BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Tanah

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pengertian Tanah dan Fungsinya
Sejak adanya kehidupan di dunia ini, tanah merupakan salah satu
sumberdaya yang penting bagi makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu
bagian dari ekosistem tempat makhluk hidup „berdiam, bertumbuh dan
berkembang‟. Demikianlah tanah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan makhluk hidup. Pada awalnya, tanah umumnya dimanfaatkan
untuk keperluan produksi (misalnya bertani, memelihara ikan, ternak dan lainlain) dibandingkan untuk keperluan produksi seperti tempat tinggal, tempat
mandi, tempat berproduksi dan lain-lain. Hal ini berhubungan dengan keberadaan
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat agraris yang hidup dan bermata
pencaharian dari hasil pertanian. Seiring dengan perubahan waktu, masyarakat
juga mengalami perubahan dalam berbagai aspek baik ekonomi, sosial-budaya,
pandangan dan pemanfaatan terhadap sumberdaya alam ini adalah perubahan
tindakan manusia dalam hal pemanfaatan dan penggunaannya. Perubahan
pemanfaatan tanah tidak lagi didominasi oleh praktek-praktek pemanfaatan dalam
hal meningkatkan fungsi produksi melainkan terjadi pergeseran kearah
pemanfaatan tanah untuk fungsi reproduksi. Misalnya perubahan pemanfaatan
tanah dari pertanian menjadi perumahan (Sihaloho, 2004).
Menurut Tauchid (2009), soal agraria adalah soal hidup dan penghidupan
manusia, karena lahan adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan
lahan berarti perebutan makanan yang berarti pula perebutan tiang hidup manusia.
Maka dari itu, orang rela menumpahkan darah bahkan mengorbankan segala yang
ada demi mempertahankan hidup selanjutnya. Untuk mempertahankan hidup,
orang berjuang mendapatkan makanan demi mempertahankan kekalnya
keturunan, dimana orang membela keluarga, anak istri dan bangsanya. Perjuangan
berebut makanan dan membela turunan adalah perjuangan hidup manusia di bumi
ini.
6
2.2. Konversi Lahan dan Tipologi Konversi
Kustiawan (1997) dalam Massardy (2009), konversi lahan berarti alih
fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam
pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan kepenggunaan lainnya.
Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam
pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian yang muncul
akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu keterbatasan sumberdaya
alam, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Sihaloho (2004), tipologi konversi lahan terbagi menjadi tujuh,
yaitu:
1. Konversi gradual-sporadik, pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor
penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/bermanfaat secara
ekonomi dan keterdesakan pelaku konversi;
2. Konversi sistematik berpola enclave, pola konversi yang mencangkup wilayah
dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relatif
sama;
3. Konversi adaptif demografi, pola konversi yang terjadi karena kebutuhan
tempat tinggal/pemukiman akibat adanya pertumbuhan pendudukan;
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, pola konversi yang terjadi
karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor
pertanian utama;
5. Konversi tanpa beban, pola konversi yang dilakukan oleh pelaku untuk
melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya
dimanfaatkan untuk peruntukan lain;
6. Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang terjadi karena keinginan untuk
meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru di tempat tertentu; dan
7. Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi yang diakibatkan berbagai
faktor peruntukan seperti pembangunan perkantoran, sekolah, koperasi,
perdagangan, dan sebagainya.
7
2.3. Struktur Agraria dan Hubungan Antar Aktor
Wiradi (1998) dalam Sitorus (2002), struktur agraria dapat mempengaruhi
munculnya hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu tipe struktur agraria
dengan tipe struktur agraria lain. Ada tiga macam struktur agraria yaitu:
1. Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap
(perusahaan);
2. Tipe Sosialis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok
pekerja; dan
3. Tipe Populis/Neo-Populis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh keluarga/
rumahtangga pengguna.
Struktur agraria dan hubungan antar aktor yang mempunyai kepentingan terhadap
lahan dapat diterangkan dalam bagan di bawah ini:
Pemerintah
Swasta
Sumber
Agraria
Tanah/Lahan
Masyarakat
Keterangan:
Hubungan Teknis Agraria
Hubungan Sosial Agraria
Gambar 1. Hubungan Aktor-Aktor dalam Pemanfaatan Sumber Agraria (Sitorus 2002)
8
2.4. Faktor Penyebab Konversi Lahan
Menurut
Ilham
(2006),
pertumbuhan
perekonomian
menuntut
pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman.
Dengan kondisi demikian, diduga permintaan terhadap lahan untuk penggunaan
hal tersebut semakin meningkat. Akibatnya banyak lahan sawah, terutama yang
berada di sekitar perkotaan, mengalami alih fungsi ke penggunaan non-pertanian.
Menurut Massardy (2009), faktor yang paling mempengaruhi dalam penjualan
lahan tersebut adalah kebutuhan hidup. Para petani menganggap bahwa
pemanfaatan lahan pertanian yang dibuat sawah tidak lagi mempunyai nilai
ekonomis, dengan alasan saat ini padi hanya bisa ditanam sebanyak satu kali
dalam setahun. Maka banyak petani yang memenuhi kebutuhan hidupnya di luar
sektor pertanian, sehingga keinginan menjual lahan menjadi sangat besar. Mereka
ingin meningkatkan pendapatan dan taraf hidup rumah tangganya dengan cara
membuka usaha baru.
Munir (2008), mengemukakan sulitnya pemasaran produk pertanian.
Misalnya, pada musim tanam harga produk pertanian melambung sehingga
banyak petani yang bermimpi akan menjadi kaya setelah menjual hasil panen.
Tetapi yang terjadi tidak demikian, harga produk-produk pertanian tersebut jatuh
seketika saat musim panen tiba. Para petani harus tetap menjual hasil panen
mereka walaupun dengan rasa kekesalan. Selain itu, permainan harga pasar pada
hakekatnya sudah mulai menyiutkan semangat para petani untuk tetap mengadu
nasib di bidang pertanian. Pernyataan itu ditambah dengan masalah kelangkaan
saprotan terutama pupuk urea. Harga pertanian yang tidak mendukung sudah
cukup membuat para petani menderita. Menurut Budiman (2009), konversi lahan
pertanian dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya guna lahan
sehingga berimbas pada peningkatan pendapatan rumahtangga. Keputusan yang
sering diambil oleh petani pemilik lahan untuk meningkatkan pendapatan
rumahtangganya adalah mengkonversi lahan pertanian miliknya menjadi bentuk
penggunaan lain yang lebih menguntungkan dan memiliki siklus hidup yang
pendek. Motif petani dan pemilik lahan dalam mengkonversi lahan pertanian
adalah untuk meningkatkan daya guna dan nilai ekonomi lahan pertaniannya
sehingga mereka bisa meningkatkan pendapatan rumahtangganya.
9
Setiap masyarakat dalam suatu wilayah pasti mempunyai suatu kebiasaan
yang khas dan mencirikan suatu identitas masyarakatnya. Kehidupan sosial
masyarakat bisa terlihat salah satunya pada kegiatan mereka dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Pada masyarakat pedesaan biasanya hubungan sosial mereka
masih sangat kental. Sebagian besar penduduk desa bermata pencaharian di
bidang pertanian baik sebagai pemilik lahan maupun buruh tani. Fenomena sosial
terlihat dari sistem kerja yang dikenal dengan nama patron-klien. Menurut Wiradi
(2009), panen padi di Jawa dengan cara tradisionil, yaitu dengan menggunakan
ani-ani, memang memungkinkan siapa saja yang mau untuk ikut serta panenan.
Ini merupakan suatu metode panenan yang menunjukan sumbangasih petani
terhadap kesejahteraan masyarakatnya serta adanya pola hubungan patron-klien
(the patron-client relationship) antara petani pemilik sawah dengan buruh tani
yang tidak punya tanah.
Laju konversi lahan yang terjadi di Indonesia salah satunya tergantung
pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Namun, saat ini pemerintah pusat
maupun daerah menghadapi dilema antara kepentingan untuk memacu
pertumbuhan ekonomi dan upaya untuk mempertahankan keberadaan lahan
terutama sawah beririgasi teknis. Akan tetapi, semua tergantung dari kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah. Apakah mendorong untuk kegiatan konversi lahan
atau sebaliknya.
2.5. Dampak Konversi Lahan
Budiman (2009), pendapatan petani pemilik lahan setelah dikonversi
cukup beragam. Rata-rata pendapatan mereka naik, walaupun ada yang memiliki
pendapatan tetap. Hal ini disebabkan petani mempunyai keahlian yang terbatas di
luar bidang pertanian. Konversi lahan ini menyebabkan terjadinya diversifikasi
mata pencaharian sebagai bentuk respon dari petani. Menurut Massardy (2009),
pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat. Untuk
wilayah yang lahan pertaniannya telah berubah menjadi pabrik, mata pencaharian
mereka berubah dari pertanian ke sektor industri. Ada juga yang berubah menjadi
seorang wiraswasta. Sedangkan di wilayah yang lahan pertaniannya masih belum
10
berubah, pertanian masih menjadi sektor pekerjaan yang dominan. Perubahan
penguasaan lahan justru membuka lapangan kerja bagi yang tidak mempunyai
lahan.
2.6. Strategi Nafkah dan Bentuk-Bentuknya
Widiyanto (2009), menjelaskan bahwa strategi nafkah suatu rumahtangga
dibangun dengan mengkombinasikan aset-aset (modal) yang dimiliki, yaitu:
modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumber daya manusia, dan
modal sosial. Beberapa strategi nafkah, yaitu: strategi produksi, solidaritas
vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, serabutan, akumulasi, dan
manipulasi komoditas. Selain beberapa strategi nafkah di atas, terdapat pula
strategi nafkah berserakan. Menurut Iqbal (2004), pola nafkah komunitas menjadi
berserakan mengikuti kesempatan dan peluang pekerjaan yang tersedia. Serakan
nafkah kemudian dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Serakan waktu
Strategi nafkah ini berlangsung dalam waktu tertentu, misalnya sekali
dalam seminggu, tahunan, atau saat-saat hari besar nasional. Artinya, waktu
yang diperlukan dalam pencaharian nafkah tidak lagi bersifat konstan dan
menentu, tetapi terkait dengan kesempatan dan peluang pada masing-masing
mata pencaharian. Adakala kesempatan tersebut datang dalam waktu malam,
siang, sore, atau pagi hari.
b. Serakan spasial
Pada jenis ini, tenaga rumahtangga tidak hanya menggantungkan pada
peluang di daerah setempat, melainkan hingga ke tempat lain. Terbatasnya
peluang sumber nafkah yang ada di desa setempat, mendorong tenaga
rumahtangga melakukan gerakan spasial.
c. Serakan alokasi tenaga kerja
Jumlah anggota rumahtangga yang besar pada masyarakat desa,
mengakibatkan
melimpahnya
tenaga
kerja
dalam
rumahtangga.
Tanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan rumahtangga tidak lagi
bergantung pada kepala rumahtangga, tetapi juga anggota rumahtangga
11
lainnya. Meskipun tanggungjawab dalam pemenuhan nafkah rumahtangga
masih bertumpu pada kepala keluarga, seluruh anggota rumahtangga juga turut
membantu dalam pemenuhan kebutuhan rumahtangga. Sumber pendapatan
pada gilirannya berserak dari semua anggota keluarga. Bahkan tidak sedikit
rumahtangga yang mengerahkan anak-anak sebagai penopang ekonomi
rumahtangga.
d. Serakan Usaha
Semakin beragamnya sektor pekerjaan, kegiatan ekonomi masyarakat
desa juga semakin berserak ke berbagai ragam pekerjaan tesebut. Masyarakat
desa, terutama komunitas nelayan, tidak lagi tertumpu semata pada salah satu
sektor atau pada sektor laut semata. Terlebih lagi, penghasilan dari kegiatan
melaut semakin hari semakin mengalami penyusutan, sehingga rumahtangga
nelayan harus melakukan usaha lain, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Dharmawan (2001) dalam Musyarofah (2006), menyebutkan bahwa secara
umum strategi nafkah dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Strategi nafkah normatif, strategi ini berbasiskan pada kegiatan sosial ekonomi
yang tergolong ke dalam kegiatan positif seperti kegiatan produksi, sistem
pertukaran, migrasi, maupun strategi sosial dengan membangun jejaring sosial.
Strategi ini juga disebut “peaceful ways” atau sah dalam melaksanakan strategi
nafkah; dan
2. Strategi nafkah yang ilegal, dalam strategi ini termasuk di dalamnya berbagai
tindakan sosial ekonomi yang melanggar hukum dan ilegal. Seperti penipuan,
perampokan, pelacuran, dan sebagainya. Kategori ini disebut juga sebagai
“non peaceful”, karena cara yang ditempuh biasanya menggunakan cara
kekerasan atau kriminal.
12
2.7. Kerangka Pemikiran
Keputusan dalam menjual lahan yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhinya meliputi
tingkat pendapatan rumahtangga, tingkat pendidikan rumahtangga, kepemilikan
luas lahan, kebutuhan hidup, gaya hidup, strategi mediator perusahaan dan
investasi perusahaan. Semua faktor tersebut, turut memberikan sumbangasih
dalam kegiatan konversi lahan di Kelurahan Mulyaharja.
Keputusan dalam menjual lahan telah membawa dampak yang cukup
signifikan. Salah satu dampak yang ditimbulkan yaitu terjadinya perubahan dalam
bidang ekonomi dan sosial masyarakat. Perubahan tingkat pendapatan dan
keberagaman strategi nafkah terjadi sesudah adanya konversi lahan. Begitu juga
dengan hubungan sosial masyarakatnya. Perubahan strategi nafkah mampu
merubah pola hubungan sosial yang telah terbentuk dan begitu pula sebaliknya.
Jadi, keputusan dalam menjual lahan telah menciptakan perubahan pada sektor
sosial ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah terjadinya konversi lahan
(Gambar 2).
13
Faktor-Faktor:
1. Tingkat Pendapatan Rumahtangga
2. Tingkat Pendidikan Rumahtangga
3. Luas Kepemilikan Lahan
4. Kebutuhan Hidup
5. Gaya Hidup
6. Strategi Mediator Perusahaan
7. Investasi Swasta
8.
Keputusan dalam
Menjual Lahan
Dampak
Ekonomi:
Perubahan Strategi Nafkah
Masyarakat Sebelum dan
Sesudah Terjadinya Konversi
Lahan
Sosial:
Perubahan Hubungan Sosial
Masyarakat Sebelum dan
Sesudah Terjadinya Konversi
Lahan
Keterangan:
Hubungan Langsung
Hubungan Timbal Balik
Mencangkup
Gambar 2. Bagan Alur Konversi Lahan dan Strategi Nafkah Masyarakat Pedesaan
14
2.8. Hipotesis Penelitian
Hipotesis pengarah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diduga terdapat hubungan yang signifikan antara faktor penyebab konversi
lahan dengan keputusan menjual lahan;
2. Diduga terdapat hubungan antara keputusan menjual lahan terhadap dampak
perubahan di bidang ekonomi;
3. Diduga terdapat hubungan antara keputusan menjual lahan dengan dampak
perubahan di bidang sosial; dan
4. Diduga terdapat hubungan antara perubahan di bidang ekonomi dengan
perubahan di bidang sosial dan sebaliknya.
2.9. Definisi Konseptual
Istilah untuk variabel-variabel dalam hipotesis atau kerangka pemikiran
penelitian didefinisikan sebagai berikut:
1. Kebutuhan hidup adalah segala sesuatu yang harus ada dan tersedia demi
berlangsungnya kehidupan;
2. Gaya hidup adalah suatu pola kehidupan yang terbentuk dan sudah menjadi
suatu kebudayaan;
3. Strategi mediator perusahaan adalah segala cara yang ditempuh oleh perantara
perusahaan untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkan oleh pihak
perusahaan;
4. Investasi perusahaan adalah sejumlah modal yang dikembangkan oleh suatu
perusahaan untuk mendapatkan keuntungan (profit);
5. Keputusan dalam menjual lahan pertanian adalah segala sesuatu yang sudah
direncanakan untuk menjual lahan pertanian yang dimiliki kepada pihak lain;
6. Dampak adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa, misalkan akibat
yang ditimbulkan oleh konversi lahan;
7. Strategi nafkah adalah segala cara yang ditempuh oleh masyarakat dalam
menjalani aktivitas pekerjaan mencari uang dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup; dan
8. Hubungan sosial dalam masyarakat adalah bentuk interaksi yang telah
terbangun dan tersistem secara turun-temurun dalam suatu masyarakat budaya.
15
2.10. Definisi Operasional
Istilah untuk variabel-variabel dalam hipotesis atau kerangka pemikiran
penelitian didefinisikan sebagai berikut:
1. Tingkat pendapatan rumahtangga adalah rataan pendapatan yang diperoleh
oleh suatu rumahtangga yang dapat diuangkan responden dalam satu bulan,
diukur dalam rupiah. Dikategorikan dengan (1) rendah: < Rp.900.000,-; (2)
sedang: Rp.900.000-Rp.1.500.000,-; dan (3) tinggi: > Rp.1.500.000,-;
2. Tingkat pendidikan yaitu pendidikan tertinggi yang ditempuh oleh responden,
meliputi (1) tidak tamat SD, (2) tamat SD, (3) tidak tamat SMP, (4) tamat
SMP, dan (5) tamat SMA; dan
3. Luas kepemilikan lahan adalah jumlah lahan yang dimiliki oleh responden
yang diukur dalam satuan hektar (ha), meliputi (1) rendah yaitu < 0,5 hektar,
(2) sedang antara 0,5-0,9 hektar, (3) tinggi yaitu > 0,9 hektar.
16
Download