tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan
tumbuhan carnivorous plant lainnya (Doaea muscipula, Drosera sp, Pinguicula sp
dan Utriculara sp), karena Nepenthes tidak memiliki bagian tubuh yang bergerak
aktif. Adapun klasifikasi tumbuhan ini sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Dilleniidae
Ordo
: Nepenthales
Famili
: Nepentheceae
Genus
: Nepenthes
Spesies
: Nepenthes grasillis Korth.
Menurut Cheek dan Jebb (2001), morfologi Nepenthes grasillis ini, adalah
sebagai berikut:
Batang
Nepenthes grasillis tumbuh memanjat dengan tinggi 2-5 m, dengan bentuk
batang segitiga, diameter 2-4 mm, dengan sudut daun berbentuk bulat, dengan 2
sayap selebar 1-3.5 mm, panjang ruas 2.5-9 cm.
Universitas Sumatera Utara
15
Daun
Daun seperti kertas tidak bertangkai, posisi duduk, panjang 12-19 cm,
lebar 1.5-3.7 cm, berbentuk lanset, panjang sulur
≤ 15 cm, ujung daun runcing,
sayap batang agak ramping pada pangkal daun.
Kantong bawah
Kantong bawah berbentuk oval, bagian atas silindris, lebar pada bagian
tengah atas dengan ukuran 1.4-2.4 cm, lebar pada bagian tengah bawah dengan
ukuran 1.7-3.7 cm, terdapat 2 sayap tepi dengan lebar 3-5 mm, panjang struktur
tepi 1-2.5 mm, bagian tengah 0.5-2 mm, mulut kantong berbentuk oval, dengan
bibir berbentuk silindris, lebar 0.5 mm, tanpa cincin, tepi sebelah luar rata, tepi
sebelah dalam agak sepi.
Penutup kantong
Tanaman ini memiliki penutup yang berbentuk bulat oval, dengan
permukaan bawah tanpa anggota tubuh pada kelenjar nektar jarang, jumlah bintik
sedikit 20-30. Tepi besar dari padat, berbentuk kubah, dengan diameter 0.4 mm.
Lubang sentral menyerupai celah dengan diameter 0.1, panjang taji 5 mm.
Kantong atas
Kantong atas sama dengan kantong bawah tetapi setengah silindris dan
mengecil pada bagian pinggang, dengan panjang 7-14.5 cm dan lebar 1.8-4 cm,
lebarnya pada bagian basal hampir sampai 1.5-2.9 cm pada bagian pinggang, pada
bagian mulut dengan 2 daerah yang lebarnya 0.1 cm.
15
Universitas Sumatera Utara
16
Pembungaan
Bunga jantan dengan panjang 15-30 cm, panjang ibu tangkai bunga 1.2-5
cm, diameter 1.5 mm pada bagian bawah, 1 bunga pada setiap ibu tangkai,
panjang tangkai bunga 5-14 mm, panjang kelamin jantan 0.7-1 mm, panjang
kepala sari 0.7-1.5 mm, panjang bawah 14-30 mm, berbulu sederhana ± 0.1-0.3
mm, warna kantong hijau, merah, hijau bercampur merah, warna bunga ada yang
putih hijau, merah terang, atau coklat.
Habitat
Tanaman ini tumbuh pada kawasan hutan dataran rendah, hutan rawa
gambut, hutan kerangas, vegetasi pinggir sungai, pada ketinggian 0-1100 m dpl.
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Singapura, Malaysia dan Thailand merupakan
daerah penyebarannya. Saat ini status terlindungi (PP No. 7 Tahun 1999).
Kultur Jaringan
Kultur jaringan itu sendiri dapat diartikan suatu metode untuk mengisolasi
bagian tanaman serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik. Sehingga
bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman
lengkap (Hartman, et al, 2002).
Berbeda dengan teknik perbanyakan vegetatif konvensional, kultur
jaringan melibatkan pemisahan komponen-komponen biologis dan tingkat
pengendalian yang tinggi dalam memacu proses regenerasi dan perkembangan
jaringan. Setiap urutan proses dapat dimanipulasi melalui seleksi bahan tanaman,
medium kultur dan faktor-faktor lingkungan, termasuk eliminasi mikroorganisme
16
Universitas Sumatera Utara
17
seperti jamur dan bakteri. Semua itu dimaksudkan untuk memaksimalkan produk
akhir dalam bentuk kuantitas dan kualitas propagula berdasarkan prinsip
totipotensi sel (Zulkarnain, 2009).
Dibanding
dengan
perbanyakan
tanaman
secara
konvensional,
perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan
sebagai berikut:
1.
Untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat
diperbanyak secara konvensional. Perbanyakan tanaman secara kultur
jaringan menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit
tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis.
2.
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tidak memerlukan tempat yang
luas.
3.
Teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dilakukan
sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim.
4.
Bibit yang dihasilkan lebih sehat.
5.
Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.
(Yusnita, 2003).
Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila
menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu
jaringan yang terdiri dari sel-el yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum
mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh, dan vakuolanya kecilkecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture.
Sebab,
jaringan
meristem
keadaannya
selalu
membelah,
sehingga
17
Universitas Sumatera Utara
18
diperkirakan
mempunyai
zat
hormone
yang
mengatur
pembelahan
(Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Eksplan
Eksplan artinya jaringan tanaman yang digunakan sebagai bahan tanam di
dalam botol. Eksplan dipilih dari jaringan yang masih muda karena jaringan
tersebut tersusun atas sel-sel yang masih muda dan selalu membelah. Dengan
demikian diharapkan nantinya bisa menghasilkan tanaman yang sempurna.
Sebagai eksplan Nepenthes, gunakan bagian daun, tunas pucuk, batang muda dan
bisa juga bagian jaringan lainnya (Purwanto, 2007).
Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan
teknik kultur jaringan. Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya bagianbagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian-bagian generatif. Eksplan
mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit
berpoliferasi daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif
tumbuh. Hal itu sama halnya dengan kasus dormansi pada eksplan biji. Kondisi
fisiologis dari suatu tanaman bervariasi secara alami, sejalan dengan pertumbuhan
tanaman yang melewati fase-fase yang berbeda dan perubahan kondisi lingkungan
(Zulkarnain, 2009).
Dalam pemilihan bagian tanaman, perlu juga dipertimbangkan tujuan dari
kulturnya. Bagian-bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah
kromosom maupun variasi dalam beberapa gen. Endosperma hanya digunakan
untuk mendapatkan kultur yang triploid. Selain bagian tanaman, genotip atau
18
Universitas Sumatera Utara
19
varietaas yang digunakan juga ikut menentukan keberhasilan regenerasi
(Gunawan, 1995).
Media Kultur
Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur
telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang dikulturkan (Yusnita, 2003).
Sebelum membuat medium, maka terlebih dahulu kita harus menentukan
medium apa yang akan kita buat. Jenis medium dengan komposisi unsur kimia
yang berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang
berbeda pula (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Medium yang digunakan untuk kultur in vitro tanaman dapat berupa
medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang
selanjutnya diinduksi membentuk tanaman yang lengkap (disebut sebagai planlet),
sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang
digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber
karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik (Yuwono, 2008).
Media yang digunakan secara luas adalah media MS yang dikembangkan
pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat
modifikasi, misalnya hanya menggunakan ½ dari konsentrasi dari garam-garam
makro yang digunakan (1/2 MS) atau menggunakan komposisi garam makro
berdasarkan MS tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller. Zat
19
Universitas Sumatera Utara
20
pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi kultur
(Gunawan, 1995).
Lingkungan In Vitro
Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman,
wadah kultur, dan lingkungan eksternal ruang kultur, memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap suatu sistem kultur jaringan. Secara teoritis, semua variabel
di dalam setiap wadah kultur pada ruang kultur yang sama adalah seragam.
Sebagai konsekuensinya, hal yang sama terjadi pula di wadah-wadah kultur pada
ruang kultur yang lain. Agar pertumbuhan kultur seragam maka keseragaman
faktor lingkungan harus diupayakan, tidak hanya di dalam ruang kultur, tetapi
juga di dalam semua wadah kultur dengan cara menggunakan wadah yang
seragam (Zulkarnain, 2009).
Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman
meliputi:
•
Temperatur
•
Penyinaran: panjang penyinaran, intensitas penyinaran, dan kualitas sinar,
serta
•
Ukuran wadah kultur
(Gunawan, 1995).
Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi
lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Prof. Murashige menyarankan untuk
mengasumsikan kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman
20
Universitas Sumatera Utara
21
merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan
di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan
(Yusnita, 2003).
Pengaruh intensitas cahaya terhadap pembentukan akar bergantung pada
cara pemberian cahaya tersebut. Protokorm Cymbidium yang berwarna hijau akan
membentuk akar dan tunas bila diberi intensitas cahaya 2200 sampai 2500 lux.
Namun, bila disimpan dalam gelap hanya membentuk tunas. Pembentukan akar
disini diduga ada kaitannya dengan metabolism nitrogen yang terjadi dengan
adanya cahaya. Untuk keperluan kultur jaringan cahaya putih dari lampu
flourscent dengan intensitas 1000 lux untuk fase inisiasi dan subkultur, sedangkan
untuk fase pengakaran dan persiapan planlet sebelum dilakukan aklimatisasi
menggunakan intensitas 3000 sampai 10000 lux. Intensitas yang lebih rendah
akan menghasilkan planlet yang mengalami etiolasi dengan daun yang berwarna
pucuk.
Lama
penyinaran
yang
dianjurkan
adalah
16
jam
per
hari
(Wattimena, dkk, 1992).
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan
zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan,
konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu
(Gunawan, 1995).
21
Universitas Sumatera Utara
22
Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan
kelompok sitokinin. Kedua kelompok zat pengatur tumbuh tersebut berinteraksi
pula dengan senyawa-senyawa kimia lainnya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan seperti cahaya dan suhu. Pada kondisi tertentu, auksin dapat bereaksi
menyerupai sitokinin atau sebaliknya. Meskipun demikian, baik auksin maupun
sitokinin, keduanya seringkali diberikan secara bersamaan pada medium kultur
untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun rasio yang dibutuhkan
untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama. Terdapat keragaman
yang tinggi antargenus, antarspesies, bahkan antar kultivar dalam hal jenis serta
takaran auksin dan sitokinin yang dibutuhkan untuk menginduksi terjadinya
morfogenesis (Kyte, 1983) dan Torres, 1989).
Pierik (1997) mengemukakan bahwa fitohormon adalah senyawa-senyawa
yang dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi secara endogen. Senyawa tersebut
berperan merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel,
jaringan dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa
lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan hormone, tetapi diproduksi
secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur tumbuh.
Naftalen asam asetat (NAA)
Auksin adalah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang
pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA
(indole-3-acetic-acid). Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya auksin
meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif.
22
Universitas Sumatera Utara
23
Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan
tunas aksilar, namun kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk
meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin
yang rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan auksin
konsentrasi tinggi akan
merangsang
pembentukan kalus dan
menekan
morfogenesis (Zulkarnain, 2009).
Pertumbuhan dari kultur jaringan atau organ dan In Vitro morfogenesis
lebih dipengaruhi oleh genotipe sumber jaringan atau organ yang digunakan
dibandingkan dengan faktor lainnya. Media dan kondisi fisik lingkungan tumbuh
kultur sering kali berbeda satu genus dengan genus yang lain, atau spesies
tanaman tertentu dengan spesies lain. Tidak jarang antar varietas yang memiliki
sifat dekat namun kebutuhannya akan lingkungan dan media berbeda
(Wattimena, dkk, 1992).
NAA juga mempunyai sifat-sifat yang tidak baik juga, karena mempunyai
kisaran kepekatannya yang sempit. Batas kepekatan yang meracun dari zat ini
sangat mendekati kepekatan optimum untuk perakaran. Dengan demikian,
kita
perlu
waspada
agar
kepekatan
optimum
ini
tidak
terlampaui
(Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Hillman menekankan tentang sulitnya menganalisa kandungan hormone
pada tunas untuk mempelajari kemungkinan korelasi antara konsentrasinya
dengan tingkat hambatan pertumbuhan tunas. Secara teknis sangatlah sulit untuk
23
Universitas Sumatera Utara
24
menganalisis kandungan hormone pada tunas-tunas yang sangat kecil dan
kandungan hormonnya juga sangat rendah (Lakitan, 1996).
Benzil aminopurin (BAP)
Sifat paling karakteristik yang berkaitan dengan sitokinin adalah
perangsangan mereka terhadap pembelahan sel pada kultur jaringan tanaman. Satu
dari reaksi yang benar-benar dramatis terhadap sitokinin adalah pembentukan
organ-organ yang terjadi di bawah kondisi yang tepat dalam berbagai kultur
jaringan. Heide (1965) menemukan bahwa sitokinin-sitokinin tertentu beberapa
kali lebih efektif daripada kinetin itu sendiri pada penginduksian pembentukan
tunas dan lebih jauh bahwa spesies atau kultivar tertentu Begonia yang biasanya
tidak membentuk tunas-tunas kebetulan di daun atau berbuat demikian hanya
kadang-kadang saja, dengan pemprosesan sitokinin mengeluarkan pembentukan
tunas yang melimpah (Wilkins, 1989).
Sitokinin biasanya tidak digunakan untuk tahap pengakaran pada
mikropropogasi karena aktivitasnya yang dapat menghambat pembentukan akar,
menghalangi pertumbuhan akar, dan menghambat pengaruh auksin terhadap
inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah spesies tertentu. apabila ketersediaan
sitokinin di dalam medium kultur sangat terbatas maka pembelahan sel pada
jaringan yang dikulturkan akan terhambat. Akan tetapi, apabila jaringan tersebut
disubkulturkan pada medium dengan kandungan sitokinin yang memadai maka
pembelahan sel akan berlangung secara sinkron (George dan Sherrington, 1984).
24
Universitas Sumatera Utara
25
Zat pengatur tumbuh yang diberikan harus dapat diabsorbsi dan
ditranslokasikan ke jaringan target. Hal ini tentu tergantung dari formulasi dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh sehingga dapat dikatakan bahwa pada
konsentrasi tersebut belum dapat diabsorbsi dan ditranslokasikan oleh tanaman
untuk pertumbuhan dan perkembangan (Wattimena, dkk, 1992).
25
Universitas Sumatera Utara
Download