Mengenal Fikih

advertisement
REPUBLIKA
tuntunan
JUMAT, 11 MARET 2011
4
Sabar Saat Didera Sakit
REUTERS
Sakit menjadi
salah satu perantara terhapusnya
kesalahan
dan dosa.
Oleh Ferry Kisihandi
T
ak selamanya tubuh dalam
keadaan fit. Pada suatu masa, sakit datang menerjang
dan membuat tubuh lemah
terbaring. Sebagian orang
mengeluhkan rasa sakit
yang dideritanya. Sebagian lainnya memilih
bersabar atas rasa sakitnya itu. Ia berobat
dan berharap sakit itu menjadi perantara
tertebusnya dosa dan membuatnya menjadi
pribadi yang lebih baik.
Sayyid Sabiq melalui bukunya, Fiqih
Sunnah, menganjurkan agar orang yang
sakit itu tabah dan bersabar menghadapi
penyakit yang dideritanya. Sebab, ujar dia,
tak ada pemberian yang berharga dari Allah
SWT kepada seorang hamba, kecuali kesabaran dalam menghadapi segala sesuatu,
termasuk sakit.
Ia menyitir hadis yang diriwayatkan
Muslim dari Syua’ib bin Sanan. Melalui
hadis ini, Muhammad SAW menyatakan,
sungguh ajaib keadaan seorang mukmin
itu. Bagaimana pun keadaan yang dihadapinya, semuanya menjadi sebuah kebaikan. Jika si mukmin itu meraih kegembiraan, ia bersyukur dan itu adalah kebaikan.
Sebaliknya, saat mukmin didera kemalangan, ia bersabar. Dan sikap sabar itu juga
adalah kebaikan. Ada beberapa hadis
mengungkapkan, sakit menjadi penghapus
kesalahan dan melenyapkan dosa. Sakit
dikategorikan sebagai cobaan pada diri
seseorang, apakah ia akan bersabar atau
sebaliknya.
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari
dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah menerangkan
hal tersebut. Ibnu Mas’ud mengatakan kepada Rasulullah yang kala itu sedang de-
mam. “Ya Rasulullah, badanmu amat panas,” katanya. Rasul menjawab, “Memang,
suhuku naik sampai dua kali lipat suhu
kalian saat demam.”
Dia merespons, sebabnya mungkin karena diberi pahala dua kali lipat. “Benar
begitu. Dan juga tidak seorang Muslim pun
yang ditimpa kesakitan mulai dari tusukan
duri hingga lebih berat dari itu, kecuali
dengan itu dihapuskan oleh Allah kesalahan-kesalahannya seperti kayu yang menggugurkan daun-daunnya,” jelas Rasulullah.
Sayyid Sabiq menambahkan, orang yang
sakit boleh mengadukan sakit yang dideritanya kepada dokter atau temannya. “Selama hal itu bukan merupakan pelampiasan
amarah dan kekecewaan hati,” katanya.
Menurut dia, Aisyah pernah mengadu
kepada Nabi Muhammad SAW bahwa ia
sakit kepala. Demikian pula beliau.
Kesabaran saat sakit menimpa, bukan
berarti seseorang tak boleh berobat. Sayyid
Sabiq menjelaskan, berobat adalah perintah agama, bahkan Rasul menganjurkan
umatnya untuk berobat. Saat ditanya sahabatnya bolehkah mereka berobat,
Muhammad mengatakan berobatlah.
Sebab, Allah tidak menaruh sesuatu
penyakit melainkan menyediakan obatnya.
Kecuali satu penyakit, yaitu penyakit tua.
Setiap penyakit ada obatnya. “Jika sakit
telah diobati, penyakit itu akan sembuh
dengan izin Allah.” Demikian pernyataan
Rasul dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Jabir.
Bagi mereka yang sehat, ajaran Islam
juga memberikan tuntunannya. Dalam bukunya, Ensiklopedi Akhlak Muhammad
SAW, Mahmud al-Mishri mengatakan, turut
merasakan sakit orang yang sakit mendatangkan pahala yang besar. Adapun
membesuknya memiliki kadar sunah yang
begitu kuat dan berpengaruh baik bagi
kalbu orang tersebut.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim, Rasul menegaskan,
membesuk orang sakit merupakan kewajiban seorang Muslim terhadap sesama
Muslim. Dia selalu menengok sahabatnya
yang terbaring sakit. Tujuan membesuk
adalah menghibur keluarga orang yang
sedang sakit.
Islam juga menetapkan syariat bagi Muslim ketika menengok orang yang tak sadarkan diri meski diyakini orang yang tak sadarkan diri itu tak mengetahui siapa saja
yang datang menengoknya. Al-Mishri
mengungkapkan, dianjurkan seseorang
yang menjenguk itu mendoakan orang yang
dijenguk.
Selain itu, si penjenguk juga menyampaikan duka cita dan nasihat kepada keluarganya agar bersabar. Jabir bin Abdullah mengisahkan, saat ia sedang sakit, Rasul dan
Abu Bakar menjenguknya. Mereka berjalan
kaki dan menemukan dirinya dalam keadaan pingsan.
Dahulu, jelas Shaleh Ahmad asy-Syami,
Rasulullah selalu menjenguk para sahabatnya yang jatuh sakit. Ia tak segan pula
menjenguk anak kecil dari Ahli Kitab yang
sebelumnya berkhidmat kepadanya. Saat
pamannya Abu Thalib sakit, ia pun bertandang ke rumahnya dan menjenguknya.
Ketika menjenguk orang sakit, Nabi
Muhammad mendekat lalu duduk dekat
kepala si sakit dan menanyakan keadaannya. Juga menanyakan sesuatu yang disukai
oleh orang yang sedang sakit tersebut. Jika
orang itu menginginkan yang disenanginya,
beliau meminta bantuan sahabatnya untuk
memperolehnya.
Shaleh melalui bukunya Berakhlak dan
Beradab Mulia mengatakan, saat menjenguk, Rasul meletakkan tangan kanannya
di atas bagian tubuh orang yang sakit dan
mengucapkan doa, “Ya Allah Tuhan manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia
kesembuhan karena hanya Engkaulah yang
mampu menyembuhkan. Tak ada kesembuhan kecuali yang datang dari-Mu. Sembuhkanlah dengan bentuk kesembuhan
yang tidak meninggalkan sakit lagi.” n
FAITH IN ALLAH.ORG
ensiklopedi
Mengenal Fikih
eragam definisi muncul menjelaskan apa
yang dimaksud dengan fikih. Menurut
bahasa, fikih adalah paham. Maksudnya,
pengertian atau pemahaman mendalam
yang menghendaki pengerahan potensi akal, sedangkan para ulama usul fikih menyatakan, fikih
adalah mengetahui hukum Islam yang bersifat
amalan melalui dalil terperinci.
Di sisi lain, ulama fikih menguraikan bahwa fikih
merupakan sekumpulan hukum amaliah yang disyariatkan dalam Islam. Pembahasan fikih ini mencakup
perbuatan para mukalaf atau orang dewasa yang
wajib menjalankan hukum agama dan hukum seperti
apa yang harus dikenakan terhadap perbuatan itu.
Misalnya, jual beli yang dilakukan seorang
mukalaf atau salat dan puasa yang ia tunaikan. Jika
kegiatan-kegiatan itu sesuai dengan hukum Islam,
dinyatakan sah. Kalau suatu saat seorang mukalaf
mencuri, perbuatan itu bertentangan dengan hukum
dan dinyatakan haram serta wajib diberlakukan
hukuman pencurian.
Dengan demikian, setiap perbuatan mukalaf
mempunyai nilai hukumnya sendiri-sendiri, bisa
wajib, sunah, boleh atau mubah, makruh, dan
haram. Ensiklopedi Islam menguraikan, para ulama
membagi hukum fikih ke dalam beberapa hal, yaitu
hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah
SWT, seperti shalat, puasa, atau haji.
Lalu, ada pula hukum yang bersangkut-paut dengan permasalahan keluarga, seperti nikah dan
percerain, hukum mengenai hubungan antarsesama
manusia, hukum yang berisi tindak pidana, penyelesaian sengketa, hubungan antara penguasa dan
B
warganya, hubungan antarnegara dalam keadaan
perang dan damai serta akhlak.
Dalam penetapannya, ada sumber hukum fikih,
yaitu yang disepakati, yaitu Alquran dan hadis.
Sedangkan, sumber yang dibedakan di antaranya
ijmak dan kias yang biasa disebut sebagai sumber
sekunder. Sebab, dalam penetapan hukum ijmak
dan kias tak dapat berdiri sendiri, tetapi harus
disandarkan pada Alquran dan hadis.
Ahli fikih Mustafa Zarqa memaparkan, seiring laju
zaman, fikih mengalami proses perkembangan. Menurut dia, ada tujuh periode perkembangan. Pertama, periode risalah, yaitu selama masa kehidupan
Rasulullah. Pada periode ini, fikih masih dipahami
sebagai segala yang dikandung Alquran dan hadis.
Hal itu mencakup persoalan akidah, ibadah, muamalah, dan adab. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menerangkan, fikih pada masa Rasulullah
mengandung ilmu yang menuju jalan akhirat.
Kedua, periode empat khalifah utama sampai
pertengahan abad pertama Hijriah. Saat Rasul
masih hidup, para sahabat belum berpikir secara
serius mengenai permasalahan hukum karena
semua hal dirujuk pada diri Rasulullah. Setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW, baru para sahabat
berani berijtihad dalam memecahkan permasalahanpermasalahan baru yang muncul.
Setiap menghadapi masalah, yang pertama
dilakukan adalah mencari jawaban dari Alquran. Jika
mereka tak mendapati di Alquran, mereka meneliti
hadis-hadis Nabi Muhammad. Langkah selanjutnya,
mereka berijtihad dengan bersandar pada prinsipprinsip yang ditinggalkan Rasul.
Ketiga, dari pertengahan abad
pertama Hijriah sampai permulaan
abad kedua Hijriah. Sedangkan,
periode keempat dari awal abad
kedua hingga pertengahan abad
keempat Hijriah. Pada periode
ini fikih berkembang pesat yang
ditandai dengan munculnya
para imam mazhab, seperti
Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hanbali.
Kelima, periode pertengahan abad keempat sampai
pertengahan abad ketujuh
Hijriah. Pada periode ini,
gerakan ijtihad mulai
melemah. Para ahli fikih
lebih fokus terhadap pengkajian pada pendapat-pendapat yang ada di dalam
mazhab masing-masing. Kajian
itu berupa penjelasan, penerapan, dan penetapan
buku fikih mazhab mereka.
Sementara periode keenam, berlangsung dari
pertengahan abad ketujuh Hijriah hingga munculnya
kodifikasi hukum perdata Islam pada masa Turki
Utsmani, yang diundangkan pada 26 Sya’ban 1293.
Sejumlah hal penting muncul pada periode ini,
seperti berkembangnya pembukuan fatwa hukum
resmi dengan menyusunnya pada bab tertentu.
Perode ketujuh, bermula setelah munculnya kodifikasi hukum perdata Islam hingga masa modern.
Mustafa Zarqa mengatakan, ada tiga ciri pada pe-
riode ini, yaitu lahirnya kodifikasi
fikih seusai tuntunan zaman, meluasnya usaha kodifikasi hukum yang tak hanya pada hukum perdata,
tetapi juga pidana, acara, dan hukum administrasi
negara.
Dan, terakhir adalah maraknya langkah untuk
menerapkan materi hukum tanpa terikat pada salah
satu mazhab dari empat mazhab. Mulai ada pertimbangan mazhab yang sebelumnya tak banyak
diungkap, seperti Mazhab Makhul, Hasan Basri, AnNakhai, Auza, dan Abu Laila. n ferry kisihandi
Download