BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Maksilofasial

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan
lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai
90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara
baik dalam membentuk wajah manusia (Pappachan, 2012 ).
Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di
mana patah tulang melibatkan daerah frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface. Midface
dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di rahang atas dimana fraktur Le
Fort II dan III terjadi.Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di
mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah ( Pappachan, 2012 ).
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam
tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut, rongga hidung dan rongga mata (
Pappachan, 2012 ).
2.2 Trauma Maksilofasial
Cedera atau trauma pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai
alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran penting
dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti
penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat
terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang buruk (Singh, 2012).
Trauma maksilofasial mencakup cedera jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk
struktur maksilofasial. Tulang-tulang tersebut antara lain: tulang nasoorbitoetmoid, tulang
zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, tulang mandibula (Japardi, 2004).
2.2.1 Fraktur Maksilofasial
Fraktur adalah hilangnya atau
putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu
tulang
nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, dan juga
tulang
mandibula (Japardi, 2004).
Menurut Pappachan (2012), ada konsep bony pillars pada midfacial skeleton yang dapat
menyerap energi trauma dari arah bawah , tapi tulang-tulang ini mudah patah bila terkena energi
trauma yang datangnya dari arah berbeda. Disebutkan tulang nasal adalah yang paling ringkih,
hanya dapat mentoleransi energi sebesar 25 – 75 pounds, tulang maksila dapat mentoleransi
energi sebesar 140 – 445 pounds, arkus zigoma dapat mentoleransi energi sebesar 208 – 475
pounds, tulang frontal mampu mentoleransi energi sebesar 800 – 1600 pounds, tulang mandibula
lebih sensitif terhadap trauma dari arah samping dibandingkan dari arah depan. Toleransi
kekuatan tulang mandibula berbeda-beda tergantung dari lokasinya. Energi trauma sebesar 425
pounds dapat menyebabkan fraktur pada salah satu kondilar, sedangkan energi sebesar 535 – 550
pounds dapat menyebabkan fraktur pada kedua kondilar, dan energi sebesar 850 – 925 pounds
dapat menyebabkan fraktur pada simfisis ( Pappachan, 2012).
Gambar 2.1 Klasifikasi kekuatan toleransi tulang maksilofasial
dalam menahan energi trauma ( Pappachan, 2012 )
2.2.2 Epidemiologi Trauma Maksilofasial
Trauma meliputi 9% dari kematian di dunia, salah satunya adalah trauma maksilofasial dan
12% dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat
trauma terjadi di negara berkembang (Devadiga, 2007).
Pasien pria merupakan pasien dengan trauma maksilofasial tersering yaitu
sebanyak
75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Israel sebanyak 74,2% dan Iran
dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan
trauma maksilokranial (Zargar, 2004; Yoffe, 2008; Guruprasad, 2014). Di Indonesia, pasien
trauma maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% dari jumlah kasus (Muchlis,
2011).
2.2.3 Etiologi Fraktur Maksilofasial
Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat disebabkan
terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan. Hubungan penggunaan
alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan
merupakan penyebab
utama terjadinya fraktur maksilofasial (Ykeda, 2012). Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 74,3 % fraktur maksilofasial disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas, diikuti oleh penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan,
kecelakaan kerja,dan akibat senjata api (Guruprasad, 2014).
2.2.4 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial
2.2.4.1 Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE)
Anatomi kompleks yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur
yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari
sinus frontalis, sinus
ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013).
Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila.
Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini
dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior,
tulang frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara etmoid di tengah, dan orbita di lateral
(Nguyen, 2010).
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz-Manson yang
terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013):
1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.
2.
Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi atau
MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan osteosynthesis.
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi atau
fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas
total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilofasial pada orang dewasa.
Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang
paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010).
Gambar 2.2
Klasifikasi Markowitz-Manson (Aktop, 2013).
Gambar 2.3 Klasifikasi Markowitz-Manson (Galloway, 2012).
2.2.4.2 Fraktur Zigomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex (ZMC) mempunyai peran penting pada struktur, fungsi,
dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi
orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zigoma merupakan tempat melekat dari otot
maseter, oleh karena itu kerusakannya akan berpengaruh terhadap proses
mengunyah
(Tollefson, 2013).
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu
zygomaticomaxillary, frontozygomatic, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur
ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur
maksilofasial setelah fraktur nasal
(Meslemani, 2012).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North.
Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut
dibagi menjadi enam yaitu (Meslemani, 2012):
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan
yang dibuktikan
secara
klinis dan
radiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung
yang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen
utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 3 hanya membutuhkan
reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 4, 5, dan 6 membutuhkan fiksasi
untuk reduksi yang adekuat (Meslemani, 2012).
2.2.4.3 Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang
wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun
keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang
nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur maksilofasial (Haraldson, 2013).
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):
1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah
2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal
yang utuh
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah
hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung,
cedera terbuka, dan robeknya jaringan
Gambar 2.4 Klasifikasi Fraktur Nasal (Ondik, 2009)
2.2.4.4 Fraktur Maksila dan Le Fort
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di
inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah
struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang
penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki
potensi yang mengancam nyawa (Moe, 2013).
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun
1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013):
1. Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari
tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga
superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma
pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.
2. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan
sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari
orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng
pterygoid.
3. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang
langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita
medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura
frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan
ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.
Gambar 2.5 Klasifikasi Le Fort (Gartshore, 2010)
Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah fraktur
karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur
yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab.
Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi
yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental yang
diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa
tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches
(Moe, 2013).
2.2.4.5 Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak.
Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan.
Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart,
2008).
Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint (TMJ).
Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula
dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu
nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan
nyeri kronis. Fraktur mandibula
diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari
simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).
Gambar 2.6 Lokasi fraktur mandibula (Stewart, 2008)
2.3 Lesi Intrakranial Akut
2.3.1 Cedera Otak Fokal dan Difus
Menurut Tobing (2011), lesi intrakranial akut diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal
dan cedera otak difus. Cedera otak fokal meliputi:
1. Perdarahan Epidural atau epidural haematoma (EDH)
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna
tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid
interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis
kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala,
muntah, kejang dan hemiparesis.
2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut
Perdarahan SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (mulai
saat kejadian - 3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan
korteks serebri.
3. Perdarahan intra serebral atau intracerebral haematoma (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat
didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim
otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak
lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
4. Perdarahan subarahnoid traumatika atau subarachnoid hemorrhage (SAH)
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri
maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid dan
disebut sebagai perdarahan subarahnoid.
Cedera otak difus menurut Sadewa (2011) adalah terminologi yang menunjukkan kondisi
parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya
akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak
dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.
Vasospasme luas pembuluh darah
dikarenakan adanya SAH traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak
dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan
sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau
radiologi, cedera kepala difus dikelompokkan menjadi (Sadewa, 2011):
1. Cedera akson difus ( diffuse axonal injury )
Cedera akson difus adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti
permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan intiinti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.
2. Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya
akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontusio cerebri adalah
adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang
sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak
yang begitu kompak.
3. Edema serebri
Edema serebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema serebri
tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah
yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang
umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
4. Iskemia serebri
Iskemia serebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau berhenti.
Kejadian iskemia serebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit
degeneratif pembuluh darah otak.
Gambar 2.7 Lesi intrakranial (Tomio Ohee , 2000)
2.4
Pemeriksaan
Penunjang
Diagnostik
Pada
Fraktur
Maksilofasial
dan
Lesi
Intrakranial Akut
2.4.1 X-ray skull AP/ Lat, water’s view
Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah Wilhelm Rontgen pada
tahun 1895. Dia jugalah yang memberi nama X-ray meskipun banyak yang menyebut sebagai
“Rontgen” (Assmus, 1995). Selama lebih dari dua dekade, nilai dari X-ray kepala pada pasien
dengan cedera kepala telah dipertanyakan.
Meskipun begitu, pada tahun 1999, The Royal College of Surgeons of England (RCSE)
mengeluarkan panduan untuk penggunaan X-ray pada cedera maksilofasial dan cedera kepala.
Kriteria untuk dilakukan X-ray adalah (Soysa, 2005):
1.Kecurigaan cedera dengan mekanisme trauma yang tidak jelas
2.Adanya benjolan lunak khususnya di regio parietotemporal
3.Kecurigaan terjadi trauma penetrasi
4.Pasien sempat pingsan atau muntah
5.Kecurigaan terjadi fraktur compound atau adanya jejas yang jelas pada kepala
2.4.2 Computed Tomography Scanner (CT scan) Kepala
CT scan kepala adalah prosedur pengabaran X-ray yang menghasilkan gambar dari isi
intrakranial sebagai hasil dari penyerapan X-ray yang spesifik oleh jaringan yang diperiksa. Alat
CT scan menghasilkan sejumlah gambar crosssectional dari otak dan gambar tiga dimensi dari
kranium dan pembuluh darah dapat dihasilkan apabila diperlukan. CT scan tidak menyakitkan,
tidak invasif, dan secara umum akurat (Fertikh, 2013).
Terdapat beberapa indikasi dilakukan CT scan kepala yaitu (Fertikh, 2013):
1.Trauma kepala
2.Stroke
3.Nyeri kepala
4.Lesi yang meningkatkan tekanan intrakranial
5.Kejang
6.Kecurigaan terhadap adanya hidrosefalus
7.Kecurigaan terhadap perdarahan intrakranial
8.Penyakit vaskular intrakranial
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (2007), khusus pada trauma
kepala, terdapat indikasi-indikasi yang mengharuskan dilakukan CT scan segera yaitu:
1. GCS kurang dari 13 pada penilaian awal di instalasi gawat darurat
2. GCS kurang dari 15 selama 2 jam sejak terjadinya trauma pada penilaian di instalasi gawat
darurat
3. Kecurigaan fraktur tulang tengkorak yang terbuka atau tertekan
4. Tanda-tanda adanya fraktur basis kranial
5. Kejang post trauma
6. Defisit neurologis fokal
7. Lebih dari satu episode muntah
8. Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kejadian
Selain indikasi yang disebutkan di atas, pada trauma kepala beberapa
indikasi perlu
dipertimbangkan untuk melakukan CT scan kepala. Indikasi-indikasi tersebut antara lain nyeri
kepala, muntah, penurunan kesadaran atau amnesia, dan intoksikasi alkohol (Sharif-Alhoseini,
2011). Berdasarkan hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi
Marshall maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu
dibedakan menjadi enam kategori,pembagiannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.1 Klasifikasi Marshall berdasarkan CT scan pada cedera kepala
Category
Definition
Diffuse Injury I (no visible No visible intra-cranial pathology seen on CT Scan
pathology)
Cisterns are present with midline shift < 5 mm and or
Diffuse Injury II
lesion densities present
No high or mixed density lesion > 25 ml, may include
bone fragments and foreign bodies
Cisterns compressed or absent with midline shift 0-5 mm
Diffuse Injury III
No high or mixed density lesion > 25 ml
Midline shift > 5 mm
Diffuse Injury IV
No high or mixed density lesion > 25 ml
Any lesion surgically evacuated
Evacuated mass lesion
High or mixed density > 25 ml, not surgically evacuated
Non-Evacuated
mass lesion
Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari
gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH
maupun SAH (Andrews. B, 2003; Selladurai. B dan Reilly. P, 2007).
2.5
Faktor Risiko Klinis Yang Dianggap Berperan Terhadap Terjadinya Lesi
Intrakranial Akut Pada Pasien Fraktur Maksilofasial.
2.5.1 Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko terjadinya
kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Saboori, Lee, dan Latip menunjukkan hubungan yang bermakna antara usia tua
dan lesi otak. Hal ini karena pada usia tua berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah
robeknya bridging vein pada usia tua (Narayan, 2000).
2.5.2 Skor Glasgow Coma Scale
Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun 1974. Sejak
itu GCS merupakan alat ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera pada cedera
kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita – penderita pada awal cedera terutama
sebelum mendapat obat-obatan dan sebelum intubasi, skor ini disebut skor awal GCS (Chessnut,
2000; Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. Glasgow coma scale juga merupakan faktor
prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah pada awal cedera
berhubungan dengan prognosis yang buruk dan adanya perubahan fisiologis pada intrakranial
yang bisa disebabkan oleh lesi intrakranial akut atau penyebab yang lain (Davis dkk., 2006).
Menurut Sastrodiningrat (2006) yang mengutip pendapat Jennet dkk, melaporkan bahwa
82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 14 atau lebih, dalam waktu 24 jam setelah cedera
mempunyai good outcome. Sedangkan pada skor GCS 9 sampai 13 dalam waktu 24 jam setelah
cedera mempunyai good outcome atau moderately disabled dan hanya 12% yang meninggal atau
mendapat severe disability. Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS
menurun. Diantara penderita–penderita dengan skor awal GCS 3 atau 4 dalam 24 jam pertama
setelah cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau moderate disability. Diantara
penderita– penderita dengan skor GCS 3 pada waktu masuk dirawat, 87% akan meninggal.
Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif terhadap outcome yang
buruk. Menurut Sastrodiningrat (2006) yang bersumber dari hasil penelitian Groswasser dan
Sazbon, telah melakukan tinjauan penyembuhan fungsional dari 134 penderita dengan gangguan
kesadaran selama 30 hari. Hampir separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam aktifitas
kehidupan sehari – hari dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan terbatas. Biasanya
penderita yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun dengan fungsi batang otak yang baik
2.5.3 Diameter Pupil dan Reaksi Cahaya
Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung terhadap
adanya herniasi dan cedera brainstem. Secara umum, dilatasi dan fiksasi dari satu sisi pupil
menandakan adanya herniasi, dimana gambaran dilatasi dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai
pada cedera brainstem yang irreversible. Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil
yang mengalami dilatasi dan terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai
saraf ketiga intrakranial atau disertai cedera brainstem (Chessnut, 2000).
Penelitian klinis untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan
dalam berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran dan reaksi pupil
terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada tidaknya dilatasi tanpa
memandang ukuran pupil (Pascual dkk., 2008; Letarte, 2008).
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola respons motorik yang
abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor, semuanya memprediksikan outcome yang
buruk setelah cedera kepala (Andrews, 2003; Rovlias, 2004). Menurut Sastrodiningrat (2006),
bersumber dari penelitian yang dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks
pupil yang tidak teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya
disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada batang otak
bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu tinjauan terhadap 153 penderita
dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18% yang mempunyai penyembuhan yang baik.
Diantara penderita dengan anisokor pada waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak
cedera, 27% mencapai penyembuhan yang baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak
bergerak dan berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.
Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat penyembuhan baik
cenderung berumur lebih muda, dan refleks – refleks batang otak bagian atas yang tidak
terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan satu pupil berdilatasi
ipsilateral terhadap suatu perdarahan subdural mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk
melaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai
penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguan gerakan ekstraokular dan refleks pupil
yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk (Sastrodiningrat, 2006).
Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah dua parameter yang banyak
diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam mengevaluasi pupil, trauma orbita
langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan
pemeriksaan ulang harus sering dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral (Moulton,
2005).
2.5.4 Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit
Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk melakukan tindakan awal di
rumah sakit. Pada waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan iskemik otak karena cedera
primer maupun terdapatnya cedera tambahan yang menimbulkan kegagalan kompensasi dapat
terjadi, sehingga kematian paling banyak terjadi dalam periode ini (Ratnaningsih, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Boto (2005) mengungkapkan pasien dengan cedera kepala berat,
20% meninggal dunia pada awal kedatangan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Singh (2007) terhadap pejalan kaki yang mengalami kematian akibat
kecelakaan.Dari 129 orang 56, 6% mengalami cedera kepala dan 54, 4% diantaranya hanya dapat
bertahan hidup sampai 6 jam pertama.
2.5.5 Faal Hemostasis
Faal hemostasis merupaka pemeriksaan yang meliputi tes PT (Prothrombin Time), tes
APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) dan tes bleeding time. Ada beberapa sistem yang
berperan dalam sistem hemostasis yaitu sistem vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah.
Koagulasi adalah proses kompleks pembentukan pembekuan darah. Koagulasi dimulai dengan
terdapatnya kerusakan pembuluh darah pada lapisan endotel. Trombosit kemudian membentuk
gumpalan untuk menutup daerah yang rusak disebut hemostasis primer. Hemostasis sekunder
terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam plasma disebut faktor koagulasi untuk
membentuk benang-benang fibrin yang memperkuat gumpalan dari trombosit (Baroto, 2007).
Dalam penelitian Baroto (2007), disebutkan juga bahwa koagulopati adalah proses
patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan. Pasien dengan cedera kepala dapat ditemukan koagulopati secara klinis
dan laboratoris terutama pada kejadian cedera jaringan otak langsung. Koagulopati yang terjadi
pada penderita cedera kepala karena pelepasan faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang
kaya di jaringan otak) dan koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke peredaran
darah sistemik mempengaruhi proses pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium yang akan
didapatkan pada pasien cedera kepala disertai koagulopati adalah penurunan jumlah trombosit
darah tepi, pemanjangan masa plasma protrombin, pemanjangan masa tromboplastin parsial
teraktivasi, pemanjangan masa trombin, serta penurunan kadar fibrinogen plasma. Pemanjangan
PT, APTT, dan bleeding time merupakan akibat dari faktor jaringan yang keluar dari jaringan
otak yang mengalami trauma yang mengaktifkan jalur ekstrinsik dan intrinsik pembekuan darah.
Menurut Baroto (2007), disebutkan bahwa risiko terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala
meningkat 85% jika tes koagulasi abnormal. Komplikasi ini sangat signifikan korelasinya
dengan pemanjangan PT.
2.5.6 Penyebab Cedera
Menurut penelitian sebelumnya, penyebab terjadinya trauma maksilofasial dan cedera
kepala tersering adalah kecelakaan sepeda motor (43,7%), diikuti oleh kecelakaan mobil
(29,8%), kekerasan (16,9%), terjatuh dari ketinggian (8,3%), lain-lain (0,3%) (Zandi dkk., 2012).
2.5.7 Jumlah Fraktur
Fraktur tulang wajah tersering pada trauma maksilofasial adalah fraktur tulang nasal
(45%), fraktur mandibula (36,4%), zigomatikomaksila (26,8%), fraktur Le Fort II ( 22,2%). Jenis
fraktur maksilofasial yang paling sering berhubungan dengan terjadinya lesi intrakranial akut
adalah fraktur Le Fort II dan fraktur mandibula, kemudian diikuti oleh fraktur Le Fort I, fraktur
zigomatikomaksila. Sedangkan fraktur yang tidak signifikan hubungannya dengan terjadinya lesi
intrakranial akut adalah fraktur NOE dan fraktur Le Fort III. Selain jenis fraktur, jumlah fraktur
maksilofasial juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya lesi intrakranial akut. Semakin banyak
jumlah fraktur maka risiko terjadinya lesi intrakranial akut semakin besar (Zandi dkk., 2012).
Download