PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM1 Abdul Rokhim2 (Dipublikasikan dalam Buku Kumpulan Makalah Berjudul “Ilmu Humaniora: Sebuah Antologi Pemikiran”, Cet. I, Penerbit Nirmana Media, Tangerang-Banten-Jakarta, ISBN 602-8298-15-8, Mei 2017, hlm. 207-219) Abstrak Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia dilakukan berdasarkan konsep Hak Penguasaan Negara (HPN). HPN atas SDA mengandung makna bahwa negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam (termasuk barang tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. HPN atas barang tambang tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada badan swasta, meskipun negara tidak atau belum mempunyai kemampuan sepenuhnya untuk mengusahakan sendiri untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. Dalam hukum positif, HPN atas barang tambang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengusahakan sendiri atau memberikan izin atau bahkan bekerjasama dengan sektor swasta melalui kontrak pertambangan untuk melakukan eksploitasi barang tambang milik bangsa Indonesia. Muncul dilema, di satu sisi pemerintah belum mampu mengusahakan sendiri dan karena itu itu perlu bekerja sama dengan sektor swasta, namun di sisi lain HPN atas barang tambang secara hukum tidak dapat dialihkan kepada sektor swasta. Relasi antara pemerintah dengan badan swasta dalam pengusahaan pertambangan idealnya melalui izin pertambangan, bukan dalam bentuk kontrak pertambangan yang menempatkan pemerintah sebagai salah satu pihak, agar posisi pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara memiliki kedudukan lebih tinggi dan dapat mengontrol sektor yang mendapatkan izin dari pemerintah. Dalam perspektif hukum Islam, menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam pengusahaan barang tambang yang merupakan hajat hidup orang banyak sejalan dengan prinsip maslahah ummat yang menurut syariat Islam bertujuan untuk menarik kemanfaatan dan mencegah bahaya untuk umum. Kata Kunci: Pengelolaan; Barang Tambang; Hukum Positif; Hukum Islam A. Pengantar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti secara ideologis, penguasaan negara atas sumber daya alam (termasuk barang tambang) harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Meskipun secara idiil Hak Penguasaan Negara (HPN) atas sumber daya alam harus digunakan sebagai sarana memperbesar kemakmuran rayat, namun dalam kenyataannya hal itu sangat bias karena beberapa sebab, antara lain: pertama, politik hukum negara 1 Makalah ini pernah dipresentasikan dalam National Conference dalam rangka Dies Natalis ke-36 Universitas Islam Malang pada tanggal 26 Maret 2017, dengan tema Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS) untuk Kemaslahatan Umat, subtema “Tata Kelola Hukum, Pemerintahan dan Ekonomi dalam Perspektif Islam Menuju Indonesia Berkeadilan”. 2 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang. 1 sering diboncengi oleh sejumlah kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kepentingan umum, kepentingan negara, atau kepentingan pembangunan. Kedua, dilihat dari substansi hukum, pengertian “dikuasai” oleh negara tidak mencerminkan makna yang jelas dan lugas, sehingga mengandung banyak penafsiran (multi-interpretasi) yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum dalam implementasinya. Akibatnya, sering terjadi benturan kepentingan dan konflik wewenang di antara departemen atau instansi pemerintah sektoral dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia. 3 B. Konsep Penguasaan Negara atas Barang Tambang Istilah “dikuasai oleh negara” mempunyai padanan arti “negara menguasai atau penguasaan negara”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kata “menguasai” ialah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu), sedangkan pengertian kata “penguasaan” berarti proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan”.4 Dengan demikian, pengertian kata penguasaan lebih luas dari pada kata menguasai. Oleh karena itu, menurut Abrar Saleng, penyebutan yang tepat kekuasaan negara atas sumber daya alam dalam rangka pasal 33 UUD 1945 adalah Hak Penguasaan Negara (HPN).5 Pengertian “hak”, menurut Apeldoorn, adalah suatu kekuasaan (macht) yang teratur oleh hukum yang berdasarkan kesusilaan (zakelijheid; moraal). Tetapi kekuasaan sematamata bukanlah hak. Hanya kekuasaan yang dibenarkan oleh hukum (het recht in zijn veroorlovende gedaante) saja yang dijadikan dasar bagi adanya hak untuk mengatur oleh negara.6 Apabila konsep penguasaan negara dikaitkan dengan pengertian hak, maka makna HPN tertuju kepada negara sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Dengan demikian maka makna HPN di dalamnya terdapat sejumlah wewenang dan tanggung jawab (kewajiban) yang bersifat publik. Hal ini berarti bahwa HPN harus dilihat dan dipahami dalam konteks hak (wewenang) dan kewajiban negara sebagai subyek yang memiliki kekuasaan atas sumber daya alam yang bersifat publik (publiekrechtelijk), bukan bersifat privat (privaatrechtelijk) dalam arti negara sebagai pemilik (eigenaar). Pemahaman yang demikian bermakna bahwa negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional.7 Mengacu pada pengertian HPN tersebut di atas, maka dalam kerangka penguasaan negara atas barang tambang, HPN mengandung makna bahwa negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya bahan galian (barang tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Konsep yang demikian sejalan dengan maksud kata-kata dikuasai oleh negara yang tertuju kepada obyek-obyek penguasaan yang tersebut dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara”. 3 Achmad Sodiki, “40 Tahun Masalah-masalah Dasar Hukum Agraria”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Unibraw, dalam Buku: 70 Tahun Prof. Abdul Gani, Malang, 2000, hlm. 164. 4 Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 533. 5 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 21. 6 L.J. van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van het Nederlansche Recht. Terjemahan Oetarid Sadino: “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), hlm. 22. 7 Abrar Saleng, Op. Cit., hlm. 33 2 Berdasarkan hal tersebut di atas, penguasaan negara atas bahan galian dalam konteks HPN menjadi dilematis. Karena, di satu sisi, HPN atas barang tambang tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada badan usaha swasta. Namun, di sisi lain, dalam situasi tertentu negara tidak (belum) mempunyai kemampuan untuk mengusahakan sendiri bahan tambang agar bermanfaat bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. Berhadapan dengan situasi demikian maka perlu diciptakan suatu piranti hukum yang kondusif untuk membangun relasi antara pemerintah (selaku pengemban atau pelaksana kekuasaan negara atas barang tambang) dengan sektor swasta (selaku pihak yang memiliki kemampuan untuk mengelola, memanfaatkan dan mengusahakan barang tambang), sehingga mampu memberi nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dengan tidak menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945. Dalam hal penguasaan dan pengusahaan minyak dan gas bumi (migas), misalnya, Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) menyatakan bahwa penguasaan minyak dan gas bumi oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP). 8 Selanjutnya, pada ayat (3)-nya dinyatakan bahwa pemerintah sebagai pemegang KP membentuk Badan Pelaksana (BP) sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23 yang bertugas untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu Migas. Mekanisme seperti ini oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan sebagai instrumen hukum ekonomi yang dianggap mampu untuk membangun dan memberikan landasan hukum bagi langkahlangkah pembaruan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan Migas dalam kerangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.9 Berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012, MKRI Indonesia (MKRI) menyatakan bahwa “Penguasaan negara atas Migas harus dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) berupa tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk melakukan kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap”. Pertimbangan hukum tersebut mengandung makna bahwa mining right dan economic right atas sumber daya alam sepenuhnya dipegang oleh pemerintah. Putusan MKRI juga mengamanatkan dua perubahan. Pertama, mengenai siapa wakil negara dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan industri hulu Migas. Kedua, bagaimana pola penunjukan pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, atau yang sering disebut granting instrument. 8 Istilah Kuasa Pertambangan (KP) tidak diatur lagi di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Istilah KP tertuang di dalam Pasal 2 huruf i UU Nomor 11 Tahun 1967 yang menyebutkan bahwa kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Pengaturan KP tertuang di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 1967 yang menyebutkan bahwa Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan. 9 Lihat bagian Menimbang huruf f Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 3 Mengenai perubahan yang pertama, MKRI menghendaki agar tindakan pengaturan dan pengawasan serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan industri hulu Migas dilakukan langsung oleh pemerintah (eksekutif) melalui kementerian terkait (ESDM). Hal ini berarti UU Migas yang baru nantinya harus mengganti kedudukan dan fungsi BP Migas (sekarang: SKK Migas) yang sudah dinyatakan inkonstitusional berdasarkan putusan MKRI sebagai bagian dari Pemerintah (eksekutif). Selain itu, tugas dan wewenang SKK Migas harus diperluas tidak hanya meliputi tindakan pengaturan dan pengawasan (mining right), tetapi juga tindakan pengendalian dan pengelolaan (economic right). C. Hubungan antara Pemerintah dengan Perusahaan Pertambangan Dalam masyarakat tradisional inti hubungan antara subyek hukum yang memerintah (pemerintah) dengan yang diperintah (masyarakat) lebih mengandalkan pada status, yang menurut Talcott Parson berintikan pada power and priveleges.10 Hubungan yang dilakukan berdasarkan pada status berlangsung bukan karena konsensus subyek individual, tetapi didasarkan pada kerangka normatif struktur sosial yang ada. 11 Pola hubungan dalam masyarakat yang berdasarkan status umumnya terjadi atau digunakan pada masyarakat tradisional, namun dalam perkembangannya pola hubungan ini berubah menjadi pola hubungan yang sifatnya kontraktual pada masyarakat modern. Inti hubungan kontraktual pada masyarakat modern menurut Talcott Parson adalah “free agreement of individual”.12 Motivasi yang fundamental mengenai beralihnya suatu pola hubungan dari status ke kontraktual adalah hasrat untuk maju dan lebih rasional sesuai dengan tuntutan perkembangan ekonomi dan hubungan industrial. Berdasarkan pada pola hubungan tersebut, pemerintah dalam statusnya sebagai pemegang HPN jika dikaitkan dengan pengaturan pengusahaan barang tambang yang sifatnya atributif (kewenangan menurut undang-undang), maka seyogyanya hubungan hukum yang timbul berdasarkan kewenangan atributif lebih didasarkan pada status pemerintah selaku pemegang hak istimewa. Dengan demikian, maka hubungan hukum antara pemerintah sebagai pemegang KP dengan perusahaan pertambangan swasta (kontraktor) bukanlah suatu mekanisme pengalihan (delegasi) hak pengusahaan negara, tetapi merupakan suatu sarana atau instrumen hukum yang memungkinkan pihak swasta nasional atau asing untuk dapat turut serta di dalam usaha pertambangan. Posisi kontraktor dalam hal ini tidak setara dengan pemerintah, melainkan di bawah “subordinasi” dari pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang atau kekuasaan atas barang tambang. Masalahnya adalah dalam pertambangan Migas misalnya, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Migas, setelah pemerintah memegang KP dari negara, maka pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyerahkan wewenang tersebut kepada pelaku usaha swasta (kontraktor) melalui Pasal 1 angka 5 dan Pasal 12 ayat (3) UU Migas. Pasal tersebut membuka tafsir bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah telah diserahkan sepenuhnya kepada kontraktor. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (3) tersebut, berarti UU Migas mereduksi KP yang dimiliki atau dipegang pemerintah sebagai wujud kedaulatan negara atas tambang Migas. Hal ini juga berarti menghilangkan kekuasaan konstitusional negara atas bahan tambang Migas. Oleh karena itu, pemerintah harus merevisi Pasal 12 ayat (3) UU Migas, agar sesuai dengan amanat konstitusi. Ini berarti MKRI telah (berupaya) mengembalikan kedaulatan negara melalui 10 Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, (Malang: Penerbit In-TRANS, 2007), hlm. 112. 11 Deno Kamelus, Fungsi Hukum terhadap Ekonomi Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hlm. 326. 12 Anis Ibrahim, Op. Cit., hlm. 114. 4 HPN atas Migas sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena KP ada pada pemerintah, maka keterlibatan badan usaha swasta (kontraktor) dalam kegiatan pengusahaan Migas adalah subordinasi pemerintah. Jadi, kedudukan kontraktor dalam pengusahaan tambang bukan yang memiliki wewenang atas barang tambang, tetapi “diikutsertakan” dalam pengusahaan tambang. Inilah konstruksi yuridis yang sebenarnya dikehendaki oleh UUD 1945, yakni negara melalui pemerintah tetap memegang monopoli atas sumber daya alam, termasuk tambang Migas, tetapi kompetitif terhadap persaingan pasar global, atau menurut kalimat mantan Ketua MKRI, Jimly Asshiddiqie: “MK mencari jalan tengah antara idealisme versus pragmatisme berkaitan dengan peran negara versus mekanisme pasar”.13 Bagaimana halnya dengan kontrak pertambangan yang menempatkan pemerintah sebagai salah satu pihak dengan kontraktor swasta sebagai pihak lainnya, seperti kontrak karya14 pada PT Freeport Indonesia? Dalam rangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam konsep negara hukum kesejahteraan (welfare state), pemerintah turut menyelenggarakan berbagai fungsi di luar fungsi penyelenggaraan pemerintahan, yang menuntut pemerintah turut serta dalam pergaulan kemasyarakatan atau hubungan hukum sebagai pihak atau subyek perjanjian yang tidak berbeda dengan subyek hukum keperdataan pada umumnya. Tindakan pemerintah yang demikian ini, menurut Bagir Manan,15 adalah hubungan hukum kesederajatan yang merupakan hubungan keperdataan antara pemerintah dan orang atau badan hukum keperdataan. Hubungan keperdataan timbul dari perbuatan keperdataan, misalnya melakukan kontrak dengan subyek hukum lainnya. Sedangkan yang dapat melakukan hubungan atau perbuatan perdata adalah manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Berdasarkan pemahaman ini, maka perbuatan hukum keperdataan pemerintah hanya dapat dilakukan oleh badan pemerintahan yang berstatus badan hukum (rechtspersoon). Salah satu badan pemerintahan yang berstatus badan hukum adalah negara. Negara dalam melakukan perbuatan keperdataan (dalam hal ini kontrak) dilakukan oleh pemerintah. Kedudukan pemerintah di sini semacam dengan kedudukan direksi dalam Perseroan Terbatas. Karena itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman, pemerintah (pusat atau daerah), baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah) dapat mengadakan perjanjian perdata.16 Di samping itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman,17 pemerintah juga dapat mengadakan perjanjian yang diwarnai sifat hukum publik (publiekrechtelijk). Perjanjian ini berorientasi pada kepentingan umum dan bersifat memaksa. Di dalam kontrak yang demikian ini, tidak terdapat kebebasan berkontrak, karena syarat-syarat yang ditentukan di dalam kontrak tidak didasarkan kepada kehendak kedua belah pihak, tetapi hanya didasarkan kepada kehendak satu pihak, yaitu pemerintah. Syarat-syarat tersebut ditentukan oleh perangkat peraturan perundang-undangan. Hubungan antara pemerintah dan mitranya (perorangan atau badan hukum swasta) dalam perjanjian ini tidak berada 13 Harian Kompas, 23 Desember 2004, hlm. 9. Kontrak karya adalah suatu perjanjian antara Pemerintah RI dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka Penanaman Modal Asing) untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan Umum. 15 Bagir Manan, “Bentuk-bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah”, dalam Journal of Padjadjaran University, No. 3 Vol. 14, Bandung, 1996, hlm. 24. 16 Mariam Darus Badrulzaman, “Perjanjian dengan Pemerintah (Government Contract)”, dalam Seri Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek Elips, 1998), hlm. 159. 17 Ibid. 14 5 dalam kedudukan yang sama (nebengeordnet), tetapi pemerintah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari mitranya (untergeordnet). Karena itu perjanjian ini disebut dengan perjanjian publik (government contract). Kontrak-kontrak publik itu diatur dalam peraturan perundang-undangan, misalnya kontrak production sharing yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.18 Dalam perjanjian publik, khususnya dalam joint venture, Sunaryati Hartono memandang bahwa hubungan pemerintah dan lawan kontraknya di samping sebagai “pihak” (partner) juga sebagai “pemerintah” (government). Oleh karena itu, kontrak yang melahirkan joint venture dimana pemerintah sebagai pihak tidak dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian komersial (commercial contract) biasa, sebab pemerintah mempunyai kedudukan rangkap, baik sebagai pihak maupun sebagai pemerintah.19 Dalam hubungannya dengan kontrak dimana pemerintah sebagai salah satu pihak, Brietzke mengatakan bahwa “government intervention has and will continue decisively to change the face of Indonesian contracts law. The conventional contract model is not necessarily appropriate to the relation between government and private individuals or companies”.20 Dalam rangka melaksanakan HPN atas barang tambang, kedudukan pemerintah sebagai pemegang KP memiliki kewenangan mengatur dan mengontrol perusahaan pertambangan swasta. Itulah sebabnya, dapatlah dikatakan bahwa kontrak pertambangan bukanlah kontrak bisnis biasa yang murni berkarakter privat (privaat-rechtelijk), melainkan merupakan kontrak khusus, lain dari pada yang lain (sui generis). Kontrak pertambangan antara pemerintah dan pihak swasta senantiasa memiliki karakter hukum publik dan hukum privat. Meskipun, pada hakikatnya “kontrak” itu merupakan hubungan hukum yang sifatnya privat, namun karakter publik dalam kontrak pertambangan tidak bisa dilepaskan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa dalam kontrak pertambangan, posisi hukum pemerintah bersifat “monodualis”, karena di satu sisi pemerintah berkedudukan sebagai regulator dan sekaligus pemegang KP, namun di sisi lain pemerintah juga berkedudukan sebagai salah satu pihak dalam kontrak yang kedudukannya setara dengan kontraktor. Posisi ganda pemerintah seperti tersebut tidak bisa dihindari, bahkan merupakan suatu kebutuhan hukum, mengingat sebagaimana dikatakan oleh Brietzke: “. . . government must constantly safeguard the public interest in and through its contractual relations. Government agencies increasingly use contracts (rather than regulations) to spell out their relations with individuals and institutions, and this trend gives the ‘private’ law of contract much more of a ‘public’ flavor.21 Atas dasar itu maka dapatlah dipahami apabila dalam hal-hal tertentu demi kepentingan publik (public interest) pemerintah terpaksa harus melakukan peninjauan kembali terhadap kontrak-kontrak pertambangan yang pernah dibuat oleh pemerintahan rezim sebelumnya, seperti pada kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia, yang dinilai 18 Ibid. Sunaryati Hartono, Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974), hlm. 28. 20 “ . . . intervensi pemerintah secara tegas telah dan akan terus mengubah wajah hukum kontrak Indonesia. Model kontrak konvensional belum tentu sesuai dengan hubungan antara pemerintah dengan swasta perorangan atau perusahaan”. Lihat, Paul H. Brietzke, “The Formation of Contracts According to American Law”, dalam Buku Seri Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek Elips, 1998), hlm. 91. 21 Pemerintah harus terus-menerus menjaga kepentingan publik dalam dan melalui hubungan kontraktual. Instansi pemerintah semakin banyak menggunakan kontrak (dari pada regulasi) untuk menguraikan hubungan mereka dengan individu dan institusi, dan kecenderungan ini memberikan hukum kontrak perdata lebih terasa 'publik'. Ibid. 19 6 berat sebelah dan sangat merugikan kepentingan bangsa dan negara. Idealnya, apabila dinilai ada “ketidakadilan” dalam kontrak pertambangan, maka para pihak harus “duduk bersama” berunding untuk melakukan perubahan isi kontrak (adendum) berdasarkan kesepakatan baru sesuai dengan prinsip kewajaran dan keadilan yang menguntungkan kedua belah pihak. Karena, pada hakikatnya kedudukan para pihak dalam hukum perjanjian itu sifatnya setara (equal), maka secara hukum pemerintah tidak boleh secara sepihak mengubah isi kontrak yang telah disepakati dengan PT Freeport Indonesia. Meskipun dalam hal ini salah satu pihaknya adalah pemerintah yang notabene adalah pengemban dan pelaksana HPN atas sumber daya alam (dalam hal ini barang tambang) yang ada di seluruh wilayah NKRI. Posisi inilah yang menyebabkan pemerintah “tersandra” dengan kontrak-kontrak pertambangan yang telah dibuatnya sendiri dengan perusahaan pertambangan swasta, terutama dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA). Namun, karena kontrak pertambangan itu pada dasarnya bukanlah kontrak biasa (sui generis), yang juga memiliki karakter hukum publik di samping tentunya karakter privat, maka sebagai pengemban dan pelaksana HPN pemerintah tentu saja berwenang mengontrol dan bahkan memastikan bahwa kontrak-kontrak pertambangan yang telah ada harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku setelah kontrak itu ditandangani. Terkait dengan posisi pemerintah yang demikian itu, maka dalam pengelolaan (pengusahaan) barang tambang ke depan pemerintah harus menggunakan instrumen perizinan (Izin Usaha Pertambangan), bukan dengan membuat atau memperpanjang kontrak-kontrak pertambangan dengan swasta, seperti kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia. Karena, barang tambang merupakan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka pemerintah harus menjalankan kedaulatan negara atas barang tambang, bukan malah tunduk pada kepentingan kontraktor pertambangan yang dikendalikan oleh swasta (asing). Menempatkan pemerintah sebagai pengemban kedaulatan negara atas barang tambang yang merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia agar terhindar dari penguasan atau eksploitasi perusahaan asing, sejalan dengan pernyataan Presiden Soekarno: “Kami tinggalkan kekayaan alam agar seluruh dunia iri dengan Indonesia. Kami tinggalkan kekayaan alam hingga bangsa Indonesia sendiri mampu mengelolanya”. Statemen ini merupakan perwujudan dari politik “berdiri di kaki sendiri” (Berdikari) terkait dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA), yang harus direalisasikan oleh pemerintah, kalau negeri ini ingin berdaulat di bidang SDA. Untuk itu perlu memikirkan kembali (rethinking) konsep dan penjabaran HPN atas barang tambang yang ideal menurut UUD 1945, termasuk dengan mengadopsi prinsipprinsip pengelolaan barang tambang menurut hukum Islam. D. Penguasaan Negara atas Barang Tambang dalam Perspektif Hukum Islam Dalam perspektif hukum Islam, secara umum ada dua jenis barang berharga yang bisa diperolah manusia dalam perut bumi, yaitu barang tambang dan harta peninggalan orang-orang zaman dahulu yang tertimbun di bumi (harta karun). Dalam melihat kepemilikan barang-barang tambang atau harta karun ini, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah di satu pihak dan pendapat Malikiyah di pihak lain. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kepemilikan barang tambang itu adalah merujuk atau berdasarkan kepada kepemilikan tanah itu sendiri. Artinya, jika tanahnya merupakan hak milik seseorang dan di dalamnya ada barang tambang, maka barang tambang itu juga menjadi miliknya, dan jika barang tambang itu 7 terdapat di tanah negara maka barang tambang itu adalah kepunyaan (dalam kekuasaan) negara, dan jika barang tambang itu terdapat di tanah yang tidak ada pemiliknya maka barang tambang itu untuk (milik) yang menemukannya”.22 Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang-barang tambang adalah dikuasai oleh negara. Pendapat para ulama ini bisa ditelusuri dalam beberapa kitab klasik karya ulama-ulama mazhab tersebut. Dalam Kitab “Al-Muhazzab”, Imam Abi Ishaq Ibrahim Al-Fairuz, berkata: “Apabila orang merdeka yang muslim mengeluarkan barang tambang dari tanah mati (tanah tak bertuan) atau dari tanah yang dimilikinya lalu telah sampai nisabnya berupa emas dan perak, maka diwajibkan kepada muslim yang mendapat barang tambang tersebut untuk mengeluarkan zakatnya. Dan jika dia memperoleh barang tambang itu di tanah yang dimiliki oleh orang lain maka barang tambang itu untuk si pemilik tanah, dan si penemu barang tambang wajib menyerahkan barang temuannya itu kepada si pemilik tanah”. Pendapat mayoritas (Jumhur) ulama seperti tersebut di atas berbeda dengan pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah. Para ulama Malikiyah berpendapat bahawa barang tambang sepenuhnya di bawah kepemilikan (kekuasaan) negara. Dalam hal ini Wahbah Az-Zuhaily berkata: “Pendapat yang masyhur dari golongan Malikiyah mengatakan bahwa seluruh barang tambang itu tidak dapat dimiliki dengan cara penguasaan atasnya sebagaimana tidaklah dimiliki ia disebabkan mengikuti kepemilikan tanah tersebut, akan tetapi barang tambang itu adalah untuk negara”. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Yusuf Qardawi yang mengatakan dalam Kitab Fiqh Zakat bahwa segala sesuatu yang dikeluarkan dari perut bumi baik itu berbentuk padat maupun cair semuanya itu adalah milik Baitul Mal, maka barang galian dan minyak tanah yang mengalir dalam perut bumi adalah milik negara”.23 Persoalannya adalah bagaimana pengelolaan barang tambang menurut hukum Islam atau menurut prinsip-prinsip syariah, khususnya terkait dengan penguasaan dan pengusahaannya. Secara umum pengelolaan sumber daya alam (SDA) termasuk barang tambang, sesungguhnya telah diatur dalam Al Quran. Al Quran telah mengingatkan bahwa alam semesta beserta isinya, termasuk barang tambang, ditundukkan untuk kepentingan atau kemanfaatan manusia secara keseluruhan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al Jaatsiyah ayat 13: “Dan Dia (Allah) menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang ada di bumi. Ini semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya apa yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. Pengelolaan SDA barang tambang yang baik merupakan salah satu kegiatan memakmurkan bumi. Bahkan ia merupakan salah satu tujuan utama syariah Islam yang diserukan oleh para ulama.24 Tugas manusia untuk memakmurkan bumi ini antara lain dengan melakukan pemanfaatan barang tambang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. 22 Agussalam Nasution, Kepemilikan Bahan Galian Pertambangan (BGP) dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia (Suatu Tinjauan Terhadap Status Tambang Rakyat Ilegal di Mandailing Natal), dalam http://agussalamn.blogspot.co.id/2012/04/artikel-hukum-kepemilikan-bahangalian.html. Diakses 17 Maret 2017. 23 Ibid. 24 Yusuf Al Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. (Jakarta: Robbani Press, 2004). 8 Dalam konsep Islam, tugas manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak terhadap kepentingan umum (maslahatul ummah) dilakukan melalui pemerintah atau negara. Barang tambang merupakan SDA yang sangat penting bagi kemakmuran dan kemaslahatan umum, karena itu keberadaan barang tambang dalam suatu negara harus dalam penguasaan negara agar dapat dikelola (diatur, diusahakan, dan diawasi) untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat (ummat). Ini berarti bahwa dalam konsepsi hukum Islam, penguasaan negara atas barang tambang hanyalah sah apabila hal itu dilakukan oleh pemerintah (sebagai wakil dari negara), yakni dengan memanfaatkannya untuk kemaslahatan ummat (kemakmuran rakyat), bukan untuk kepentingan segelintir orang atau pengusaha tertentu. Dalam bidang pertambangan, misalnya, Allah menciptakan besi dan kemudian diolah oleh manusia menjadi berbagai macam benda sesuai dengan kebutuhannya dalam kehidupan hari-hari, sebagaimana difirmankan dalam Al Qur’an dalam Surat Al Hadid ayat 25: “ . . . dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia . . . ”. Dalam konsep Islam, pemilikan atas suatu barang dibagi menjadi tiga macam:25 (1) Kepemilikan individu (private property), setiap orang dapat memiliki atau menguasai dengan cara-cara tertentu, misalnya dengan jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. (2) Kepemilikan umum (collective property), dengan izin Allah kepada komunitas masyarakat memiliki hak untuk secara bersama-sama memanfaatkan barang-barang yang dalam katagori untuk hajat hidup orang banyak, dan Allah melarang benda tersebut dikuasai oleh perorangan. Benda-banda tersebut terdiri dari: (a) fasilitas umum seperti sungai, laut, jalan dan lain-lain; (b) barang tambang yang tidak terbatas; (c) sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh perorangan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “Kaum muslim bersekutu (memiliki hak bersama) dalam tiga hal, yaitu air, padang, dan api”. Dalil tersebut diperkuat dengan hadits riwayat Tirmidzi, yang mengatakan: “Sesungguhnya ia meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garam. Lalu, Beliau memberikannya. Setelah is pergi, ada seseorang dari majelis tersebut bertanya wahai Rasulullah tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air mengalir. Rasulullh SAW kemudian bersabda: kalau begitu cabut kembali tambang tersebut darinya”. (3) Kepemilikan negara (state property), yakni hak seluruh umat (Islam) yang sepenuhnya menjadi milik (domain) atau kekuasaan negara, seperti harta fai, kharaj, jizyah, dan lain-lain. Penetapan aturan kepemilikan bersama, menurut Al Qardawi, terkait benda-benda yang bersifat dharuri (sangat dibutuhkan) bagi semua orang itu, dapatlah di-qiyaskan bahwa barang-barang tambang yang sangat vital bagi kepentingan masyarakat merupakan milik bersama dan barang tersebut harus dikuasai negara untuk kemakmuran masyarakat.26 Pendapat Qardhawi mengambil mazhab Imam Malik, yang mengatakan bahwa segala yang 25 Istiyanti dan Nurul Huda, Solusi Model Perikatan Pengelolaan SDA Pertambangan Mineral dan Batubara Sesuai Syariah, Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 19 No. 3, September 2015, hlm. 323324 26 Yusuf Al Qardhawi, Loc. Cit. 9 keluar dari perut bumi seperti emas, tembaga, minyak dan gas bumi, dan lain-lain, yang jumlahnya banyak adalah “milik” negara (Baitul Mal), yang harus dikelola pemerintah untuk kemaslahatan ummat (dalam hal ini suatu bangsa), sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas dapat dimiliki oleh perorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW yang mengizinkan kepada Bilal bin Harith al Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada di bagian Najd dan Tihamah, hanya saja mereka wajib membayar khumus (semacam pajak atau royalty) seperlima dari yang diproduksinya kepada Baitul Mal (kas negara).27 Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, negara atau pemerintah dalam konsep Islam merupakan khalifah (wakil Allah SWT) yang diberikan amanat sebagai pengelola barang tambang yang merupakan milik umum (collective property), sehingga negara atau pemerintah idealnya harus menguasai sepenuhnya barang tambang dan mengusahakannya untuk kemaslahatan umat (kemakmuran rakyat). Namun, apabila pemerintah tidak mampu mengelola atau mengusahakan sendiri (melalui perusahaan negara), maka pemerintah dapat memberikan izin kepada orang atau perusahaan swasta untuk mengusahakannya dengan kewajiban membayar khumus, semacam royalty, yang besarnya seperlima atau 20% dari nilai barang tambang yang dihasilkannya. E. Simpulan Dalam hukum positif kita, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dilakukan berdasarkan konsep Hak Penguasaan Negara (HPN) sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945. HPN atas SDA mengandung makna bahwa negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam berupa barang tambang yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. HPN atas barang tambang tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada badan swasta, meskipun negara tidak atau belum mempunyai kemampuan sepenuhnya untuk mengusahakan sendiri untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. Dalam hukum positif, HPN atas barang tambang memberikan kewenangan kepada pemerintah memberikan kewenangan untuk mengusahakan sendiri atau memberikan izin atau bahkan bekerjasama dengan sektor swasta melalui kontrak pertambangan untuk melakukan eksploitasi barang tambang milik bangsa Indonesia. Muncul dilema, di satu sisi pemerintah belum mampu mengusahakan sendiri dan karena itu itu perlu bekerja sama dengan sektor swasta, namun di sisi lain HPN atas barang tambang secara hukum tidak dapat dialihkan kepada sektor swasta. Relasi antara pemerintah dengan badan swasta dalam pengusahaan pertambangan idealnya melalui izin pertambangan, bukan dalam bentuk kontrak pertambangan yang menempatkan pemerintah sebagai salah satu pihak, agar posisi pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara memiliki kedudukan lebih tinggi dan dapat mengontrol sektor yang mendapatkan izin dari pemerintah. Dalam perspektif hukum Islam, menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam pengusahaan barang tambang merupakan hak milik bersama (collective property) yang harus dikelola atau diusahakan oleh pemerintah untuk kemaslahatan ummat (kemakmuran rakyat) agar barang tambang yang vital dan jumlahnya banyak tidak jatuh dalam penguasaan perorangan atau swasta yang dapat merugikan rakyat banyak, sesuai dengan prinsip maslahah ummat, yakni menarik kemanfaatan dan mencegah bahaya untuk umum. 27 Sanrego, Y. D. dan Rusdi Batun, “Pandangan Islam Terhadap Privatisasi BUMN”, dalam Jurnal Ekonomi Islam La Riba III (2), 2009, hlm. 131-149 10 Daftar Rujukan Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004) Achmad Sodiki, “40 Tahun Masalah-masalah Dasar Hukum Agraria”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Unibraw, dalam Buku: 70 Tahun Prof. Abdul Gani, Malang, 2000. Agussalam Nasution, Kepemilikan Bahan Galian Pertambangan (BGP) dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia (Suatu Tinjauan Terhadap Status Tambang Rakyat Ilegal di Mandailing Natal), dalam http://agussalamn. blogspot.co.id/2012/04/artikel-hukum-kepemilikan-bahan-galian.html Al Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. (Jakarta: Robbani Press, 2004). Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, (Malang: Penerbit In-TRANS, 2007) Apeldoorn, L.J. van, Inleiding tot de Studie van het Nederlansche Recht. Terjemahan Oetarid Sadino: “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001) Bagir Manan, “Bentuk-bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah”, dalam Journal of Padjadjaran University, No. 3 Vol. 14, Bandung, 1996 Brietzke, Paul H., “The Formation of Contracts According to American Law”, dalam Buku Seri Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek Elips, 1998)Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995) Deno Kamelus, Fungsi Hukum terhadap Ekonomi Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1998 Istiyanti dan Nurul Huda, “Solusi Model Perikatan Pengelolaan SDA Pertambangan Mineral dan Batubara Sesuai Syariah”, dalam Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 19 No. 3, September 2015 Kompas, 23 Desember 2004 Mariam Darus Badrulzaman, “Perjanjian dengan Pemerintah (Government Contract)”, dalam Seri Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek Elips, 1998) Sanrego, Y. D. dan Rusdi Batun, “Pandangan Islam Terhadap Privatisasi BUMN”. Dalam Jurnal Ekonomi Islam La Riba III (2), 2009 Sunaryati Hartono, Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974) 11 12 13 14 15 16