tanaman mahkota dewa berkhasiat antara lain sebagai antitumor, analgesik,
antiradang (antiinflamasi), antivirus, antibakteri dan antidiare (Salsabila, 2013).
2.2
Sistem Imun
Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh yang terdiri dari sel atau
gabungan sel, molekul-molekul, dan atau jaringan yang berperan dalam penolakan
mikroorganisme penyebab infeksi. Sistem imun berguna sebagai perlindungan
terhadap infeksi molekul lain seperti virus, bakteri, protozoa dan parasit (Salmon,
1989).
Semua makhluk hidup vertebrata mampu memberikan tanggapan dan
menolak benda-benda atau konfigurasi yang dianggap asing oleh tubuhnya.
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan ini disebabkan oleh sel-sel khusus yang mampu mengenali dan
membedakan konfigurasi asing (non-self) dari konfigurasi yang berasal dari
tubuhnya sendiri (self). Sel khusus tersebut adalah limfosit yang merupakan sel
imunokompeten dalam sistem imun. Konfigurasi asing tersebut dinamakan
antigen atau imunogen, sedangkan proses serta fenomena yang menyertainya
dinamakan respon imun (Subowo, 1993)
Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua jenis
respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon
imun spesifik (Kresno, 2010).
2.2.1 Komponen Sistem Imun
Adapun komponen dari sistem imun terdiri dari komponen humoral dan
komponen seluler.
2.2.1.1 Komponen Selular
Komponen seluler ini terdiri dari:
1.
Sel limfoid
Sel limfoid bertugas untuk mengenali antigen. Terdapat beberapa sel
limfoid yang terkait dalam mengenali antigen, yaitu limfosit T, limfosit B, dan sel
natural killer (NK). Kecuali sel NK, limfosit dilengkapi dengan molekul reseptor
untuk mengenali antigen (Subowo, 2009). Limfosit T atau sel T memegang
peranan penting dalam mengontrol respon imun secara keseluruhan (Kresno,
2001). Limfosit B adalah sel yang dapat membentuk imunoglobulin (Ig) (Kresno,
2001).
Universitas Sumatera Utara
a.
Limfosit T
Sel T adalah sel yang bertanggung jawab dalam respon imun selular. Sel T
dapat dibedakan sebagai berikut:
• Sel Thelper (Sel Th)
Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B aktif
menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T supresor yang
sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat dibedakan menjadi sel Th1 dan
Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit yang akan melepaskan sitokin yang
bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan dalam memproduksi antibodi
dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma (Sherwood, 2001).
• Sel Tsuppresor (Sel Ts)
Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui
mekanisme “check and balance” dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan
aktivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan sel Ts akan berinteraksi dengan
adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel Ts beraksi dan sel Ts akan
menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon imun
yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi (Sherwood, 2001).
• Sel Tcytotoxic (Sel Tc)
Sel Tc adalah sel yang mampu menghancurkan sel cangkokan dan sel yang
terinfeksi virus dengan mengeluarkan zat-zat kimiawi sebelum replikasi virus
terjadi (Sherwood, 2001).
b.
Limfosit B
Sel B adalah sel yang dapat membentuk imunoglobulin (Ig) dan merupakan 515% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Sel B dapat mengenal antigen yang
Universitas Sumatera Utara
berkadar sangat rendah. Hal ini disebabkan sel B mempunyai sIg (Surface
immunoglobulin) yang berfungsi sebagai reseptor untuk antigen (Kresno, 1991).
c.
Sel Natural Killer (NK)
Sel Natural Killer (NK) memegang peranan penting dalam pertahanan
alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi, tanpa
sensitisasi sebelumnya (Kresno, 2001). Sel NK diperkirakan dapat mengenal
struktur-struktur glikoprotein yang muncul pada permukaan sel terinfeksi virus
sehingga dapat dibedakan dari sel-sel normal. Pengenalan ini mungkin terjadi
melalui reseptor serupa lektin pada permukaan sel NK yang menghantar sel
pembunuh dan sasaran saling berhadapan pada jarak yang dekat (Roitt, 2002).
2.
Sel fagosit
Sel fagosit terbagi atas fagosit mononuklear dan fagosit polimorfonuklear
yang berperan sebagai sel efektor dalam respon imun non spesifik (Subowo,
2009).
2.2.1.2 Komponen Humoral
Komponen humoral ini terdiri dari:
a.
Komplemen
Komplemen
merupakan
mediator
terpenting dalam
reaksi antigen-
antibodi, dan terdiri atas sekitar 20 jenis protein yang berbeda satu dengan yang
lain baik dalam sifat kimia maupun dalam fungsi imunologik. Jika komplemen
diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon
inflamasi. Komplemen juga berperan sebagai opsonin yang dapat meningkatkan
fagositosis (Kresno, 2001).
Universitas Sumatera Utara
b.
Sitokin
Sitokin adalah suatu molekul protein yang dikeluarkan oleh sel T ketika
diaktifkan oleh antigen. Sitokin tersebut akan menarik makrofag masuk ke tempat
terjadinya induksi. Sitokin terlibat dalam komunikasi sel-sel, bertindak sebagai
mediator untuk meningkatkan respon imun melalui interaksi dengan reseptor
permukaan sel tertentu pada leukosit (Fulzele, et al., 2003).
c.
C-Reactive Protein (CRP)
CRP merupakan zat yang dibentuk oleh tubuh pada saat infeksi. Perannya
adalah sebagai opsonin (zat yang dapat meningkatkan proses fagositosis) dan
dapat mengaktifkan komplemen (Roitt, 2002).
d.
Antibodi
Antibodi adalah imunoglobulin (Ig) yang merupakan golongan yang
dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari poliferasi sel B akibat adanya kontak
dengan antigen. Menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis, antibodi
dibedakan menjadi 5 subkelas:
•
Imunoglobulin G
Paling banyak ditemukan dalam cairan tubuh terutama ekstravaskular untuk
memerangi mikroorganisme dan toksiknya. IgG merupakan komponen utama
imunoglobulin serum, kadarnya dalam serum merupakan 75% dari semua
imunoglobulin. IgG dapat menembus plasenta masuk ke janin dan berperan pada
imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. IgG dan komplemen bekerja saling
membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen.
Universitas Sumatera Utara
•
Imunoglobulin A
IgA kadarnya terbanyak ditemukan dalam cairan sekresi saluran nafas, cerna
dan kemih, air mata, keringat, ludah, dan air susu ibu yang lebih berupa IgA
sekretori (sIgA) yang merupakan bagian terbanyak. IgA dapat bekerja sebagai
opsonin,
yaitu
dapat
meningkatkan
efek
bakteriolitik
komplemen
dan
menetralisasi toksin serta dapat mengaglutinasikan kuman, mengganggu
motilitasnya sehingga memudahkan fagositosis.
•
Imunoglobulin M
IgM merupakan imunoglobulin paling efisien dalam aktivitas komplemen.
IgM dibentuk paling dahulu pada respon imun primer terhadap kebanyakan
antigen dibanding dengan IgG. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme
patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator poten antigen.
•
Imunoglobulin D
IgD ditemukan dalam serum dengan kadar yang sangat rendah. IgD
merupakan komponen permukaan utama sel B dan pertanda dari diferensiasi sel B
yang lebih matang. IgD merupakan 1% dari total imunoglobulin dan banyak
ditemukan pada membran sel B bersama IgM yang dapat berfungsi sebagai
reseptor antigen pada aktivitas sel B.
•
Imunoglobulin E
IgE mudah diikat sel mast, basfil dan eosinofil yang memiliki reseptor untuk
fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir
saluran nafas dan cerna.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Respon Imun
Respon imun adalah tanggapan sistem imun terhadap zat asing, setelah
terjadi proses pengenalan oleh sel-sel pengenal (limfosit). Secara umum
dinyatakan bahwa respon imun seseorang terhadap patogen terdiri atas respon
imun alami atau respon imun non spesifik dan respon imun adaptif atau respon
imun spesifik (Subowo, 2009).
2.3.1 Respon Imun Nonspesifik
Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan
(innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk ke dalam
tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar pada zat tersebut
(Kresno, 2010). Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya zat asing dan
melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak mampu
mengenali dan mengingat zat asing tersebut. Komponen-komponen utama respon
imun nonspesifik adalah pertahanan fisik, kimiawi, humoral dan selular.
Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat antimikroba yang dihasilkan
dipermukaannya, berbagai jenis protein dalam darah termasuk komplemenkomplemen sistem komplemen, mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin,
sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer
(NK) (Kresno, 2010).
2.3.2 Respon Imun Spesifik
Berbeda dengan respon imun non spesifik yang sel-selnya dalam
menghadapi antigen asing tidak memerlukan reseptor khusus, maka dalam respon
imun spesifik ini diperlukan sel khusus (spesifik) dalam menghadapi antigen
asing. Di dalam respon imun ini paling sedikit melibatkan 3 jenis sel, yaitu
Universitas Sumatera Utara
limfosit T, limfosit B, dan sel makrofag yang bertindak sebagai sel pelengkap
(Subowo, 2009).
Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive
immunity) dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing
tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun
spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel ini
mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik yang terdapat
intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit dibedakan menjadi dua
jenis yaitu limfosit T dan limfosit B (Kresno, 2010).
Limfosit T atau sel T yang berpoliferasi atas rangsangan antigen larut dan
berfungsi memicu sel B untuk memproduksi antibodi, dan subset yang lain yaitu
sel Ts (T suppresor-inducer) yang berpoliferasi atas rangsangan antibodi serta
berfungsi untuk menghambat atau menekan produksi antibodi oleh sel B (Kresno,
1991).
2.4
Imunomodulator
Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meregulasi sistem
imun dengan tujuan menormalkan atau membantu mengoptimalkan sistem imun.
Mekanisme pertahanan spesifik
maupun non spesifik umumnya saling
berpengaruh. Imunomodulator dapat dibagi menjadi 2, yaitu imunostimulator dan
imunosupresor.
2.4.1 Imunostimulator
Imunostimulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan respon imun.
Imunostimulator dapat mereaktivasi sistem imun dengan berbagai cara seperti
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, NK-cells dan makrofag serta
melepaskan interferon dan interleukin (Tan dan Rahardja, 2007). Bahan yang
dapat merangsang sistem imun, seperti: levamisole, isoprenosin, hidroksiklorokin,
dan arginin (Bratawidjaja, 2012).
2.4.1.1 Levamisole
Levamisol adalah derivat tetramizol, obat cacing yang dapat meningkatkan
poliferasi sitotoksisitas sel T serta mengembalikan energi pada beberapa penderita
dengan kanker (imunostimulasi nonspesifik). Levamisol dapat meningkatkan efek
antigen, mitogen, limfokin, dan faktor kemotaktik untuk merangsang limfosit,
granulosit dan makrofag (Bratawidjaja, 2012).
Levamisol adalah salah satu imunopotensiator nonspesifik yang telah
diketahui mampu meningkatkan respon imunitas tubuh, baik selular maupun
humoral. Levamisol lebih berperan dalam imunitas selular yaitu merangsang
poliferasi limfosit T (Widjaja, 1999).
2.4.2 Imunosupresor
Imunosupresor adalah senyawa yang dapat menurunkan respon imun.
Imunosupresor mampu menghambat traskripsi dari sitokin dan memusnahkan sel
T (Tan dan Rahardja, 2007). Kegunaannya di klinik terutama pada transplatasi
untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang
menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau autoinflamasi. Obat-obat imunosupresi digunakan pada penderita yang akan menjalani
transplatasi dan penyakit autoimun oleh karena kemampuannya yang dapat
menekan respon imun seperti azatioprin, dan siklofosfamid (Bratawidjaja, 2012).
Universitas Sumatera Utara
2.5 Metode Pengujian Efek Imuomodulator
Ada
beberapa
metode
yang
digunakan
dalam
pengujian
efek
imunomodulator. Beberapa di antaranya adalah uji respon hipersensitivitas,
pengukuran antibodi (titer antibodi), uji transformasi limfosit T, uji komplemen,
indeks migrasi makrofag, uji granulosit, bioluminisensi radikal,respon fagositik,
respon proliferasi limfosit.
2.5.1 Uji Respon Hipersensitivitas
Uji respon hipersensitivitas merupakan pengujian efek imunomodulator
terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat
merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel Th yang akan
melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi dan meningkatkan aktivitas
makrofag yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan (Roit, 1989).
2.5.2 Titer Antibodi
Respon imun spesifik dapat berupa respon imun seluler dan respon imun
humoral. Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun
humoral yang melibatkan pembentukan antibodi. Peningkatan nilai titer antibodi
terjadi karena peningkatan aktivasi sel Th yang menstimulasi sel B untuk
pembentukan antibodi dan peningkatan aktivasi sel B dalam pembentukan
antibodi (Roit, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Download