BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Pengertian Empati

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Empati
2.1.1
Pengertian Empati
Empati, secara harfiah, dalam bahasa Yunani, yaitu
“empatheia”, dapat diartikan sebagai “kekuatan untuk memahami
hal di luar diri kita” atau juga memiliki makna tersirat yang berarti
“perasaan batiniah” (Woodruff, 2007).
Definisi lain menyebutkan bahwa empati merupakan
kapasitas mengambil peran orang lain dan mengadopsi perspektif
orang lain yang kemudian dihubungkan dengan diri sendiri
(Eisenberg, 2000). Empati, atau terkadang disebut sebagai
“Theory of Mind”, juga di definiskan sebagai atribut dalam
pikiran kita untuk memahami kondisi mental diri sendiri dan
orang
lain
dengan
cara
menafsirkan,
memprediksi,
dan
menjelaskan perilaku yang mendalam seperti memahami niat,
keyakinan, ataupun keinginan (Zahavi, 2014). Sedangkan,
menurut Blair (2007), empati adalah reaksi emosional; antara
reaksi pengamat kepada kondisi afeksi individu lain. Teori lain
yang juga mendukung, menjelaskan bahwa empati terdiri dari
Empati kognitif yang mana individu merepresentasikan kondisi
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mental orang lain, dan juga respons emosional kepada orang lain
yang kongruen/ sama dengan reaksi emosional orang lain (Blair,
2007). Jadi, dari uraian-uraian tersebut, bisa dikatakan bahwa
empati adalah kemampuan kognitif untuk memahami kondisi
mental dan emosional orang lain.
Walaupun, empati telah dijelaskan sebagai suatu fungsi
kognitif, berbeda dengan Hoffman (2000) yang juga menjelaskan
bahwa aspek afektif dalam empati juga sangat penting. Dalam
bukunya yang berjudul Empathy and Moral Development (2000),
menjelaskan
bahwa
empati
adalah
respon
afektif
yang
mewakilkan perasaan orang lain. Menurutnya, empati merupakan
keterlibatan dalam suatu proses psikologis yang membuat
seseorang memiliki perasaan yang lebih kongruen/sama dengan
mengintegrasikan situasi diri sendiri dari situasi orang lain
(Hoffman, 2000). Teori lain yang juga mendukung, menjelaskan
bahwa empati terdiri dari Empati kognitif yang mana individu
merepresentasikan kondisi mental orang lain, dan juga respons
emosional kepada orang lain yang kongruen/ sama dengan reaksi
emosional orang lain (Blair, 2007). Sama halnya dengan
Eisenberg (2000), bahwa ia juga menyatakan bahwa empati adalah
sebuah respon afektif yang berasal dari penangkapan atau
pemahaman keadaan emosi atau orang lain, dan yang mirip
dengan perasaan orang lain; empati juga sebagai kemampuan
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu
menghayati pengalaman orang lain.
2.1.2
Faktor yang Mempengaruhi Empati
Menurut Hoffman (1987), faktor-faktor yang empengaruhi
seseorang menerima dan memberi empati adalah sebagai berikut :
1. Sosialisasi. Sosialisasi dapat mempengaruhi empati
melalui
permainan-permainan
yang
memberikan
peluang kepada anak untuk mengalami sejumlah emosi,
membantu untuk lebih berpikir dan memberikan
perhatian kepada orang lain, serta lebih terbuka
terhadap
kebutuhan
orang
lain
sehingga
akan
meningkatkan kemampuan berempatinya;
2. Mood dan Feeling. Apabila seseorang dalam situasi
perasaan yang baik, maka dalam berinteraksi dan
menghadapi orang lain ia akan lebih baik dalam
menerima keadaan orang lain;
3. Proses belajar dan Identifikasi. Dalam proses belajar,
seorang anak membutuhkan respon-respon khas, dari
situasi yang khas, yang disesuaikan dengan pengaturan
yang dibuat oleh orang tua
atau orang
yang
mengendalikan lainnya.
4. Situasi atau Tempat. Pada situasi tertentu seseorang
dapat berempati lebih baik dibandingkan dengan situasi
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang lain. Hal ini disebabkan situasi dan tempat yang
berbeda dapat memberikan suasana yang berbeda pula.
Suasana yang berbeda inilah yang dapat meninggirendahkan empati seseorang;
5. Pengasuhan. Lingkungan yang berempati dari suatu
keluarga
sangat
membantu
seseorang
dalam
menumbuhkan empati dalam dirinya. Seseorang yang
dibesarkan dalam lingkungan rumah yang penuh cacian
dan makian serta persoalan dapat dipastikan akan
menumbuhkan empati buruk pula dalam diri seseorang.
2.1.3
Jenis-jenis Empati
Para teoritikus kontemporer seperti Eisenberg (2000) dan
Hoffman (2000) menyatakan bahwa empati terdiri atas dua aspek,
diantaranya :
1. Aspek Kognitif
Aspek kognitif sangat berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk merepresentasikan keadaan mental
orang lain, seperti pikiran orang lain, keinginan, niat,
dan pengetahuan orang lain—sehingga aspek kognitif
memungkinkan seseorang mampu untuk menjelaskan
dan memprediksikan tingkah laku seseorang (Blair,
2007). Hal ini menjelaskan bahwa proses kognitif
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sangat berperan penting dalam proses empati (Hoffman,
2000).
Hoffman mendefinisikan komponen kognitif sebagai
kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman
masa lalu dari memori dan kemampuan untuk
memproses informasi semantik melalui pengalamanpengalaman. Eisenberg & Strayer (1987) menyatakan
bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses
empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara
individu
(perceiver)
Wheelwright,
dan orang lain
2004).
Dengan
kata
(Baron &
lain,
adanya
pemisahan antara perspektif sendiri, menghubungkan
keadaan mental orang lain dan menyimpulkan isi dari
kondisi mental mereka, serta mengingat kembali ketika
hal yang sama terjadi (Baron & Wheelwright, 2004).
Dalam proses kognitif, para ahli telah mengungkapkan
bahwa
terdapat
sejumlah
proses
kognitif
yang
dilibatkan dalam empati. Dimana proses kognitif
tersebut dijelaskan mulai dari tingkatan mekanisme
kognitif sederhana sampai pada proses yang lebih
kompleks (Davis, 1996; Hoffman, 2000). Tingkatan
tersebut antara lain: (1) differentiation of the self from
others
(Eisenberg
&
Strayer,
1987);
(2)
the
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
differentiation of emotional state (Feshbach, 1978); (3)
social referencing and emotional meaning (Eisenberg,
1986); (4) kemampuan untuk membedakan dan labeling
different emotional states (Feshbach, 1978); dan (5)
cognitive role taking ability (Hoffman, 2000).
a. Differentiation of self from others
Membedakan
diri
dengan
dimaksudkan
sebagai
yang
membagikan
lainnya,
respon
emosional yang merefleksikan perasaan-perasaan
orang lain sebagaimana perasaannya sendiri.
b. The differentiation of emotional states
Tingkatan
ini
merupakan
tingkatan
dimana
seseorang mampu untuk mengenali dan mengingat
bentuk-bentuk emosi yang berbeda-beda yang
didasarkan pada perasaan dan bersifat situasional.
c. Social referencing and emotional meaning
Tingkatan ini merujuk kepada penelitian Eisenberg,
dkk. (1997), yang menyatakan bahwa referensi
sosial mulai muncul pada tahun usia anak. dimana
ekspresi emosional orangtua menjadi penuntun atau
contoh perilaku anak di dalam sejumlah situasi yang
berbeda-beda, termasuk dalam berinteraksi dengan
orang lain.
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
d. Labeling different emotional states
Merujuk kembali pada penelitian Eisenberg, dkk.
(1997), anak-anak sudah mampu menunjukkan
sikap emosi dasar sesuai tanggapan si anak terhadap
situasi yang ada di depannya.
e. Cognitive role taking ability
Menurut Hoffman (2000), cognitive role taking
ability adalah tingkatan tertinggi dalam empati
kognitif. Dimana kemampuan ini menempatkan diri
sendiri ke dalam situasi orang lain dalam rangka
untuk mengetahui secara tepat pikiran-pikiran dan
atau perasaan orang tersebut. Sehingga, dibutuhkan
kedalaman kognitif untuk mampu memahami
perasaan-perasaan orang lain.
Hoffman (2000) menyatakan terdapat dua tipe role
taking, yaitu self focused yang berpusat pada diri
sediri, dengan membayangkan dirinya sendiri
berada pada kondisi orang lain dan merefleksikan
bagaimana dia akan merasakan hal yang sama pada
kondisi yang sedang dialami oleh orang tersebut;
dan other focused, dimana seseorang memusatkan
perhatiannya pada sifat-sifat dan situasi orang lain,
sehingga dia bisa memastikan kondisi-kondisi
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perasaan dan pikiran orang lain. Kedua bentuk roletaking tersebut pada tahap awal berguna untuk
memproyeksikan diri (the self), dan kemudian
memasuki perspektif orang lain.
2. Aspek Afektif
Pada dasarnya, empati adalah sebuah pengalaman
afektif (Hoffman, 2000). Respons emosional yang
seolah-olah terjadi pada diri sendiri merupakan pusat
dari pengalaman empati, dan proses-proses empati
kognitif untuk mendukung atau menuju pengalaman
afektif (Hoffman, 2000).
Dalam aspek afektif, dibagi menjadi empat jenis empati
afektif, yaitu: (1) perasaan pada pengamat harus sesuai
dengan orang yang diamati; (2) perasaan pada
pengamat sesuai dengan kondisi emosional orang lain
namun dengan cara yang lain; (3) pengamat merasakan
emosi yang berbeda dari emosi yang dilihatnya, disebut
juga sebagai empati kontras; (4) perasaan pada
pengamat harus menjadi satu untuk memberikan
perhatian atau kasih sayang kepada penderitaan orang
lain (Stotland; Sherman; Shaver; dan Batson dalam
Baron & Wheelwright, 2004).
2.1.4
Komponen-komponen dalam empati
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut Hoffman (1978 & 2000), proses empati yang
berlaku dalam diri individu memiliki komponen-komponen di
dalamnya. Dan berikut ini merupakan komponen empati yang
terjadi pada individu :
1. Primitive Modes
Komponen ini merupakan tingkatan yamg melibatkan
proses kognitif dengan tingkat pemahaman yang
sedikit. Tingkatan ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Mimicry (peniruan)
Disebut sebagai peniruan emosi yang dilakukan
oleh observer secara otomatis atau tidak dengan
dibuat-buat. Biasanya berupa ekspresi wajah, suara,
dan posisi tubuh;
b. Classical conditioning
Merupakan suatu cara dapat memunculkan respon
empati degan cepat dan secara otomatis. Dalam hal
ini, respon yang diberikan dari proses pembelajaran
pada pengalaman masa lalu, yang memberikan
pengaruh pada pengalaman saat ini. Kurang lebih
seperti tinbal balik perasaan;
c. Direct association
Merupakan suatu proses yang berlaku apabila
individu melihat situasi yang melibatkan emosi dan
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perasaan kemudian mengingatkan si individu
tersebut mengenai masa lalu nya.
2. Mature Modes
Tingkatan ini melibatkan proses kognitif dengan tingkat
pemahaman yang lebih tinggi dan matang. Biasanya
tingkatan ini berkembang sesuai dengan perkembangan
bahasa dan aspek kognitif individu. Tingkatan ini dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Languange mediated association
Individu yang berada dalam jenis ini, biasanya
mencetuskan empatinya melalui bahasa. Walaupun
emosinya tidak dimunculkan secara langsung,
namun melalui caranya berbicara, perasaan si
individu akan terlihat. Melalui medium bahasa,
individu akan membutuhkan kemampuan kognitif
yang lebih tunggi berupa penafsiran bahasa dan
proses memberikan penjelasan.
b. Role taking
Disebut
juga
sebagai
pengambilan
peranan,
merupakan penggambaran perasaan empati yang
berlaku apabila individu mengambil alih peranan
melalui sudut pandang orang lain. Dalam role
taking ini pun, dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/

Self focused. Yaitu membayangkan seolah-olah
dirinya sendiri yang mengalami permasalahan
tersebut.

Other focused. Yaitu membayangkan apa yang
akan dialami oleh individu yang terlibat dalam
situasi
tersebut
atau
yang
dialami
oleh
kebanyakan orang.
2.1.5
Tahap perkembangan empati
Menurut
Hoffman
(2000),
terdapat
empat
tahapan
perkembangan empati, antara lain :
1. Global empathy
Empati ini biasanya akan dirasakan oleh semua orang
ketika diletakkan dalam sebuah situasi yang sama
ketika ia baru saja dilahirkan. Empati ini tidak dapat
dibedakan antara perspektif diri dan orang lain.
Biasanya empati ini dialami oleh anak-anak yang baru
lahir.
2. Egosentic empathy
Empati ini terdapat pada anak yang berusia 6 bulan
sampai dengan usia 1 tahun. Anak biasanya belum
merasakan adanya ketakutan terhadap orang lain dan
masih memiliki perspektif yang sama dengan orang
lain. Anak masih belum mampu membedakan emosi
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
diri dan emosi orang lain tetapi tidak lagi dipengaruhi
oleh emosi orang lain. Ketika seorang anak melihat
emosi orang lain, mereka akan mengambilnya sebagai
emosi miliknya—kemudian berkelakuan seolah-olah
dirinya sendiri yang mengalami situasi tersebut.
3. Empathy for another feelings
Anak yang berusia 2 atau 3 tahun sudah mulai untuk
mengambil peran yang telah ada, seperti merespon
isyarat dari orang lain dengan berbagai respon emosi.
Seorang anak akan mulai mengenal adanya perbedaan
antara setiap individu termasuk emosi yang ia miliki
dengan emosi yang orang lain miliki.
4. Empathy for another condition
Setelah melewati tahapan anak-anak, seorang anak
memasuki usia preadolescense. Biasanya seorang anak
akan memiliki kesadaran tentang kehidupannya yang
terjadi dalam sehari-hari. Mulanya, seorang anak akan
memahami bahwa adanya perbedaan antara dirinya
dengan orang lain ketika dihadapkan oleh situasi yang
berbeda, maka akan mengasilkan emosi dan respon
yang berbeda.
Selain itu, kesadaran anak akan hal tersebut juga akan
memberikan pemahaman baru, bahwa setiap respon
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dalam situasi yang berbeda akan memberikan emosi
yang berbeda pula—kemudian menilai perasaan orang
lain dengan menganalisis situasi yang terlibat atas
seseorang
secara
konteks
maupun
hal
yang
melatarbelakangi.
2.1.6
Theory of Mind dalam Empati
Theory of Mind (ToM) mengacu pada kemampuan kognitif
yang menyimpulkan mengenai minat, niat, dan keyakinan bahwa
diri sendiri dan orang lain memiliki keunikannya tersendiri (
Martin, dkk., 2013).
Theory of Mind merupakan termasuk dalam bagian
keterampilan berempatik, dimana ia berbicara mengenai sesuatu
yang lebih luas lagi yang meliputi aspek emosional yang
merupakan hasil dari penyimpulan atas pengalaman-pengalaman
emosional yang lainnya (William & Wilkins, 2014).
Beberapa ahli melihat empati sebagai proses kognitif yang
menekankan kemampuan untuk terlibat dalam proses kognitif
dengan perspektif psikologis individu lainnya (Wiliam & Wilkins,
2014). Proses inilah yang disebut sebagai ToM afektif atau ToM
afektif kognitif (Wiliam & Wilkins, 2014).
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dengan kata lain, empati kognitif menggambarkan situasi
dimana subjek merupakan individu aktif yang secara sengaja
untuk melangkah di luar diri dan “menjadi” pengalaman yang lain
(Wiliam & Wilkins, 2014).
Wiliam & Wilkins (2014) telah membuat skema untuk
memahami antara Empati dengan ToM, berikut adalah skemanya :
Empati
Empati
Kognitif
ToM
Kognitif
Empati
Emosi
ToM
Afektif
Simulasi
Dalam skema tersebut, menurut Wiliam & Wilkins (2014),
Empati terdiri dari Empati kognitif dan Emosioanl Empati
(Empati Emosi). Empati kognitif adalah proses empati yang
melibatkan proses kognitif untuk pengambilan persepsi antara diri
dengan orang lain. Empati kognitif dibagi lagi menjadi ToM
kognitif, yaitu melibatkan bagaimana individu untuk memahami
niat, hasrat, dan keyakinan orang lain; sedangkan ToM afektif
melibatkan individu untuk berpikir mengenai perasaan orang lain.
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Sedangkan empati emosi merupakan simulasi dari individu
untuk membedakan atas pengalaman yang terjadi pada dirinya
dengan orang lain—sehingga hal itulah yang membuatnya berbeda
dengan orang lain; selain itu, empati emosi melalui proses
simulasi, juga termasuk kedalam komponen motor dan persepsi
atau bisa dikatakan sebagai resonansi empati (Wiliam & Elkins,
2014).
2.2 Skizofrenia
2.2.1
Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan
variasi penyebab dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat
kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, dan sosial-budaya (PPDGJ III,
2002). Durand & Barlow (2014) menyatakan bahwa skizofrenia
adalah sindrom kompleks dan memiliki dampak buruk bagi orang
yang terkena maupun keluarga orang dengan skizofrenia tersebut;
dimana gangguan ini dapat mengganggu persepsi, cara berpikir,
berbicara, dan gerakan. Skizofrenia juga merupakan sebuah
sindroma kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek
merusak pada kehidupan penderita maupun anggota-anggota
keluarganya (Durand & Barlow, 2014). Sedangkan menurut
Levine & Levine (2009), skizofrenia adalah gangguan otak yang
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
ditandai dengan berbagai macam gejala, yang mempengaruhi cara
suatu individu untuk berpikir dan bertindak.
Gejala skizofrenia terlihat saat Orang Dengan Skizofrenia
mengalami kesulitan untuk membedakan mana yang nyata dan
tidak nyata; mereka tidak dapat sepenuhnya mengontrol emosi dan
sulit berpikir logis; dan mereka memiliki kesulitan untuk
berhubungan
sosial;
mereka
juga
terkadang mendapatkan
halusinasi—sehingga banyak perilaku aneh yang muncul dalam
setiap tindakan mereka yang disebabkan oleh pikiran-pikiran
mereka (Levine & Levine, 2009).
Menurut Cancro & Lehmann (2000), Orang Dengan
Skizofrenia kronis, cendrung menunjukkan penampilan fisik yang
terabaikan. Mereka menunjukkan pribadi yang mencoba untuk
menarik diri
dari lingkungan
masyarakat.
Mereka dapat
menunjukkan emosional dengan orang lain, namun memiliki
kesulitan dalam mengkomunikasikan emosionalnya, sehingga
orang lain cenderung sulit untuk mengerti apa yang ingin
disampaikan oleh Orang Dengan Skizofrenia. Cancro & Lehmann,
2000).
Cancro & Lehmann (2000), menjelaskan bahwa ciri umum
pasien skizofrenia yaitu hilangnya batasan ego dalam diri mereka.
Pasien skizofrenia mengalami kesulitan untuk menentukan dalam
menempatkan diri kepada lingkungan luar. Hal inilah yang sering
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
membuat mereka rentan dalam menyalahartikan peristiwa
eksternal yang terjadi pada mereka..
Davison (2004) menjelaskan Skizofrenia lebih rinci lagi, ia
mengatakan bahwa ciri-ciri dari masing-masing tie skizofrenia
yaitu: 1) Skizofrenia paranoid seperti memiliki perasaan curiga,
dan cenderung bermusuhan, dsb.; 2) Skizofrenia katatonik dengan
ciri seperti patung, tidak makan, tidak minum, dsb.; 3) Skizofrenia
tidak terorganisasi seperti perilaku kacau, pembicaraan yang tidak
koheren, halusinasi, afek datar/ tidak sesuai.
Adapun yang termasuk ke dalam spektrum skizofrenia
diantaranya adalah gangguan skizoafektif, gangguan delusional,
Brief Psychotic Disorder, Shared Psychotic Disorder, gangguan
psikotik, dan gangguan psikotik yang lainnya. (DSM V, 2013).
2.2.2
Gejala-gejala Skizofrenia
Skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan
persepsi yang mendasar dan khas, oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Pikiran, perasaan dan
perbuatan yang paling intim/mendalam sering terasa diketahui
oleh orang lain, dan waham-waham yang timbul, yang
menjelaskan bahwa kekuatan alami dan supranatural yang sedang
bekerja mempengaruhi pikiran dan perbuatan penderita dengan
cara-cara yang sering tidak masuk akal. Individu mungkin
menganggap dirinya sebagai pusat segalanya yang terjadi.
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Halusinasi, terutama auditorik, biasa dijumpai dan mungkin
memberi komentar tentang perilaku pikiran individu penderita.
Indikator preskizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang
mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak
acuh.
Penyimpangan
komunikasi:
pasien
sulit
melakukan
pembicaraan terarah, kadang menyimpang atau berputar-putar.
Gangguan
atensi:
penderita
tidak
mampu
memfokuskan,
mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku:
menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa
menikmati
rasa
senang,
menantang
tanpa
alasan
jelas,
mengganggu dan tidak disiplin (WHO, 1993).
Sedangkan menurut PPDGJ III (2002), ditandai oleh
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran
dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar dan tumpul.
Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang
kemudian.
menjelaskan
bahwa
Definisi
skizofrenia
lain
menurut
adalah
DSM
gangguan
V,
yang
berlangsung selama minimal 6 bulan atau setidaknya 1 bulan
gejala aktif seperti delusi, halusinasi, bicara tidak tteratur, dan
perilaku tidak teratur atau katatonik.
Menurut Durand & Barlow (2014), dalam bukunya yang
berjudul Psikologi Abnormal menjelaskan bahwa skizofrenia
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memiliki
gejala positif, gejala negatif, dan gejala-gejala
disorganisasi:
1. Gejala Positif
Gejala positif meliputi manifestasi-manifestasi yang
lebih aktif dari perilaku abnormal, atau ekses atau
distorsi dari perilaku normal; ini termasuk delusi dan
halusinasi (Amerian Psychiatric Association, 2013).
a. Delusi
Keyakinan
yang
oleh
masyarakat
dianggap
kebanyakan
sebagai
anggota
misinterpretasi
terhadap realitas disebut delusi. Karena pentingnya
delusi dalam skizofrenia, delusi dianggap sebagai
ciri dasar kegilaan (Jaspers, 1963). Misalnya, jika
ada yang menganggap tupai adalah alien yang
dikirim ke Bumi untuk misi mata-mata, maka ia
akan dianggap delusional.
b. Halusinasi
Halusinasi dianggap sebagai pengalaman kejadian
sensorik tanpa input dari lingkungan sektira. Seperti
merasa seseorang memanggil nama kita, lalu kita
tidak menemukan seorangpun disekitar kita.
2. Gejala Negatif
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Gejala-gejala negatif melibatkan defisit dalam perilaku
abnormal, misalnya dalam hal pembicaraan dan
motivasi.
a. Avolisi
Merupakan ketidakmampuan untuk memulai atau
mempertahanan berbagai macam kegiatan. Orang
dengan skizofrenia menunjukkan minat rendah
untuk melakukan sesuatu, bahkan fungsi dasar
sehari-hari, termasuk kesehatan pribdi.
b. Alogia
Mengacu pada relatif ketiadaan pembicaraan. Orang
dengan alogia mungkin merespons pertanyaan
dengan jawaban pendek yang isinya terbatas dan
mungkin tampak tidak tertarik untuk bercakapcakap.
c. Anhedonia
Anhedonia merupakan ketiadaan perasaan senang.
Seperti halnya beberapa macam gangguan suasana
perasaan, anhedonia memberikan isyarat sikap tidak
peduli terhadap kegiatan yang biasanya dianggap
menyenangkan.
d. Pendataran Afek
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pendataran afek merupakan salah satu ciri bagi
penderita skizofrenia, dimana penderita skizofrenia
tidak bisa memberikan renspon emosional secara
aktif, walaupun kita dapat mengajak mereka
berbicara.
3. Gejala-gejala disorganisasi
Mungkin, gejala skizofrenia yang paling sedikit diteliti
dan paling sedikit diketahui adalah disorganized
symptoms (gejala-gejala disorganisasi). Gejala ini
mmeliputi berbagai macam perilaku eratik yang
mempengaruh pembicaraan, perilaku motorik, dan
reaksi emosional.
Davison (2004) juga menjabarkan episode-episode pada
penderita skizfrenia, antara lain :
1. Fase Prodormal, yaitu fase penurunan. Ditandai
dengan berkurangnya minat dalam aktivitas sosial,
kesulitan memenuhi tanggung jawab, kurang peduli
penampilan, perilaku aneh, penurunan performa kerja,
dan melantur;
2. Fase Akut, yaitu perilaku semakin aneh. Ditandai
dengan menimbun makanan, samah, bicara sendiri,
halusinasi, dan waham;
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3. Fase Residual, yaitu perilaku kembali pada tingkat
sebelumnya. Ditandai dengan perasaan apatis, kesulitan
berpikir, kesulitan berbicara jelas, dan menympan ide
yang tidak biasa.
2.2.3
Etiologi
Kebanyakan ilmuan berpikir bahwa skizofrenia disebabkan
karena terdapat masalah dalam perkembangan otak yang
menghasilkan ketidakseimbangan neurokimia—meskipun tidak
ada yang sepenuhnya mengerti bagaimana hal itu dapat
berkembang di dalam otak seseorang (Levine & Levine, 2009).
Kaplan & Sadock (2000) menduga bahwa penyebab dari
skizofrenia adalah faktor genetik; faktor biologis seperti tingginya
tingkat dopamin, serotonin, dan neuroimunovirologis. Selain itu,
penyebab skizofrenia bisa juga disebabkan karena adanya efek
dari zat adiktif, dan juga oleh faktor lingkungan—walaupun belum
mampu sepenuhnya dijelaskan oleh para peneliti (Tsuang, 2000).
Namun berdasarkan referensi yang peneliti temukan, bahwa
skizofrenia disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor selama
masa perkembangan, disebabkan karena adanya pengaruh genetik,
pengaruh neurobiologis, serta pengaruh psikososial. (Durand &
Barlow, 2014)
1. Faktor Perkembangan
30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Skizofrenia pada umumnya muncul pada usia dewasa
awal. (Durand & Barlow, 2014). Karena, mungkin saja,
bahwa
terjadinya
perkembangan
kerusakan
awal
otak
(berdasarkan
pada
periode
penelitian
dari
McNeil, Cantor-Grae, dan Weinberger, 2001 dalam
Durand & Barlow, 2014).
2. Faktor Genetik
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, dimana hal
ini dinamakan quantitative trait loci. Oleh karena itu,
semakin banyaknya jumlah anggota keluarga, maka
kemungkinan individu dapat terkena skizofrenia pun
akan besar (Levinsonn, dkk., 1998; Plomin, Owen, dan
McGuffi, 1994, dalam Durand & Barlow, 2014). Hal
itulah yang mengklarifikasikan kenapa adanya gradasi
tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami
gangguan ini (dari yang berat sampai ringan) dan
mengapa resiko untuk skizofrenia semakin tinggi
(Durand & Barlow, 2014). Faktor Neurobiologis
Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang
berkontribusi terhadap gejala skizofrenia, yaitu melalui
jalur mesolimbik, mesokorteks, nigrostriatal, dan
tuberoinfundibuler (Kaplan & Sadock, 2000). Hampir
semua obat antipsikotik menyekat reseptor dopamin 𝐷2
31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
untuk meredakan gejala psikotik (Kaplan dan Sadock,
2000).
Selain faktor dopamin, terdapat juga faktor kerusakan
pada bagian otak. dimana dalam penelitian Cleghorn &
Albert (1990), orang dewasa yang memiliki skizofrenia
memperlihatkan defisit dalam kemampuan untuk
melaksanakan
tugas-tugas
tertentu
dan
untuk
memusatkan perhatian (Durand & Barlow, 2014).
Yang terakhir, kemungkinan besar terdapat infeksi virus
dalam diri
hipotesis
seseorang.
dan
Walaupun masih
belum
adanya
bukti
sekedar
kuat
yang
mendukung, tetapi adanya indikasi bahwa penyakit
seperti virus yang menyebabkan kerusakan otak pada
janin
kelak
dapat
mengakibatkan
gejala-gejala
skizofrenia, sehingga itulah yang memberikan jawaban
kenapa penderita skizofrenia menunjukkan tingkah laku
seperti itu (Durand & Barlow, 2014).
3. Pengaruh Psikososial
Dalam bukunya, Durand & Barlow (2014) mengatakan
bahwa skizofrenia juga bisa disebabkan karena adanya
stressor atau pemicu stress, sehingga menjadi pemicu
skizofrenia. Dan apabila penderita skizofrenia telah
dinyatakan sembuh, akan ada kemungkinannya mereka
32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dapat
mengalami
kekambuhan
(relaps).
Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Ventura, dkk. (2000),
menunjukkan hasil bahwa kejadian hidup yang stres
dapat meningkatkan depresi di kalangan penderita
skizofrenia, yang pada gilirannya mungkin memberikan
kekambuhan (Durand & Barlow, 2014).
Selain karena adanya pemicu stress, faktor keluarga pun
akan
menyebabkan
seseorang
menjadi
penderita
skizofrenia. Berdasarkan teori dari Fromm-Reichman
(1948) yang menggunakan istilah schizophrenogenic
mother,
dimana
istilah
ini
digunakan
untuk
mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sikap yang
dingin, dominan, dan penolak, sehingga menjadi
penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand &
Barlow, 2014). Di dukung juga oleh penelitian Tsuang
(2000), dalam penelitiannya dijelaskan bahwa sangat
mungkin faktor lingkungan akan berinteraksi dengan
faktor genetik yang kemudian menghasilkan gangguan
skizofrenia.
2.3 Empati pada Skizofrenia
Hal yang mendasari kenapa Orang Dengan Skizofrenia kesulitan
dalam berhubungan sosial, mungkin bisa dikatakan bahwa hal itu
33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dikarenakan terjadinya defisit empati yang terjadi dalam diri mereka (Lee,
2007). Atau bisa jadi sebaliknya, Orang Dengan Skizofrenia mungkin saja
sulit bersosialisasi karena gangguannya yang membuatnya untuk tidak
mampu mewakili apa yang orang lain pikirkan dan rasakan (Stanghellini,
2000). Selain itu, Stanghellini (2000) juga melanjutkan, defisit empati
mungkin mendasari gangguan fungsi sosial bagi penderita skizofrenia,
misalnya menengahi pemahaman orang lain dalam interaksi sosial;
mensimulasi pikiran orang dan perasaan orang lain ke dalam dirinya, hal
ini bisa juga, dalam artian lain, disebut gangguan attunement intuitif, atau
defisit dalam hubungan dengan orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Bora, dkk., (2008) juga turut
menerangkan bahwa orang skizofrenia mengalami defisit empati yang
bisa dikatakan „parah‟ dan memiliki kesenjangan yang serius antara diri
dengan keterampilan berempatik.
Maka, dalam sub bab ini, terdapat 3 aspek yang akan dibahas untuk
memahami empati pada Orang Dengan Skizofrenia. Dimana aspek-aspek
tersebut antara lain adalah aspek empati motorik, aspek empati afektif,
dan aspek empati kognitif.
2.3.1
Aspek Empati Motorik pada Skizofrenia
Menurut Hoffman (1978), aspek motorik dalam empati
disebut juga sebagai Motor Mimicry, dimana konsep motor
mimicry ini juga termasuk ke dalam primitif empati. Hoffman
(1978), menyebutkan bahwa motor mimicry merupakan peniruan
34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
emosi yang kemudian dimanifestasikan ke dalam bentuk afek atau
ekspresi wajah, suara, atau gestur tubuh.
Pada orang normal, menggunakan afek wajah untuk
menunjukkan empati (mimicry), mungkin bisa dikatakan mudah
(Blair, 2007). Mungkin akan menunjukkan hal yang berbeda jika
dibandingkan dengan Orang Dengan Skizofrenia.
Penelitian yang dilakukan oleh Germeys, dkk., (2000),
menyatakan bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki afek
datar. Selain itu, penelitian-penelitian lainnya juga sudah
menyebutkan bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki defisit
afek wajah, sehingga menunjukkan bahwa ekspresi mereka
terlihat datar (Bozikas, dkk., 2004 & Lee, 2007).
Haker & Rossler (2000), melakukan penelitian mengenai
resonansi empatik pada Orang Dengan Skizofrenia, menunjukkan
hasil bahwa resonansi empatik pada Orang Dengan Skizofrenia
cenderung rendah. Dimana resonansi empati adalah fenomena
dimana satu orang secara sadar mampu mencerminkan tindakan
motorik sebagai dasar dari ekspresi emosi orang lain (Haker &
Rossler, 2000). Dalam penelitiannya, Haker & Rossler (2000)
merekam kegiatan pasien skizofrenia (43 orang) dan orang normal
dengan jenis kelamin dan usia yang sama (45 orang). Hasilnya,
individu dengan skizofrenia menunjukkan „penularan‟ empati
yang lebih rendah dalam tingkah laku menguap/bosan dan tertawa.
35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Rendahnya tingkat penularan ini, berkorelasi dengan skizofrenia
sindrom negatif dan ketidak-berfungsian fungsi sosial (Haker &
Rossler,
2000).
Mereka—Haker
&
Rossler
(2000)—
menyimpulkan bahwa gangguan resonansi adalah kecacatan bagi
Orang Dengan Skizofrenia dalam kehidupan sosialnya.
Lebih lanjut, penelitian dari Germeys dkk., juga kembali
diperdalam oleh Horan, dkk., (2014), dimana saat dilakukan
pemeriksaan fMRI pada Orang Dengan Skizofrenia, Horan, dkk.,
menemukan bahwa terjadi kegagalan antara hubungan aktifitas
saraf
pada
Orang
Dengan
Skizofrenia.
Sehingga,
hasil
pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Orang Dengan Skizofrenia
mengalami penurunan empati dalam menunjukkan ekspresi wajah.
Padahal, identifikasi afek wajah merupakan proses empati
paling mendasar bagi suatu individu (Goldman, 2006).
2.3.2
Aspek Empati Afektif pada Skizofrenia
Singkatnya, empati merupakan pengalaman afektif dalam
suatu individu, oleh karena itu kenapa empati masuk ke dalam
aspek afektif (Hoffman, 2000). Namun, beberapa penelitian yang
dilakukan pada Orang Dengan Skizofrenia menunjukkan beberapa
hasil yang menyebutkan bahwa aspek empati afektif pada Orang
Dengan Skizofrenia dengan individu normal cenderung berbeda.
Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Lee (2007) yang
menunjukkan hasil bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki
36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perasaan untuk mengatur interaksi sosial yang tumpul, dan
tanggapan afektif yang muncul dari situasi sosial sering tidak
sesuai.
Tetapi, muncul hasil penelitian yang menarik yang
dilakukan oleh Corbera, dkk., (2013) melakukan penelitian untuk
mengukur kognitif sosial, fungsi sosial, kualitas hidup, dan
neurokognisi
pada penderita skizofrenia. Hasilnya, dalam
penelitian mereka Orang Dengan Skizofrenia menunjukkan tiga
faktor
dalam
keberfungsian
sosialnya,
yaitu
hubungan
interpersonal, kognisi sosial dasar, dan empati. Dari hasil yang
ditunjukkan itu, kelompok Orang Dengan Skzofrenia memiliki
hubungan interpersonal dan kognisi sosial yang dasar. Namun,
Orang Dengan Skizofrenia memiliki level empati yang sama
dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan, secara sosial
Orang Dengan Skizofrenia mungkin memiliki hubungan yang
kurang lancar, namun dalam hal empati, Orang Dengan
Skzofrenia memiliki tingkat empati yang sama. (Corbera, dkk.,
2013).
Selain itu, penelitian dari Corbera, dkk., ini pun juga turut
didukung oleh beberapa penelitian lainnya. Seperti yang pernah
diteliti oleh Michaels, dkk., (2014), yang menunjukkan hasil
bahwa walaupun Orang Dengan Skizofrenia memiliki empati
kognitif yang rendah, tetapi Orang Dengan Skizofrenia memiliki
37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
empati afektif yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol
(dalam hal ini, kelompok kontrol merupakan individu normal).
Bahkan, penelitian lebih lanjut dengan metode yang sama,
menunjukkan beberapa bukti bahwa beberapa aspek empati
mungkin utuh atau memiliki tingkat responsif yang lebih tinggi
pada Orang Dengan Skizofrenia (Horan, dkk., 2015).
Begitupun hasil penelitian yang dilakukan oleh Lehman,
dkk., (2014) yang menjelaskan bahwa Orang Dengan Skizofrenia
memang menunjukkan terjadinya gangguan pada empati kognitif.
Tetapi dalam lain hal, Orang Dengan Skizofrenia juga
mempertahankan empati emosional atau afektif (Lehman, dkk.,
2014).
2.3.3
Aspek Empati Kognitif pada Skizofrenia
Walaupun empati merupakan bagian dari aspek afektif,
tetapi respons emosional yang seolah-olah terjadi pada diri sendiri
merupakan pusat dari pengalaman empati, dan proses-proses
kognitif untuk mendukung atau menuju pengalaman afektif
(Hoffman, 2000). Oleh karena itu, aspek kognitif berperan penting
dalam
kemampuan
individu
dalam
berempati
(Baron
&
Wheelwright, 2004). Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Orang
Dengan Skizofrenia secara otomatis akan mengalami defisit
empati pada aspek kognitifnya (Lee, 2007).
38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Preston & De Waal (2002) dalam penelitiannya yang
mengkaji empati melalui gambaran neuro dan fungsi otak,
menemukan bahwa pada individu normal: 1) bagian Amigdala,
cingulata, dan orbitoforontal korteks melibatkan persepsi dan
regulasi emosi; sedangkan 2) dorsolateral dan daerah prefrontal
ventromedial terlibat dalam memegang dan memanipulasi
informasi. Amigdala, frontal orbital, dan wilayah ventrolateral
juga pernah dijelaskan oleh Blair (2007) sebagai rute-rute
penyampaian informasi dalam pengelolahan emosional—wilayah
tersebut sebagai mediasi pada pemahaman emosional tentang
objek atau bagaimana caranya memulai respon. Sedangkan, yang
terjadi
pada
Orang
Dengan
Skizofrenia,
bahwa
mereka
menunjukkan adanya penurunan aktivasi pada amigdala dan
menunjukkan kurangnya aktivasi pada korteks prefrontal kiri
(Gur, dkk., 2002).
Bahkan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Schaub
(2013) juga turut mendukung penelitian dari Preston & De Waal.
Penelitian
Schaub,
dkk.,
adalah
sebuah
penelitian
yang
membandingkan Orang Dengan Skizofrenia dengan orang yang
mengalami gangguan depresif. Hasilnya, secara gambaran neuro,
orang dengan gangguan depresif menunjukkan memori jangka
pendek verbal dan visual, lisan, visual-motorik, pengolahan
informasi fungsi visual-verbal dan perhatian selektif yang lebih
39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
baik dibandingkan dengan Orang Dengan Skizofrenia (Schaub,
2013).
Namun, penelitian yang dilakukan oleh Lee, dkk., (2006),
menujukkan hasil yang berbeda: dimana dalam penelitiannya,
menunjukkan bahwa bagian korteks prefrontal pada orang dengan
skizofrenia
episode
akut
mengalami
perbaikan.
Dalam
penelitiannya, pasien Skizofrenia Episode Akut menjalani
pemeriksaan fungsi otak dengan menggunakan fMRI; sehingga
terlihat bahwa pada bagian otak tertentu mengalami perbaikan—
Dimana
hal
itu
sangat
berkorelasi
dengan
peningkatan
pemahaman dan fungsi sosial (Lee, dkk., 2006). Oleh karena itu,
pola penurunan empati atau defisit empati sebenarnya tergantung
pada bentuk simptom dan juga pada jenis skizofrenia tertentu,
seperti: Skizofrenia dengan gangguan pada motorik (Katatonik),
Disorganization, dan skizofrenia dengan halusinasi dan delusi
(Lee, 2007).
40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download