BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Pengertian Empati Empati, secara harfiah, dalam bahasa Yunani, yaitu “empatheia”, dapat diartikan sebagai “kekuatan untuk memahami hal di luar diri kita” atau juga memiliki makna tersirat yang berarti “perasaan batiniah” (Woodruff, 2007). Definisi lain menyebutkan bahwa empati merupakan kapasitas mengambil peran orang lain dan mengadopsi perspektif orang lain yang kemudian dihubungkan dengan diri sendiri (Eisenberg, 2000). Empati, atau terkadang disebut sebagai “Theory of Mind”, juga di definiskan sebagai atribut dalam pikiran kita untuk memahami kondisi mental diri sendiri dan orang lain dengan cara menafsirkan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku yang mendalam seperti memahami niat, keyakinan, ataupun keinginan (Zahavi, 2014). Sedangkan, menurut Blair (2007), empati adalah reaksi emosional; antara reaksi pengamat kepada kondisi afeksi individu lain. Teori lain yang juga mendukung, menjelaskan bahwa empati terdiri dari Empati kognitif yang mana individu merepresentasikan kondisi 9 http://digilib.mercubuana.ac.id/ mental orang lain, dan juga respons emosional kepada orang lain yang kongruen/ sama dengan reaksi emosional orang lain (Blair, 2007). Jadi, dari uraian-uraian tersebut, bisa dikatakan bahwa empati adalah kemampuan kognitif untuk memahami kondisi mental dan emosional orang lain. Walaupun, empati telah dijelaskan sebagai suatu fungsi kognitif, berbeda dengan Hoffman (2000) yang juga menjelaskan bahwa aspek afektif dalam empati juga sangat penting. Dalam bukunya yang berjudul Empathy and Moral Development (2000), menjelaskan bahwa empati adalah respon afektif yang mewakilkan perasaan orang lain. Menurutnya, empati merupakan keterlibatan dalam suatu proses psikologis yang membuat seseorang memiliki perasaan yang lebih kongruen/sama dengan mengintegrasikan situasi diri sendiri dari situasi orang lain (Hoffman, 2000). Teori lain yang juga mendukung, menjelaskan bahwa empati terdiri dari Empati kognitif yang mana individu merepresentasikan kondisi mental orang lain, dan juga respons emosional kepada orang lain yang kongruen/ sama dengan reaksi emosional orang lain (Blair, 2007). Sama halnya dengan Eisenberg (2000), bahwa ia juga menyatakan bahwa empati adalah sebuah respon afektif yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau orang lain, dan yang mirip dengan perasaan orang lain; empati juga sebagai kemampuan 10 http://digilib.mercubuana.ac.id/ untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang lain. 2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Empati Menurut Hoffman (1987), faktor-faktor yang empengaruhi seseorang menerima dan memberi empati adalah sebagai berikut : 1. Sosialisasi. Sosialisasi dapat mempengaruhi empati melalui permainan-permainan yang memberikan peluang kepada anak untuk mengalami sejumlah emosi, membantu untuk lebih berpikir dan memberikan perhatian kepada orang lain, serta lebih terbuka terhadap kebutuhan orang lain sehingga akan meningkatkan kemampuan berempatinya; 2. Mood dan Feeling. Apabila seseorang dalam situasi perasaan yang baik, maka dalam berinteraksi dan menghadapi orang lain ia akan lebih baik dalam menerima keadaan orang lain; 3. Proses belajar dan Identifikasi. Dalam proses belajar, seorang anak membutuhkan respon-respon khas, dari situasi yang khas, yang disesuaikan dengan pengaturan yang dibuat oleh orang tua atau orang yang mengendalikan lainnya. 4. Situasi atau Tempat. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibandingkan dengan situasi 11 http://digilib.mercubuana.ac.id/ yang lain. Hal ini disebabkan situasi dan tempat yang berbeda dapat memberikan suasana yang berbeda pula. Suasana yang berbeda inilah yang dapat meninggirendahkan empati seseorang; 5. Pengasuhan. Lingkungan yang berempati dari suatu keluarga sangat membantu seseorang dalam menumbuhkan empati dalam dirinya. Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan rumah yang penuh cacian dan makian serta persoalan dapat dipastikan akan menumbuhkan empati buruk pula dalam diri seseorang. 2.1.3 Jenis-jenis Empati Para teoritikus kontemporer seperti Eisenberg (2000) dan Hoffman (2000) menyatakan bahwa empati terdiri atas dua aspek, diantaranya : 1. Aspek Kognitif Aspek kognitif sangat berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk merepresentasikan keadaan mental orang lain, seperti pikiran orang lain, keinginan, niat, dan pengetahuan orang lain—sehingga aspek kognitif memungkinkan seseorang mampu untuk menjelaskan dan memprediksikan tingkah laku seseorang (Blair, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa proses kognitif 12 http://digilib.mercubuana.ac.id/ sangat berperan penting dalam proses empati (Hoffman, 2000). Hoffman mendefinisikan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui pengalamanpengalaman. Eisenberg & Strayer (1987) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) Wheelwright, dan orang lain 2004). Dengan kata (Baron & lain, adanya pemisahan antara perspektif sendiri, menghubungkan keadaan mental orang lain dan menyimpulkan isi dari kondisi mental mereka, serta mengingat kembali ketika hal yang sama terjadi (Baron & Wheelwright, 2004). Dalam proses kognitif, para ahli telah mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah proses kognitif yang dilibatkan dalam empati. Dimana proses kognitif tersebut dijelaskan mulai dari tingkatan mekanisme kognitif sederhana sampai pada proses yang lebih kompleks (Davis, 1996; Hoffman, 2000). Tingkatan tersebut antara lain: (1) differentiation of the self from others (Eisenberg & Strayer, 1987); (2) the 13 http://digilib.mercubuana.ac.id/ differentiation of emotional state (Feshbach, 1978); (3) social referencing and emotional meaning (Eisenberg, 1986); (4) kemampuan untuk membedakan dan labeling different emotional states (Feshbach, 1978); dan (5) cognitive role taking ability (Hoffman, 2000). a. Differentiation of self from others Membedakan diri dengan dimaksudkan sebagai yang membagikan lainnya, respon emosional yang merefleksikan perasaan-perasaan orang lain sebagaimana perasaannya sendiri. b. The differentiation of emotional states Tingkatan ini merupakan tingkatan dimana seseorang mampu untuk mengenali dan mengingat bentuk-bentuk emosi yang berbeda-beda yang didasarkan pada perasaan dan bersifat situasional. c. Social referencing and emotional meaning Tingkatan ini merujuk kepada penelitian Eisenberg, dkk. (1997), yang menyatakan bahwa referensi sosial mulai muncul pada tahun usia anak. dimana ekspresi emosional orangtua menjadi penuntun atau contoh perilaku anak di dalam sejumlah situasi yang berbeda-beda, termasuk dalam berinteraksi dengan orang lain. 14 http://digilib.mercubuana.ac.id/ d. Labeling different emotional states Merujuk kembali pada penelitian Eisenberg, dkk. (1997), anak-anak sudah mampu menunjukkan sikap emosi dasar sesuai tanggapan si anak terhadap situasi yang ada di depannya. e. Cognitive role taking ability Menurut Hoffman (2000), cognitive role taking ability adalah tingkatan tertinggi dalam empati kognitif. Dimana kemampuan ini menempatkan diri sendiri ke dalam situasi orang lain dalam rangka untuk mengetahui secara tepat pikiran-pikiran dan atau perasaan orang tersebut. Sehingga, dibutuhkan kedalaman kognitif untuk mampu memahami perasaan-perasaan orang lain. Hoffman (2000) menyatakan terdapat dua tipe role taking, yaitu self focused yang berpusat pada diri sediri, dengan membayangkan dirinya sendiri berada pada kondisi orang lain dan merefleksikan bagaimana dia akan merasakan hal yang sama pada kondisi yang sedang dialami oleh orang tersebut; dan other focused, dimana seseorang memusatkan perhatiannya pada sifat-sifat dan situasi orang lain, sehingga dia bisa memastikan kondisi-kondisi 15 http://digilib.mercubuana.ac.id/ perasaan dan pikiran orang lain. Kedua bentuk roletaking tersebut pada tahap awal berguna untuk memproyeksikan diri (the self), dan kemudian memasuki perspektif orang lain. 2. Aspek Afektif Pada dasarnya, empati adalah sebuah pengalaman afektif (Hoffman, 2000). Respons emosional yang seolah-olah terjadi pada diri sendiri merupakan pusat dari pengalaman empati, dan proses-proses empati kognitif untuk mendukung atau menuju pengalaman afektif (Hoffman, 2000). Dalam aspek afektif, dibagi menjadi empat jenis empati afektif, yaitu: (1) perasaan pada pengamat harus sesuai dengan orang yang diamati; (2) perasaan pada pengamat sesuai dengan kondisi emosional orang lain namun dengan cara yang lain; (3) pengamat merasakan emosi yang berbeda dari emosi yang dilihatnya, disebut juga sebagai empati kontras; (4) perasaan pada pengamat harus menjadi satu untuk memberikan perhatian atau kasih sayang kepada penderitaan orang lain (Stotland; Sherman; Shaver; dan Batson dalam Baron & Wheelwright, 2004). 2.1.4 Komponen-komponen dalam empati 16 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Menurut Hoffman (1978 & 2000), proses empati yang berlaku dalam diri individu memiliki komponen-komponen di dalamnya. Dan berikut ini merupakan komponen empati yang terjadi pada individu : 1. Primitive Modes Komponen ini merupakan tingkatan yamg melibatkan proses kognitif dengan tingkat pemahaman yang sedikit. Tingkatan ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : a. Mimicry (peniruan) Disebut sebagai peniruan emosi yang dilakukan oleh observer secara otomatis atau tidak dengan dibuat-buat. Biasanya berupa ekspresi wajah, suara, dan posisi tubuh; b. Classical conditioning Merupakan suatu cara dapat memunculkan respon empati degan cepat dan secara otomatis. Dalam hal ini, respon yang diberikan dari proses pembelajaran pada pengalaman masa lalu, yang memberikan pengaruh pada pengalaman saat ini. Kurang lebih seperti tinbal balik perasaan; c. Direct association Merupakan suatu proses yang berlaku apabila individu melihat situasi yang melibatkan emosi dan 17 http://digilib.mercubuana.ac.id/ perasaan kemudian mengingatkan si individu tersebut mengenai masa lalu nya. 2. Mature Modes Tingkatan ini melibatkan proses kognitif dengan tingkat pemahaman yang lebih tinggi dan matang. Biasanya tingkatan ini berkembang sesuai dengan perkembangan bahasa dan aspek kognitif individu. Tingkatan ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : a. Languange mediated association Individu yang berada dalam jenis ini, biasanya mencetuskan empatinya melalui bahasa. Walaupun emosinya tidak dimunculkan secara langsung, namun melalui caranya berbicara, perasaan si individu akan terlihat. Melalui medium bahasa, individu akan membutuhkan kemampuan kognitif yang lebih tunggi berupa penafsiran bahasa dan proses memberikan penjelasan. b. Role taking Disebut juga sebagai pengambilan peranan, merupakan penggambaran perasaan empati yang berlaku apabila individu mengambil alih peranan melalui sudut pandang orang lain. Dalam role taking ini pun, dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : 18 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Self focused. Yaitu membayangkan seolah-olah dirinya sendiri yang mengalami permasalahan tersebut. Other focused. Yaitu membayangkan apa yang akan dialami oleh individu yang terlibat dalam situasi tersebut atau yang dialami oleh kebanyakan orang. 2.1.5 Tahap perkembangan empati Menurut Hoffman (2000), terdapat empat tahapan perkembangan empati, antara lain : 1. Global empathy Empati ini biasanya akan dirasakan oleh semua orang ketika diletakkan dalam sebuah situasi yang sama ketika ia baru saja dilahirkan. Empati ini tidak dapat dibedakan antara perspektif diri dan orang lain. Biasanya empati ini dialami oleh anak-anak yang baru lahir. 2. Egosentic empathy Empati ini terdapat pada anak yang berusia 6 bulan sampai dengan usia 1 tahun. Anak biasanya belum merasakan adanya ketakutan terhadap orang lain dan masih memiliki perspektif yang sama dengan orang lain. Anak masih belum mampu membedakan emosi 19 http://digilib.mercubuana.ac.id/ diri dan emosi orang lain tetapi tidak lagi dipengaruhi oleh emosi orang lain. Ketika seorang anak melihat emosi orang lain, mereka akan mengambilnya sebagai emosi miliknya—kemudian berkelakuan seolah-olah dirinya sendiri yang mengalami situasi tersebut. 3. Empathy for another feelings Anak yang berusia 2 atau 3 tahun sudah mulai untuk mengambil peran yang telah ada, seperti merespon isyarat dari orang lain dengan berbagai respon emosi. Seorang anak akan mulai mengenal adanya perbedaan antara setiap individu termasuk emosi yang ia miliki dengan emosi yang orang lain miliki. 4. Empathy for another condition Setelah melewati tahapan anak-anak, seorang anak memasuki usia preadolescense. Biasanya seorang anak akan memiliki kesadaran tentang kehidupannya yang terjadi dalam sehari-hari. Mulanya, seorang anak akan memahami bahwa adanya perbedaan antara dirinya dengan orang lain ketika dihadapkan oleh situasi yang berbeda, maka akan mengasilkan emosi dan respon yang berbeda. Selain itu, kesadaran anak akan hal tersebut juga akan memberikan pemahaman baru, bahwa setiap respon 20 http://digilib.mercubuana.ac.id/ dalam situasi yang berbeda akan memberikan emosi yang berbeda pula—kemudian menilai perasaan orang lain dengan menganalisis situasi yang terlibat atas seseorang secara konteks maupun hal yang melatarbelakangi. 2.1.6 Theory of Mind dalam Empati Theory of Mind (ToM) mengacu pada kemampuan kognitif yang menyimpulkan mengenai minat, niat, dan keyakinan bahwa diri sendiri dan orang lain memiliki keunikannya tersendiri ( Martin, dkk., 2013). Theory of Mind merupakan termasuk dalam bagian keterampilan berempatik, dimana ia berbicara mengenai sesuatu yang lebih luas lagi yang meliputi aspek emosional yang merupakan hasil dari penyimpulan atas pengalaman-pengalaman emosional yang lainnya (William & Wilkins, 2014). Beberapa ahli melihat empati sebagai proses kognitif yang menekankan kemampuan untuk terlibat dalam proses kognitif dengan perspektif psikologis individu lainnya (Wiliam & Wilkins, 2014). Proses inilah yang disebut sebagai ToM afektif atau ToM afektif kognitif (Wiliam & Wilkins, 2014). 21 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Dengan kata lain, empati kognitif menggambarkan situasi dimana subjek merupakan individu aktif yang secara sengaja untuk melangkah di luar diri dan “menjadi” pengalaman yang lain (Wiliam & Wilkins, 2014). Wiliam & Wilkins (2014) telah membuat skema untuk memahami antara Empati dengan ToM, berikut adalah skemanya : Empati Empati Kognitif ToM Kognitif Empati Emosi ToM Afektif Simulasi Dalam skema tersebut, menurut Wiliam & Wilkins (2014), Empati terdiri dari Empati kognitif dan Emosioanl Empati (Empati Emosi). Empati kognitif adalah proses empati yang melibatkan proses kognitif untuk pengambilan persepsi antara diri dengan orang lain. Empati kognitif dibagi lagi menjadi ToM kognitif, yaitu melibatkan bagaimana individu untuk memahami niat, hasrat, dan keyakinan orang lain; sedangkan ToM afektif melibatkan individu untuk berpikir mengenai perasaan orang lain. 22 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Sedangkan empati emosi merupakan simulasi dari individu untuk membedakan atas pengalaman yang terjadi pada dirinya dengan orang lain—sehingga hal itulah yang membuatnya berbeda dengan orang lain; selain itu, empati emosi melalui proses simulasi, juga termasuk kedalam komponen motor dan persepsi atau bisa dikatakan sebagai resonansi empati (Wiliam & Elkins, 2014). 2.2 Skizofrenia 2.2.1 Pengertian Skizofrenia Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, dan sosial-budaya (PPDGJ III, 2002). Durand & Barlow (2014) menyatakan bahwa skizofrenia adalah sindrom kompleks dan memiliki dampak buruk bagi orang yang terkena maupun keluarga orang dengan skizofrenia tersebut; dimana gangguan ini dapat mengganggu persepsi, cara berpikir, berbicara, dan gerakan. Skizofrenia juga merupakan sebuah sindroma kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan penderita maupun anggota-anggota keluarganya (Durand & Barlow, 2014). Sedangkan menurut Levine & Levine (2009), skizofrenia adalah gangguan otak yang 23 http://digilib.mercubuana.ac.id/ ditandai dengan berbagai macam gejala, yang mempengaruhi cara suatu individu untuk berpikir dan bertindak. Gejala skizofrenia terlihat saat Orang Dengan Skizofrenia mengalami kesulitan untuk membedakan mana yang nyata dan tidak nyata; mereka tidak dapat sepenuhnya mengontrol emosi dan sulit berpikir logis; dan mereka memiliki kesulitan untuk berhubungan sosial; mereka juga terkadang mendapatkan halusinasi—sehingga banyak perilaku aneh yang muncul dalam setiap tindakan mereka yang disebabkan oleh pikiran-pikiran mereka (Levine & Levine, 2009). Menurut Cancro & Lehmann (2000), Orang Dengan Skizofrenia kronis, cendrung menunjukkan penampilan fisik yang terabaikan. Mereka menunjukkan pribadi yang mencoba untuk menarik diri dari lingkungan masyarakat. Mereka dapat menunjukkan emosional dengan orang lain, namun memiliki kesulitan dalam mengkomunikasikan emosionalnya, sehingga orang lain cenderung sulit untuk mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Orang Dengan Skizofrenia. Cancro & Lehmann, 2000). Cancro & Lehmann (2000), menjelaskan bahwa ciri umum pasien skizofrenia yaitu hilangnya batasan ego dalam diri mereka. Pasien skizofrenia mengalami kesulitan untuk menentukan dalam menempatkan diri kepada lingkungan luar. Hal inilah yang sering 24 http://digilib.mercubuana.ac.id/ membuat mereka rentan dalam menyalahartikan peristiwa eksternal yang terjadi pada mereka.. Davison (2004) menjelaskan Skizofrenia lebih rinci lagi, ia mengatakan bahwa ciri-ciri dari masing-masing tie skizofrenia yaitu: 1) Skizofrenia paranoid seperti memiliki perasaan curiga, dan cenderung bermusuhan, dsb.; 2) Skizofrenia katatonik dengan ciri seperti patung, tidak makan, tidak minum, dsb.; 3) Skizofrenia tidak terorganisasi seperti perilaku kacau, pembicaraan yang tidak koheren, halusinasi, afek datar/ tidak sesuai. Adapun yang termasuk ke dalam spektrum skizofrenia diantaranya adalah gangguan skizoafektif, gangguan delusional, Brief Psychotic Disorder, Shared Psychotic Disorder, gangguan psikotik, dan gangguan psikotik yang lainnya. (DSM V, 2013). 2.2.2 Gejala-gejala Skizofrenia Skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Pikiran, perasaan dan perbuatan yang paling intim/mendalam sering terasa diketahui oleh orang lain, dan waham-waham yang timbul, yang menjelaskan bahwa kekuatan alami dan supranatural yang sedang bekerja mempengaruhi pikiran dan perbuatan penderita dengan cara-cara yang sering tidak masuk akal. Individu mungkin menganggap dirinya sebagai pusat segalanya yang terjadi. 25 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Halusinasi, terutama auditorik, biasa dijumpai dan mungkin memberi komentar tentang perilaku pikiran individu penderita. Indikator preskizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang atau berputar-putar. Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tidak disiplin (WHO, 1993). Sedangkan menurut PPDGJ III (2002), ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar dan tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. menjelaskan bahwa Definisi skizofrenia lain menurut adalah DSM gangguan V, yang berlangsung selama minimal 6 bulan atau setidaknya 1 bulan gejala aktif seperti delusi, halusinasi, bicara tidak tteratur, dan perilaku tidak teratur atau katatonik. Menurut Durand & Barlow (2014), dalam bukunya yang berjudul Psikologi Abnormal menjelaskan bahwa skizofrenia 26 http://digilib.mercubuana.ac.id/ memiliki gejala positif, gejala negatif, dan gejala-gejala disorganisasi: 1. Gejala Positif Gejala positif meliputi manifestasi-manifestasi yang lebih aktif dari perilaku abnormal, atau ekses atau distorsi dari perilaku normal; ini termasuk delusi dan halusinasi (Amerian Psychiatric Association, 2013). a. Delusi Keyakinan yang oleh masyarakat dianggap kebanyakan sebagai anggota misinterpretasi terhadap realitas disebut delusi. Karena pentingnya delusi dalam skizofrenia, delusi dianggap sebagai ciri dasar kegilaan (Jaspers, 1963). Misalnya, jika ada yang menganggap tupai adalah alien yang dikirim ke Bumi untuk misi mata-mata, maka ia akan dianggap delusional. b. Halusinasi Halusinasi dianggap sebagai pengalaman kejadian sensorik tanpa input dari lingkungan sektira. Seperti merasa seseorang memanggil nama kita, lalu kita tidak menemukan seorangpun disekitar kita. 2. Gejala Negatif 27 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Gejala-gejala negatif melibatkan defisit dalam perilaku abnormal, misalnya dalam hal pembicaraan dan motivasi. a. Avolisi Merupakan ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahanan berbagai macam kegiatan. Orang dengan skizofrenia menunjukkan minat rendah untuk melakukan sesuatu, bahkan fungsi dasar sehari-hari, termasuk kesehatan pribdi. b. Alogia Mengacu pada relatif ketiadaan pembicaraan. Orang dengan alogia mungkin merespons pertanyaan dengan jawaban pendek yang isinya terbatas dan mungkin tampak tidak tertarik untuk bercakapcakap. c. Anhedonia Anhedonia merupakan ketiadaan perasaan senang. Seperti halnya beberapa macam gangguan suasana perasaan, anhedonia memberikan isyarat sikap tidak peduli terhadap kegiatan yang biasanya dianggap menyenangkan. d. Pendataran Afek 28 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Pendataran afek merupakan salah satu ciri bagi penderita skizofrenia, dimana penderita skizofrenia tidak bisa memberikan renspon emosional secara aktif, walaupun kita dapat mengajak mereka berbicara. 3. Gejala-gejala disorganisasi Mungkin, gejala skizofrenia yang paling sedikit diteliti dan paling sedikit diketahui adalah disorganized symptoms (gejala-gejala disorganisasi). Gejala ini mmeliputi berbagai macam perilaku eratik yang mempengaruh pembicaraan, perilaku motorik, dan reaksi emosional. Davison (2004) juga menjabarkan episode-episode pada penderita skizfrenia, antara lain : 1. Fase Prodormal, yaitu fase penurunan. Ditandai dengan berkurangnya minat dalam aktivitas sosial, kesulitan memenuhi tanggung jawab, kurang peduli penampilan, perilaku aneh, penurunan performa kerja, dan melantur; 2. Fase Akut, yaitu perilaku semakin aneh. Ditandai dengan menimbun makanan, samah, bicara sendiri, halusinasi, dan waham; 29 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 3. Fase Residual, yaitu perilaku kembali pada tingkat sebelumnya. Ditandai dengan perasaan apatis, kesulitan berpikir, kesulitan berbicara jelas, dan menympan ide yang tidak biasa. 2.2.3 Etiologi Kebanyakan ilmuan berpikir bahwa skizofrenia disebabkan karena terdapat masalah dalam perkembangan otak yang menghasilkan ketidakseimbangan neurokimia—meskipun tidak ada yang sepenuhnya mengerti bagaimana hal itu dapat berkembang di dalam otak seseorang (Levine & Levine, 2009). Kaplan & Sadock (2000) menduga bahwa penyebab dari skizofrenia adalah faktor genetik; faktor biologis seperti tingginya tingkat dopamin, serotonin, dan neuroimunovirologis. Selain itu, penyebab skizofrenia bisa juga disebabkan karena adanya efek dari zat adiktif, dan juga oleh faktor lingkungan—walaupun belum mampu sepenuhnya dijelaskan oleh para peneliti (Tsuang, 2000). Namun berdasarkan referensi yang peneliti temukan, bahwa skizofrenia disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor selama masa perkembangan, disebabkan karena adanya pengaruh genetik, pengaruh neurobiologis, serta pengaruh psikososial. (Durand & Barlow, 2014) 1. Faktor Perkembangan 30 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Skizofrenia pada umumnya muncul pada usia dewasa awal. (Durand & Barlow, 2014). Karena, mungkin saja, bahwa terjadinya perkembangan kerusakan awal otak (berdasarkan pada periode penelitian dari McNeil, Cantor-Grae, dan Weinberger, 2001 dalam Durand & Barlow, 2014). 2. Faktor Genetik Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, dimana hal ini dinamakan quantitative trait loci. Oleh karena itu, semakin banyaknya jumlah anggota keluarga, maka kemungkinan individu dapat terkena skizofrenia pun akan besar (Levinsonn, dkk., 1998; Plomin, Owen, dan McGuffi, 1994, dalam Durand & Barlow, 2014). Hal itulah yang mengklarifikasikan kenapa adanya gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari yang berat sampai ringan) dan mengapa resiko untuk skizofrenia semakin tinggi (Durand & Barlow, 2014). Faktor Neurobiologis Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia, yaitu melalui jalur mesolimbik, mesokorteks, nigrostriatal, dan tuberoinfundibuler (Kaplan & Sadock, 2000). Hampir semua obat antipsikotik menyekat reseptor dopamin 𝐷2 31 http://digilib.mercubuana.ac.id/ untuk meredakan gejala psikotik (Kaplan dan Sadock, 2000). Selain faktor dopamin, terdapat juga faktor kerusakan pada bagian otak. dimana dalam penelitian Cleghorn & Albert (1990), orang dewasa yang memiliki skizofrenia memperlihatkan defisit dalam kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dan untuk memusatkan perhatian (Durand & Barlow, 2014). Yang terakhir, kemungkinan besar terdapat infeksi virus dalam diri hipotesis seseorang. dan Walaupun masih belum adanya bukti sekedar kuat yang mendukung, tetapi adanya indikasi bahwa penyakit seperti virus yang menyebabkan kerusakan otak pada janin kelak dapat mengakibatkan gejala-gejala skizofrenia, sehingga itulah yang memberikan jawaban kenapa penderita skizofrenia menunjukkan tingkah laku seperti itu (Durand & Barlow, 2014). 3. Pengaruh Psikososial Dalam bukunya, Durand & Barlow (2014) mengatakan bahwa skizofrenia juga bisa disebabkan karena adanya stressor atau pemicu stress, sehingga menjadi pemicu skizofrenia. Dan apabila penderita skizofrenia telah dinyatakan sembuh, akan ada kemungkinannya mereka 32 http://digilib.mercubuana.ac.id/ dapat mengalami kekambuhan (relaps). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ventura, dkk. (2000), menunjukkan hasil bahwa kejadian hidup yang stres dapat meningkatkan depresi di kalangan penderita skizofrenia, yang pada gilirannya mungkin memberikan kekambuhan (Durand & Barlow, 2014). Selain karena adanya pemicu stress, faktor keluarga pun akan menyebabkan seseorang menjadi penderita skizofrenia. Berdasarkan teori dari Fromm-Reichman (1948) yang menggunakan istilah schizophrenogenic mother, dimana istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sikap yang dingin, dominan, dan penolak, sehingga menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2014). Di dukung juga oleh penelitian Tsuang (2000), dalam penelitiannya dijelaskan bahwa sangat mungkin faktor lingkungan akan berinteraksi dengan faktor genetik yang kemudian menghasilkan gangguan skizofrenia. 2.3 Empati pada Skizofrenia Hal yang mendasari kenapa Orang Dengan Skizofrenia kesulitan dalam berhubungan sosial, mungkin bisa dikatakan bahwa hal itu 33 http://digilib.mercubuana.ac.id/ dikarenakan terjadinya defisit empati yang terjadi dalam diri mereka (Lee, 2007). Atau bisa jadi sebaliknya, Orang Dengan Skizofrenia mungkin saja sulit bersosialisasi karena gangguannya yang membuatnya untuk tidak mampu mewakili apa yang orang lain pikirkan dan rasakan (Stanghellini, 2000). Selain itu, Stanghellini (2000) juga melanjutkan, defisit empati mungkin mendasari gangguan fungsi sosial bagi penderita skizofrenia, misalnya menengahi pemahaman orang lain dalam interaksi sosial; mensimulasi pikiran orang dan perasaan orang lain ke dalam dirinya, hal ini bisa juga, dalam artian lain, disebut gangguan attunement intuitif, atau defisit dalam hubungan dengan orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Bora, dkk., (2008) juga turut menerangkan bahwa orang skizofrenia mengalami defisit empati yang bisa dikatakan „parah‟ dan memiliki kesenjangan yang serius antara diri dengan keterampilan berempatik. Maka, dalam sub bab ini, terdapat 3 aspek yang akan dibahas untuk memahami empati pada Orang Dengan Skizofrenia. Dimana aspek-aspek tersebut antara lain adalah aspek empati motorik, aspek empati afektif, dan aspek empati kognitif. 2.3.1 Aspek Empati Motorik pada Skizofrenia Menurut Hoffman (1978), aspek motorik dalam empati disebut juga sebagai Motor Mimicry, dimana konsep motor mimicry ini juga termasuk ke dalam primitif empati. Hoffman (1978), menyebutkan bahwa motor mimicry merupakan peniruan 34 http://digilib.mercubuana.ac.id/ emosi yang kemudian dimanifestasikan ke dalam bentuk afek atau ekspresi wajah, suara, atau gestur tubuh. Pada orang normal, menggunakan afek wajah untuk menunjukkan empati (mimicry), mungkin bisa dikatakan mudah (Blair, 2007). Mungkin akan menunjukkan hal yang berbeda jika dibandingkan dengan Orang Dengan Skizofrenia. Penelitian yang dilakukan oleh Germeys, dkk., (2000), menyatakan bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki afek datar. Selain itu, penelitian-penelitian lainnya juga sudah menyebutkan bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki defisit afek wajah, sehingga menunjukkan bahwa ekspresi mereka terlihat datar (Bozikas, dkk., 2004 & Lee, 2007). Haker & Rossler (2000), melakukan penelitian mengenai resonansi empatik pada Orang Dengan Skizofrenia, menunjukkan hasil bahwa resonansi empatik pada Orang Dengan Skizofrenia cenderung rendah. Dimana resonansi empati adalah fenomena dimana satu orang secara sadar mampu mencerminkan tindakan motorik sebagai dasar dari ekspresi emosi orang lain (Haker & Rossler, 2000). Dalam penelitiannya, Haker & Rossler (2000) merekam kegiatan pasien skizofrenia (43 orang) dan orang normal dengan jenis kelamin dan usia yang sama (45 orang). Hasilnya, individu dengan skizofrenia menunjukkan „penularan‟ empati yang lebih rendah dalam tingkah laku menguap/bosan dan tertawa. 35 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Rendahnya tingkat penularan ini, berkorelasi dengan skizofrenia sindrom negatif dan ketidak-berfungsian fungsi sosial (Haker & Rossler, 2000). Mereka—Haker & Rossler (2000)— menyimpulkan bahwa gangguan resonansi adalah kecacatan bagi Orang Dengan Skizofrenia dalam kehidupan sosialnya. Lebih lanjut, penelitian dari Germeys dkk., juga kembali diperdalam oleh Horan, dkk., (2014), dimana saat dilakukan pemeriksaan fMRI pada Orang Dengan Skizofrenia, Horan, dkk., menemukan bahwa terjadi kegagalan antara hubungan aktifitas saraf pada Orang Dengan Skizofrenia. Sehingga, hasil pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Orang Dengan Skizofrenia mengalami penurunan empati dalam menunjukkan ekspresi wajah. Padahal, identifikasi afek wajah merupakan proses empati paling mendasar bagi suatu individu (Goldman, 2006). 2.3.2 Aspek Empati Afektif pada Skizofrenia Singkatnya, empati merupakan pengalaman afektif dalam suatu individu, oleh karena itu kenapa empati masuk ke dalam aspek afektif (Hoffman, 2000). Namun, beberapa penelitian yang dilakukan pada Orang Dengan Skizofrenia menunjukkan beberapa hasil yang menyebutkan bahwa aspek empati afektif pada Orang Dengan Skizofrenia dengan individu normal cenderung berbeda. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Lee (2007) yang menunjukkan hasil bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki 36 http://digilib.mercubuana.ac.id/ perasaan untuk mengatur interaksi sosial yang tumpul, dan tanggapan afektif yang muncul dari situasi sosial sering tidak sesuai. Tetapi, muncul hasil penelitian yang menarik yang dilakukan oleh Corbera, dkk., (2013) melakukan penelitian untuk mengukur kognitif sosial, fungsi sosial, kualitas hidup, dan neurokognisi pada penderita skizofrenia. Hasilnya, dalam penelitian mereka Orang Dengan Skizofrenia menunjukkan tiga faktor dalam keberfungsian sosialnya, yaitu hubungan interpersonal, kognisi sosial dasar, dan empati. Dari hasil yang ditunjukkan itu, kelompok Orang Dengan Skzofrenia memiliki hubungan interpersonal dan kognisi sosial yang dasar. Namun, Orang Dengan Skizofrenia memiliki level empati yang sama dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan, secara sosial Orang Dengan Skizofrenia mungkin memiliki hubungan yang kurang lancar, namun dalam hal empati, Orang Dengan Skzofrenia memiliki tingkat empati yang sama. (Corbera, dkk., 2013). Selain itu, penelitian dari Corbera, dkk., ini pun juga turut didukung oleh beberapa penelitian lainnya. Seperti yang pernah diteliti oleh Michaels, dkk., (2014), yang menunjukkan hasil bahwa walaupun Orang Dengan Skizofrenia memiliki empati kognitif yang rendah, tetapi Orang Dengan Skizofrenia memiliki 37 http://digilib.mercubuana.ac.id/ empati afektif yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (dalam hal ini, kelompok kontrol merupakan individu normal). Bahkan, penelitian lebih lanjut dengan metode yang sama, menunjukkan beberapa bukti bahwa beberapa aspek empati mungkin utuh atau memiliki tingkat responsif yang lebih tinggi pada Orang Dengan Skizofrenia (Horan, dkk., 2015). Begitupun hasil penelitian yang dilakukan oleh Lehman, dkk., (2014) yang menjelaskan bahwa Orang Dengan Skizofrenia memang menunjukkan terjadinya gangguan pada empati kognitif. Tetapi dalam lain hal, Orang Dengan Skizofrenia juga mempertahankan empati emosional atau afektif (Lehman, dkk., 2014). 2.3.3 Aspek Empati Kognitif pada Skizofrenia Walaupun empati merupakan bagian dari aspek afektif, tetapi respons emosional yang seolah-olah terjadi pada diri sendiri merupakan pusat dari pengalaman empati, dan proses-proses kognitif untuk mendukung atau menuju pengalaman afektif (Hoffman, 2000). Oleh karena itu, aspek kognitif berperan penting dalam kemampuan individu dalam berempati (Baron & Wheelwright, 2004). Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Orang Dengan Skizofrenia secara otomatis akan mengalami defisit empati pada aspek kognitifnya (Lee, 2007). 38 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Preston & De Waal (2002) dalam penelitiannya yang mengkaji empati melalui gambaran neuro dan fungsi otak, menemukan bahwa pada individu normal: 1) bagian Amigdala, cingulata, dan orbitoforontal korteks melibatkan persepsi dan regulasi emosi; sedangkan 2) dorsolateral dan daerah prefrontal ventromedial terlibat dalam memegang dan memanipulasi informasi. Amigdala, frontal orbital, dan wilayah ventrolateral juga pernah dijelaskan oleh Blair (2007) sebagai rute-rute penyampaian informasi dalam pengelolahan emosional—wilayah tersebut sebagai mediasi pada pemahaman emosional tentang objek atau bagaimana caranya memulai respon. Sedangkan, yang terjadi pada Orang Dengan Skizofrenia, bahwa mereka menunjukkan adanya penurunan aktivasi pada amigdala dan menunjukkan kurangnya aktivasi pada korteks prefrontal kiri (Gur, dkk., 2002). Bahkan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Schaub (2013) juga turut mendukung penelitian dari Preston & De Waal. Penelitian Schaub, dkk., adalah sebuah penelitian yang membandingkan Orang Dengan Skizofrenia dengan orang yang mengalami gangguan depresif. Hasilnya, secara gambaran neuro, orang dengan gangguan depresif menunjukkan memori jangka pendek verbal dan visual, lisan, visual-motorik, pengolahan informasi fungsi visual-verbal dan perhatian selektif yang lebih 39 http://digilib.mercubuana.ac.id/ baik dibandingkan dengan Orang Dengan Skizofrenia (Schaub, 2013). Namun, penelitian yang dilakukan oleh Lee, dkk., (2006), menujukkan hasil yang berbeda: dimana dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa bagian korteks prefrontal pada orang dengan skizofrenia episode akut mengalami perbaikan. Dalam penelitiannya, pasien Skizofrenia Episode Akut menjalani pemeriksaan fungsi otak dengan menggunakan fMRI; sehingga terlihat bahwa pada bagian otak tertentu mengalami perbaikan— Dimana hal itu sangat berkorelasi dengan peningkatan pemahaman dan fungsi sosial (Lee, dkk., 2006). Oleh karena itu, pola penurunan empati atau defisit empati sebenarnya tergantung pada bentuk simptom dan juga pada jenis skizofrenia tertentu, seperti: Skizofrenia dengan gangguan pada motorik (Katatonik), Disorganization, dan skizofrenia dengan halusinasi dan delusi (Lee, 2007). 40 http://digilib.mercubuana.ac.id/