Suatu Hari di Masjid Rumah Sakit Cerpen: Aliya Nurlaela Bima belum yakin dengan apa yang dialaminya saat ini. Menunggui istrinya yang sakit keras. Kata dokter sakitnya komplikasi, artinya bermacam-macam penyakit ada dalam tubuh istrinya. Sakit jantung, ginjal, diabet, dan kolesterol. Penyakit rombongan. Meski belum sepenuhnya percaya dengan hasil pemeriksaan, namun Bima terus mengusahakan untuk kesembuhan istrinya. Bahkan, mengikuti saran dokter agar istrinya dirawat setidaknya seminggu di rumah sakit tempatnya periksa. Bima mengiyakan saja saran dokter, karena khawatir kesehatan istrinya akan membawa dampak buruk bagi sang istri. Kalau istri sakit, semua urusan rumah terbengkalai, anak-anak tidak terurus, dan dirinya akan banyak cuti kerja hanya untuk menunggui istri yang sakit. Lebih baik merogoh kocek beberapa lembar untuk mengobati istrinya, dan istrinya bisa sehat kembali, Fesbuk ~ 1 ~ serta menjalankan fungsinya seperti biasa. Itulah pertimbangan Bima. Namun tak diduga Bima, biaya perawatan di rumah sakit itu tidaklah murah. Saat resepsionis menyodorkan daftar harga kamar hingga biaya lainnya, Bima terbelalak. Urat matanya seperti hendak mendorong biji matanya keluar. Bagaimana tidak, biaya perawatan di rumah sakit itu untuk seminggu saja melebihi gaji Bima selama sebulan. Bima hanyalah karyawan biasa yang masih ngontrak rumah. Lihat saja, untuk kamar kelas 3 yang diisi oleh enam orang pasien saja untuk harga kamarnya per malam Rp 300.000. Itu di luar biaya cek dokter setiap hari, obat-obatan, dan biaya tambahan jika ada yang diperlukan pasien. Kamar mandi hanya dua, enam pasien harus siap mengantri. Tanpa fasilitas TV atau kipas angin. Setiap pasien hanya menempati satu tempat tidur yang disekat dengan gorden tinggi untuk memisahkan dengan pasien lain. Ada satu meja kecil yang ditaruh di antara gorden. Artinya, meja itu untuk digunakan dua orang pasien sekaligus. Untuk yang menunggui pasien, tidak ada tempat tidur atau tikar. Hanya ada satu kursi plastik. Artinya, jika yang menunggui mengantuk, tidur sambil duduk. Tidak ada juga jatah makan untuk penunggu pasien, masih harus keluar ke kantin rumah sakit, tentu saja merogoh kocek lagi. Tidak ada juga fasilitas air panas di termos seperti kelas dua dan di atasnya. Itu artinya biaya semalam tidak cukup hanya dengan tiga ratus ribu rupiah. Bila dibandingkan dengan harga kontrakan rumahnya yang tidak terlalu lebar tapi memiliki tiga kamar, lengkap ~ 2 ~ Muhammad Subhan & Aliya Nurlela dengan ruangan tamu, ruang tengah, dan juga dapur. Harga kontrakan rumahnya per tahun Rp 600.000. Satu hari tidur di rumah sakit kelas tiga, sama dengan setengah tahun tinggal di rumah kontrakan. Jika seminggu berada di rumah sakit kelas 3, untuk biaya tidur saja Rp 300.000 x 7 = 2.100.000. Sementara gaji Bima sebagai karyawan yang telah lima tahun bekerja pada sebuah perusahaan swasta, hanyalah sebesar Rp 1.800.000. Gaji Bima sebulan, tidak cukup untuk menutupi biaya tidur seminggu di rumah sakit kelas 3. Apalagi jika dihitung total dengan perawatannya, akan memakan gaji Bima berbulan-bulan. Saat Bima menengok biaya kamar kelas dua, harga per malamnya lebih mahal lagi. Tidak terlalu jauh perbedaan fasilitasnya, hanya saja satu ruangannya diisi 4 orang pasien dan ada tambahan fasilitas air panas di termos. Tidak ada televisi atau kulkas. Namun, pergeseran satu kelas saja telah membedakan biaya yang cukup jauh. Kelas satu, tentu saja lebih mahal lagi. Diisi dua orang pasien dengan satu kamar mandi di dalam. Tersedia televisi dan kipas angin serta jemuran handuk. Ada telepon ruangan yang bisa terhubung ke ruangan perawat. Jika sewaktu-waktu pasien membutuhkan bantuan, tinggal menelepon lewat telepon antar ruang. Satu orang penunggu pasien mendapat jatah makan juga dari rumah sakit. Jantung Bima makin berdegup ketika membaca daftar biaya perawatan di kelas VIP. Kelas yang hanya tersedia sepuluh ruangan saja di rumah sakit itu. Ruangan tersebut memang hanya dihuni satu orang pasien saja. Ada dua tempat tidur di dalamnya. Fesbuk ~ 3 ~ Penunggu pasien bisa tidur di atas ranjang juga. Televisi, kulkas, kipas angin, lemari pakaian, lemari makanan, serta meja menjadi fasilitas di ruang tersebut. Fasilitas makan yang komplit, baik untuk pasien ataupun penunggunya. Dari mulai fasilitas makan sehari tiga kali, dan makanan ringan dua kali sehari. Kamar mandi yang cukup luas dengan shower air panas dan dingin. Telepon antar ruang, serta pelayanan yang super cepat. Kapan pun pasien membutuhkan perawat, maka perawat akan datang siap melayani dengan cepat. Tanpa terlalu lama menunggu dan bertele-tele dalam melayani. Semua serba cepat dan mudah. Bima jadi teringat akan cerita teman SMA-nya yang kini jadi salah seorang petugas medis di rumah sakit. Ia pernah melayani seorang pasien kaya di kelas VIP. Masuk rumah sakit bukan karena menderita penyakit berat, tapi hanya gara-gara digigit serangga, atau bahasa medisnya insekbid. Pasien tersebut rewel minta ampun. Mungkin karena merasa orang mampu, dan bisa membayar berapa pun, maka setiap merasakan sakit sedikit saja akan langsung meminta perawat untuk menyuntik. Seolah rasa sakitnya itu ingin ditebus dengan uang. Tentu saja dalam dunia kedokteran, memberikan suntikan untuk pasien ada aturannya. Tidak bisa gegabah dilakukan setiap saat. Pasien tersebut tidak mau tahu, jika tidak segera disuntik, ia akan teriak-teriak seperti orang yang sangat kesakitan. Akhirnya, para medis sepakat, jika pasien tersebut meminta disuntik di luar jadwal suntik yang telah ditetapkan dokter, maka untuk menenangkan pasien diambillah inisiatif untuk diberi suntikan air mineral. Pasien tidak tahu jika itu bukan obat, tapi hanya air mineral saja. Namun, tindakan itu ~ 4 ~ Muhammad Subhan & Aliya Nurlela telah membuat pasien merasa tenang. Dalam benak Bima terbayang kelas VIP dengan pelayanan super cepat dan super mudah. Termasuk dapat meminta disuntik kapan saja. Sangat jauh berbeda dengan pelayanan yang diberikan di kelas 3. Tentu saja, jika menengok harga sangatlah jauh berbeda. Kelas 3 yang per malamnya bisa setara setengah tahun mengontrak rumah di pinggir kota, maka di kelas VIP per malamnya untuk menginap saja Rp 900.000. Tiga kali lipatnya. Wow, Bima hampir terpekik. Andai saja mengambil kelas VIP untuk merawat istrinya selama seminggu, berarti untuk tidur saja per malam Rp 900.000 x 7 hari = Rp 6.300.000. Jumlah yang sangat fantastis bagi seorang karyawan seperti Bima. Bagaimanapun, siapa pun itu ingin mendapat perawatan yang super cepat dan super mudah. Ingin memberikan yang terbaik bagi seseorang yang dicintainya. Namun, bagi Bima tampaknya harus menunda keinginan itu. Berapa bulan gajinya harus dipotong total. Lalu untuk biaya hidup sehari-harinya, harus mendapat pemasukan lain. Itu artinya harus memiliki pekerjaan tambahan. Untuk menjadi karyawan saja, waktu seharian penuh telah dikorbankannya. Belum lagi jika ada lembur. Sampai malam hari ia harus mengorbankan waktunya. Melupakan saat berkumpul bersama keluarga dan waktu untuk menghargai tubuhnya melepas penat. Jika ditambah lagi dengan pekerjaan tambahan, itu artinya seluruh waktunya, selama 24 jam harus habis di tempat kerja. Bima menghela napas panjang. Sesuatu yang mustahil dilakukan Bima. Ia bukan tipe lelaki yang Fesbuk ~ 5 ~ gila kerja apalagi mendewakan pekerjaan, meski itu dengan alasan untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Mata Bima tiba-tiba tertuju pada seorang tukang sapu di depan masjid. Lelaki tua berjenggot putih. Jika ditaksir usianya sekitar 60 tahun. Lelaki itu tampak masih gagah memegang sapu lidi panjang, membersihkan rontokan daun beringin yang berserakan di halaman masjid. Wajahnya kelihatan tenang, teduh, penuh kasih seorang bapak. Tidak ada tanda-tanda kesedihan, kegelisahan yang terpancar dari raut mukanya. Bima jadi rindu sosok seperti itu. Sosok seorang bapak yang tegar, yang selalu memberi kata-kata bijak dalam setiap ucapannya, membagi pengalaman berharga dalam hidup hingga membuat dirinya kuat menghadapi berbagai cobaan hidup. Ingin bersandar di pundaknya yang tidak kekar lagi namun memiliki kasih yang dalam. Bima hanya bisa merindukan sosok tersebut, sebab sosok itu telah meninggalkannya beberapa tahun lalu. Ia telah kembali ke hadapan Tuhannya. Bima menghela napas. Tiada lagi tempat berbagi di kala musibah menghampirinya. “Ayah, andai kau ada di sini…,” gumam Bima. Pandangan Bima kembali tertuju pada tukang sapu itu, yang masih belum selesai membersihkan daundaun beringin yang rontok. Sesekali ia tersenyum dan mengangguk pada pengunjung rumah sakit yang ingin masuk ke masjid. Atau tangannya menunjuk ke arah kamar mandi di samping masjid, memberi tahu pada pengunjung baru letak kamar mandi dan tempat wudu. Tampak sabar tanpa mengeluh, meski itu siang ~ 6 ~ Muhammad Subhan & Aliya Nurlela hari yang panas terik. Bima membatin, “Berapakah gaji bapak tukang sapu itu?” Mungkinkah sebesar gajinya sebagai karyawan di perusahaan swasta? Ataukah jauh di bawah gajinya? Rasanya jika gaji bapak tukang sapu itu melebihi gajinya, sangat tidak mungkin. Di kantor tempat Bima bekerja saja, seorang cleaning servis yang bekerja dari pagi sampai sore gajinya hanya 450 ribu rupiah. Lalu, jika istrinya sakit atau anaknya yang sakit, mungkinkah ia bisa diopname di rumah sakit ini? Gaji 450 ribu sebulan, untuk menempati kamar kelas 3 yang harga seharinya Rp 300.000 hanya bisa menginap sehari saja. Sisanya 150 ribu untuk biaya infus, cek dokter, dan tambahan obat lain. Untuk sehari saja. Atau, mungkinkah bapak tukang sapu mendapat keistimewaan di rumah sakit itu? Bukankah ia bagian dari pegawai di rumah sakit itu? Jika ada keluarganya yang sakit, ia bisa memilih untuk mendapat perawatan di kamar yang mana saja. Termasuk bisa meminta untuk dirawat di kamar VIP, dengan gratis. Tapi, mungkinkah? Bima ragu dengan kata hatinya sendiri. “Assalamu’alaikum,” ucapan salam mengagetkan Bima yang sedang membatin sendiri. Ia menoleh ke arah suara itu. Bapak tukang sapu ternyata telah berdiri di hadapannya, dengan muka basah seperti habis wudu. Bima gelagapan, “Wa’alaikum salam,” jawabnya. Sepertinya dari tadi ia memperhatikan bapak tukang sapu itu, tapi kenapa secepat ini ia telah berdiri di hadapannya. Bima merasa heran. Namun, jika diingat lagi, sejak istrinya masuk rumah sakit pandangan matanya tidak lagi fokus. Kepalanya selalu Fesbuk ~ 7 ~ dipenuhi banyak pikiran, terutama bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya berobat istrinya dengan tidak ngutang. “Bapak tidak salat Duhur?” sapa bapak tukang sapu itu sopan. “Sudah, tadi berjamaah sama yang lain.” “Oh Alhamdulilah,” ujarnya sambil mengambil tempat duduk di samping Bima. Kakinya disilangkan seperti kaki Bima. Tangan tuanya diulurkan ke arah Bima. Bima segera menyambut. “Saya Amir, tukang sapu di sini,” tukang sapu itu mendahului mengenalkan namanya. “Bima,” ucap Bima singkat. Bapak Amir mengangguk dengan tersenyum, tampak keriput di pipinya. “Kelihatannya Bapak memikirkan sesuatu yang berat?” Pak Amir mendahului bertanya. Bima jadi salah tingkah, ternyata mimik wajahnya yang dirundung duka bisa ditangkap lelaki tua di hadapannya. Itulah yang dirindukan Bima dari seorang ayah, selalu bisa mendalami hati seorang anak. Termasuk anak orang lain. Bima tidak bisa menjawab, hanya menyunggingkan seulas senyum. “Ada yang sakit ya, Pak?” Pak Amir sudah melempar pertanyaan baru. “Iya, istri saya dirawat di sini,” jawab Bima “Sakit apa Pak?” “Komplikasi,” ujar Bima tanpa menyebutkan satu per satu penyakit yang diderita istrinya. ~ 8 ~ Muhammad Subhan & Aliya Nurlela “Semoga saja cepat sembuh, ya Pak Bima. Apalagi Pak Bima sudah ikhtiar dengan berobat ke sini.” Bima mengangguk. “Pak Amir sendiri pernah merawat keluarga di sini?” tiba-tiba Bima memiliki keberanian untuk menanyakan apa yang mengganjal di hatinya. Sebelum menjawab, lelaki sopan itu tersenyum lembut. Penuh keteduhan. Bima semakin penasaran, seolah ada yang tersembunyi di balik senyumnya. “Alhamdulillah, Bapak belum pernah dirawat di sini begitu juga dengan keluarga,” jawab Pak Amir mengagetkan Bima. “Maksud Bapak? Apa karena biaya berobatnya yang mahal?” Bima mengerutkan kening. “Itu juga salah satu alasannya.” “Tapi Pak Amir kan pekerja di sini, mestinya jika dirawat di sini bisa gratis, Pak.” “Hehe mana ada yang gratisan, Pak? Semua perlu uang,” Pak Amir tertawa menampakan gigi-giginya yang masih berderet lengkap. “Maksudnya, sekalipun pegawai di sini harus bayar? Ini kan rumah sakit swasta Pak,” Bima masih menelisik Pak Amir dengan pertanyaan. “Saya ini siapa, Pak Bima. Hanya seorang tukang sapu. Meski masa kerja sudah lebih sepuluh tahun di sini, bukan berarti mendapat keistimewaan fasilitas rumah sakit. Tetangga saya perawat di sini saja, kalau sakit dan dirawat di sini tetap bayar.” Fesbuk ~ 9 ~ “Ooh…,”Bima manggut-manggut tanda mengerti penjelasan Pak Amir. “Tapi memang saya tidak berharap pemberian fasilitas apa pun dari rumah sakit ini. Jika berharap fasilitas, berarti saya mengharap sakit. Saya bersyukur jadi orang sehat, demikian juga keluarga saya,” ucapnya dalam. “Memangnya keluarga Bapak tidak pernah ada yang terkena penyakit parah?” “Sakit parah? Pernah. Tapi tidak sampai dirawat di mana pun termasuk di sini,” jawab Pak Amir membuat Bima semakin penasaran. Dari awal berbicara dengan Pak Amir, tampak sekali ia seorang yang matang dalam menyikapi kejadian. Bima merasa ada pencerahan dari ucapan Pak Amir. Saat yang tepat mendapat pencerahan di kala sedang dirundung duka. “Lalu?” tanya Bima. “Kekurangan bisa membuat orang kreatif dan berpikir selangkah lebih maju,” jawab Pak Amir diplomatis, membuat Bima menggeser letak duduknya semakin mendekati Pak Amir. “Maksud Pak Amir?” “Ketika dokter memvonis bahwa benjolan di payudara istri saya tidak bisa sembuh kecuali dengan operasi, saya tidak putus asa. Saya berusaha untuk kesembuhan istri. Tidak dengan operasi. Saya mohon pada Allah agar diberi jalan yang mudah, pengobatan yang terjangkau, dan tidak menimbulkan efek di kemudian hari. Alhamdulilah, saya mendapat petunjuk ~ 10 ~ Muhammad Subhan & Aliya Nurlela