1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan Indonesia ditumbuhi oleh flora maupun fauna yang sangat kaya baik jumlah maupun spesiesnya. Menurut Van Steenis & Schipper-Lammerste (1965), di Pulau Jawa terdapat tidak kurang dari 6.534 spesies tumbuhan, 4.598 spesies diantaranya merupakan tumbuhan asli Jawa, 413 spesies tumbuhan asing yang telah dinaturalisasi, dan 1.523 spesies merupakan tanaman budidaya hasil introduksi. Di antara tumbuhan tersebut terdapat spesies yang telah dilindungi Pemerintah Republik Indonesia karena termasuk tumbuhan langka. Salah satu spesies tumbuhan yang dilindungi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa adalah rotan beula Ceratolobus glaucescens Blume. Penyebaran rotan beula di Pulau Jawa diantaranya ada di Cagar Alam Sukawayana (CAS), Palabuhan Ratu, Jawa Barat (Mogea et al. 2001). Kawasan CAS yang merupakan tempat persebaran rotan tersebut, sebagiannya telah berubah status menjadi Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.570/Kpts-II/1991, tanggal 1 Januari 1991 tentang Pengukuhan Perubahan Kawasan CA menjadi TWA. Sehubungan dengan perubahan sebagian kawasan tersebut, dikhawatirkan akan terjadi ancaman terhadap kelestarian tumbuhan yang ada di CAS khususnya rotan beula. FAO (1998) menyatakan bahwa rotan beula termasuk salah satu spesies rotan Asia Tenggara yang terancam kelestariannya. Tindakan konservasi terhadap rotan beula perlu dilakukan karena terancam kelestariannya. Rotan beula harus tetap lestari meskipun rotan tersebut belum memiliki nilai secara ekonomi pada saat ini tetapi secara ekologi berperan penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Given (1994) menyatakan bahwa terdapat alasan-alasan dilakukannya tindakan konservasi terhadap spesies tumbuhan yaitu nilai ekonomi tumbuhan, peran tumbuhan dalam pemeliharaan kelestarian lingkungan, nilai ilmiah dari tumbuhan, pilihan untuk masa depan, nilai budaya dan simbolik, inspirasi bagi masyarakat, nilai moral, dan hak tumbuhan untuk tetap hidup. 2 Jika ditinjau dari aspek ekologinya maka keberadaan rotan beula tidak terlepas dari pengaruh makhluk hidup lainnya. Mueller-Dombois (1975) menyatakan bahwa ekologi tumbuhan tidak hanya terkonsentrasi pada identifikasi masyarakat tumbuh-tumbuhan (vegetasi), tetapi juga menentukan keterhubungan antara masyarakat tumbuhan tersebut dengan masyarakat tumbuhan lainnya serta dengan faktor-faktor lingkungannya. Hubungan rotan beula dengan makhluk hidup lain seperti dalam kegiatan penyerbukan, yaitu berlangsung melalui lubang tertentu yang dibuat oleh serangga tertentu sebagai pintu masuk untuk melakukan penyerbukan (Mogea et al. 2001). Pada umumnya spesies tumbuhan dapat tumbuh dengan baik pada ekosistem yang seimbang atau lingkungan yang sehat. Menurut Primack et al. (1998), bahwa syarat lingkungan yang sehat itu harus disusun oleh beberapa komponen yang keadaannya mendukung, baik komponen fisik maupun biotiknya. Oleh karena itu kajian terhadap ekologi rotan beula penting dilakukan agar tersedia informasi yang dapat digunakan dalam pengelolaan spesies tumbuhan langka tersebut agar tetap lestari. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian tentang kajian ekologi rotan beula Ceratolobus glaucescens Blume di CAS Jawa Barat dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Menentukan struktur, komposisi dan keanekaragaman spesies vegetasi yang ada di tempat hidup rotan beula 2. Mengetahui kondisi populasi rotan beula 3. Mengidentifikasi faktor ekologi (fisik, biotik, dan lingkungan) yang berhubungan dengan kelimpahan rotan beula. 1.3. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam pengelolaan rotan beula secara lestari di CAS.