PENGHAMPIRAN ANTROPOLOGI ATAS

advertisement
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Vol. 1 • No.3 • Desember 2005
PENGHAMPIRAN ANTROPOLOGI ATAS
KEBIJAKAN DAN KEKUASAN
(Berefleksi dari kebijakan Otonomi Daerah)
Fikarwin Zuska
Departemen Antropologi Fisip USU
Abstract
This article discusses how Anthropology sees changes in centralized political system to decentralized power.
These alternation lead to policy changes that involve the actors as decision makers and people as a target of
policy implementation. One of the most significant in policies is how it work smoothly as the wishes of the
people. How anthropology deals with such issues by seeing policy as language and cultural agent will be
explained in this article.
Keywords: regional autonomy, centralization, and resistance
Pengantar
Kebijakan Otonomi Daerah ditandai
dengan diberlakukannya Undang-Undang No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah. Isi pokok dari
kebijakan
ini
adalah
“diperbesarnya
kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan.” Dalam ilmu politik
kebijakan ini dianggap sebagai tindakan
mengubah sistem pemerintahan negara RI dari
sistem
sentralisasi
menjadi
sistem
desentralisasi 71 .
Perubahan sistem pemerintahan ini, di satu
pihak, dituliskan dalam berbagai dokumen resmi
(aturan perundang-undangan 72 ) atau dalam
tulisan-tulisan para pejabat dan pakar, serta
berulang-ulang diucapkan lewat kata-kata dalam
berbagai pidato pejabat dan elite politik.
Dibahas berulangkali dalam berbagai kelas
kuliah dan kelompok diskusi di seluruh tanah
air, diulas dalam artikel di berbagai media cetak,
buku, dan situs internet, talk show interaktif di
pelbagai stasiun televisi, percakapan interaktif di
pelbagai radio serta di beberapa mailist groups
dan atau dengan cara-cara lain yang melibatkan
warga masyarakat, anggota partai politik,
universitas, lembaga-lembaga non-pemerintah
(domestik dan asing), dan masih banyak yang
lainnya dengan menghabiskan dana, tenaga, dan
waktu yang tak terhitung banyaknya, hingga
sekarang dan entah masih sampai kapan akan
berhenti.
Di lain pihak, pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah ini ditandai pula dengan
perubahan-perubahan dalam struktur organisasi
pemerintah (eksekutif) di daerah-daerah 73 , serta
hubungan-hubungan di antara pemerintah dan
legislatif
(DPRD), 74
pemerintah
dan
71
73
Tiap daerah (kabupaten/kota atau provinsi) mempunyai
organisasi pemerintahan sendiri, dan tidak harus seragam
satu dengan yang lain unsur-unsur komponensialnya
kecuali (hingga saat ini) pada unsur-unsur: (1) adanya
jabatan-jabatan bupati/ wakil bupati dan sekretaris daerah,
wali kota/ wakil wali kota dan sekretaris daerah, gubernur/
wakil gubernur dan sekretaris daerah; (2) bupati/wakil
bupati, wali kota/ wakil wali kota, gubernur/ wakil
gubernur merupakan jabatan politik, sedangkan sekretaris
daerah merupakan jabatan karier (pegawai negeri sipil)
setara eselon I; (3) bupati, wali kota dan gubernur
mempunyai kedudukan sederajat ─hal yang membuat
lahirnya asosiasi-asosiasi ‘baru’ yang saling bersaing
hingga sekarang, yaitu APKASI, APEKSI dan APPSI.
74
De facto DPRD (terdiri dari politisi partai-partai politik
Sistem sentralisasi adalah sistem di mana semua urusan
yang ditetapkan dalam konstitusi sebagai urusan negara
akan menjadi urusan pemerintah pusat. Dan apabila
pemerintah lokal diberi kewenangan untuk mengurus
rumah tangga sendiri (dengan urusan dan sumber keuangan
sendiri) sesuai dengan karakteristik daerahnya maka negara
itu menerapkan sistem desentralisasi. Lihat Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1992) hal. 191.
72
Suatu teks tertulis yang dikeluarkan oleh lembagalembaga kenegaraan (resmi), dengan format dan gaya
bahasa tertentu (baku), penuh dengan pasal-pasal berupa
ketentuan-ketentuan, dan biasanya juga menyebut
‘keberlakuan’ nya bagi: Apa, Siapa, Kapan, Di mana,
Bagaimana dan Mengapa.
151
Fikarwin Zuska
Penghampiran Antropologi Atas Kebijakan dna Kekuasaan …
masyarakat, 75 serta perubahan-perubahan yang
berkenaan dengan wilayah teritori sesuatu
daerah, juga hak dan tanggungjawab atas
sumberdaya yang ada di wilayah itu, 76 dan
masih banyak yang lainnya. Lahirnya peraturan
daerah–peraturan daerah (Perda) yang semakin
sering dan semakin banyak di sesuatu daerah
adalah juga pertanda bahwa kebijakan OTDA
mempunyai dampak kepada daerah. Faktanya
pemerintahan kabupaten/kota (pemerintah dan
DPRD) semakin giat membuat kebijakankebijakan lokal atau regulasi-regulasi baru bagi
daerahnya. 77 Setiap kebijakan yang dibuat,
sedikit atau banyak, pasti berdampak bagi
kehidupan masyarakat di daerah itu atau bahkan
lebih luas lagi 78 .
Melihat dua deskripsi yang berkaitan
dengan pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah,
seperti tertuang dalam dua alinea di atas, terpikir
oleh saya untuk juga mengatakan otonomi
daerah sebagai ‘objek pembicaraan’ atau ‘buah
bibir’ yang menggairahkan sebagian anggota
masyarakat untuk ikut serta. Tetapi kalau saya
tahu bahwa besarnya gairah dan banyaknya kini
orang-orang terlibat membicarakan sesuatu
kebijakan pemerintah, bahkan dengan terangterangan mengkritik kebijakan itu, saya pun
pemenang pemilu) cukup berpengaruh atas pemerintah
dibanding sebelum OTDA. Nuansa kebijakan partai politik
mayoritas/terbesar di tiap-tiap Dewan dan komposisi
anggota Dewan berdasarkan partai, ikut mewarnai jalannya
proses pemerintahan serta pemilihan kepala daerah,
termasuk peluang melakukan money politics.
75
Masyarakat dapat berarti warga negara, tetapi bisa juga
warga kelompok-kelompok penduduk setempat (etnis,
daerah, agama, dan afiliasi lain-lain), serta NGO’s ikut
mengontrol jalannya pemerintahan. Bahkan ada yang aktif
menjadi ‘tim sukses’ pencalonan dan atau ‘tim pengganjal’
calon bupati atau gubernur. Isu “putra daerah” merupakan
komoditi yang laku dijual dalam kampanye pemilihan
kepala daerah.
76
Pemekaran daerah banyak terjadi setelah OTDA, dan hal
itu diikuti oleh pembagian wilayah berikut hak dan
tanggung jawab atas sumberdaya-sumberdaya yang
terkandung di dalamnya. Contoh sederhana adalah air, air
sungai dan air bawah tanah, beserta sarana dan
prasarananya: siapa berahak mengatur (termasuk
memungut retribusi) dan mengurusnya?
77
Harian Kompas: Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi
isu sentral di dalam masalah ini. Lihat juga Emil Salim,
Seranah Kekuasaan dalam Hery Susanto dkk. (ed),
Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal: Pikiran Serta
Konsepsi Syaukani HR (Jakarta: Millenium 2003) hal.ixxix
78
Contoh kecil: penutupan TPA-Bantar Gebang oleh
Pemerintah Kota Bekasi, merepotkan Pemda DKI mencari
tempat murah pembuangan sampah akhir.
152
rasanya ingin mengatakan bahwa kebijakan
otonomi daerah adalah sebuah tanda di mana
rakyat mulai berani dan pemerintah pun mulai
bisa menerima penolakan-penolakan dari rakyat.
Apakah itu berarti otonomi daerah merupakan
bagian dari demokratisasi? Atau ‘roh halus’
yang menggerogoti batas-batas, laranganlarangan, pantangan-pantangan, tabu-tabu, yang
dulu sempat dibuat sebagai diskursus untuk
menopang, menyokong, dan melindungi
bangunan otoritarianisme Orde Baru?
Tulisan ini belum akan menjawab semua
pertanyaan itu sebelum ada data dan bukti-bukti
dari lapangan yang bisa disusun jalin menjadi
argumentasi. Makalah ini hanya akan membuat
rintisan (jalan) agar pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan fenomena otonomi daerah tadi
bisa dijelaskan secara antropologis, yaitu
meletakkan perkara otonomi daerah dalam
konstelasi perteorian antropologi: apa kebijakan
(policy)
menurut
teori-teori
antropologi
sementara
ini?
Bagaimana
antropologi
memandang suatu kebijakan?
Kebijakan dan Antropologi
Seperti diketahui selama ini, studi
kebijakan kebanyakan menerima input dari ilmu
politik, administrasi publik, kebijakan sosial,
kajian organisasi, hubungan internasional dan
sebagainya. 79
Antropologi
sendiri
baru
belakangan ini diakui oleh banyak penulis
memberi input terhadap kajian kebijakan. 80
Selama ini, walaupun de facto antropologi
kebijakan telah ada, tapi identitasnya sebagai
antropologi kebijakan tidak begitu jelas (lacking
a clear identity); malahan sering disebut dengan
sesuatu yang lain, atau tidak langsung disebut
dengan antropologi kebijakan. 81
Kebijakan (policy) yang kini telah menjadi
bahan kajian antropologi sudah semakin luas
batas dan pengertiannya. Kebijakan (policy) itu
79
William N. Dunn, Pengatar Analisis Kebijakan Publik
(edisi kedua) (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
1994).
80
Cris Shore & Susan Wright, “Preface and
Acknowlegements”, dalam Cris Shore & Susan Wright
(ed), Anthropology of Policy: Critical Perspectives On
Governance and Power (London & New York: Routledge
1997) hal. xiii.
81
Cris Shore & Susan Wright, “Policy: A New field of
anthropology”, dalam Cris Shore & Susan Wright (ed),
Anthropology of Policy: Critical Perspectives On
Governance and Power (London & New York: Routledge
1997) hal. 6.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Vol. 1 • No.3 • Desember 2005
kini telah menjadi konsep dan instrumen yang
semakin sentral dalam organisasi masyarakat
kontemporer. Kebijakan itu telah menyentuh
semua gelanggang kehidupan (areas of life) di
negara-negara modern sehingga betul-betul
mustahil bagi kita untuk menghindar atau
melepaskan diri dari pengaruhnya. Bahkan lebih
dari pada itu, bahwa kebijakan juga sudah
semakin menentukan cara individu-individu
mengkonstruksikan dirinya sendiri sebagai
seorang pelaku (subject). Melalui kebijakan,
individu dikategorisasi dan diberikan status serta
peranan-peranan seperti ‘subject’, ‘citizen’,
‘profesional’, ‘national’, ‘criminal’, dan
‘deviant’. “Dari buaian hingga liang lahat orang
diklasifikasi, dibentuk, dan ditata menurut
kebijakan, tetapi orang itu hanya menemukan
sedikit kesadaran tentang, atau kontrol atas,
bekerjanya proses-proses itu”. Itulah sebabnya,
kata Shore & Wright, studi tentang kebijakan
ini, dapat langsung memasuki isu-isu yang
terletak di jantung antropologi.
Shore & Wright (1997:4) juga mengatakan
secara tidak langsung bahwa masuknya praktikpraktik dan gagasan-gagasan pemerintahan
neoliberal dari Eropa dan Amerika Utara ke
negara-negara Selatan, pun berkaitan erat
dengan
penggunaan
kebijakan
sebagai
instrumen kekuasaan untuk membentuk
individu-individu, atau sebagai political
technology (istilah ini dikutip oleh Shore dan
Wright dari Faucoult). Dihubungkan dengan “a
more global phenomenon of changing patterns
of governance”, Shore & Wright mengatakan
bahwa gagasan dan praktik pemerintahan
neoliberal yang ada sekarang di luar Eropa dan
Amerika Utara, ini pun diekspor ke Selatan
melalui ‘international structural adjustment
programmes and Western training schemes”
yang diikuti oleh para pembuat kebijakan
(policy makers) dari Selatan (dunia ketiga).
Tetapi antropologi dapat memberi pemahaman
pada kebijakan yang bekerja pada strukturstruktur baru itu, dan pada kebijakan yang
diartikulasikan lewat diskursus-diskursus dan
perwakilan-perwakilan itu. Dengan mempelajari
kebijakan itu, kata Shore dan Wright, kita dapat
menerangkan perubahan gaya dan sistem
pemerintah dan bagaimana perubahan itu
mengkonfigurasikan kembali hubungan antara
individu dan masyarakat.
Pengkajian
tentang
kebijakan
ini,
sebagaimana tersebut dalam karya Shore &
Wright (1997:5) telah mengalami kemajuan
sejak
pengkajian-pengkajian
antropologi
mengenai organisasi menemukan kenyataan
bahwa: (1) “Organizations exist in a constant
state of organizing, and that process revolves
around the concept of policy”. Kebijakan itu,
dalam organisasi-organisasi besar, makin lama
makin tersusun secara sistematis, terpublikasi
(publicized) dan diacu oleh para pekerja dan
para menejer sebagai pedoman yang sah dan
memotivasi perilaku mereka. Sambil meminjam
metafor dari Arthur Koestler, Shore & Wright
(1997:5) mengatakan bahwa kebijakan itu
adalah seperti ‘the ghost in mechine’─kekuatan
yang meniupkan kehidupan dan tujuan ke dalam
mesin pemerintahan dan menghidupkan tangan
yang sudah mati dari suatu birokrasi. Kapasitas
ini menstimulasi dan menyalurkan aktivitas
yang sebagian besar berasal dari “the
objectification of policy”─proses untuk
menjadikan kebijakan-kebijakan mendapatkan
legitimasi dan eksistensi yang benar-benar
nyata; (2) Policy fragments (fragmentasifragmentasi kebijakan)─yang mengandung arti
bahwa suatu kebijakan bisa sangat berbeda-beda
dalam berbagai macam rupa manifestasinya.
Maka dari itu proses pengorganisasian adalah
sebenarnya merupakan kerja “mengusahakan
manifestasi-manifestasi yang terfragmentasi” itu
agar tampak bertalian secara logis/ masuk akal
(coherent) sehingga ia dapat dikatakan sebagai
wujud atau hasil pencapaian yang sukses dari
suatu maksud atau tujuan (intention) 82 .
Kaum instrumentalis bahkan mengkonseptualisasikan kebijakan sebagai “alat
untuk mengatur penduduk dari atas ke bawah,
melalui penghargaan-penghargaan dan sanksisanksi. Kebijakan, menurut pandangan ini, sama
sekali merupakan instrumen yang secara
intrinsik bersifat teknis, rasional, dan actionoriented; ia (kebijakan) itu dipakai oleh para
pembuat keputusan (decision makers) untuk
memecahkan masalah-masalah dan untuk
mempengaruhi perubahan. Oleh sebab itu,
secara singkat dapat dikatakan, bahwa kebijakan
(policy) memang telah menjadi sebuah institusi
pokok dari pemerintah terutama di Barat dan
internasional; konsep kebijakan itu telah berada
dalam tingkat yang sama kedudukannya dengan
konsep-konsep pengorganisasian yang sudah
sejak lama ditekuni dalam ilmu sosial, yaitu
82
Ibid hal,5.
153
Fikarwin Zuska
Penghampiran Antropologi Atas Kebijakan dna Kekuasaan …
‘family’ dan ‘society’. Itulah pula sebabnya
sekarang kebijakan (policy) dapat dipandang
sebagai fenomena antropologis, yang bisa
dibaca oleh ahli antropologi dalam bermacam
cara:
“As cultural texts, as classificatory devices
with various meanings, as narratives that serve
to justify or condemn the present, or as
rhetorical devices and discursive formations
that function to empower some people and
silence others. Not only do policies codify social
norms and values, and articulate fundamental
organizing principles of society, they also
contain implicit (and sometime explicit) models
of society”. 83
Shore & Wright (1997) lebih lanjut
mengatakan bahwa ahli antropologi bisa melihat
kebijakan sebagaimana gagasan Malinowski
tentang ‘mitos’ dalam masyarakat Trobriand,
yang disebutnya berperan sebagai ‘a guide to
behaviour and charter for action’; atau seperti
dikatakan Buckley sebagai ‘a rhetorical
commentary that either justifies or condemns; as
a charter for action; and as a focus for
allegiance.” Bahkan kebijakan dapat dipelajari
seperti konsep ‘total social phenomena’ nya
Marcuss karena implikasinya yang penting
dalam ekonomi, hukum, budaya dan moral serta
kemampuannya yang dapat menciptakan
seperangkat hubungan antara individu-individu,
kelompok-kelompok dan objek-objek. Juga
seperti ‘dominant symbol’ nya Turner atau
‘core symbol’ nya Schneider, dan lain
sebagainya.
Shore
&
Wright
(1997)
sendiri
mengelompokkan tiga pendekatan yang bisa dan
telah
dipergunakan
dalam
menganalisis
kebijakan. Ketiga pendekatan itu ialah
pendekatan yang melihat kebijakan sebagai
languange, sebagai cultural agent dan sebagai
political technology. Dalam hal yang pertama,
dipelajari bahasa dan diskursus kebijakan;
perhatian dipusatkan pada ‘rhetorical devices’
yang biasa digunakan oleh para politisi untuk
mempengaruhi dan mengontrol audiens. Selain
itu, dimensi esensialnya, yakni analisis tentang
dokumen-dokumen kebijakan tertulis. Dalam
kajian tersebut, konsep diskursus menjadi
penting. Shore & Wright mendefiniskan
diskursus sebagai konfigurasi-konfigurasi dari
gagasan-gagasan yang dijalin untuk membangun
83
Ibid hal.7.
154
ideologi. Bahasa, dalam definisi ini, dipahami
bukan sebagai sebuah bidang yang otonom,
melainkan dibentuk secara sosial (socially
constituted), dan ketertarikan antropologi pada
diskursus ini justru pada apa yang disebut
dengan ‘politik praktika diskursif’. Intinya
adalah siapakah yang berkuasa mendefinisikan
diskursus-diskursus dominan yang bekerja
dengan menyusun terms of reference dan
menolak atau memarjinalkan alternatif-alternatif
lain. Kebijakan memungkinkan hal ini terjadi
dengan merancang sebuah agenda politik dan
memberikan otoritas institusional kepada satu
atau sejumlah diskurus.
Dalam proses pembentukan suatu diskursus
baru, ‘kata-kata kunci’ tertentu mengalami
perubahan arti dan kegunaan. Sebagai contoh
adalah kebudayaan, yang cukup lama
diasosiasikan dengan cultivation, maka pada
abad ke-18 berubah menjadi satu istilah yang di
dalam pengertiannya terkandung juga ‘art’,
‘civilizations’, ‘development’, ‘science’, dan
‘community’. Ini terjadi bersama dengan
lahirnya kekuasaan modern (the birth of modern
power). Jadi perubahan semantik tersebut
memberi ‘sidik jari’ untuk menelusuri
transformasi yang lebih besar dalam rasionalitas
pemerintah.
Kebijakan sebagai cultural agent dipahami
dengan cara bahwa pemerintah memainkan
peranan penting dalam mengonstruksikan
identitas nasional. Seluruh penduduk dapat
dikonstruksikan seperti warga negara baru dan
subjek kekuasaan dengan cara-cara yang tak
sepenuhnya mereka sadari. Bahkan, pemerintah
sengaja
menyamarkan
kebijakannya
itu
sedemikian rupa sehingga seoalah-olah hal itu
merupakan inisiatif otentik warga. Persis seperti
dikatakan Foucult, bahwa keefektifan kekuasaan
justru terletak pada kemampuan untuk menutupi
kekuasaan dan menyamarkan mekanismenya.
Dalam kasus pembentukan identitas Kanada,
misalnya, novel dan film digunakan sebagai alat
untuk pengintegrasian Eropa Bersatu dengan
jalan memperkuat semangat kompetitif Eropa
dan memajukan nilai-nilai Eropa serta
kebudayaan
Eropa
untuk
menghadapi
imperialisme budaya Amerika dan Jepang.
Selanjutnya kebijakan sebagai teknologi
politik, yaitu kebijakan dipahami lebih sebagai
suatu bentuk kekuasaan yang bekerja atas
pemahaman diri sendiri individu. Consern
pendekatan ini pada umumnya adalah
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Vol. 1 • No.3 • Desember 2005
menganalisis proses-proses pengadopsian dan
penginternalisasian norma-norma bertindak
yang baru oleh para individu. Dalam hal ini
fokus perhatian ditujukan pada bagaimana
‘techniques of the self’ bekerja melahirkan
subjek-subjek kekuasaan baru. Analisis Foucault
tentang hubungan antara power, normalisasi,
dan subjektivitas, menjadi acuan dalam hal ini.
Terutama analisisnya mengenai rasionalitas
pemerintah; analisis yang dianggap sebagai
startring point untuk memahami bagaimana
sistem-sistem kekuasaan modern bekerja. Dia
mengatakan bahwa perubahan besar telah terjadi
dalam rasionalitas pemerintah pada pertengahan
abad ke-18, yaitu dalam konseptualisasi
mengenai ruang yang diperintah dan tentang
pemerintahan itu sendiri. Pada era pramodern,
pemerintah berusaha menjaga kedaulatan atas
suatu teritori, maka pada 1840-an ‘populasi’
mengganti prinsipalitas (kerajaan) sebagai objek
pokok pemerintahan. Kelahiran era modern,
menurut Foucault, ditandai oleh permulaan
suatu sistem kekuasaan baru di mana ‘problem
of population’ (kesehatannya, kesejahteraan,
kesuburan, edukasi, kelakuan moral) dan kontrol
atas tubuh manusia menjadi ‘central foci’ dari
pengawasan
dan
penertiban
negara’.
Rasionalitas pemerintahan liberal modern adalah
‘the art of applying’ prinsip-prinsip ekonomi
pada pengelolaan populasi. Jadi, pertanyaan dari
pemerintahan modern itu adalah bagaimana
mengintroduksikan ekonomi, yaitu cara benar
mengelola individu, barang dan kesejahteraan
dalam keluarga, ke dalam pengelolaan negara.
Perubahan rasionalitas pemerintahan ini dapat
dilihat paling nyata dalam teknologi politik,
yaitu kebijakan.
Kekuasaan, Kebijakan, dan Resistensi
Dari pendefinisian dan pendekatan yang
dikemukakan oleh Shore & Wright di atas,
tampak suatu hal penting telah terjadi bahwa
kebijakan (policy) itu sebenarnya tidak bisa
dipisahkan dari pada isu kekuasaan (Hansen
1999:89). Dalam hal ini kebijakan dapat
diartikan dengan cara bagaimana pemerintah
memainkan kekuasaan melalui kebijakankebijakan. Tetapi kekuasaan di sini harus
dipahami dengan cara nonkonvensional, atau
sebagaimana hal itu misalnya dimaklumkan oleh
Angela Cheater dalam tulisannya “Power in The
Postmodern Era”. Pemahaman akan power
dalam era postmodern ini, kata Cheater, berbeda
jauh dari faham pengikut-pengikut Weber yang
mengadakan pemisahan antara kekuasaan (as
the ability to elicit compliance) dan otoritas (as
the right to expect compliance). Dan perubahan
itu─kata dia lagi─banyak bergantung pada
Michael Foucault dan postmodernisme, serta
kemungkinan semakin melemahnya otoritas
negara atas organisasi-organisasi global dan
subnasional yang terus menghilang (Cheater
1999:2). Foucault memisahkan antara ‘central
regulated and legitimate forms of power’ dan
‘capillary power at extremities’. Pembagian ini
bisa barangkali disejajarkan dengan pembagian
Blau dan Scott mengenai formal organization
dan informal relationship, atau dari Skalnik
yang mengatakan power berasal dari negara
sedangkan otoritas berakar pada popular
approval (persetujuan khalayak). Tetapi bagi
Foucault sendiri, seperti dikutip Cheater
(1999:3), tampaknya tidak membedakan power
dan otoritas karena individu-individu biasa pun
melaksanakan kekuasaan.
“Individuals… are always in the position
of simultaneously undergoing and exercising
this power. They are not only its inert or
consenting target; they are always also the
elements of its articulation……the vehicles of
power, not its points of application”.
Jadi kekuasaan, menurut pengertian itu,
tidak semata-mata dimainkan oleh negara (state)
saja melainkan juga dimainkan oleh para
individu. Demikian bila kebijakan (policy)
dikaitkan dengan kalimat “Dari buaian hingga
liang lahat, orang diklasifikasi, dibentuk, dan
ditata menurut kebijakan, tetapi orang itu hanya
menemukan sedikit kesadaran tentang, atau
kontrol atas, bekerjanya proses-proses itu,”
bukanlah berarti hal itu akan terjadi secara sertamerta. Para individu, yang diharapkan menjadi
target dari kebijakan itu, niscaya akan
mengadakan
‘perlawanan-perlawanan’
(resistence) dengan atau melalui kekuasaankekuasaan yang bisa dimainkannya. Itulah
sebabnya Abu-Lughod (1989)─sambil mengutip
Foucault yang berkata ‘where there is power,
there is recistance’─bisa mengatakan bahwa
resistensi itu adalah sebagai diagnostik
kekuasaan (a diagnostic of power). Dan
kekuasaan itu, tidak seperti pemahaman di abad
20-an, selalu berkonotasi represif atau negatif
─menyangkal, menolak, melarang, atau
menekan─tetapi
juga
bermakna
positif:
menghasilkan
bentuk-bentuk
kesenangan,
155
Fikarwin Zuska
Penghampiran Antropologi Atas Kebijakan dna Kekuasaan …
sistem-sistem pengetahuan, barang-barang, dan
wacana-wacana.
Kekuasaan, menurut pandangan Foucault,
tidaklah dimiliki (possessed) melainkan
bermain/dimainkan terus-menerus:
“…power is not something which can be
possessed by individuals or social groups.
Rather, it must be seen as something constantly
in play. Power relations, such as those between
employers and employees, or between mothers
and doctors, are always susceptible to
reversal….. Foucault does not limit the sphere
of power relations to interactions between the
individuals and state apparatuses: they extend
throughout the social field, operating between
men and women, professionals and their client
“(Patton 1987:234).
Sehingga kebijakan yang selalu dikaitkan
dengan pemerintah itu (instrument of
governance) boleh dibilang sebagai alat atau
instrumen, yang dipakai pemerintah dalam
memainkan kekuasaan yang terdapat di dalam
relasi-relasi antara pemerintah dan individuindividu. Namun, sebaliknya juga, para individu
pun dapat memainkan kekuasaan untuk
mempengaruhi (kalau sanggup) kebijakankebijakan pemerintah. Yang penting di sini
adalah apa yang Foucault advokasikan: ‘teknik
dan taktik dominasi’ (Cheater 1999:3).
Praktiknya, boleh jadi, seperti dikemukakan
Scott dengan cara bisu (not voicing) atau voice
under domination, termasuk di dalmnya rumor,
gosip, samaran-samaran, linguistic trict,
metafor, eupimisme, folktale, dan lain-lain
(Cheater 1999:5).
Semua yang disebut sebagai cara individu
memainkan kekuasan di atas, dapat dicakup
dalam apa yang disebut dengan diskursus,
karena paling tidak, suara-suara itu tidak lagi
dipahami hanya sebagai alat atau medium
‘netral’ untuk mengungkapkan kenyataan.
Melainkan, di dalamnya, termuat sesuatu yang
disebut dengan kekuasaan. Jadi diskursus, dalam
hal ini, memegang peranan penting. Di dalam
diskursus-diskursus kebenaran atau pengetahuan
(discourses of truth or knowledge), ada
kekuasaan abadi, bahkan kekuasaan itu
terciptakan di sana. “…power is vested, even
created,
in
discourses
of
truth
or
knowledge…” 84 Diskursus itu sendiri, oleh
84
Cheater (1999:) menyebut Foucault tidak selalu
konsisten dengan gagasan-gagasannya. Kutipan terakhir ini
156
Foucault─seperti
dikatakan
Patton
(1987:230)─skopnya dibatasi hanya pada
‘statements’ yang terjadi dalam institutional and
discursive frameworks yang membedakan (mark
off) klaim-klaim kebenaran sesungguhnya dari
ucapan-ucapan
sehari-hari.
Hikam
(1996:85)─juga
mengacu
pada
Foucault─mengatakan adanya kuasa dalam
setiap proses wacana, dan kuasa itu memberikan
batasan-batasan tetang apa yang diperkenankan
menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai
di dalamnya, topik apa yang dibicarakan, dan
norma-norma serta elaborasi konsep-konsep dan
teori apa yang bisa dan sah untuk dipakai. Tetapi
menurut Alam (1998:6)─yang juga mengacu
pada Foucault─bahwa wacana (discourse) itu
adalah ‘bentuk penuturan verbal yang berkaitan
erat dengan kepentingan si penutur, sehingga
dapat merupakan suatu akumulasi konsep
ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan,
lembaga, dan berbagai macam modus
penyebaran pengetahuan’. Alam (1999:7-8)
makin mempertegas keyakinannya bahwa
Foucault memahamkan wacana sebagai modus
komunikasi
verbal
yang
mengandung
‘kepentingan’ dan ‘kekuasaan’. Sementara
kekuasaan tersebut, lanjut Alam, dipahami
sebagai kemampuan untuk menstruktur tindakan
orang lain dalam bidang tertentu. 85 Kekuasaan
yang demikian ini senantiasa beredar dari subjek
yang satu ke yang lain. Sementara Shore &
Wright (1997:18) mendefinisikan wacana
sebagai konfigurasi-konfigurasi dari gagasangagasan yang menyediakan bahan rajutan untuk
dirajut menjadi ideologi.
Pendefinisian mengenai diskursus ini,
meskipun tampak berbeda, tetapi semuanya
mengisyaratkan
adanya
‘tenaga’ 86
atau
adalah salah satu contoh betapa Foucault seolah-olah
melupakan deskripsi-deskripsi sebelumnya tentang
kekuasan, seperti misalnya ia mengatakan bahwa power
tidak terberikan (given), tidak dipertukarkan, dan juga tidak
terpulihkan, melainkan dilaksanakan dalam tindakan.
85
Bandingkan dengan keterangan Wolf (1994:) atas konsep
kekuasaan Foucault. Wolf mengatakan gagasan Michael
Foucault’s tentang power adalah “…as ability to structure
the possible field of action of others’. Itu sebabnya Wolf
menggolongkan pemahaman Foucault atas power ini ke
dalam moda ‘structural power’ dan berbeda dari apa kata
Wolf dengan moda “tactical or organizational power”, dan
‘power as the attribute of persons’ serta ‘power as ability
of ego to impose its will on an alter in social action, in
interpersonal relations’
86
Wolf (1994:219) jelas-jelas menyebut apa yang oleh
Foucault disebut dan diartikan dengan power itu, adalah
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Vol. 1 • No.3 • Desember 2005
‘kekuatan’ yang mengalir dalam diskursus
sehingga boleh jadi ia akan ‘membelokkan’ atau
bahkan ‘menyingkirkan’ apa yang tadi kita
namakan ‘kebijakan’ pemerintah. Itulah
kekuasan yang individu-individu mainkan atau
salurkan lewat diskursus sebagai satu bentuk
resistensinya dalam menghadapi kekuasaan
yang dimainkan pemerintah melalui kebijakankebijakannya atau wacana-wacananya. AbuLughod (1989), misalnya, walaupun bukan
dalam konteks hubungan antara pemerintah dan
individu-individu
(warga
negara),
telah
menangkap ‘resistensi’ demikian itu dalam
konteks hubungan kekuasaan antara laki-laki
dan perempuan dalam komunitas orang Bedouin
yang tersegregasi secara seksual, dan
menggolongkannya dalam empat tipe, di
antaranya adalah dalam bentuk: sexually
irreverent discourse. Dalam hal ini wanita,
melalui penceritaan cerita-cerita tertentu di
antara sesamanya, menertawakan laki-laki dan
kelelakian walaupun ideologi resmi memuja hal
itu dan wanita pun menghormati, menutupi dan
kadang-kadang menakutinya. “Women seem
only too glad when men fail to live up to the
ideals of autonomy and manhood, the ideals on
which their alleged moral superiority and social
precedence are based, especially if they fail as a
result of sexual desire.” Ini satu bentuk
resistensi atau kekuasan yang dimainkan, yang
pada gilirannya, bukan tidak mungkin akan
dapat menyingkirkan atau menyaingi wacana
yang mendominasi (forms of men’s power).
Penghampiran teoritis yang membuat individu
tampak tidak pasif belaka di hadapan sistem-sistem
atau
struktur-struktur
dominan
yang
mempengaruhinya ini, selain diskursus, juga ada
konsep praksis dari Pierre Bourdieu. Bachtiar Alam
(1998:4-5) menyebutkan hal itu karena konsep
praksis ini menekankan adanya hubungan timbalbalik antara si pelaku dan apa yang oleh Bourdieu
disebut struktur objektif. Hubungan timbal-balik
antara pelaku dan struktur objektif itu digambarkan
seperti berikut: (1) struktur obyektif direproduksi
secara terus menerus dalam praksis para pelakunya
yang berada dalam kondisi historis tertentu; (2)
dalam
proses
tersebut
para
pelaku
mengartikulasikan dan mengapropriasi simbolberakar pada Marx. Sedangkan menurut Marx, kata Wolf,
bahwa power itu juga bekerja dalam ‘penspesifikasian
distribusi dan arah dari aliran-aliran energi’. Tidak hanya
dalam arti ekonomi, energi disini juga dalam arti politik.
simbol budaya yang terdapat dalam struktur
obyektif sebagai tindakan strategis dalam konteks
sosial tertentu; (3) sehingga proses timbal balik
secara terus-menerus antara praksis dan struktur
objektif dapat menghasilkan baik perubahan
maupun kontinuitas.
Konsep praksis ini sepertinya memberi
kepada para pelaku peran untuk sedikit lebih
radikal menghadapi struktur-struktur objektif.
Oleh sebab itu, untuk masa di mana tawarantawaran dan alternatif-alternatif makin banyak
seiring dengan proses globalisasi, konsep
praksis ini makin bertambah penting. Dengan
cara ini kita bisa pelajari bagaimana proses dan
dinamika
orang
mengkonstruksi
dan
merekonstruksi budaya 87 yang sesuai dengan
kepentingannya. Hal ini sangat boleh jadi akan
menegasikan arti dan pengaruh suatu kebijakan
yang dikatakan hampir tidak bisa dihindari
dalam masyarakat kontemporer.
Penutup
Tulisan ini dapat diakhiri dengan suatu catatan
yang barangkali bisa membuka ruang pengkajian
lebih dalam terhadap kebijakan. Sebagai instrumen
kekuasaan,
kebijakan
berpotensi
mengkonstruksikan individu-individu ke dalam
sistematika atau skenario yang terbawa dalam
dirinya. Sejauhmana itu berhasil, tentu diperlukan
penyelidikan lapangan yang lebih saksama. Namun
keberjarakan antara kebijakan dengan individuindividu selalu terjadi sehingga dimungkinkan pula
terjadinya dialektika atau bahkan semacam
resistensi: voice under domination. Baik dialektika
maupun resistensi, tentu saja akan beragam. Dan ini
patut menjadi agenda penelitian.
Mengenai kebijakan otonomi daerah,
setelah tinjauan teoritis ini dilakukan, juga akan
mendapat tempat serupa dengan kebijakankebijakan pada umumnya. Ia berpotensi menarik
individu-individu ke dalam skenarionya. Tetapi
sejauh mana instrumen kekuasan dalam rangka
pengorganisasian organisasi negara RI itu bisa
bekerja, perlu diadakan penyelidikan. Namun
‘kesibukan-kesibukan’ sebagaimana terdeskripsi
87
Borofsky (1994:318) menambahkan bahwa dengan
konstruksi dan rekonstruksi budaya, baik dalam pemulihan
kembali (rediscovery) tradisi-tradisi lama maupun dalam
formulasi tradisi-tradisi baru, kita melihat the cultural in
motion. Dia menjadi alat pemberdayaan (a tool of
empowerment, a symbol for unifiying one group against
another…….the cultural has become something to fight
about).
157
Fikarwin Zuska
Penghampiran Antropologi Atas Kebijakan dna Kekuasaan …
pada bagian awal tulisan ini, sedikit banyak
menunjukkan bahwa ada sebagian orang yang
masuk dalam skenario OTDA tetapi pada saat
Daftar Pustaka
yang sama sebagian orang lagi mengambil
‘kesempatan’ yang mungkin saja berada di luar
skenario resmi OTDA.
Abu-Lughod, Lila. “The Romance of Resistance: Tracing Transformations of Power through Bedouin
Women.” Dalam American Anthropology 17 (1). Hal. 41-55.
Alam, Bachtiar. 1999. “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan.” Dalam
Antropologi Indonesia Th.XXIII No.60 Sept-Des 1999. Hal.3-10.
Alam, Bachtiar. 1997. “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan.” Dalam
Antropologi Indonesia No.54 Th.XXI Des 1997- April 1998. Hal. 1-22.
Borofsky, Robert. 1994. ‘The Cultural in Motion.” Dalam Robert Borofsky (ed). Assessing Cultural
Anthropology. New York: McGraw-Hill,Inc. Hal. 313-319.
Capra, Fitjof. 2001. Jaring-Jaring Kehidupan Visi Baru Epistemologi dan kehidupan. Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru.
Cheater, Angela. 1999. “Power in The Postmodern Era.”alam Angela Cheater (ed). The Anthropology
of Power: Empowerment and Disempowerment in Changing Structure (London & New York:
Routledge. Hal. 1-12.
Dunn, Wiiliam N. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Goldschmidt, Walter. (ed). 1986. Anthropology and Public Policy: A Dialogue. A Special Publication
of American Anthropological Association No. 21.
Hansen, Helle Ploug. 1999. “Patients’ Badies and Discourses of Power.” dalam Chris Shore & Susan
Wright (ed). Anthropology of Policy: Critical Perspective on Governace and Power. London
& New York: Routledge. Hal. 88-104.
Hikam, Muhammad A.S. 1996. “Bahasa dan Politik: Pengahampiran ‘Discursive Practice’.” dalam
Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim (ed) Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung
Orde Baru. Bandung: Mizan. Hal. 77-93.
Patton, Paul. 1987. “Michel Foucault” dalam Diane J. Austin-Bross (ed).Creating Culture. Sydney,
London, Boston: Allen & Unwin. Hal. 226-242.
Salim, Emil. 2003. “Seranah Kekuasaan.” Dalam Hery Susanto, dkk. (penyusun). Otonomi Daerah
dan Kompetensi Lokal: Pikiran serta Konsepsi Syaukani HR. Jakarta: Millenium Publisher.
Hal. ix-xix.
Shore, Chris & Susan Wrighat. 1997. “Policy A New Field of Anthropology.” Dalam Chris Shore &
Susan Wright (ed). Anthropology of Policy: Critical Perspective on Governace and Power.
London & New York: Routledge. Hal. 3-39.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wolf, Eric R. 1994. “Facing Power: Old Insights, New Questions.” Dalam Robert Rorofsky (ed).
Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill,Inc. Hal. 218-228.
158
Download