BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan dan khasiat tumbuhan. 2.1.1 Sistematika tumbuhan Sistematika tumbuhan poguntano adalah sebagai berikut (LIPI, 2011): Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Subkelas : Asteridae Ordo : Scrophulariales Famili : Scrophulariaceae Genus : Picria Spesies : Picria fel-terrae Lour. Sinonim : Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss., Curania amara R&S., Gratiola amara Roxb., Curanga fel-terrae Lour. dan Torenia cardiosepala Benth (Anonim, 2009). 2.1.2 Nama daerah Nama daerah dari tumbuhan ini adalah poguntano, pugun tana, pogon tanoh (Dairi), tamah raheut (Sunda), daun kukurang (Maluku) dan papaita (Ternate) (Anonim, 2009). Universitas Sumatera Utara 2.1.3 Nama asing Beberapa negara lain mengenal tumbuhan ini dengan nama hempedu tanah, gelumak susu, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), kong sadden (Laos), thanh dan mau gau (Vietnam) (Anonim, 2007a). 2.1.4 Morfologi tumbuhan Herba tahunan, tinggi lebih dari 40 cm, batang dengan cabang yang jarang, tegak atau melata, segiempat, berakar di buku-buku, berbulu halus yang padat. Daun tunggal berhadapan, bundar telur, pangkal daun membaji sampai membundar, ujung daun agak melancip, tepi daun beringgitan, berbulu halus. Pembungaan berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2 - 16, daun gagang kecil, melanset, mahkota bunga menabung, berbibir rangkap, gundul bagian luar, bagian dalam ada kelenjar bulu, bibir atas berwarna coklat kemerahmerahan, bibir bagian bawah berwarna putih. Buah kapsul lonjong, padat, berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji membulat, diameter sekitar 0,6 mm (Anonim, 2009). Gambar 2.1 Tumbuhan poguntano. Universitas Sumatera Utara 2.1.5 Khasiat tumbuhan Tumbuhan ini digunakan sebagai obat kolik (mulas mendadak dan hebat), malaria, diuretik, demam, amenorrhea dan gangguan pada kulit (Perry, 1980). Di Cina Selatan poguntano digunakan untuk pengobatan demam, infeksi herpes, kanker dan inflamasi (Zhong, et al., 1979). Daun Poguntano di Sumatera Utara umumnya digunakan sebagai obat untuk diabetes mellitus (Harfina, et al., 2012; Sitorus, et al., 2014). 2.2 Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes, 1986). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian xxxiv dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat. Sifat bahan mentah obat merupakan faktor utama yang dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi (Ansel, 1989). 2.2.1 Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel sehingga larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi secara Universitas Sumatera Utara berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes, 1986). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti daun dan bunga tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh. Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk menghomogenkan konsentrasi larutan di luar serbuk simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel (Depkes, 1986). Maserasi dilakukan menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979): Sebanyak 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan kedalam sebuah bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari. Dienaptuangkan dan disaring. 2.3 Kanker 2.3.1 Tinjauan umum kanker Kanker adalah pertumbuhan sel tidak beraturan yang muncul dari satu sel. Kanker merupakan pertumbuhan jaringan secara otonom dan tidak mengikuti aturan dan regulasi sel yang tumbuh normal. Tumor adalah istilah umum yang menunjukkan massa dari pertumbuhan jaringan abnormal. Pertumbuhan yang Universitas Sumatera Utara tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan agen kimia maupun fisik yang disebut karsinogen. Mutasi dapat terjadi secara spontan (diperoleh) ataupun diwariskan (mutasi germline) (Ruddon, 2007). Kanker merupakan suatu tumor atau neoplasma atau neoblastoma, yang terdiri dari tumor jinak (benign) dan tumor ganas (malignant). Perbedaan antara tumor ganas dan tumor jinak disamping faktor masa pertumbuhannya adalah tumor ganas bersifat infiltratif sedangkan tumor jinak bersifat ekspansi. Tumor ganas bersifat residif yang berarti dapat kambuh sedangkan tumor jinak tidak residif. Tumor ganas metastasis dan tumor jinak tidak dapat melakukan metastasis (Mulyadi, 1997). 2.3.2 Sifat kanker Kanker mempunyai berbagai sifat umum, diantaranya adalah: a. Heterogenitas Populasi sel dalam suatu tumor tidak homogen tetapi heterogen, walaupun semua berasal dari satu sel yang sama. Heterogenitas ini terjadi karena sel-sel kanker tumbuh dengan cepat, sehingga belum dewasa, belum matang telah mengalami mitosis terus membiak sehingga semakin lama semakin banyak keturunan sel yang makin jauh menyimpang dari sel asalnya yang menimbulkan bentuk yang bervariasi (Sukardja, 2000). b. Tumbuh autonom Sel kanker tumbuh terus tanpa batas, liar, terlepas dari kendali Universitas Sumatera Utara pertumbuhan normal sehingga terbentuk suatu tumor yang terpisah dari bagian tubuh yang normal. Tumor dapat menimbulkan kelainan bentuk dan gangguan fungsi organ yang ditumbuhinya. Sel-sel normal setelah beberapa generasi akan berhenti tumbuh. Hanya sel yang disebut stem cells masih mempunyai kemampuan tumbuh bila ada rangsangan untuk tumbuh (Sukardja, 2000). c. Mendesak dan merusak sel-sel normal disekitarnya Sel-sel tumor mendesak sel-sel normal di sekitarnya yang membatasi pertumbuhan tumor. Pada tumor jinak terjadi pemisahan gerombolan sel tumor dengan sel- sel normal sedangkan pada tumor ganas sel normal dapat diinfiltrasi oleh sel-sel kanker (Sukardja, 2000). d. Dapat bergerak sendiri (amoeboid) Sel–sel kanker itu dapat bergerak sendiri seperti amoeba dan lepas dari gerombolan sel-sel tumor induknya, masuk diantara sel-sel normal di sekitarnya. Hal ini menimbulkan infiltrasi ke jaringan sekitarnya dan bermetastase di kelenjar limfe atau di organ lainnya (Sukardja, 2000). e. Tidak mengenal koordinasi dan batas-batas kewajaran Ketidakwajaran itu antara lain disebabkan oleh kurangnya daya adhesi dan kohesi sel kanker, tidak mengenal kontak inhibisi dan tanda posisi serta batas kepadatan (Sukardja, 2000). f. Tidak menjalankan fungsinya yang normal Sel-sel kanker merusak fungsi organ yang ditumbuhinya. Hal ini antara lain karena membran sel kanker tidak mengandung fibronektin yaitu suatu glukoprotein yang dapat kalsium kurang, muatan menghambat pertumbuhan sel, kadar listrik kurang dan sel kanker dapat membentuk Universitas Sumatera Utara hormon, enzim dan protein yang pada pertumbuhan sel normal hanya diproduksi oleh sel-sel tertentu saja (Sukardja, 2000). 2.3.3 Siklus sel Siklus sel merupakan proses perkembangbiakan sel yang memperantarai pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Setiap sel baik normal maupun kanker mengalami siklus sel. Siklus sel memiliki dua fase utama, yakni fase S (sintesis) dan fase M (mitosis). Fase S merupakan fase terjadinya replikasi DNA kromosom dalam sel sedangkan pada fase M terjadi pemisahan 2 set DNA kromosom tersebut menjadi 2 sel (Nurse, 2000). Selain itu, terdapat fase yang membatasi kedua fase utama tersebut yang dinamakan Gap. G 1 (Gap-1) terdapat sebelum fase S dan setelah fase S dinamakan G 2 (Gap-2). Pada fase G 1 , sel melakukan persiapan untuk sintesis DNA. Fase ini merupakan fase awal cell cycle progression yang diatur oleh faktor ekstraselular seperti mitogen dan molekul adhesi. Penanda fase ini adalah adanya ekspresi dan sintesis protein sebagai persiapan memasuki fase S. Pada fase G 2 , sel melakukan sintesis lebih lanjut yang memadai untuk proses pembelahan sehingga sel siap melakukan pembelahan pada fase M (Ruddon, 2007). Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator positif dan negatif. Kelompok siklin khususnya siklin D, E, A dan B merupakan protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. Siklin bersama dengan kelompok cyclin dependent kinase (CDK) khususnya CDK 4, 6 dan 2, bertindak sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia ekspresi kinase (CDK4, CDK2 dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan ekspresi siklin (D, E, A dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus Universitas Sumatera Utara sel (G 1 -S-G 2 -M) (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif siklus sel, yakni CDK inhibitor (CKI), yang terdiri dari Cip/Kip protein (meliputi p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi p16, p18, p19). Selain itu, tumor suppressor protein yaitu p53 dan pRb juga bertindak sebagai protein regulator negatif (Foster, et al., 2001). Aktivasi CDK memerlukan ekspresi siklin (Cyc). Kompleks Siklin-CDK dengan protein CKI dan adanya fosforilasi oleh Wee1 (tyrosin15)/ Myt1 (threonin14) dapat menyebabkan inaktivasi CDK. Aktivasi kompleks Cyc-CDK diawali dengan proteolisis CKI oleh ubiquitin, kemudian fosforilasi CDK oleh CDK-activating kinase (CAK) pada threonin161 dan penghilangan fosfat (defosforilasi) oleh Cdc25 fosfatase pada target fosforilasi Wee1 (tyrosin15)/Myt1 (threonin14). CDK bekerja pada awal G 1 untuk mengaktifkan E2F-dependent transcription gen yang diperlukan untuk fase S (di akhir G 1 untuk menginisiasi fase S) dan juga di akhir G 2 untuk menginisiasi mitosis (M) (Nurse, 2000). Checkpoint pada G 2 terjadi ketika ada kerusakan DNA yang akan mengaktivasi beberapa kinase termasuk ataxia telangiectasia mutated (ATM) kinase. Hal tersebut menginisiasi dua kaskade untuk menginaktivasi Cdc25-CycB baik dengan jalan memutuskan kompleks Cdc25-CycB maupun mengeluarkan kompleks Cdc25-CycB dari nukleus atau aktivasi p21. Checkpoint pada fase G 1 akan dapat dilalui jika (1) ukuran sel memadai; (2) ketersediaan nutrien mencukupi; dan (3) adanya faktor pertumbuhan (sinyal dari sel yang lain). Checkpoint pada fase G 2 dapat dilewati jika ukuran sel memadai dan replikasi kromosom terselesaikan dengan sempurna sedangkan checkpoint pada mitosis Universitas Sumatera Utara (M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel pada gelendong (spindle) mitotik (Ruddon, 2007). Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitotik sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang spindle tidak terbentuk atau jika semua kromosom tidak dalam posisi yang benar dan tidak menempel dengan sempurna pada spindle. Checkpoint tersebut bekerja dengan memonitor apakah kinetokor dan mikrotubul terhubung secara benar. Jika tidak, kohesi kromatid akan tetap berlangsung dan mikrotubul gagal untuk memendek sehingga kromatid tidak bergerak menjauh ke kutub yang berlawanan (Ruddon, 2007). Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik. Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan genetik. Oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007). 2.3.4 Mekanisme apoptosis Apoptosis adalah kematian sel melalui mekanisme genetik (kerusakan/fragmentasi kromosom atau DNA). 1. Apoptosis fisiologis Apoptosis fisiologis merupakan kematian sel yang diprogram. Kematian sel ini erat kaitannya dengan suatu enzim yang dikenal dengan nama telomerase. Telomer terletak pada ujung kromosom merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam melindungi kromosom. Pada sel Universitas Sumatera Utara normal, telomer ini akan mengalami pemendekan pada waktu sel melakukan pembelahan diri. Bila ukuran telomer mencapai ukuran tertentu (ukuran kritis) sebagai akibat dari pembelahan berulang, maka sel tersebut tidak dapat melakukan pembelahan diri lagi. Selanjutnya akan terjadi fragmentasi dan sel akan mengalami apoptosis. Namun, pada sel ganas pemendekan telomer sampai level kritis tidak akan terjadi karena adanya aktivitas dari enzim ribonukleoprotein (telomerase) secara terus-menerus. Oleh karena itu, maka sel ganas dapat bersifat immortal (Sudiana, 2008). 2. Apoptosis Patologis Apoptosis patologis yaitu kematian sel karena adanya rangsangan. Rangsangan ini dapat terjadi karena adanya aktifitas dari p53. Hal ini disebabkan karena adanya gen yang cacat. Gen yang cacat dapat memicu aktifitas beberapa enzim seperti PKC (Protein Kinase C) dan CPK-K2, di mana kedua enzim ini dapat memicu aktifitas p53 yang merupakan faktor transkripsi terhadap pembentukan p21. Peningkatan p21 akan menekan semua CDK. Sebelumya telah diketahui bahwa terjadinya siklus pembelahan sel sangat tergantung pada ikatan komplek antara CDK dengan siklin. Dengan terjadinya penekanan semua CDK, maka siklus sel akan berhenti. Pada saat siklus terhenti, maka p53 akan memicu aktifitas BAX (Bcl2associated X protein) di mana protein BAX ini akan menekan aktifitas Bcl-2 (B-Cell Lymphoma-2) pada membran mitokondria sehingga terjadi perubahan permeabilitas membran. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pelepasan cytochrome-C ke sitosol. Di sitosol, cytochrome-C akan mengaktivasi Apaf-1 (Apoptotic protease activating factor 1) yang selanjutnya Universitas Sumatera Utara mengaktivasi cascade caspase. Caspase inilah yang mengaktifkan DNA-se, kemudian DNA-se yang aktif akan menembus inti dan merusak DNA sehingga DNA sel yang bersangkutan rusak dan akhirnya mengalami apoptosis (Sudiana, 2008). 2.3.5 Karsinogenesis Karsinogenesis adalah suatu proses perubahan struktur DNA yang bersifat irreversible sehingga terjadi kanker (Mulyadi, 1997). Salah satu faktor terbentuknya kanker karena adanya sel epitel yang terus berkembang (berproliferasi). Saat berproliferasi, genetik sel bisa berubah akibat adanya pengaruh agen karsinogen yang menyebabkan hilangnya penekanan terhadap proses proliferasi sel. Perubahan sel menjadi ganas juga melibatkan gen-gen yang mengatur pertumbuhan sel akibatnya sel berkembang tidak terkendali. Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu (Diandana, 2009): a. Fase inisiasi: DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen (radikal bebas). b. Fase promosi: zat karsinogen tambahan (co-carcinogens) diperlukan sebagai promotor untuk mencetuskan proliferasi sel. c. Fase progresi: gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas. Tahap inisiasi adalah tahap pertama pada karsinogenesis ketika sel normal mulai mengalami mutasi oleh karsinogen (Diandana, 2009). Tahap karsinogenesis selanjutnya adalah promosi merupakan tingkat lanjutan dari tahap inisiasi. Pada tahap ini, sel mulai mengalami hiperplastik pada inti sel (Tsao, et al., 2004). Selsel akan memperoleh beberapa keuntungan selektif untuk tumbuh sehingga Universitas Sumatera Utara pertumbuhannya menjadi cepat dan berubah menjadi tumor jinak. Tahap promosi tidak melibatkan perubahan struktural dari genom secara langsung, tetapi biasanya terjadi perubahan ekspresi gen yang terinisiasi (Tsao, et al., 2004). Pada tahap progresi, kemampuan pembelahan yang tinggi menuntun terbentuknya koloni sel yang lebih besar melalui perubahan genetik lebih lanjut dan peningkatan mobilitas dan angiogenesis (Kumar, et al, 2005). Pada tahap ini, sel-sel tumor dikatakan sebagai sel malignan. Pada fase ini juga akan terjadi karsinoma dan metastasis melalui aktivasi onkogen dan malfungsi dari enzim topoisomerase. Tahap metastasis merupakan tahap akhir dalam karsinogenesis. Pada tahap ini, sel kanker melakukan invasi ke jaringan-jaringan lain di dalam tubuh melalui pembuluh darah, pembuluh limpa atau rongga tubuh (Kumar, et al., 2005). Sel malignan yang bermetastasis ini masuk melalui membran menuju saluran limfoid. Sel tersebut akan berinteraksi dengan sel limfoid yang digunakan sebagai inangnya. Selanjutnya, sel kanker akan masuk ke jaringan lainnya membentuk tumor sekunder dengan didukung kemampuan neoangiogenesis yang dimilikinya (Kumar, et al., 2005). Tahap metastasis dapat berlangsung karena melemahnya ikatan antarsel yang disebabkan oleh terdegradasinya CAMs (Cell-cell Adhesion Molecules) dan E-cadherin sebagai molekul yang menjaga pertautan antarsel. Molekul-molekul tersebut diketahui sudah sangat sedikit bahkan tidak ditemukan lagi pada sel kanker sehingga proses metastasis dapat terus terjadi (Kumar, et al., 2005). Adanya mutasi pada satu sel tunggal normal sebagai akibat terpapar oleh karsinogen (inisiasi) akan menyebabkan progresi sel menjadi hiperplasia Universitas Sumatera Utara (promosi), diplasi (progresi) dan pada akhirnya memiliki kemampuan invasi ke jaringan sekitarnya (metastasis) (Tsao, et al., 2004). 2.3.6 P-glikoprotein P-glikoprotein (Pgp) merupakan protein ABC-transporter pada manusia yang termasuk dalam sub famili MDR/TAP (Allen, et al., 2002). Pgp dikenal dalam beberapa sebutan yakni ABCB1, ATP binding cassette sub-famili B member 1, MDR1 dan PGY1 (Chen, et al., 2006). ABCB1 atau Pgp termasuk dalam ATP-dependent efflux pump yang memiliki substrat spesifik antara lain: obat (colchicine dan tacrolimus), agen kemoterapi (etoposide, adriamycin dan vinblastine), lipid, steroid, xenobiotik, peptida, bilirubin, cardiac glycoside (digoxin), glukokortikoid (deksamethason) dan agen terapi HIV tipe 1 (inhibitor protease dan non nucleoside reverse transcriptase) (Kitagawa, 2006). P-glikoprotein adalah sebuah glikoprotein transmembran yang memiliki 10 15 kDa N-terminal glycosylation dengan bobot 170 kDa dikode oleh gen MDR1 (Kitagawa, 2006). Gen ini dicirikan dengan pompa efflux obat dan anggota dari keluarga ATP-binding transport (Chen, et al., 2006). Dalam sistem organ, Pgp berpengaruh terhadap absorbsi, distribusi dan eliminasi obat (Matheny, et al., 2001). Kemampuan Pgp sebagai pompa efflux berguna dalam detoksifikasi senyawa-senyawa yang masuk ke dalam sel. Senyawa yang termasuk substrat dari Pgp akan diikat dan dikeluarkan dari dalam sel. Aktivitas Pgp sangat bergantung pada aktivasi Pgp oleh ATP melalui pembentukkan kompleks Pgp-ATP (Conseil, et al., 1998). Hidrolisis ATP oleh ATPase memberikan energi aktivasi pada Pgp (Chen, et al., 2006). Aktivasi Pgp akan menurunkan intake agen kemoterapi sehingga menurunkan efikasi agen tersebut terhadap sel kanker. Pada kondisi Universitas Sumatera Utara ekspresi yang berlebihan, Pgp dapat menyebabkan resistensi obat terutama agen kemoterapi pada kanker payudara seperti doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Pgp akan mengikat doksorubisin sebagai salah satu substratnya untuk dikeluarkan dari dalam sel (Wong, et al., 2006). Pgp atau ABCB1 pertama kali diujikan sebagai multidrug resistance dan terbukti sebagai penyebab resistensi obat kemoterapi (Juliano dan Ling, 1976). Penghambatan aktivasi dan ekspresi Pgp memegang peranan penting dalam keberhasilan terapi kanker (Zhou, et al., 2006). Penghambatan aktivitas Pgp dapat melalui dua mekanisme yakni (1) penghambatan substrat Pgp secara langsung dengan berikatan pada Pgp-binding domain dan (2) penghambatan hidrolisis ATP oleh ATPase melalui ikatan substrat dengan ATP (Kitagawa, 2006). Penghambatan ini dapat dilakukan menggunakan senyawa flavonoid dan polifenol melalui dua sisi ikatan pada ATP-binding sites dan steroid interacting region dimana ATPase berikatan dengan Pgp cytosolic domain (Kitagawa, 2006). Gambar 2.2 Mekanisme pemompaan oleh Pgp (Matheny, et al., 2001). Universitas Sumatera Utara Pgp memompa senyawa-senyawa (2a, 2b, 2c) yang termasuk substratnya untuk dikeluarkan dari dalam sel. Ekspresi berlebih dari Pgp ini dapat menyebabkan resistensi obat pada terapi kanker payudara (Matheny, et al., 2001). Penekanan ekspresi Pgp dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme antara lain aktivasi jalur sinyal transduksi c-Jun NH2-terminal kinase (JNK) dan inaktivasi NF-κB transcriptional factor. JNK merupakan protein kinase yang berikatan dengan NH2-terminal yang merupakan sisi aktif pada c-Jun transcriptional factor dan protein ini mampu memfosforilasi c-Jun. Fosforilasi c-Jun akan menstimulasi pembentukan ikatan dengan AP-1, suatu elemen pada gen MDR1. Pembentukan ikatan ini akan mencegah ekspresi mRNA MDR1 dan pada akhirnya akan menghambat ekspresi Pgp (Zhou, et al., 2006). 2.4 Kanker Payudara Pada 90 % wanita, kanker payudara pada fase awal bersifat asimptomatik dan tidak menimbulkan nyeri. Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epitelial payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar sehingga kanker payudara tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh wanita, di samping kanker serviks. Kanker payudara biasanya di diagnosis dengan adanya benjolan kecil berukuran kurang dari 2 cm. Pada tumor yang ganas, benjolan ini bersifat padat, keras dan tidak beraturan. Tanda yang kurang umum adalah adanya abnormalitas pada puting dan retraksi. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan dan rasa panas pada jaringan payudara (Ruddon, 2007). Universitas Sumatera Utara Jaringan payudara merupakan jaringan yang sensitif terhadap tumbuhnya kanker. Kanker umumnya terjadi pada jaringan yang sel-selnya aktif membelah, salah satunya adalah payudara. Pembelahan sel payudara dipacu oleh adanya hormon estrogen. Pembelahan ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan permanen pada DNA. Gadis atau wanita muda yang belum pernah mengalami kehamilan, sel-sel payudaranya belum mengalami pematangan secara sempurna. Sel payudara yang belum mengalami pematangan secara sempurna lebih kuat mengikat karsinogen dan tidak dapat mengatasi kerusakan DNA secara efisien seperti pada sel yang telah matang sepenuhnya (Clark, 1975). Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal dari parenchyma. Penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui tetapi terdapat banyak faktor yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara diantaranya (Anonim, 2007b): a. Faktor reproduksi, karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya kanker payudara adalah menarche pada umur muda, menopause pada umur lebih tua dan kehamilan pertama pada umur tua. b. Penggunaan hormon, hormon estrogen berhubungan dengan terjadinya kanker payudara. c. Radiasi, dengan radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas meningkatkan terjadinya risiko kanker payudara. d. Riwayat keluarga dan faktor genetik, terdapat peningkatan risiko keganasan ini pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara. Universitas Sumatera Utara Peningkatan insidensi kanker payudara disebabkan oleh kegagalan terapi terhadap kanker itu sendiri. Kegagalan ini diakibatkan oleh adanya multidrug resistance (MDR) dan terjadi hingga 71% dibandingkan dengan faktor penyebab lainnya (Mechetner, et al., 1998). Multidrug resistance atau resistensi obat ini diakibatkan oleh adanya breast cancer resistance protein (BCRP) yang salah satunya adalah P-glikoprotein (Pgp). Aktivasi Pgp dan peningkatan ekspresinya dapat menurunkan efikasi dari beberapa agen kemoterapi seperti taxol dan doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Penekanan aktivitas Pgp dan ekspresinya mampu meningkatkan efektivitas agen kemoterapi (Zhou, et al., 2006). Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs, 2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalan metastasis, juga berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development). Proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi berlebih beberapa protein, misalnya Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER- 2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001). Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti siklin D1, CDK4 (cyclin dependent kinase 4), siklin E dan CDK2. Selain itu, aktivasi reseptor estrogen mampu mengaktivasi beberapa onkoprotein yang berperan utama dalam sinyal pertumbuhan, misalnya Ras, Myc dan cyc D1 (Foster, et al., 2001). Aktivasi Universitas Sumatera Utara protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan yang berlebihan melalui aktivasi onkoprotein yang lain seperti P13K, AKT, Raf, ERK dan MAP kinase (Foster, et al., 2001). 2.5 Sel MCF-7 Sel ini merupakan sel kanker payudara yang mengekspresikan reseptor estrogen (ER+) dan berasal dari pleural effusionbreast adenocarcinoma seorang pasien wanita Kaukasian berumur 69 tahun, golongan darah O. Sel ini termasuk sel adherent (melekat) yang dapat ditumbuhkan dalam media penumbuh DMEM. Biakan sel MCF-7 memiliki beberapa karakteristik pada epitel mamari yang berbeda termasuk dalam kemampuannya untuk memproduksi estradiol via reseptor sitoplasma. Sel ini mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α), memiliki sifat resisten terhadap doksorubisin (Zampieri, et al., 2002) dan tidak mengekspresikan caspase-3. Pada sel MCF-7, Pgp diekspresikan tinggi, sehingga sensitivitas terhadap agen kemoterapi seperti doksorubisin rendah (Wong, et al., 2006). Penurunan konsentrasi ini dapat mengurangi efektivitas senyawa kemoterapi pada sel MCF-7. Cara untuk meningkatkan sensitivitas MCF-7 adalah dengan menghambat ekspresi dan aktivasi Pgp (Zhou, et al., 2006). 2.6 Sel T47D Cell line adalah sel yang disubkultur dari primary cultures, yaitu sel yang langsung berasal dari organ atau jaringan yang diperoleh dengan metode enzimatik maupun secara mekanik dan dikultur dalam kondisi hormonal yang sesuai. Sel T47D merupakan continous cell lines yang dikultur dari jaringan epitel duktus payudara seorang wanita berusia 54 tahun. Universitas Sumatera Utara Sel ini dapat ditumbuhkan pada suhu 37ºC dan dapat tumbuh secara kontinu, menempel pada dasar flask (Anonim, 2012). Sel T47D merupakan sel kanker yang mengekspresikan reseptor estrogen atau yang biasa disebut ER positif serta mengekspresikan p53 yang telah termutasi. Pada sel ini p53 mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc-binding domain L2) sehingga p53 kehilangan fungsinya. Jika p53 tidak dapat mengikat response element pada DNA maka akan mengurangi atau menghilangkan kemampuannya dalam meregulasi siklus sel dan memacu apoptosis. Sel ini dapat kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan estrogen pada jangka waktu lama selama percobaan in vitro. Oleh karena itu sel ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan tumor payudara p53 mutan (Anonim, 2012). 2.7 Sel Vero Sel Vero ATCC CCL-81 merupakan sel epitel non kanker. Sel ini berasal dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel Vero merupakan sel monolayer berbentuk poligonal dan pipih, sel ini immortal, non tumorigenic fibroblastic cell. Sel ini melekat erat pada substrat yang berbahan polistirena dengan membentuk ikatan kovalen. Pengujian sel Vero dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan sel, diferensiasi sel, sitotoksisitas dan transformasi sel yang di induksi oleh berbagai senyawa kimia (Goncalves, et al., 2006). 2.8 Uji Sitotoksik Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat tambahan Universitas Sumatera Utara makanan, pestisida dan digunakan juga untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa. Senyawa sitotoksik adalah senyawa yang bersifat toksik pada sel tumor secara in vitro dan jika toksisitas ini ditransfer menembus sel tumor in vivo senyawa tersebut mempunyai aktivitas antitumor (Freshney, 2000). Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan dapat digunakan pada langkah awal pengembangan obat, hanya membutuhkan sejumlah kecil bahan yang digunakan untuk kultur sel primer manusia serta dapat memberikan informasi secara langsung efek potensial pada sel target manusia serta uji yang digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung. Akhir dari uji sitotoksisitas pada organ xxxii target memberikan informasi tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik (Doyle, et al., 2000). 2.8.1 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik, 2011). Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup (Kupcsik, 2011). Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10% SDS dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan Universitas Sumatera Utara spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut. % viabilitas = 2.9 absorbansi sampel x 100% absorbansi kontrol Antikanker Penanganan kanker ada dua macam, yaitu pencegahan kanker dan penghambatan kanker. Upaya pencegahan kanker disebut kemopreventif. Senyawa kemopreventif dibagi menjadi dua kategori yaitu blocking agent dan suppressing agent. Blocking agent adalah mencegah karsinogen mencapai target aksinya, baik melalui penghambatan aktivasi metabolisme atau menghambat interaksi dengan target makromolekul seperti DNA, RNA atau protein. Suppressing agent adalah menghambat pembentukan malignan dari sel yang telah terinisiasi pada tahap promosi atau progresi (Meiyanto, dkk., 2008). Menurut Sharma (2000), kemopreventif dibagi menjadi tiga golongan, yaitu primer, sekunder dan tersier. Kemopreventif primer adalah mencegah terjadinya sel kanker sejak tahap premalignan. Usaha pencegahan saat karsinogenesis pada tahap awal malignan adalah kemopreventif sekunder sedangkan kemopreventif tersier adalah usaha untuk meminimalkan risiko yang mungkin terjadi setelah terapi untuk malignan primer. Upaya penyembuhan (kuratif) kanker antara lain adalah: a. Kemoterapi: terapi ini menggunakan obat-obatan misalnya saja golongan siklofosfamid, doksorubisin, methotreksat dan 5-flurourasil. Pada dasarnya kinerja obat-obatan tersebut sama yaitu menghambat proliferasi sel sehingga Universitas Sumatera Utara sel tidak jadi memperbanyak diri. Kemoterapi bisa diberikan secara tunggal (satu macam obat saja) atau kombinasi, dengan harapan bahwa sel-sel yang resisten terhadap obat tertentu juga bisa merespon obat yang lain sehingga bisa diperoleh hasil yang lebih baik. Dampaknya pada pasien biasanya rambut rontok, selera makan menurun, rasa lemah dan letih (Sharma, 2000). b. Terapi hormon: terapi ini digunakan untuk jenis kanker yang berkaitan dengan hormon misalnya kanker payudara (berkaitan dengan hormon estrogen) pada wanita dan kanker prostat (berkaitan dengan hormon androgen) pada pria. Terapi hormon pada dasarnya berusaha menghambat sintesis steroid sehingga sel tidak dapat membelah. Terapi ini membawa dampak negatif bila diaplikasikan pada wanita yang masih dalam usia subur karena dapat menghambat siklus menstruasi (Sharma, 2000). c. Radioterapi: terapi ini menggunakan sinar X dengan dosis tertentu sehingga dapat merusak DNA dan memaksa sel untuk berapoptosis. Efek negatif yang ditimbulkan hampir sama dengan kemoterapi (Mulyadi, 1997). 2.9.1 Doksorubisin dan resistensinya pada kanker payudara Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara luas untuk mengobati kanker payudara. Senyawa ini menunjukkan kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960 (Singal dan Iliskovic, 1998). Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA Universitas Sumatera Utara melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II membentuk kompleks pemotong DNA. Doksorubisin telah digunakan pada beberapa pengobatan jenis tumor seperti kanker payudara, esophagus, osteosarkoma, Kaposi’s sarkoma, sarkoma jaringan lunak, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin baik dalam aplikasi tunggal maupun kombinasi dengan beberapa agen antitumor lainnya. Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis untuk berbagai jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et al., 2004). Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya reversibel serta dapat dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung (Singal dan Iliskovic, 1998). Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak (Wattanapitayakul, et al., 2005). Permasalahan yang sering timbul dalam terapi kanker terutama kanker payudara menggunakan doksorubisin adalah resistensi obat dan menjadi penyebab Universitas Sumatera Utara kegagalan terapi kanker payudara (Mechetner, et al., 1998). Resistensi ini diperantarai oleh berbagai mekanisme antara lain mutasi pada target obat, kegagalan inisiasi apoptosis dan pengeluaran obat oleh protein transporter pada membran sel. Pengeluaran obat yang disebabkan oleh adanya pompa efflux Pgp menjadi salah satu sebab utama resistensi obat ini (Mechetner, et al., 1998). Doksorubisin akan dikenali oleh Pgp dan selanjutnya segera dikeluarkan dari dalam sel sehingga menurunkan konsentrasi efektif doksorubisin dalam sel kanker. Mekanisme pemompaan oleh Pgp sangat bergantung pada aktivasi protein tersebut dan penekanan ekspresi Pgp. Oleh karena itu, inaktivasi Pgp dan penekanan ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker terhadap doksorubisin (Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006). 2.9.2 Terapi Kombinasi Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi (ko-kemoterapi) dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin. Terapi kombinasi hingga saat ini dikembangkan secara empiris. Namun demikian, sampai saat ini belum ada terapi pengobatan untuk kanker payudara yang telah metastasis. Selain itu, berbagai permasalahan seperti resistensi obat dan timbulnya toksisitas yang tinggi pada jaringan normal oleh beberapa agen kemoterapi menjadi semakin sulit menemukan terapi kanker payudara yang efektif. Hal tersebut menuntut pengembangan cara pengobatan baru bagi kanker payudara (Tyagi, et al., 2004). Pemanfaatan senyawa alam yang non toksik dengan efektivitas tinggi melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan Universitas Sumatera Utara agen kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat sehingga tingkat keamanan pasien semakin tinggi. Isobologram dan indeks kombinasi (IK) merupakan metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004). Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC 50 ) dari masing-masing obat ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif. Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif atau antagonis diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di bawah, pada atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004). Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis dengan IK. Analisis IK menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut. I= (D) 1 /(Dx) 1 + (D) 2 /(Dx) 2 I adalah indeks kombinasi. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang dibutuhkan untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC 50 terhadap pertumbuhan sel kanker payudara. (D) 1 dan (D) 2 adalah besarnya konsentrasi kedua senyawa untuk memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang, sama atau lebih dari 1 mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif atau antagonis (Zhao, et al., 2004; Reynolds, et al., 2005). Universitas Sumatera Utara 2.10 Indeks Selektivitas Untuk menggunakan memperoleh nilai indeks selektivitas digunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium sel Vero bromide (MTT). Indeks selektivitas (IS) diperoleh dari rasio IC 50 sel Vero dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai IS lebih tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas yang tinggi (Prayong, et al., 2008). Universitas Sumatera Utara