BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Etika karyawan merupakan hal yang penting ditumbuhkan dalam perusahaan untuk mengurangi adanya perilaku yang menyimpang. Etika merupakan suatu konsep fundamental bagi semua profesi, baik di bidang akuntansi, pemasaran, keuangan, pemerintahan dan lainlain. Tindakan etis setiap orang akan memberikan dampak bagi orang lain dan bagi organisasi di mana ia menjadi bagiannya (Purnamasari dan Chrismastuti, 2006). Perilaku dan tindakan etis menjadi bagian penting dari pelaksanaan Good Corporate Governance. Salah satu bentuk pelanggaran etika yang masih banyak dipertanyakan adalah masalah earnings management (manajemem laba). Masalah earnings management ternyata menjadi sorotan penting dalam masalah etika karena banyaknya ambiguitas moral dan daerah abu-abu dalam praktiknya (Fischer & Rosenzweig, 1995). Manajemen laba merupakan usaha pihak manajer yang disengaja untuk memanipulasi laporan keuangan dalam batasan yang dibolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dengan tujuan untuk memberikan informasi menyesatkan para pengguna untuk kepentingan pihak manager (Mutia, 2004). Manajemen laba selalu diidentikan dengan perilaku opportunistic, dalam hal ini pihak manajemen bertindak untuk kepentingan pribadinya (Wibisono, 2004). Manajemen laba sering kali dianggap sebagai tindakan akuntansi negatif oleh banyak pihak karena pada umumnya manajemen laba menyebabkan tampilan informasi laporan keuangan tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Beberapa praktisi berpendapat earnings management tidak bermoral atau tidak etis, apabila praktik tersebut tidak mempertimbangkan dampak buruk yang mungkin timbul dari praktik tersebut (Fischer et al. (1995) seperti dikutip oleh Grasso et al. 2009). 1 Praktik earnings management merupakan suatu praktik pelaporan laba yang merefleksikan keinginan manajemen daripada kinerja suatu perusahaan (Levitt, 1998). Pembiasan pengukuran laba dengan menaikkan atau menurunkan laba yang tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya membuat realitas laba menjadi tereduksi. Bagi perusahaan yang memiliki perencanaan pemberian bonus, manajemen akan memakai metode akuntansi (accounting methods) untuk mengatur keuntungan yang dapat dilaporkan dengan tujuan dapat menaikkan laba pada saat sekarang sehingga target untuk mendapatkan bonus tercapai. Padahal dalam jangka panjang, secara kumulatif tidak terdapat perbedaan laba yang diidentifikasi sebagai keuntungan. Adanya pergeseran laba dari masa ke masa sekarang dalam penggunaan angka akuntansi merupakan upaya manajemen agar dapat memaksimalkan bonus yang akan diperolehnya. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002 seperti dikutip oleh Ujiyantho, 2007). Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri informasi merupakan suatu keadaan manajer memiliki akses informasi yang lebih banyak mengenai prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak eksternal perusahaan. Keberadaan asimetri informasi ini dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara asimetri informasi dengan tingkat manajemen laba. Adanya asimetri informasi mendorong manajer 2 untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Asimetri informasi ini mengakibatkan terjadinya moral hazard berupa usaha manajemen untuk melakukan earnings management (Rahmawati et al. 2006). Menurut Scoot (2000) terdapat dua macam asimetri informasi yaitu adverse selection dan moral hazard. Adverse selection yaitu para manajer serta orang-orang dalam lainnya yang biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan pihak luar. Sedangkan, moral hazard yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh investor (pemegang saham dan kreditor) sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan. Solusi atas masalah moral hazard dapat mempertimbangkan masalah moral dan etika manajer, serta kepercayaan terhadap nilai-nilai spiritual yang universal seperti kejujuran, bijaksana, pahala dan dosa. Solusi moral ini dikemukakan oleh Stephen (2008). Manajemen diberi penyadaran spiritual dalam menjalankan hidup dan juga mengelola perusahaan agar keputusan manajemen mempunyai dampak yang menguntungkan bagi semua pihak. Uang atau materialitas bukanlah tujuan akhir hidup manusia. Ada banyak nilai kehidupan yang harus dimiliki setiap manusia. Menghormati kepentingan orang lain, jujur, bertanggung jawab baik kepada sesama manuasia maupun kepada Tuhan, bekerja untuk beribadah, merupakan beberapa nilai kehidupan yang bisa ditanamkan kepada manajemen. Apabila manajer dan karyawan menyadari hal tersebut, maka perilaku moral hazard bisa dikurangi. Manajemen akan mempunyai self-control, akan merasa bahwa apa yang diperbuat selalu dilihat oleh Tuhan. Orang yang mempunyai spiritual tinggi cenderung mempunyai perilaku yang berdampak baik bagi orang lain (Whitmore, 2004). Spiritual juga termasuk tingkat kesadaran 3 seseorang terkait dengan dampak perilakunya terhadap orang lain dalam sebuah organinsasinya. Spiritual mempresentasikan tingkat kesadaran spiritual setiap individu yang mencakup prinsip, nilai, etika dan perilaku individu. Jika tingkat spiritualitas manajer tinggi, maka perilaku moral hazard akan berkurang karena manajer menyadari dampak perilakunya tidak baik bagi orang lain terutama pemegang saham. Antusiasme akan pentingnya pendekatan spiritual dalam dunia kerja pada umumnya tampak pada dukungan yang semakin meningkat pada etika bisnis ( Baihaqi, 2005). Saat ini, baik pemimpin dan pemilik perusahaan, maupun karyawan semakin sadar akan pentingnya kebutuhan spiritual. Perusahaan ingin berhasil harus berupaya sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan spiritual (Bagir seperti dikutip oleh Nurtjahajanti, 2010). Banyak perusahaan mendorong pengembangan spiritualitas karena mereka percaya adannya pengaruh positif terhadap kinerja organisasi. Pengembangan spiritualitas dalam organisasi juga memberikan pengaruh positif pada tingkat individu. Harrington et al. (2001), seperti dikutip oleh Chen dan Sheng (2013) menyatakan bahwa pada awal abad ke-21 karyawan mengalami perubahan mendasar dalam nilai kerja. Pergeseran paradigma globalisasi abad ke-21 adalah sebagai era informasi yang banyak mendorong untuk memulai masalah spiritualitas dan kesadaran spiritual yang dihasilkan dari tempat kerja. Spiritualitas dalam pekerjaan didefinisikan sebagai kerangka kerja dari nilainilai budaya organisasi yang mendorong pengalaman transenden para karyawan melalui proses bekerja, memfasilitasi perasaan individu terhubung dengan orang lain sekaligus memberikan mereka perasaan lengkap dan bahagia (Giacalone dan Jurkiewicz, 2005). Berdasarkan definisi dari Giacalone dan Jurkiewicz (2005) di atas, terdapat empat komponen dalam spiritualitas dalam pekerjaan. Pertama, nilai-nilai individu, meliputi kebajikan, perikemanusiaan, integritas, keadilan, mutualitas, penerimaan, rasa hormat, tanggung jawab, dan kepercayaan. Kedua, pengalaman transenden, yaitu mengenai 4 bagaimana individu merasa melakukan perubahan melalui pelayanan terhadap orang lain, dan dengan melakukannya individu tersebut merasakan makna dan tujuan dalam hidupnya. Ketiga, rasa terhubung, meliputi perasaan dipahami dan dihargai yang didapatkan melalui interaksi sosial dan juga melalui keanggotaan. Keempat, perasaan terlengkapi dan bahagia, individu merasa bahwa pekerjaannya dapat membuatnya merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dan sesuatu yang penting bagi kehidupan pribadinya dan juga membawa kebahagiaan bagi dirinya. Spiritualitas dalam pekerjaan akan menghasilkan hal-hal positif bagi karyawan dan perusahaan. Litzsey (2003) berpendapat bahwa mengintegrasikan spiritualitas di tempat kerja akan membuat karyawan merasakan makna dan perasaan bertujuan dalam kehidupannya. Tidak hanya membuat karyawan merasa utuh sebagai pribadi tapi juga memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam hal laba, moral yang tinggi serta penurunan tingkat absensi karyawan. Aburdene (2006) mengatakan bahwa pencarian atas spiritualitas adalah megatrend terbesar di masa sekarang ini. Aburdene (2006) yakin bahwa trend spiritualitas yang kini marak akan menjadi megatrend dalam beberapa tahun ini dan mendatang. Bahkan transformasinya tidak hanya pada tingkat individu, namun sudah mencapai tingkat institusi atau korporasi. Sebelum era kesadaran spiritual datang, dunia bisnis cenderung mengesampingkan nilai-nilai transpersonal. Perusahaan tanpa disadari telah merubah fungsinya dari sekedar “mencetak-uang” (money-making) menjadi “mengeruk-uang” (money-grubbing) dan pengerukan uang tidak baik untuk bisnis (Zohar dan Marshall, 2005). Tidak hanya fungsi perusahaan yang jauh dari nilai spiritual, tetapi juga tempat kerja turut menghalangi berkembangnya dimensi spiritual. Padahal secara naluriah manusia akan bergerak untuk mencari makna dan mencapai nilai-nilai tertentu. 5 Dalam proses bekerja diperlukan kemampuan individu untuk dapat memaknai pekerjaannya, sehingga individu tersebut menjadi berbahagia, sehat hidupnya dan pada akhirnya tidak hanya menjadi produktif, tetapi juga dapat melahirkan berbagai ide yang inovatif. Untuk membuat orang-orang di dalam organisasi dapat memahami makna dari pekerjaannya tersebut lahirlah disiplin baru yang disebut dengan spiritualitas di tempat kerja (workplace spirituality), bagian khusus dari budaya organisasi (organizational culture) (Zohar dan Marshall, 2005). 1.2. Perumusan Masalah Fenomena yang diangkat pada penelitian ini adalah motivasi manajemen laba. Penelitian tentang spiritualitas di tempat kerja sangat penting karena spiritualitas bukan merupakan suatu hal yang baru dalam pengalaman manusia. Semua tradisi agama besar pada level tertentu mendorong kehidupan kontemplatif, yakni bahwa pencarian makna dan tujuan merupakan hal utama dan hidup dalam harmoni dengan orang lain dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting (Widyarini, 2008). Pargament dan Mahoney seperti dikutip oleh King (2007) mengatakan spiritualitas adalah sebuah proses dalam kehidupan individu, berupa makna dan tujuan, dan semuanya berdampak pada individu lain dan lingkungannya, termasuk organisasi. Seseorang yang memiliki spiritualitas yang baik akan memiliki motivasi manajemen laba yang lebih rasional karena keteraturan dalam emosi dan kehidupan spiritual akan berpengaruh dalam membuat persepsi yang baik. Terdapat lima alasan tumbuhnya ketertarikan perusahaan-perusahaan di Amerika dalam mengembangkan spiritualitas di tempat kerja, yaitu: (1) meningkatnya tekanan terhadap persaingan global mengharuskan pemimpin suatu organisasi menyadari akan pentingnya menumbuhkan kreativitas para karyawannya, (2) terjadinya downsizing, reengineering dan pemberhentian karyawan yang 6 mengakibatkan karyawan menjadi kehilangan semangat di lingkungan kerja, (3) fakta bahwa tempat kerja berkembang menjadi komunitas utama bagi manusia, (4) meningkatnya akses dan keingintahuan akan filosofi timur, dan (5) pengembangan minat terhadap makna kehidupan kontemplatif (Marques et al. 2005). Dengan terbentuknya budaya spiritualitas di tempat kerja, diharapkan akan terbentuk karyawan yang happy, tahu dan mampu memenuhi tujuan hidup. Karyawan yang demikian umumnya memiliki hidup yang seimbang antara kerja dan pribadi, antara tugas dan pelayanan. Pada umumnya, mereka juga memiliki kinerja yang lebih tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan sebuah perusahaan, mampu menerapkan lingkungan kerja yang spiritual sehingga meningkatkan produktivitas dan menurunkan turn over. Karyawan yang memiliki kecerdasan spiritualnya tinggi dan didukung dengan lingkungan kerja yang spiritual, secara positif akan menjadi lebih kreatif, memiliki kepuasan kerja yang tinggi, mampu bekerja dengan baik secara individual, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi. Berdasarkan konsep tersebut maka individu dan organisasi akan sangat memiliki keuntungan yang besar jika mampu mengembangkan spiritualitas di tempat kerjanya, namun demikian untuk menumbuhkan spiritualitas di tempat kerja tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Membuat para karyawan paham akan nilai-nilai organisasi, dan kemudian menginternalisasikannya, dan kemudian membuat orang-orang di dalam organisasi tersebut secara sukarela menganut dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-harinya merupakan faktor kunci tumbuhnya spiritualitas di tempat kerja. Disinilah letak penting value bagi organisasi, tidak terkecuali lembaga pendidikan. Faktor demografi dapat mempengaruhi motivasi manajemen laba. Umur, lamanya bekerja dan pendapatan perbulan merupakan sebagian faktor yang dapat mempengaruhi motivasi manajemen laba. Dalam rangka penerapan Good Corporate Governance dengan 7 demikian umur, lamanya bekerja dan pendapatan perbulan mempunyai peranan penting bagi perusahaan karena akan mempengaruhi motivasi manajemen laba. Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Adakah spiritualitas di tempat kerja berpengaruh terhadap motivasi manajemen laba. 2. Adakah faktor demografi berpengaruh terhadap motivasi manajemen laba. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk menemukan bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk menemukan bukti empiris adakah spiritualitas di tempat kerja berpengaruh terhadap motivasi manajemen laba. 2. Untuk menemukan bukti empiris adakah faktor demografi berpengaruh terhadap motivasi manajemen laba. 1.4. Kontribusi Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak berikut ini: a. Bagi para pelaku bisnis, hasil penelitian ini akan memberikan masukan tentang spiritualitas di tempat kerja, kesadaran spiritual pada tingkat individu dan kesadaran 8 spiritual pada tingkat organisasi, serta motivasi manajemen laba sebagai bahan pertimbangan dalam menjalankan praktik bisnisnya. b. Bagi pihak lain dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berkepentingan atas terjadinya perilaku tidak etis praktik earnings management, semoga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai praktik earnings management, dampak serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadapnya. 1.5. Sistematika Penelitian Penulisan dimulai dengan Bab I yang berisi pendahuluan yang mencakup: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, mengungkapkan hasil yang ingin dicapai melalui proses penelitian serta manfaat penelitian dan yang terakhir adalah sistematika penulisan untuk menggambarkan tahapan dan isi dari penelitian ini. Bab II berisi tentang telaah literatur dan pengembangan hipotesis yang mencakup penjelasan teori-teori. Bab III memuat tentang metode penelitian yang digunakan, pengumpulan data, penentuan sampel, definisi operasional dan pengukuran variabel, uji validitas, reliabilitas, uji hipotesis dan metoda analisis. Bab IV berisi tentang analisis data. Bab V berisi simpulan, saran, keterbatasan, dan implikasi. 9