Myasthenia gravis pada Pasien Laki

advertisement
Nurul, Zam, Oktadoni dan Karyanto | Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas
Myasthenia gravis pada Pasien Laki-laki 39 Tahun dengan Sesak Napas
1
Nurul Hidayah Chairunnisa, 2Zam Zanariah, 1Oktadoni Saputra, 2Karyanto
1
2
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Bagian Syaraf, Rumah Sakit Abdoel Moeloek Lampung
Abstrak
Myasthenia gravis (MG) merupakan suatu penyakit autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh
antibodi yang menyerang komponen dari membran postsinaptik, mengganggu transmisi neuromuskular, dan menyebabkan
kelemahan dan kelelahan otot rangka. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan otot secara umum maupun dapat
terlokalisasi pada suatu otot tertentu. Pasien laki-laki berusia 39 tahun datang dengan keluhan sesak napas (dyspneu) sejak
tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan kelopak mata kanan yang turun mendadak, keluhan sudah
sering dirasakan namun membaik setelah beristirahat. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak napas
yang semakin memberat disertai sulit menelan dan sulit bicara sehingga pasien dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit
keluhan sesak semakin berat hingga pasien dirawat di ruang ICU selama enam hari, setelah itu keluhan pasien berkurang
sehingga pasien dipindahkan ke ruang rawat inap dengan keluhan masih sulit menelan dan batuk. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal, laju respirasi meningkat yaitu 32 x/menit, ptosis palpebra
kanan, disartria dan disfagia yang dapat menunjukkan adanya gambaran kecurigaan parese nervus okulomotorius (III),
nervus glosofaringeus (IX), dan nervus vagus (X), sehingga pasien didiagnosis secara klinis sebagai MG dan diberikan
penatalaksanaan umum tirah baring dan pemantauan tanda vital, serta diberikan asetilkolinesterase inhibitor yaitu
piridostigmin 3x60 mg dan kortikosteroid yaitu metilprednisolon injeksi 125 mg/8 jam. Pasien pulang dengan perbaikan
pada keadaan umum dan diedukasi untuk segera mencari pertolongan medis apabila keluhan muncul kembali. Myasthenia
gravis merupakan kasus yang jarang terjadi namun bila mengenai otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gejala sesak
napas dan mengancam jiwa.
Kata kunci: autoimun, dyspneu, myasthenia gravis, ptosis
Myasthenia gravis in 39-Years Old Male Patient with Breathing Difficulty
Abstract
Myasthenia gravis is an autoimmune disease of the neuromuscular junction (NMJ) caused by antibodies that attack
components of the postsynaptic membrane, impair neuromuscular transmission, and lead to weakness and fatigue of
skeletal muscle. This can be generalised or localised to certain muscle groups. A 39-years old patient came to the hospital
with shortened of breath since three days before admission. Patient also suffered from a sudden paralyzed of the right
eyelid that happened many time before but it get better when the patient take rest. Three days before admission the
patient suffered from breathing difficulty that’s getting worse along with hard to swallow and hard to speak, so the patient
being taken to the hospital. In the hospital the patient being treated in the Intesive Care Unit (ICU) for six days and then
back to the ward after he get better but still experiencing a little bit hard to swallow and cough. In physical examination we
found that the heart and lungs are normal, the respiration rate increased which is 32x/mins, ptosis of the right palpebra,
dysarthria and dysphagia which suspected indicate a paresthesia of oculomotor nerve (III), glossophryngeal nerve (IX), and
vagus nerve (X), so the patient was clinically diagnosed as MG and being treated by a general care which are bed rest and
vital sign monitoring, also the patien given an asetylcholinesterase inhibitor which is pyridostigmine 3 x 60 mg and
corticosteroid which is metylprednisolone injection 125mg/8hr. the patient being discharged with good improvement of
the condition and was told to seek for medical help if the complaint reappear. Myasthenia gravis is a rare case but when it
attack the respiratory muscles it can lead to breathlessness and can be life-threatening.
Keywords: autoimmune, dyspneu, myasthenia gravis, ptosis
Korespondensi: Nurul Hidayah Chairunnisa, S. Ked., alamat Jl. Samratulangi Bandar Lampung, HP 081278695243, email:
[email protected]
Pendahuluan
Myasthenia gravis atau selanjutnya
disingkat MG merupakan suatu penyakit
autoimun dari neuromuscular junction (NMJ)
yang disebabkan oleh antibodi yang
menyerang
komponen
dari
membran
postsinaptik,
mengganggu
transmisi
neuromuskular, dan menyebabkan kelemahan
dan kelelahan otot rangka. Gangguan yang
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|108
terjadi dapat berupa gangguan otot secara
umum maupun dapat terlokalisasi pada suatu
otot tertentu. Keterlibatan dari otot bulbar dan
otot
pernapasan
dapat
menyebabkan
kematian. Patogenesis MG tergantung pada
target dan isotipe dari antibodi tersebut.1
Myashenia gravis merupakan suatu
kelainan pada neuromuscular junction yang
paling sering ditemukan, dengan prevalensi
Nurul dan Oktadoni | Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas
20/100.000 pada populasi yang bervariasi.
Patogenesisnya
melibatkan
antibodi
komplemen yang bertindak melawan reseptor
asetilkolin, tirosin-kinase spesifik otot, atau
protein 4 yang berhubungan dengan reseptor
Low Density Lipoprotein (LDL).2 Myasthenia
gravis dapat menyebabkan kelemahan pada
kelopak mata dan otot-otot mata pada hingga
90% kasus; setengah dari pasien tersebut
menunjukkan gejala okular yang terisolasi
seperti ptosis dan/atau hanya diplopia.3
Jarangnya kasus MG yang ditemukan
menyebabkan penulis melaporkan kasus yang
terjadi di Rumah Sakit Abdul Moeloek (RSAM).
Kasus
Pasien laki-laki usia 39 tahun datang
dengan keluhan sesak napas sejak tiga hari
sebelum masuk rumah sakit. Empat bulan
sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan
keluhan kelopak mata sebelah kanan turun
secara tiba-tiba namun tidak dirawat dan
hanya istirahat di rumah kemudian keluhan
mereda. Keluhan kemudian sempat beberapa
kali kambuh namun keluhan menghilang
setelah pasien beristirahat dan tidur. Dua
minggu sebelum masuk rumah sakit, keluhan
kelopak mata turun kembali muncul dan
disertai dengan keluhan sulit menelan dan sulit
bicara namun pasien tetap memutuskan untuk
beristirahat di rumah namun keluhan tetap
dirasakan pasien.
Tiga hari sebelum masuk rumah sakit
keluhan semakin parah hingga pasien merasa
sesak napas dan tidak dapat menelan maupun
bicara, kemudian pasien langsung dibawa ke
rumah sakit dan didiagnosa Myasthenia Gravis
dan dirujuk ke RSAM. Sesampainya di RSAM
pasien kemudian dirawat selama tujuh hari di
ruang rawat inap namun pada hari ke delapan
pasien mengalami sesak napas yang sangat
berat sehingga pasien dipindahkan ke ruang
ICU. Pasien kemudian dilakukan pemasangan
alat bantu nafas agar pasien dapat bernapas
dengan baik. Pasien dirawat di ruang ICU
selama enam hari dan dipindahkan kembali ke
ruang rawat inap dengan keluhan batuk dan
masih sulit menelan namun sudah membaik
dibandingkan dengan saat pertama kali masuk.
Pasien mengatakan nafsu makannya menurun
namun masih dapat makan sedikit, BAB dan
BAK tak ada keluhan, riwayat hipertensi (-),
riwayat DM (-). Pasien mengatakan keluhan
belum pernah dirasakan sebelumnya. Tidak
ada keluarga dengan keluhan serupa.
Dari pemeriksaan fisik vital sign
didapatkan pasien tampak sakit sedang,
kesadaran komposmentis (E4M6V5), TD 110/70
mmHg, RR 32 x/mnt, T 36.5 oC, dan HR 92
x/mnt. Status generalis didapatkan kepala,
leher, thorax, dan abdomen dalam batas
normal. Status neurologis dari pemeriksaan
nervus kranialis didapatkan parese N. III yang
ditandai dengan adanya ptosis pada kelopak
mata kanan pasien, parese N. IX dan N. X yang
ditandai dengan adanya suara bindeng dan
sulit menelan. Pemeriksaan sensibilitas
didapatkan
hasil
normal,
sedangkan
pemeriksaan motorik didapatkan hasil N.
Ulnaris 5/5, N. Medianus 5/5, N. Radialis 5/5,
dan N. Tibialis Posterior 5/5.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
sebanyak tiga kali (awal masuk, hendak
dipindahkan ke ICU, dan setelah kembali dari
ICU), dari situ didapatkan hasil seperti pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah
Pemeriksaan 1 (awal masuk)
Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
Asam urat
15,3 mg/dL
3,5 - 7,2 mg/dL
Na
147 mmol/L
135 - 145 mmol/L
Ca
10,1 mg/dL
8,6 - 10,0 mg/dL
Cl
112 mmol/L
96 - 106 mmol/L
Pemeriksaan 2 (sebelum ke ICU)
Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
Leukosit
18.100/uL
4.800 - 10.800/uL
Ureum
48 mg/dL
13 - 43 mg/dL
Ca
8,5 mg/dL
8,6 - 10,0 mg/Dl
Pemeriksaan 3 (dipindahkan dari ICU)
Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
Leukosit
20.990/uL
4.800 - 10.800/uL
Na
132 mmol/L
135 - 145 mmol/L
Ca
8,3 mg/dL
8,6 - 10 mg/Dl
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat
adanya peningkatan asam urat, Na, Ca, dan Cl
pada pemeriksaan pertama. Pemeriksaan
kedua menunjukkan adanya peningkatan
leukosit dan ureum serta penurunan Ca.
Pemeriksaan terakhir didapatkan peningkatan
leukosit serta penurunan Na dan Ca.
Penatalaksanaan yang diberikan kepada
pasien adalah penatalaksanaan umum dan
khusus. Penatalaksanaan umum yang diberikan
adalah tirah baring/total bed rest dan
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|109
Nurul, Zam, Oktadoni dan Karyanto | Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas
pemantauan ketat tanda vital pasien terutama
antisipasi adanya sesak napas pada pasien yang
semakin memberat. Penatalaksanaan khusus
yang diberikan adalah cairan RL 15
tetes/menit, asetilkolinesterase inhobitor
(Mestinon
3x60
mg),
kortikosteroid
(metilprednisolon 125 mg/8jam), antagonis
reseptor histamin H2 (Ranitidin 50 mg/12jam),
dan vitamin B kompleks 2x1 tablet.
Pembahasan
Berdasarkan anamnesis dan juga
pemeriksaan fisik yang telah dilakukan maka
dapat didiagnosis secara klinis pasien
mengalami
MG.
Myasthenia
gravis
dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan
yang berfluktuasi pada otot rangka dan
kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas.4 Penderita akan merasa ototnya
sangat lemah pada siang hari dan kelemahan
ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat.5
Pada pasien ini dari hasil anamnesis
ditemukan bahwa pasien sudah pernah
merasakan keluhan kelopak mata sebelah
kanan yang turun tiba-tiba saat pasien sedang
beraktivitas. Akan tetapi keluhan tersebut
menghilang setelah pasien beristirahat dan
kelopak mata kembali normal. Hal ini sesuai
dengan teori MG dimana keluhan biasanya
terjadi pada siang atau sore hari pada saat
pasien sudah beraktivitas dan membaik setelah
pasien beristirahat.
Gejala klinis MG antara lain:4-7 (1)
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis.
Ptosis yang merupakan salah satu gejala
kelumpuhan nervus okulomotorius, seing
menjadi keluhan utama penderita miastenia
gravis. Walupun pada miastenia gravis otot
levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak
normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan
otot okular kedua belah sisi akan melengkapi
ptosis MG.7 Kelemahan otot bulbar juga sering
terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi
dan ekstensi kepala;4 (2) Kelemahan otot
penderita semakin lama akan semakin
memburuk.
Kelemahan
tersebut
akan
menyebar mulai dari otot okular, otot wajah,
otot leher, hingga ke otot ekstremitas.7
Sewaktu-waktu dapat pula timbul
kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat
pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah,
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|110
pallatum molle, dan laring sehingga timbullah
kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari
pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya5.
Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh
gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia.
Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG
mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin
ptosisunilateral atau bilateral, dan akan beralih
dari mata ke mata. Okular MG dikategorikan
sebagai kelemahan dan kelelahan yang
tersembunyi dan membahayakan yang dapat
terjadi pada satu atau kedua kelopak mata
atau otot bola mata. Jika meliputi kelopak
mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai
ptosis; yang mengenai otot extraokular maka
pasien akan melihat ganda pada arah otot yang
lemah.8
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada
pasien ini menunjukkan adanya ptosis pada
palpebra kanan pasien yang tidak menghilang
setelah pasien beristirahat. Hal ini sesuai
dengan teori dimana pada MG keluhan yang
paling sering terjadi adalah keluhan pada
wajah 95% dari pasien (Gambar 1). Keluhan
ptosis juga kadang disertai adanya gangguan
otot okular, namun pada pasien ini tidak
ditemukan adanya gangguan otot okular
dimana pada pemeriksaan tidak didapatkan
adanya strabismus maupun diplopia.
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG
tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya
kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi
wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi
saraf kranial seperti karsinoma nasofaring
harus dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah
normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan
otot mata dan wajah sangat memperlihatkan
gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk
dilihat.8 Pada pemeriksaan fisik pasien ini juga
ditemukan adanya kelemahan otot-otot wajah
termasuk otot untuk menelan dimana pasien
mengeluhkan sulit menelan makanan dan sulit
bicara. Berdasarkan teori, kelemahan otot
wajah dan menelan terjadi pada 60% kasus MG
(Gambar 1).
Gejala yang paling serius dari MG adalah
kesulitan bernafas. Pasien myasthenic dengan
insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan
untuk mempertahankan jalan napas paten
dikatakan krisis. Kelumpuhan vokal dapat
menghambat jalan napas, tetapi lebih umum
saluran udara terhambat oleh sekresi pasien
Nurul dan Oktadoni | Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas
yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk
terlalu lemah.
Gambar 1. Manifestasi Klinis Miastenia Gravis
7
Batuk membutuhkan penggunaan paksa
otot-otot ekspirasi dan batuk berulang
terutama dengan cepat dapat menjadi tidak
efektif pada MG. Bahkan jika jalan napas
paten, otot yang digunakan untuk inspirasi,
seperti interkostalis dan diafragma, mungkin
terlalu lemah untuk menciptakan sebuah
kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cmH20) atau
kapasitas vital (>20 ml/kg berat badan).
Pasien tersebut harus diintubasi dan
dibantu dengan respirasi mekanis. Karena
kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita
MG dalam masa krisis tidak mungkin terlihat
tertekan namun akan gelisah dengan nafas
dangkal dan cepat. Biasanya, pasien duduk
membungkuk ke depan untuk memaksimalkan
efek gravitasi pada diafragma. Bahkan pasien
yang tidak menyadari mempunyai masalah
pernapasan mungkin memiliki kelemahan otot
pernapasan yang mengganggu tidur mereka
dan dengan demikian menyebabkan mereka
menjadi lelah dan kurang perhatian pada siang
hari. Terkadang sebuah penelitian tidur
berguna dalam mengidentifikasi masalah
tersebut.8
Meskipun menurut teori kelemahan
pada otot-otot pernapasan hanya terjadi pada
10% kasus MG, namun keluhan tersebut
ditemukan pada pasien ini dan merupakan
suatu keluhan utama pasien datang untuk
berobat. Hal ini menunjukkan bahwa pasien ini
dapat digolongkan menjadi pasien MG krisis
dimana keluhan telah mencapai otot-otot
pernapasan sehingga menimbulkan sesak
napas yang dapat mengancam jiwa.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat
menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini
merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan
otot-otot
interkostal
serta
diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat
terjadinya hipoventilasi. 9
Biasanya
kelemahan
otot-otot
ekstraokular
terjadi
secara
asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih
dari satu otot ekstraokular dan tidak hanya
terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu
nervus kranialis. Hal ini merupakan tanda yang
sangat penting untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus
lateralis
dan
medialis
akan
menyebabkan
terjadinya
suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang
ditandai dengan terbatasnya kemampuan
adduksi salah satu mata yang disertai
nistagmus pada mata yang melakukan
abduksi.9
10
Tabel 2. Manifestasi Klinis pada Miastenia Gravis
Sering Otot-otot
Gejala
terjadi Okular
Ptosis dan penglihatan
ganda
Wajah
Kesulitan mengunyah,
menelan, dan berbicara
Leher
Kesulitan mengangkat
kepala
Ekstremitas Kesulitan mengangkat
proksimal
lengan setinggi bahu
dan kesulitan berdiri
dari
posisi
duduk
dengan bantuan tangan
Pernapasan Gangguan pernapasan
Ekstremitas Kelemahan
saat
distal
mengenggam
dan
kelemahan
pada
Jarang
pergelangan kaki dan
terjadi
kaki
Meskipun tidak ada penelitian tentang
obat yang telah dilaporkan dan tidak ada
konsensus
yang
jelas
pada
strategi
pengobatan, MG adalah salah satu gangguan
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|111
Nurul, Zam, Oktadoni dan Karyanto | Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas
neurologis yang paling dapat diobati. Beberapa
faktor (misalnya, tingkat keparahan, distribusi,
kecepatan perkembangan penyakit) harus
dipertimbangkan sebelum terapi dimulai atau
diubah. Terapi Farmakologis termasuk obat
antikolinesterase dan agen imunosupresif,
seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin,
plasmaferesis, dan immunoglobulin intravena
(IVIG).4
Pada pasien diberikan asetilkolinesterase
inhibitor sebagai tatalaksana medikamentosa
yaitu piridostigmin 3x60 mg di ruang rawat
inap hal ini sesuai dengan teori dimana
pemberian
antikolinesterase
yaitu
piridostigmin bekerja pada otot polos, sistem
saraf pusat (SSP), dan kelenjar sekretori,
dengan memblok AChE. Dapat diberikan
piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam
atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral
tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi
secara lambat. Terapi kombinasi tidak
menunjukkan hasil yang menyolok. Menurut
teori, pemberian antikolinesterase inhibitor
akan sangat bermanfaat pada MG golongan IIA
dan IIB sedangkan pada pasien MG krisis
tatalaksana diberikan secara IV di ICU. Pada
pasien ini telah diberikan asetilkolinesterase
inhibitor secara oral selama di ruang
perawatan karena adanya keterbatasan
sediaan
piridostigmin
injeksi
sebelum
dipindahkan ke ICU dan diberikan perawatan
yang lebih intensif.
Efek samping yang mungkin terjadi dari
pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi
pupil, kolik, diare, salivasi berlebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan. Hal tersebut terjadi pada pasien
dimana setelah pemberian asetilkolinesterase
inhibitor keluhan pasien berkurang dan pasien
membaik namun pasien masih mengeluhkan
adanya batuk berdahak. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) dapat
berupa kram atau diare.
Sedangkan cara kerja neostigmin adalah
menghambat penghancuran ACh oleh AChE,
sehingga memfasilitasi transmisi impuls di
NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting
yang tersedia dalam bentuk oral (15 mg tablet)
dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV,
intramuskular (IM), atau subkutan (SC). Waktu
paruhnya 45-60 menit. Obat ini sulit diserap
dalam saluran gastrointestinal (GI) dan harus
digunakan hanya jika piridostigmin tidak ada.4
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|112
Pada pasien ini juga selain diberikan
asetilkolinesterase inhibitor diberikan pula
kortikosteroid yaitu metilprednisolon IV 125
mg/8 jam. Hal ini sudah sesuai dengan teori
dimana kortikosteroid adalah agen antiinflamasi dan imunomodulasi digunakan untuk
mengobati penyakit idiopatik dan gangguan
autoimun. Obat ini termasuk di antara para
agen imunomodulasi yang pertama kali
digunakan untuk mengobati MG dan masih
sering digunakan dan efektif. Obat ini biasanya
digunakan dalam kasus sedang atau berat.
Pengobatan
jangka
panjang
dengan
kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan
remisi atau menyebabkan perbaikan pada
kebanyakan pasien. Perburukan mungkin
terjadi awalnya, perbaikan klinis ditunjukkan
setelah 2-4 minggu. Kortikosteroid bekerja di
kedua MG baik MG okular maupun MG
generalisata. Mereka dapat dikombinasikan
dengan obat imunosupresif lainnya untuk efek
yang lebih baik dengan dosis lebih rendah dan
durasi yang lebih singkat.4
Prednison adalah kortikosteroid yang
paling umum digunakan di Amerika Serikat.
Beberapa ahli percaya bahwa administrasi
jangka panjang dari prednison bermanfaat,
tetapi yang lain menggunakan obat hanya
selama eksaserbasi akut untuk membatasi efek
yang merugikan dari penggunaan steroid lama.
Prednison
efektif
dalam
mengurangi
eksaserbasi
MG
dengan
menekan
pembentukan autoantibodi. Namun, efek klinis
sering tidak terlihat selama beberapa minggu.
Peningkatan
signifikan,
yang
mungkin
berhubungan dengan titer antibodi menurun,
biasanya terjadi pada 1-4 bulan.4
Metilprednisolon biasanya digunakan
pada pasien yang diintubasi dan pada pasien
yang tidak dapat mentoleransi asupan oral.
Pada pasien ini terdapat sesak napas dan
kesulitan menelan sehingga pemberian
kortikosteroid pilihannya adalah injeksi.
Metiprednisolon mengurangi inflamasi dengan
menekan migrasi sel polimorfonuklear (PMN)
dan membalikkan peningkatan permeabilitas
kapiler.4
Di antara preparat steroid, prednisolon
paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling
(alternate days) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan
dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu)
untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana
Nurul dan Oktadoni | Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas
halnya apabila obat dimulai dengan dosis
tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala
terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara
selang-seling. Pada kasus yang berat,
prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal
yang
tinggi,
setiap
hari,
dengan
memperhatikan efek samping yang mungkin
ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh
perbaikan klinis. Disarankan agar diberi
tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara
perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif.
Perubahan pemberian prednisolon secara
mendadak harus dihindari.
Obat lain yang dapat diberikan adalah
azatioprin yang merupakan suatu obat
imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan
dengan steroid dan terutama berupa gangguan
saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan
leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5
mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap
minggu harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap
bulan sekali. Pemberian prednisolon bersamasama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
Karena efek samping kortikosteroid, klinisi dan
dokter seringkali menggunakan steroid-sparing
medications, misalnya: azatioprin, dengan
dosis yang ditingkatkan secara bertahap
sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO. Perbaikan
maksimal dicapai dalam waktu 1-2 tahun,
karena kerja azatioprin yang lebih lambat
daripada kortikosteroid. Azatioprin digunakan
bersama-sama dengan kortikosteroid, bukan
sebagai monoterapi.4 Sedangkan pada pasien
ini tidak diberikan azatriopin atau obat
imunosupresif pada saat perawatan di ruang
rawat inap dan hanya diberikan kortikosteroid
saja.
Simpulan
Myasthenia gravis merupakan suatu
penyakit autoimun dari neuromuscular junction
(NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang
menyerang
komponen
dari
membran
postsinaptik,
mengganggu
transmisi
neuromuskular, dan menyebabkan kelemahan
dan kelelahan otot rangka. Kebanyakan pasien
MG mempunyai keluhan diplopia pada saat
onset penyakit mereka. Pasien merasakan
penglihatan kabur yang berfluktuasi. Pasien
Myasthenia gravis yang sedang mengalami
kekambuhan apabila mengenai ke otot-otot
pernapasan maka dapat mengancam jiwa.
Daftar Pustaka
1. Phillips WD, Vincent A. Pathogenesis of
myasthenia gravis: update on disease
types,
models,
and
mechanisms.
F1000Research. 2016; 5(1):1513.
2. Bourque PR, Pringle E, Cameron W, Cowan
J,
Chardon
J.
Subcutaneous
immunoglobulin therapy in the chronic
management of myasthenia gravis: A
retrospective cohort study. PloS ONE.
2016; 11(8):e0159993.
3. Shah AK, Goldenberg WD. Myasthenia
gravis [internet]. New York: MedScape;
2016 [Diakses tanggal 8 Agustus 2016].
Tersedia
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1
171206-overview.
4. Peeler CE, De Lott LB, Nagia L, Lemos J,
Eggenberger ER, Cornblath WT. Clinical
utility of achetylcholine receptor antibody
testing in ocular myasthenia gravis. JAMA
Neurol. 2015. 72(10): 1170-4.
5. Romi, Gilhus, Aarli. Myasthenia gravis:
clinical, immunological, and therapeutic
advances. Acta Neurol Scand. 2005;
111(2):134-41.
6. Keesey JC. Clinical evaluation and
management of myasthenia gravis. Wiley.
2004; 29(4):484-505.
7. Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman
JR, Rienita Y. Kamus Saku Kedokteran
Dorland. Edisi ke-25. Jakarta: EGC; 1998.
8. Bershad EM, Feen ES, Suarez JI.
Myasthenia gravis crisis. South Med J.
2008; 101(1):63-9.
9. Drachmahn DB. Myasthenia Gravis and
Other Diseases of The Neuromuscular
Junction. Dalam: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson J, Loscalzo
J, editors. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw
Hill; 2012. hlm 2518-23.
10. Price SA. Wilson LM. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006.
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|113
Nurul, Zam, Oktadoni dan Karyanto | Myasthenia Gravis pada Laki-Laki 39 Tahun dengan Sesak Napas
J Medula Unila|Volume 6|Nomor 1|Desember 2016|114
Download