BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Uraian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing,
morfologi tumbuhan dan khasiat tumbuhan.
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan poguntano adalah sebagai berikut (LIPI, 2011):
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Asteridae
Ordo
: Scrophulariales
Famili
: Scrophulariaceae
Genus
: Picria
Spesies
: Picria fel-terrae Lour.
Sinonim
: Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss., Curania amara
R&S., Gratiola amara Roxb., Curanga fel-terrae Lour. dan
Torenia cardiosepala Benth (Anonim, 2009).
2.1.2 Nama daerah
Nama daerah dari tumbuhan ini adalah poguntano, pugun tana, pogon tanoh
(Dairi), tamah raheut (Sunda), daun kukurang (Maluku) dan papaita (Ternate)
(Anonim, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Nama asing
Beberapa negara lain mengenal tumbuhan ini dengan nama hempedu tanah,
gelumak susu, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), kong sadden
(Laos), thanh dan mau gau (Vietnam) (Anonim, 2007a).
2.1.4 Morfologi tumbuhan
Herba tahunan, tinggi lebih dari 40 cm, batang dengan cabang yang jarang,
tegak atau melata, segiempat, berakar di buku-buku, berbulu halus yang padat.
Daun tunggal berhadapan, bundar telur, pangkal daun membaji sampai
membundar, ujung daun agak melancip, tepi daun beringgitan, berbulu halus.
Pembungaan berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2 - 16, daun
gagang kecil, melanset, mahkota bunga menabung, berbibir rangkap, gundul
bagian luar, bagian dalam ada kelenjar bulu, bibir atas berwarna coklat kemerahmerahan, bibir bagian bawah berwarna putih. Buah kapsul lonjong, padat,
berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji membulat, diameter sekitar 0,6 mm
(Anonim, 2009).
Gambar 2.1 Tumbuhan poguntano.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Khasiat tumbuhan
Tumbuhan ini digunakan sebagai obat kolik (mulas mendadak dan hebat),
malaria, diuretik, demam, amenorrhea dan gangguan pada kulit (Perry, 1980). Di
Cina Selatan poguntano digunakan untuk pengobatan demam, infeksi herpes,
kanker dan inflamasi (Zhong, et al., 1979). Daun Poguntano di Sumatera Utara
umumnya digunakan sebagai obat untuk diabetes mellitus (Harfina, et al., 2012;
Sitorus, et al., 2014).
2.2
Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Depkes, 1986). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan
beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian
xxxiv
dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh
ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat. Sifat bahan mentah
obat merupakan faktor utama yang dipertimbangkan dalam memilih metode
ekstraksi (Ansel, 1989).
2.2.1 Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.
Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel
sehingga larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi secara
Universitas Sumatera Utara
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel (Depkes, 1986).
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti
daun dan bunga tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari
simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan
yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh. Pada penyarian dengan cara
maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk menghomogenkan konsentrasi
larutan di luar serbuk simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga
adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di
dalam sel dengan larutan di luar sel (Depkes, 1986).
Maserasi dilakukan menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979):
Sebanyak 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan
kedalam sebuah bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari,
ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering diaduk.
Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari
secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Sari dipindahkan ke dalam bejana
tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari.
Dienaptuangkan dan disaring.
2.3
Kanker
2.3.1 Tinjauan umum kanker
Kanker adalah pertumbuhan sel tidak beraturan yang muncul dari satu sel.
Kanker merupakan pertumbuhan jaringan secara otonom dan tidak mengikuti
aturan dan regulasi sel yang tumbuh normal. Tumor adalah istilah umum yang
menunjukkan massa dari pertumbuhan jaringan abnormal. Pertumbuhan yang
Universitas Sumatera Utara
tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di
gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa mutasi mungkin dibutuhkan
untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut sering
diakibatkan agen kimia maupun fisik yang disebut karsinogen. Mutasi dapat
terjadi secara spontan (diperoleh) ataupun diwariskan (mutasi germline)
(Ruddon, 2007).
Kanker merupakan suatu tumor atau neoplasma atau neoblastoma, yang
terdiri dari tumor jinak (benign) dan tumor ganas (malignant). Perbedaan antara
tumor ganas dan tumor jinak disamping faktor masa pertumbuhannya adalah
tumor ganas bersifat infiltratif sedangkan tumor jinak bersifat ekspansi. Tumor
ganas bersifat residif yang berarti dapat kambuh sedangkan tumor jinak tidak
residif. Tumor ganas metastasis dan tumor jinak tidak dapat melakukan
metastasis (Mulyadi, 1997).
2.3.2 Sifat kanker
Kanker mempunyai berbagai sifat umum, diantaranya adalah:
a. Heterogenitas
Populasi sel dalam suatu tumor tidak homogen tetapi heterogen, walaupun
semua berasal dari satu sel yang sama. Heterogenitas ini terjadi karena sel-sel
kanker tumbuh dengan cepat, sehingga belum dewasa, belum matang telah
mengalami mitosis terus membiak sehingga semakin lama semakin banyak
keturunan sel yang makin jauh menyimpang dari sel asalnya yang menimbulkan
bentuk yang bervariasi (Sukardja, 2000).
b. Tumbuh autonom
Sel kanker tumbuh terus tanpa batas, liar, terlepas dari kendali
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan normal sehingga terbentuk suatu tumor yang terpisah dari bagian
tubuh yang normal. Tumor dapat menimbulkan kelainan bentuk dan gangguan
fungsi organ yang ditumbuhinya. Sel-sel normal setelah beberapa generasi akan
berhenti tumbuh. Hanya sel yang disebut stem cells masih mempunyai
kemampuan tumbuh bila ada rangsangan untuk tumbuh (Sukardja, 2000).
c. Mendesak dan merusak sel-sel normal disekitarnya
Sel-sel tumor mendesak sel-sel normal di sekitarnya yang membatasi
pertumbuhan tumor. Pada tumor jinak terjadi pemisahan gerombolan sel tumor
dengan sel- sel normal sedangkan pada tumor ganas sel normal dapat diinfiltrasi
oleh sel-sel kanker (Sukardja, 2000).
d. Dapat bergerak sendiri (amoeboid)
Sel–sel kanker itu dapat bergerak sendiri seperti amoeba dan lepas dari
gerombolan sel-sel tumor induknya, masuk diantara sel-sel normal di
sekitarnya. Hal ini menimbulkan infiltrasi ke jaringan sekitarnya dan
bermetastase di kelenjar limfe atau di organ lainnya (Sukardja, 2000).
e. Tidak mengenal koordinasi dan batas-batas kewajaran
Ketidakwajaran itu antara lain disebabkan oleh kurangnya daya adhesi dan
kohesi sel kanker, tidak mengenal kontak inhibisi dan tanda posisi serta batas
kepadatan (Sukardja, 2000).
f. Tidak menjalankan fungsinya yang normal
Sel-sel kanker merusak fungsi organ yang ditumbuhinya. Hal ini
antara lain karena membran sel kanker tidak mengandung fibronektin yaitu
suatu glukoprotein yang dapat
kalsium
kurang,
muatan
menghambat
pertumbuhan
sel,
kadar
listrik kurang dan sel kanker dapat membentuk
Universitas Sumatera Utara
hormon, enzim dan protein yang pada pertumbuhan sel normal hanya
diproduksi oleh sel-sel tertentu saja (Sukardja, 2000).
2.3.3 Siklus sel
Siklus sel merupakan proses perkembangbiakan sel yang memperantarai
pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Setiap sel baik normal maupun
kanker mengalami siklus sel. Siklus sel memiliki dua fase utama, yakni fase S
(sintesis) dan fase M (mitosis). Fase S merupakan fase terjadinya replikasi DNA
kromosom dalam sel sedangkan pada fase M terjadi pemisahan 2 set DNA
kromosom tersebut menjadi 2 sel (Nurse, 2000).
Selain itu, terdapat fase yang membatasi kedua fase utama tersebut yang
dinamakan Gap. G 1 (Gap-1) terdapat sebelum fase S dan setelah fase S
dinamakan G 2 (Gap-2). Pada fase G 1 , sel melakukan persiapan untuk sintesis
DNA. Fase ini merupakan fase awal cell cycle progression yang diatur oleh faktor
ekstraselular seperti mitogen dan molekul adhesi. Penanda fase ini adalah adanya
ekspresi dan sintesis protein sebagai persiapan memasuki fase S. Pada fase G 2 , sel
melakukan sintesis lebih lanjut yang memadai untuk proses pembelahan sehingga
sel siap melakukan pembelahan pada fase M (Ruddon, 2007).
Siklus sel dikontrol oleh beberapa protein yang bertindak sebagai regulator
positif dan negatif. Kelompok siklin khususnya siklin D, E, A dan B merupakan
protein yang levelnya fluktuatif selama proses siklus sel. Siklin bersama dengan
kelompok cyclin dependent kinase (CDK) khususnya CDK 4, 6 dan 2, bertindak
sebagai regulator positif yang memacu terjadinya siklus sel. Pada mamalia
ekspresi kinase (CDK4, CDK2 dan CDC2/CDK1) terjadi bersamaan dengan
ekspresi siklin (D, E, A dan B) secara berurutan seiring dengan jalannya siklus
Universitas Sumatera Utara
sel (G 1 -S-G 2 -M) (Nurse, 2000). Aktivasi CDK dihambat oleh regulator negatif
siklus sel, yakni CDK inhibitor (CKI), yang terdiri dari Cip/Kip protein (meliputi
p21, p27, p57) dan keluarga INK4 (meliputi p16, p18, p19). Selain itu, tumor
suppressor protein yaitu p53 dan pRb juga bertindak sebagai protein regulator
negatif (Foster, et al., 2001).
Aktivasi CDK memerlukan ekspresi siklin (Cyc). Kompleks Siklin-CDK
dengan protein CKI dan adanya fosforilasi oleh Wee1 (tyrosin15)/ Myt1
(threonin14) dapat menyebabkan inaktivasi CDK. Aktivasi kompleks Cyc-CDK
diawali dengan proteolisis CKI oleh ubiquitin, kemudian fosforilasi CDK oleh
CDK-activating kinase (CAK) pada threonin161 dan penghilangan fosfat
(defosforilasi) oleh Cdc25 fosfatase pada target fosforilasi Wee1 (tyrosin15)/Myt1
(threonin14). CDK bekerja pada awal G 1 untuk mengaktifkan E2F-dependent
transcription gen yang diperlukan untuk fase S (di akhir G 1 untuk menginisiasi
fase S) dan juga di akhir G 2 untuk menginisiasi mitosis (M) (Nurse, 2000).
Checkpoint pada G 2 terjadi ketika ada kerusakan DNA yang akan
mengaktivasi beberapa kinase termasuk ataxia telangiectasia mutated (ATM)
kinase. Hal tersebut menginisiasi dua kaskade untuk menginaktivasi Cdc25-CycB
baik dengan jalan memutuskan kompleks Cdc25-CycB maupun mengeluarkan
kompleks Cdc25-CycB dari nukleus atau aktivasi p21. Checkpoint pada fase G 1
akan dapat dilalui jika (1) ukuran sel memadai; (2) ketersediaan nutrien
mencukupi; dan (3) adanya faktor pertumbuhan (sinyal dari sel yang lain).
Checkpoint pada fase G 2 dapat dilewati jika ukuran sel memadai dan replikasi
kromosom terselesaikan dengan sempurna sedangkan checkpoint pada mitosis
Universitas Sumatera Utara
(M) terpenuhi bila semua kromosom dapat menempel pada gelendong (spindle)
mitotik (Ruddon, 2007).
Checkpoint ini akan menghambat progresi siklus sel ke fase mitotik
sedangkan checkpoint pada fase M (mitosis) terjadi jika benang spindle tidak
terbentuk atau jika semua kromosom tidak dalam posisi yang benar dan tidak
menempel dengan sempurna pada spindle. Checkpoint tersebut bekerja dengan
memonitor apakah kinetokor dan mikrotubul terhubung secara benar. Jika tidak,
kohesi kromatid akan tetap berlangsung dan mikrotubul gagal untuk memendek
sehingga kromatid tidak bergerak menjauh ke kutub yang berlawanan (Ruddon,
2007).
Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik.
Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak
meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau
kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan
genetik. Oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan dalam
pencegahan kanker (Ruddon, 2007).
2.3.4 Mekanisme apoptosis
Apoptosis
adalah
kematian
sel
melalui
mekanisme
genetik
(kerusakan/fragmentasi kromosom atau DNA).
1. Apoptosis fisiologis
Apoptosis
fisiologis merupakan kematian
sel
yang diprogram.
Kematian sel ini erat kaitannya dengan suatu enzim yang dikenal dengan
nama telomerase. Telomer terletak pada ujung kromosom merupakan salah
satu faktor yang sangat penting dalam melindungi kromosom. Pada sel
Universitas Sumatera Utara
normal, telomer ini akan mengalami pemendekan pada waktu sel melakukan
pembelahan diri. Bila ukuran telomer mencapai ukuran tertentu (ukuran
kritis) sebagai akibat dari pembelahan berulang, maka sel tersebut tidak
dapat melakukan pembelahan diri lagi. Selanjutnya akan terjadi fragmentasi
dan sel akan mengalami apoptosis. Namun, pada sel ganas pemendekan
telomer sampai level kritis tidak akan terjadi karena adanya aktivitas dari
enzim ribonukleoprotein (telomerase) secara terus-menerus. Oleh karena itu,
maka sel ganas dapat bersifat immortal (Sudiana, 2008).
2. Apoptosis Patologis
Apoptosis patologis yaitu kematian sel karena adanya rangsangan.
Rangsangan ini dapat terjadi karena adanya aktifitas dari p53. Hal ini
disebabkan karena adanya gen yang cacat. Gen yang cacat dapat memicu
aktifitas beberapa enzim seperti PKC (Protein Kinase C) dan CPK-K2, di
mana kedua enzim ini dapat memicu aktifitas p53 yang merupakan faktor
transkripsi terhadap pembentukan p21. Peningkatan p21 akan menekan
semua CDK. Sebelumya telah diketahui bahwa terjadinya siklus pembelahan
sel sangat tergantung pada ikatan komplek antara CDK dengan siklin.
Dengan terjadinya penekanan semua CDK, maka siklus sel akan berhenti.
Pada saat siklus terhenti, maka p53 akan memicu aktifitas BAX (Bcl2associated X protein) di mana protein BAX ini akan menekan aktifitas Bcl-2
(B-Cell
Lymphoma-2)
pada
membran
mitokondria
sehingga
terjadi
perubahan permeabilitas membran. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya
pelepasan cytochrome-C ke sitosol. Di sitosol, cytochrome-C akan
mengaktivasi Apaf-1 (Apoptotic protease activating factor 1) yang selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
mengaktivasi cascade caspase. Caspase inilah yang mengaktifkan DNA-se,
kemudian DNA-se yang aktif akan menembus inti dan merusak DNA
sehingga DNA sel yang bersangkutan rusak dan akhirnya mengalami
apoptosis (Sudiana, 2008).
2.3.5 Karsinogenesis
Karsinogenesis adalah suatu proses perubahan struktur DNA yang
bersifat irreversible sehingga terjadi kanker (Mulyadi, 1997). Salah satu faktor
terbentuknya kanker karena adanya sel epitel yang terus berkembang
(berproliferasi). Saat berproliferasi, genetik sel bisa berubah akibat adanya
pengaruh agen karsinogen yang menyebabkan hilangnya penekanan terhadap
proses proliferasi sel. Perubahan sel menjadi ganas juga melibatkan gen-gen
yang mengatur pertumbuhan sel akibatnya sel berkembang tidak terkendali.
Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu (Diandana, 2009):
a. Fase inisiasi: DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen (radikal
bebas).
b. Fase promosi: zat karsinogen tambahan (co-carcinogens) diperlukan
sebagai promotor untuk mencetuskan proliferasi sel.
c. Fase progresi: gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA
mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas.
Tahap inisiasi adalah tahap pertama pada karsinogenesis ketika sel normal
mulai mengalami mutasi oleh karsinogen (Diandana, 2009). Tahap karsinogenesis
selanjutnya adalah promosi merupakan tingkat lanjutan dari tahap inisiasi. Pada
tahap ini, sel mulai mengalami hiperplastik pada inti sel (Tsao, et al., 2004). Selsel akan memperoleh beberapa keuntungan selektif untuk tumbuh sehingga
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhannya menjadi cepat dan berubah menjadi tumor jinak. Tahap promosi
tidak melibatkan perubahan struktural dari genom secara langsung, tetapi biasanya
terjadi perubahan ekspresi gen yang terinisiasi (Tsao, et al., 2004).
Pada tahap progresi, kemampuan pembelahan yang tinggi menuntun
terbentuknya koloni sel yang lebih besar melalui perubahan genetik lebih lanjut
dan peningkatan mobilitas dan angiogenesis (Kumar, et al, 2005). Pada tahap ini,
sel-sel tumor dikatakan sebagai sel malignan. Pada fase ini juga akan terjadi
karsinoma dan metastasis melalui aktivasi onkogen dan malfungsi dari enzim
topoisomerase. Tahap metastasis merupakan tahap akhir dalam karsinogenesis.
Pada tahap ini, sel kanker melakukan invasi ke jaringan-jaringan lain di dalam
tubuh melalui pembuluh darah, pembuluh limpa atau rongga tubuh (Kumar, et al.,
2005). Sel malignan yang bermetastasis ini masuk melalui membran menuju
saluran limfoid. Sel tersebut akan berinteraksi dengan sel limfoid yang digunakan
sebagai inangnya. Selanjutnya, sel kanker akan masuk ke jaringan lainnya
membentuk tumor sekunder dengan didukung kemampuan neoangiogenesis yang
dimilikinya (Kumar, et al., 2005).
Tahap metastasis dapat berlangsung karena melemahnya ikatan antarsel
yang disebabkan oleh terdegradasinya CAMs (Cell-cell Adhesion Molecules) dan
E-cadherin sebagai molekul yang menjaga pertautan antarsel. Molekul-molekul
tersebut diketahui sudah sangat sedikit bahkan tidak ditemukan lagi pada sel
kanker sehingga proses metastasis dapat terus terjadi (Kumar, et al., 2005).
Adanya mutasi pada satu sel tunggal normal sebagai akibat terpapar oleh
karsinogen (inisiasi) akan menyebabkan progresi sel menjadi hiperplasia
Universitas Sumatera Utara
(promosi), diplasi (progresi) dan pada akhirnya memiliki kemampuan invasi ke
jaringan sekitarnya (metastasis) (Tsao, et al., 2004).
2.3.6 P-glikoprotein
P-glikoprotein (Pgp) merupakan protein ABC-transporter pada manusia
yang termasuk dalam sub famili MDR/TAP (Allen, et al., 2002). Pgp dikenal
dalam beberapa sebutan yakni ABCB1, ATP binding cassette sub-famili B
member 1, MDR1 dan PGY1 (Chen, et al., 2006). ABCB1 atau Pgp termasuk
dalam ATP-dependent efflux pump yang memiliki substrat spesifik antara lain:
obat (colchicine dan tacrolimus), agen kemoterapi (etoposide, adriamycin dan
vinblastine), lipid, steroid, xenobiotik, peptida, bilirubin, cardiac glycoside
(digoxin), glukokortikoid (deksamethason) dan agen terapi HIV tipe 1 (inhibitor
protease dan non nucleoside reverse transcriptase) (Kitagawa, 2006).
P-glikoprotein adalah sebuah glikoprotein transmembran yang memiliki 10 15 kDa N-terminal glycosylation dengan bobot 170 kDa dikode oleh gen MDR1
(Kitagawa, 2006). Gen ini dicirikan dengan pompa efflux obat dan anggota dari
keluarga ATP-binding transport (Chen, et al., 2006). Dalam sistem organ, Pgp
berpengaruh terhadap absorbsi, distribusi dan eliminasi obat (Matheny, et al.,
2001). Kemampuan Pgp sebagai pompa efflux berguna dalam detoksifikasi
senyawa-senyawa yang masuk ke dalam sel. Senyawa yang termasuk substrat dari
Pgp akan diikat dan dikeluarkan dari dalam sel. Aktivitas Pgp sangat bergantung
pada aktivasi Pgp oleh ATP melalui pembentukkan kompleks Pgp-ATP (Conseil,
et al., 1998). Hidrolisis ATP oleh ATPase memberikan energi aktivasi pada Pgp
(Chen, et al., 2006). Aktivasi Pgp akan menurunkan intake agen kemoterapi
sehingga menurunkan efikasi agen tersebut terhadap sel kanker. Pada kondisi
Universitas Sumatera Utara
ekspresi yang berlebihan, Pgp dapat menyebabkan resistensi obat terutama agen
kemoterapi pada kanker payudara seperti doksorubisin (Mechetner, et al., 1998).
Pgp akan mengikat doksorubisin sebagai salah satu substratnya untuk
dikeluarkan dari dalam sel (Wong, et al., 2006). Pgp atau ABCB1 pertama kali
diujikan sebagai multidrug resistance dan terbukti sebagai penyebab resistensi
obat kemoterapi (Juliano dan Ling, 1976).
Penghambatan aktivasi dan ekspresi Pgp memegang peranan penting dalam
keberhasilan terapi kanker (Zhou, et al., 2006). Penghambatan aktivitas Pgp dapat
melalui dua mekanisme yakni (1) penghambatan substrat Pgp secara langsung
dengan berikatan pada Pgp-binding domain dan (2) penghambatan hidrolisis ATP
oleh ATPase melalui ikatan substrat dengan ATP (Kitagawa, 2006).
Penghambatan ini dapat dilakukan menggunakan senyawa flavonoid dan polifenol
melalui dua sisi ikatan pada ATP-binding sites dan steroid interacting region
dimana ATPase berikatan dengan Pgp cytosolic domain (Kitagawa, 2006).
Gambar 2.2 Mekanisme pemompaan oleh Pgp (Matheny, et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
Pgp memompa senyawa-senyawa (2a, 2b, 2c) yang termasuk substratnya
untuk dikeluarkan dari dalam sel. Ekspresi berlebih dari Pgp ini dapat
menyebabkan resistensi obat pada terapi kanker payudara (Matheny, et al., 2001).
Penekanan ekspresi Pgp dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme antara lain
aktivasi jalur sinyal transduksi c-Jun NH2-terminal kinase (JNK) dan inaktivasi
NF-κB transcriptional factor. JNK merupakan protein kinase yang berikatan
dengan NH2-terminal yang merupakan sisi aktif pada c-Jun transcriptional factor
dan protein ini mampu memfosforilasi c-Jun. Fosforilasi c-Jun akan menstimulasi
pembentukan ikatan dengan AP-1, suatu elemen pada gen MDR1. Pembentukan
ikatan ini akan mencegah ekspresi mRNA MDR1 dan pada akhirnya akan
menghambat ekspresi Pgp (Zhou, et al., 2006).
2.4
Kanker Payudara
Pada 90 % wanita, kanker payudara pada fase awal bersifat asimptomatik
dan tidak menimbulkan nyeri. Kanker payudara merupakan kanker yang
menyerang jaringan epitelial payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar
sehingga kanker payudara tergolong pada karsinoma. Kanker payudara
merupakan kanker yang paling umum diderita oleh wanita, di samping kanker
serviks. Kanker payudara biasanya di diagnosis dengan adanya benjolan kecil
berukuran kurang dari 2 cm. Pada tumor yang ganas, benjolan ini bersifat
padat, keras dan tidak beraturan. Tanda yang kurang umum adalah adanya
abnormalitas pada puting dan retraksi. Pada kasus yang lebih berat dapat
terjadi edema kulit, kemerahan dan rasa panas pada jaringan payudara (Ruddon,
2007).
Universitas Sumatera Utara
Jaringan payudara merupakan jaringan yang sensitif terhadap tumbuhnya
kanker. Kanker umumnya terjadi pada jaringan yang sel-selnya aktif membelah,
salah satunya adalah payudara. Pembelahan sel payudara dipacu oleh adanya
hormon estrogen. Pembelahan ini dapat meningkatkan risiko terjadinya
kerusakan permanen pada DNA. Gadis atau wanita muda yang belum pernah
mengalami kehamilan, sel-sel payudaranya belum mengalami pematangan
secara sempurna. Sel payudara yang belum mengalami pematangan secara
sempurna lebih kuat mengikat karsinogen dan tidak dapat mengatasi kerusakan
DNA secara efisien seperti pada sel yang telah matang sepenuhnya (Clark,
1975).
Kanker
payudara (Carcinoma
mammae) adalah
suatu
penyakit
neoplasma yang ganas yang berasal dari parenchyma. Penyebab spesifik kanker
payudara masih belum
diketahui
tetapi
terdapat
banyak
faktor
yang
diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara
diantaranya (Anonim, 2007b):
a. Faktor reproduksi, karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko
terjadinya kanker payudara adalah menarche pada umur muda, menopause
pada umur lebih tua dan kehamilan pertama pada umur tua.
b. Penggunaan hormon, hormon estrogen berhubungan dengan terjadinya
kanker payudara.
c. Radiasi, dengan radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas meningkatkan
terjadinya risiko kanker payudara.
d. Riwayat
keluarga
dan faktor genetik,
terdapat peningkatan
risiko
keganasan ini pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan insidensi kanker payudara disebabkan oleh kegagalan terapi
terhadap kanker itu sendiri. Kegagalan ini diakibatkan oleh adanya multidrug
resistance (MDR) dan terjadi hingga 71% dibandingkan dengan faktor penyebab
lainnya (Mechetner, et al., 1998). Multidrug resistance atau resistensi obat ini
diakibatkan oleh adanya breast cancer resistance protein (BCRP) yang salah
satunya adalah P-glikoprotein (Pgp). Aktivasi Pgp dan peningkatan ekspresinya
dapat menurunkan efikasi dari beberapa agen kemoterapi seperti taxol dan
doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Penekanan aktivitas Pgp dan ekspresinya
mampu meningkatkan efektivitas agen kemoterapi (Zhou, et al., 2006).
Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat
berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker
payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30%
kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs,
2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalan metastasis, juga berperan
dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development). Proses
metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi berlebih
beberapa protein, misalnya Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER- 2) yang
merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001).
Aktivasi reseptor estrogen melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan
memacu transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu
ekspresi protein yang berperan dalam siklus sel seperti siklin D1, CDK4 (cyclin
dependent kinase 4), siklin E dan CDK2. Selain itu, aktivasi reseptor estrogen
mampu mengaktivasi beberapa onkoprotein yang berperan utama dalam sinyal
pertumbuhan, misalnya Ras, Myc dan cyc D1 (Foster, et al., 2001). Aktivasi
Universitas Sumatera Utara
protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan yang berlebihan melalui aktivasi
onkoprotein yang lain seperti P13K, AKT, Raf, ERK dan MAP kinase (Foster, et
al., 2001).
2.5
Sel MCF-7
Sel ini merupakan sel kanker payudara yang mengekspresikan reseptor
estrogen (ER+) dan berasal dari pleural effusionbreast adenocarcinoma seorang
pasien wanita Kaukasian berumur 69 tahun, golongan darah O. Sel ini termasuk
sel adherent (melekat) yang dapat ditumbuhkan dalam media penumbuh DMEM.
Biakan sel MCF-7 memiliki beberapa karakteristik pada epitel mamari yang
berbeda termasuk dalam kemampuannya untuk memproduksi estradiol via
reseptor sitoplasma. Sel ini mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α),
memiliki sifat resisten terhadap doksorubisin (Zampieri, et al., 2002) dan tidak
mengekspresikan caspase-3. Pada sel MCF-7, Pgp diekspresikan tinggi, sehingga
sensitivitas terhadap agen kemoterapi seperti doksorubisin rendah (Wong, et al.,
2006). Penurunan konsentrasi ini dapat mengurangi efektivitas senyawa
kemoterapi pada sel MCF-7. Cara untuk meningkatkan sensitivitas MCF-7 adalah
dengan menghambat ekspresi dan aktivasi Pgp (Zhou, et al., 2006).
2.6
Sel T47D
Cell line adalah sel yang disubkultur dari primary cultures, yaitu sel
yang langsung berasal dari organ atau jaringan yang diperoleh dengan
metode enzimatik maupun secara mekanik dan dikultur dalam kondisi
hormonal
yang sesuai. Sel T47D merupakan
continous
cell lines yang
dikultur dari jaringan epitel duktus payudara seorang wanita berusia 54 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Sel ini dapat ditumbuhkan pada suhu 37ºC dan dapat tumbuh secara kontinu,
menempel pada dasar flask (Anonim, 2012).
Sel T47D
merupakan
sel kanker
yang
mengekspresikan
reseptor
estrogen atau yang biasa disebut ER positif serta mengekspresikan p53 yang
telah termutasi. Pada sel ini p53 mengalami missense mutation pada residu 194
(dalam zinc-binding domain L2) sehingga p53 kehilangan fungsinya. Jika
p53 tidak dapat mengikat response element pada DNA maka akan mengurangi
atau menghilangkan kemampuannya dalam meregulasi siklus sel dan memacu
apoptosis. Sel ini dapat kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan
estrogen pada jangka waktu lama selama percobaan in vitro. Oleh karena itu sel
ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan
tumor payudara p53 mutan (Anonim, 2012).
2.7
Sel Vero
Sel Vero ATCC CCL-81 merupakan sel epitel non kanker. Sel ini berasal
dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel Vero merupakan sel monolayer
berbentuk poligonal dan pipih, sel ini immortal, non tumorigenic fibroblastic cell.
Sel ini melekat erat pada substrat yang berbahan polistirena dengan membentuk
ikatan kovalen. Pengujian sel Vero dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan
sel, diferensiasi sel, sitotoksisitas dan transformasi sel yang di induksi oleh
berbagai senyawa kimia (Goncalves, et al., 2006).
2.8
Uji Sitotoksik
Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur
sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat tambahan
Universitas Sumatera Utara
makanan, pestisida dan digunakan juga untuk mendeteksi adanya aktivitas
antineoplastik dari suatu senyawa. Senyawa sitotoksik adalah senyawa yang
bersifat toksik pada sel tumor secara in vitro dan jika toksisitas ini ditransfer
menembus sel tumor in vivo senyawa tersebut mempunyai aktivitas antitumor
(Freshney, 2000).
Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan dapat digunakan pada
langkah awal pengembangan obat, hanya membutuhkan sejumlah kecil bahan
yang digunakan untuk kultur sel primer manusia serta dapat memberikan
informasi secara langsung efek potensial pada sel target manusia serta uji yang
digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung.
Akhir dari uji sitotoksisitas pada organ xxxii
target memberikan informasi tentang
perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik (Doyle, et al., 2000).
2.8.1 Uji sitotoksik menggunakan metode MTT
Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]
adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan
pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme
suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna (Kupcsik, 2011).
Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja
enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem
reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup
(Kupcsik, 2011).
Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air sehingga
dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10% SDS dalam
HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan
Universitas Sumatera Utara
spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif
melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase
viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
% viabilitas =
2.9
absorbansi sampel
x 100%
absorbansi kontrol
Antikanker
Penanganan kanker ada dua macam, yaitu pencegahan kanker dan
penghambatan kanker. Upaya pencegahan kanker disebut kemopreventif.
Senyawa kemopreventif dibagi menjadi dua kategori yaitu blocking agent dan
suppressing agent. Blocking agent adalah mencegah karsinogen mencapai target
aksinya, baik melalui penghambatan aktivasi metabolisme atau menghambat
interaksi dengan target makromolekul seperti DNA, RNA atau protein.
Suppressing agent adalah menghambat pembentukan malignan dari sel yang telah
terinisiasi pada tahap promosi atau progresi (Meiyanto, dkk., 2008).
Menurut Sharma (2000), kemopreventif dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
primer, sekunder dan tersier. Kemopreventif primer adalah mencegah terjadinya
sel kanker sejak tahap premalignan. Usaha pencegahan saat karsinogenesis pada
tahap awal malignan adalah kemopreventif sekunder sedangkan kemopreventif
tersier adalah usaha untuk meminimalkan risiko yang mungkin terjadi setelah
terapi untuk malignan primer. Upaya penyembuhan (kuratif) kanker antara lain
adalah:
a.
Kemoterapi: terapi ini menggunakan obat-obatan misalnya saja golongan
siklofosfamid, doksorubisin, methotreksat dan 5-flurourasil. Pada dasarnya
kinerja obat-obatan tersebut sama yaitu menghambat proliferasi sel sehingga
Universitas Sumatera Utara
sel tidak jadi memperbanyak diri. Kemoterapi bisa diberikan secara tunggal
(satu macam obat saja) atau kombinasi, dengan harapan bahwa sel-sel yang
resisten terhadap obat tertentu juga bisa merespon obat yang lain sehingga
bisa diperoleh hasil yang lebih baik. Dampaknya pada pasien biasanya
rambut rontok, selera makan menurun, rasa lemah dan letih (Sharma, 2000).
b.
Terapi hormon: terapi ini digunakan untuk jenis kanker yang berkaitan
dengan hormon misalnya kanker payudara (berkaitan dengan hormon
estrogen) pada wanita dan kanker prostat (berkaitan dengan hormon
androgen) pada pria. Terapi hormon pada dasarnya berusaha menghambat
sintesis steroid sehingga sel tidak dapat membelah. Terapi ini membawa
dampak negatif bila diaplikasikan pada wanita yang masih dalam usia subur
karena dapat menghambat siklus menstruasi (Sharma, 2000).
c.
Radioterapi: terapi ini menggunakan sinar X dengan dosis tertentu sehingga
dapat merusak DNA dan memaksa sel untuk berapoptosis. Efek negatif yang
ditimbulkan hampir sama dengan kemoterapi (Mulyadi, 1997).
2.9.1 Doksorubisin dan resistensinya pada kanker payudara
Doksorubisin adalah golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang diisolasi
dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan secara
luas untuk mengobati kanker payudara. Senyawa ini menunjukkan kemampuan
yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat kemoterapi
kanker sejak akhir tahun 1960 (Singal dan Iliskovic, 1998).
Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S
dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan
pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA
Universitas Sumatera Utara
melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan
RNA melalui pengkacauan template dan halangan sterik. Kemungkinan
mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid membran sel, yang
akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan topoisomerase II
membentuk kompleks pemotong DNA. Doksorubisin telah digunakan pada
beberapa pengobatan jenis tumor seperti kanker payudara, esophagus,
osteosarkoma, Kaposi’s sarkoma, sarkoma jaringan lunak, limfoma Hodgkin dan
non-Hodgkin baik dalam aplikasi tunggal maupun kombinasi dengan beberapa
agen antitumor lainnya. Aplikasi doksorubisin yang telah digunakan secara klinis
untuk berbagai jenis tumor ini dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi, et
al., 2004).
Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin
adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya reversibel serta dapat
dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat
pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah
cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung (Singal dan Iliskovic, 1998).
Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak
akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada
dosis. Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga
disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion
superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan
jaringan kardiak (Wattanapitayakul, et al., 2005).
Permasalahan yang sering timbul dalam terapi kanker terutama kanker
payudara menggunakan doksorubisin adalah resistensi obat dan menjadi penyebab
Universitas Sumatera Utara
kegagalan terapi kanker payudara (Mechetner, et al., 1998). Resistensi ini
diperantarai oleh berbagai mekanisme antara lain mutasi pada target obat,
kegagalan inisiasi apoptosis dan pengeluaran obat oleh protein transporter pada
membran sel. Pengeluaran obat yang disebabkan oleh adanya pompa efflux Pgp
menjadi salah satu sebab utama resistensi obat ini (Mechetner, et al., 1998).
Doksorubisin akan dikenali oleh Pgp dan selanjutnya segera dikeluarkan
dari dalam sel sehingga menurunkan konsentrasi efektif doksorubisin dalam sel
kanker. Mekanisme pemompaan oleh Pgp sangat bergantung pada aktivasi protein
tersebut dan penekanan ekspresi Pgp. Oleh karena itu, inaktivasi Pgp dan
penekanan ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker
terhadap doksorubisin (Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006).
2.9.2 Terapi Kombinasi
Terapi pengobatan kanker pada umumnya menggunakan terapi kombinasi
(ko-kemoterapi) dengan agen-agen yang memiliki efek sinergis terhadap sel
kanker, bersifat spesifik dan memiliki efek toksik seminimal mungkin. Terapi
kombinasi hingga saat ini dikembangkan secara empiris.
Namun demikian,
sampai saat ini belum ada terapi pengobatan untuk kanker payudara yang telah
metastasis. Selain itu, berbagai permasalahan seperti resistensi obat dan timbulnya
toksisitas yang tinggi pada jaringan normal oleh beberapa agen kemoterapi
menjadi semakin sulit menemukan terapi kanker payudara yang efektif.
Hal
tersebut menuntut pengembangan cara pengobatan baru bagi kanker payudara
(Tyagi, et al., 2004).
Pemanfaatan senyawa alam yang non toksik dengan efektivitas tinggi
melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan
Universitas Sumatera Utara
agen kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat
dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat
sehingga tingkat keamanan pasien semakin tinggi.
Isobologram dan indeks kombinasi (IK) merupakan metode yang umum
digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama
kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004).
Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan
menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC 50 ) dari masing-masing obat
ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan
Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif.
Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang
sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif atau antagonis
diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di
bawah, pada atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004).
Selain dengan isobologram, interaksi antara dua obat dapat dianalisis
dengan IK. Analisis IK menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut.
I= (D) 1 /(Dx) 1 + (D) 2 /(Dx) 2
I adalah indeks kombinasi. Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa tunggal yang
dibutuhkan untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC 50 terhadap
pertumbuhan sel kanker payudara. (D) 1 dan (D) 2 adalah besarnya konsentrasi
kedua senyawa untuk memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang, sama atau
lebih dari 1 mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif atau
antagonis (Zhao, et al., 2004; Reynolds, et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.10 Indeks Selektivitas
Untuk
menggunakan
memperoleh
nilai
indeks
selektivitas
digunakan
3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium
sel
Vero
bromide
(MTT). Indeks selektivitas (IS) diperoleh dari rasio IC 50 sel Vero dibandingkan
dengan sel kanker yang diuji. Nilai IS lebih tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat
atau ekstrak memiliki selektivitas yang tinggi (Prayong, et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
Download