analisis perencanaan sistem transmisi serat optik

advertisement
ANALISIS PERENCANAAN SISTEM TRANSMISI SERAT OPTIK CWDM
JARINGAN UNIVERSITAS INDONESIA TERPADU (JUITA)
Irvan Hardiyana
Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Seiring dengan kemajuan dunia telekomunikasi saat ini, kemampuan peralatan telekomunikasi untuk menghantarkan
informasi semakin canggih. Kecanggihan ini diiringi juga dengan kebutuhan dan permintaan informasi yang semakin
besar sehingga memicu peningkatan kebutuhan bandwidth. Universitas Indonesia yang merupakan salah satu
Universitas terbesar di Indonesia memiliki jaringan komunikasi tersendiri yang dikenal dengan Jaringan Universitas
Indonesia Terpadu (JUITA). Untuk mengantisipasi adanya peningkatan kebutuhan bandwidth, JUITA membutuhkan
perencanaan sistem transmisi serat optik yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Pada skripsi ini, akan dilakukan analisis perencanaan sistem transmisi serat optik CWDM Jaringan Universitas
Indonesia Terpadu (JUITA), dengan melihat dari kecenderungan pertumbuhan kebutuhan bandwidth pada layanan
Metro Ethernet JUITA yang meningkat dimulai dari periode tahun 2008 sebesar 98 Mbps sampai tahun 2012 yang
mencapai 1023 Mbps atau 1,23 Gbps. Berdasarkan data yang diolah dengan metode regresi linier, diketahui bahwa
adanya pola peningkatan kebutuhan bandwidth terhadap waktu.
Perhitungan power link budget dan rise time budget digunakan untuk menentukan apakah perencanaan yang
dilakukan sudah memenuhi kriteria untuk diimplementasikan di lapangan. Hasil yang didapat dalam proses perhitungan
menunjukkan bahwa perencanaan ini telah memenuhi kriteria untuk diimplementasikan di lapangan. Hal ini dibuktikan
dengan power link budget dapat menjangkau jarak tempuh transmisi sejauh 54 km, sedangkan jarak tempuh link JUITA
sejauh 32,776 km sehingga tidak dibutuhkan penguat optik. Selain itu, power budget sistem perencanaan juga
menghasilkan nilai yang sesuai yaitu daya yang dideteksi oleh detektor sebesar -19,238 dBm masih lebih besar
dibandingkan sensitivitas pada penerima (-30 dBm). Sedangkan, pada nilai rise time budget perencanaan telah
memenuhi nilai rise time sistem sebesar 1125 ps.
Abstract
Along with the progress of today's telecommunications world, the ability of telecommunications equipment to conduct
information is more sophisticated. The sophistication is accompanied also by necessity and demand information getting
to be a great. Its trigger bandwidth needs to increase. The University of Indonesia who is one of the largest universities
in Indonesia has its own communications network known as the integrated network of the University of Indonesia
(JUITA). In anticipation of an increase in bandwidth needs, JUITA requires planning optical fiber transmission system
in accordance with existing conditions.
In this thesis, would have done the analysis of fiber-optic transmission system planning CWDM, by looking at
the trend of growth of bandwidth needs on Metro Ethernet service is increasing, starting from the 2008 period
amounting to 100 Mbps until 2012 to reach the 1023 Mbps or 1.23 Gbps. Based on data that is processed by the method
of linear regression, it is noted that the existence of a pattern of increased bandwidth needs with respect to time.
Calculation power link budget and rise time budget used to determine whether the planning are appropriate to
implemented. The result of calculation showed that this planning is appropriate to implemented. This is evidenced by
the power link budget can reach as far as transmission mileage 54 km, while the distance traveled as far as JUITA link
32,776 km so that optical amplifier is not needed. In addition, power budget planning system also generates a value that
corresponds to the power detected by a detector-19,238 dBm is still greater than the sensitivity in the receiver (-30
dBm). Meanwhile, the value of the rise time budget planning meets the value rise time systems of 1125 ps.
Key Words: Bandwidth, CWDM, method of linear regression, rise time budget, power link budget
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
1. Pendahuluan
Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan dunia telekomunikasi saat
ini, kemampuan peralatan telekomunikasi untuk
menghantarkan
informasi
semakin
canggih.
Kecanggihan ini diiringi juga dengan kebutuhan dan
permintaan informasi yang semakin besar. Terlihat
bahwa saat ini banyak masyarakat yang memanfaatkan
aplikasi multimedia seperti transfer data, suara, dan
video untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi.
Aplikasi ini tentunya membutuhkan suatu media
transmisi yang dapat diandalkan baik dari segi kualitas
sinyal yang baik, kecepatan waktu akses (no delay),
keamanan data, area cakupan yang luas, maupun harga
jual yang bersaing. Hal ini mendorong para penyedia
layanan telekomunikasi menggunakan teknologi serat
optik sebagai media transmisi. Teknologi serat optik
sebagai media transmisi dirasakan sangat tepat untuk
memberikan kinerja transmisi yang handal.
Perkembangan teknologi serat optik sebagai media
transmisi mengalami kemajuan yang sangat cepat. Jika
sebelumnya,
teknologi
Plesiochronous
Digital
Hierarchy (PDH) mampu mentransmisikan data sampai
kecepatan 140 Mbs. Kemudian, muncul teknologi
Synchronous Digital Hierarchy (SDH) yang mampu
mentransmisikan data lebih cepat lagi dengan
kecepatan 155 Mbs hingga 10 Gbs. Saat ini mulai
digunakan teknologi Dense Wavelength Division
Multiplexing (DWDM) yang dapat memberikan
kecepatan transmisi data hingga 1 Tbs atau 1.000 Gbs.
Selain itu, hadir teknologi Coarse Wavelength Division
Multiplexing (CWDM) yang mirip dengan DWDM
tetapi menawarkan harga yang lebih murah.
Pada dasarnya, untuk menambah kecepatan transmisi
di suatu jaringan dapat dilakukan dengan penambahan
serat optik. Tetapi, hal ini sangat rumit dilakukan dan
membutuhkan biaya yang relatif mahal. Cara lain yang
lebih ekonomis dan mengacu pada masa depan adalah
penggunaan teknologi Dense Wavelength Division
Multiplexing (DWDM) ataupun Coarse Wavelength
Division Multiplexing (CWDM) yang memanfaatkan
teknologi sebelumnya Synchronous Digital Hierarchy
(SDH) yang sudah ada dengan melakukan
pengintegrasian dimana sinyal-sinyal yang ada
digabungkan (multiplexing).
Universitas Indonesia yang merupakan salah satu
Universitas terbesar di Indonesia memiliki jaringan
komunikasi tersendiri yang dikenal dengan Jaringan
Universitas Indonesia Terpadu (JUITA). Jaringan
Universitas
Indonesia
Terpadu
(JUITA)
ini
menghubungkan 12 gedung fakultas yang ada di
dalamnya. Kebutuhan akan data di Universitas
Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat seiiring
dengan meningkatnya jumlah mahasiswa yang ada di
setiap fakultas. Dalam memenuhi kebutuhan data
setiap fakultas ini, JUITA menggunakan media serat
optik sebagai media transmisi pengiriman data. Untuk
menjamin kepuasan pelayanan yang berkelanjutan
akan kebutuhan data informasi di setiap fakultas,
JUITA terus mengembangkan teknologi jaringan
transmisinya. Untuk itu, pada jurnal ini akan dibahas
tentang “Analisis Perencanaan Sistem Transmisi Serat
Optik CWDM Jaringan Universitas Indonesia Terpadu
(JUITA)”.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yaitu adanya
peningkatan kebutuhan bandwidth pada Jaringan
Universitas Indonesia Terpadu (JUITA), maka
permasalahan utama yang akan dibahas adalah
membuat perencanaan sistem transmisi serat optik
CWDM guna mengantisipasi kenaikan bandwidth yang
terjadi dan menganalisa perencanaan tersebut guna
mendapatkan sistem yang sesuai.
Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, berikut
adalah langkah-langkah yang akan dibahas dalam
penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Mencari berapa besarnya nilai kebutuhan
bandwidth pada Jaringan Universitas Indonesia
Terpadu (JUITA) dari tahun 2008 sampai
dengan 2012.
2. Menghitung proyeksi kebutuhan bandwidth
pada JUITA sampai tahun 2018.
3. Membuat standar parameter yang ditetapkan
dalam perencanaan sistem transmisi CWDM.
Tujuan
Tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah menganalisis
perencanaan sistem transmisi serat optik CWDM
Jaringan Universitas Indonesia Terpadu (JUITA)
berdasarkan hasil prediksi hingga tahun 2018,
kapasitas bandwidth, kehandalan margin sistem, dan
menentukan apakah perencanaan yang dilakukan sudah
memenuhi kriteria untuk diimplementasikan di
lapangan berdasarkan hasil perhitungan power link
budget dan rise time budget.
Batasan Masalah
Pembatasan masalah pada skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Pembahasan mencakup kebutuhan bandwidth
pada layanan METRO Jaringan Universitas
Indonesia Terpadu (JUITA).
2. Pembahasan mencakup analisis perencanaan
aplikasi teknologi sistem transmisi serat optik
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
CWDM Jaringan Universitas Indonesia
Terpadu (JUITA).
3. Data spesifikasi jenis serat optik dan
komponen penunjang yang digunakan pada
perencanaan
ini,
disesuaikan
dengan
standardisasi yang telah ditentukan oleh
Universitas Indonesia.
Metodologi Penulisan
Tahapan-tahapan yang dilalui dalam penyusunan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Studi Literatur yaitu studi kepustakaan, bukubuku, dan tulisan ilmiah yang mendukung
baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy.
2. Diskusi yaitu melakukan konsultasi dengan
dosen pembimbing, pembimbing lapangan,
dosen, dan teman yang berkaitan dengan
masalah.
3. Studi Lapangan yaitu studi yang dilakukan
langsung pada Jaringan Universitas Indonesia
Terpadu (JUITA).
4. Studi Analisis yaitu studi analisi yang
dilakukan pada data yang diperoleh selama
melakukan penelitian di Jaringan Universitas
Indonesia Terpadu (JUITA).
gelombang yang dibangkitkan oleh carrier source.
Pada umumnya, gelombang cahaya yang dibangkitkan
ini dihasilkan oleh Laser Diode (LD) atau Light
Emitting Diode (LED). Untuk menyalurkan daya
gelombang cahaya yang telah termodulasi dari carrier
source ke serat optik digunakan channel coupler.
Kemudian, gelombang cahaya ini ditransmisikan ke
dalam serat optik hingga sampai ke receiver
(penerima) yang terletak pada sisi lainnya. Pada sisi
receiver, gelombang cahaya ini akan diubah kembali
kedalam bentuk sinyal elektrik oleh sebuah detektor
dan dikuatkan kembali dengan adanya amplifier. Di
dalam sisi receiver juga terdapat signal processor yang
berfungsi sebagai tempat pemprosesan sinyal yang
mengubah sinyal tertentu menjadi sinyal yang
diinginkan baik analog atau digital. Selama proses
transimisi sinyal dari transmitter menuju receiver
sering terjadi redaman atau rugi cahaya di sepanjang
kabel serat optik atau konektor-konektornya. Bila jarak
tempuh antara transmitter dan receiver terlalu jauh
akan digunakan Optical Amplifier (OA) sebagai
penguat sinyal cahaya yang telah mengalami redaman.
2. Sistem Komunikasi Serat Optik
Sistem komunikasi mengantarkan suatu informasi dari
satu tempat ke tempat lainnya. Untuk dapat
mengantarkan suatu informasi dibutuhkan suatu media
transmisi dimana media tersebut menjadi tempat
jalannya informasi dari sumber ke penerima. Dalam
sistem komunikasi serat optik, media transmisi yang
digunakan adalah serat optik. Serat optik ini
merupakan media transmisi yang terbuat dari kaca atau
plastik yang mentransmisikan sinyal cahaya sebagai
pembawa informasi.
Prinsip kerja sistem komunikasi serat optik didasarkan
pada prinsip pemantulan gelombang cahaya sebagai
sinyal pembawa informasi yang memiliki panjang
gelombang tertentu. Secara umum, blok diagram
sistem komunikasi serat optik ditunjukkan seperti pada
Gambar 2.1.
Pada blok diagram sistem komunikasi serat optik
terdapat 3 komponen utama, yaitu transmitter
(pemancar), serat optik, dan receiver (penerima).
Transmitter (pemancar) berfungsi sebagai tempat
pemancar sinyal awal yang akan ditransmisikan pada
serat optik dimana didalamnya terdapat modulator,
carrier source, dan channel coupler. Pada awalnya,
sinyal awal yang akan ditransmisikan berupa sinyal
elektrik. Di dalam transmitter, sinyal ini diubah
menjadi sinyal cahaya oleh modulator. Sinyal cahaya
ini selanjutnya akan ditumpangkan ke sebuah
Gambar 2.1 Blok diagram sistem komunikasi serat
optik [1]
3. Coarse Wavelength Division Multiplexing
(CWDM)
Konsep Dasar CWDM
Coarse Wavelength Division Multiplexing (CWDM)
merupakan salah satu teknologi wavelength division
multiplexing (WDM) yang memiliki channel spacing
lebih lebar dibandingkan dengan DWDM. Berbeda
dengan teknologi WDM lainnya, CWDM dapat
menggunakan spektrum band yang lebih luas, tidak
terbatas pada satu atau dua band saja. Selain itu,
CWDM dapat digunakan baik pada serat optik jenis
multimode ataupun singlemode walaupun memiliki
jarak jangkauan sinyal yang lebih pendek dibanding
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
mendemultiplikasikan kanal-kanal panjang
gelombang optik yang ditransmisikan menjadi
kanal-kanal panjang gelombang seperti
semula. Gambar 3.2 memperlihatkan bentuk
multiplexer dan demultiplexer dua arah.
DWDM. Teknologi CWDM diimplementasikan sebagai
pengembangan transport data pada proses transmisi
guna mempercepat transfer data dan meningkatkan
bandwidth.
Gambar 3.2 Bentuk multiplexer dan
demultiplexer dua arah [2]
Gambar 3.1 Konfigurasi sistem CWDM secara
umum [2]
Pada dasarnya, sistem CWDM merupakan sekumpulan
transmitter sebagai sumber optik yang memancarkan
cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda-beda.
Panjang gelombang yang berbeda-beda ini merupakan
bentuk sinyal dari berbagai service yang akan
disalurkan melalui serat optik. Sebelum disalurkan ke
dalam serat optik, sinyal ini mengalami proses
multiplexing di transmitter. Kemudian, pada sisi
receiver, sinyal tersebut didemultiplexing kembali dan
dipisahkan berdasarkan panjang gelombangnya
masing-masing. Gambar 3.1 menunjukkan konfigurasi
sistem CWDM secara umum.
Teknologi CWDM berkembang dari keterbatasan pada
sistem transmisi serat optik yang ada, dimana
pertumbuhan trafik pada sejumlah backbone meningkat
sangat pesat sehingga kapasitas bandwidth yang
tersedia tidak mampu lagi mengakomodasi lonjakan
trafik tersebut. Hal ini menjadi dasar pemikiran untuk
memanfaatkan jaringan yang ada dibandingkan
membangun jaringan baru yang tentunya akan
menghabiskan biaya yang sangat besar. Selain itu,
CWDM dapat diintegrasikan pada jaringan transport
yang ada, termasuk Synchronous Digital Hierarchy
(SDH). Oleh karena itu, teknologi CWDM yang
beroperasi dalam sinyal dan domain optik memberikan
fleksibilitas yang cukup tinggi untuk memenuhi
kebutuhan kapasitas transmisi yang besar dalam suatu
jaringan.
2.
Gambar 3.3 OADM Subsystem [3]
3.
Elemen Dasar Sistem CWDM
Sistem CWDM terdiri atas elemen-elemen yang
memiliki fungsi kerjanya masing-masing. Elemenelemen ini terdiri atas:
1. Wavelength multiplexer berfungsi untuk
memultiplikasikan
kanal-kanal
panjang
gelombang optik yang akan ditransmisikan ke
dalam serat optik. Sedangkan, pada
wavelength
demultiplexer
berfungsi
Optical Add/Drop Multiplexer (OADM),
Repeater, dan Amplifier
OADM digunakan untuk melewatkan sinyal
dan melakukan fungsi add dan drop panjang
gelombang ke atau dari serat optik tanpa
memerlukan terminal SDH lagi, dan proses
tersebut terjadi di level optik. OADM
diaplikasikan pada sistem long haul atau pada
jaringan dengan topologi ring. Gambar 3.3
memperlihatkan OADM subsystem.
4.
Serat Optik
Serat optik yang digunakan pada sistem
CWDM ini adalah teknologi serat optik ITU-T
G.652.C yang dapat menghilangkan water
peak pada panjang gelombang 1383 nm
sehingga dapat membebaskan pita E untuk
memperluas kapasitas pita yang digunakan.
Serat optik Dispersion Shifted Fiber (DSF)
yang pada DWDM tidak digunakan, pada
sistem CWDM mulai digunakan karena
memiliki nilai koefisien dispersi kromatik (D)
mendekati nol di daerah panjang gelombang
1310 nm.
Laser
Pada sistem DWDM dibutuhkan teknologi
laser Distributed Feedback (DFB) laser yang
menghasilkan cahaya yang presisi dan sempit
dengan toleransi panjang gelombang 0,1 nm.
DFB laser ini membutuhkan pendingin karena
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
5.
6.
pada saat bekerja menimbulkan panas.
Sedangkan, pada sistem CWDM digunakan
teknologi laser yang memiliki toleransi
panjang gelombang sekitar 2 – 3 nm. Laser ini
pun tidak menimbulkan panas sehingga tidak
diperlukan pendingin. Selain itu, konsumsi
daya yang ada relatif lebih rendah
dibandingkan laser pada sistem DWDM. Tipe
laser yang biasa digunakan ada dua, yaitu
Direct Modulated CWDM Laser dan Vertical
Cavity Surface Emitting Lasers (VCSELs).
Tipe Direct Modulated CWDM Laser ini
dapat menghasilkan bit rate 2,5 Gbps dengan
harga yang rendah dan dapat menjangkau
jarak sampai dengan 80 Km. Sedangkan, pada
tipe laser VCSELs digunakan pada 10 GbE
Wide Wavelength Division Multiplexing
(WWDM) LAN yang bekerja pada panjang
gelombang 850 nm atau 1310 nm dan sedang
dalam proses pengembangan untuk mencapai
bit rate 10 Gbps.
Filter
Filter CWDM diimplementasikan dengan
menggunakan teknologi thin-film filter (TFF).
Filter ini termasuk sebagai filter diskrit singlechannel dan didalamnya terintegrasi dengan
multiplekser atau demultiplekser dengan
empat atau delapan port panjang gelombang.
Bermacam variasi dari filter ini dapat
digunakan
untuk
mengimplementasikan
sebuah multi-channel add drop multiplexer.
Filter CWDM dapat dispesifikasi untuk
transmisi satu arah pada jaringan dua serat
optik atau untuk transmisi dua arah pada
jaringan
satu
serat
optik.
Karena
menggunakan proses thin-film dan material
yang digunakan, stabilitas suhu pada filter
CWDM sangat baik dimana menghasilkan
suhu rata-rata dibawah 0,002 nm/oC.
Receiver
Receiver yang digunakan pada sistem multichannel CWDM pada intinya adalah sama
dengan yang digunakan pada sistem DWDM.
Pada bagian receiver digunakan PIN atau
APD detector yang mendeteksi panjang
gelombang ITU CWDM band. Keuntungan
menggunakan PIN detector adalah harga yang
murah dengan desain yang sederhana.
Sedangkan, keuntungan menggunakan APD
detector adalah dapat memperbaiki nilai
sensitifitas 9 – 10 dB pada receiver.
Spasi Kanal CWDM
lain memiliki nilai yang berdekatan sesuai dengan
kisaran panjang gelombang yang dapat dilalui pada
serat optik yang digunakan. Perbedaan diantara 2
panjang gelombang yang dimultipleks ini merupakan
spasi kanal. Panjang gelombang dari masing-masing
sinyal yang dimultipleks juga memiliki nilai frekuensi
yang berbeda-beda. Dengan kata lain, spasi kanal juga
dapat diartikan dengan jarak frekuensi minimum
diantara 2 sinyal yang dimultipleks. Amplifier optik
dan kemampuan receiver dalam membedakan sinyal
menjadi penentu spacing diantara 2 panjang
gelombang yang berdekatan. Spasi kanal diperlukan
untuk menghindari interferensi diantara sinyal-sinyal
yang dimultipleks. Dalam prakteknya, peralatan sistem
CWDM yang digunakan dikeluarkan oleh vendor yang
beda-beda. Untuk itu, diperlukan suatu standardisasi
mengenai spasi kanal agar diantara peralatan-peralatan
yang digunakan dapat saling berkomunikasi. Gambar
3.4 berikut ini menunjukkan karakteristik spasi kanal.
Gambar 3.4 Karakteristik spasi kanal [4]
Faktor yang mengendalikan besar spasi kanal adalah
bandwidth dan kemampuan receiver mengidentifikasi
dua set panjang gelombang yang lebih rendah dari
spasi kanal. Kedua faktor itulah yang membatasi
jumlah gelombang yang melewati penguat. Saat ini
terdapat dua pilihan untuk melakukan standardisasi,
yaitu menggunakan spasi lambda atau spasi frekuensi.
Hubungan antara spasi lambda dan spasi frekuensi
adalah:
∆ =
.......................................................... (3.1)
Dimana:
∆ = spasi frekuensi (GHz)
= spasi lambda (nm)
λ = panjang gelombang daerah operasi
c = 3 x 108 m/s
Pada sistem CWDM, sinyal optik yang dimultipleks
memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda.
Panjang gelombang yang dimultipleks ini satu sama
Pada CWDM, jarak atau spacing antara satu kanal
dengan kanal lain atau satu panjang gelombang
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
(lambda) dengan panjang gelombang lain umumnya
berkisar 20 nm.
Band Frekuensi
Sistem CWDM memiliki spektrum band yang lebih
luas, tidak terbatas pada satu atau dua band saja seperti
yang digunakan pada sistem DWDM. Pada Gambar 3.5
menunjukkan band frekuensi kerja yang dapat
digunakan pada sistem CWDM sesuai dengan standard
ITU-T G.694.2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa
daerah band dibagi menjadi O-band, E-band, S-band,
C-band, dan L-band. Sistem CWDM menggunakan
serat optik yang berstandard ITU-T G.652.C. Serat
optik ini tidak baik digunakan pada bagian E-band
dikarenakan adanya water peak yang dapar
menghasilkan atenuasi 2 dB/km atau lebih. Oleh
karena itu, sistem CWDM menggunakan O-band, Sband, C-band, dan L-band sebagai daerah kerjanya.
Gambar 3.6 Karakteristik Tipe Serat Berdasarkan
Standar ITU [4]
4. Perencanaan Sistem Transmisi Serat
Optik CWDM JUITA
JUITA (Jaringan Universitas Indonesia
Terpadu)
Gambar 3.5 Wavelength grid sistem CWDM
standard ITU-T G.694.2 [5]
Karakteristik Redaman
Serat Optik CWDM
dan
Jaringan Universitas Indonesia Terpadu (JUITA) sudah
ada pada saat pertama kali Universitas Indonesia
dibangun di Kota Depok. JUITA merupakan suatu
kesatuan jaringan yang menghubungkan 12 fakultas
yang berada di Universitas Indonesia. Jaringan ini juga
menghubungkan dua tempat terpisah antara Universitas
Indonesia yang berada di Depok maupun Salemba.
Gambar berikut ini menunjukkan topologi jaringan
Universitas Indonesia.
Dispersi
Untuk mendukung sistem yang mentransmisikan
informasi dengan kapasitas tinggi, pemilihan serat
optik yang tepat sebagai media transmisi juga perlu
diperhatikan. Pada sistem DWDM digunakan Non
Dispersion Shifted Fiber (NDSF) yang dikenal sebagai
Standard Single Mode Fiber (SSMF) dan dibuat
berdasarkan rekomendasi ITU-T G.652. NDSF
memiliki nilai koefisien dispersi kromatik (D)
mendekati nol di daerah panjang gelombang 1310 nm.
Sedangkan, pada daerah 1550 nm koefisien dispersi
maksimumnya adalah 18 ps/nm.km. Berdasarkan
standard yang ditetapkan oleh ITU-T, karakteristik
serat optik yang digunakan ditunjukkan pada gambar di
bawah ini.
Gambar 4.1 Topologi JUITA
Pada Gambar 4.1 tersebut dapat terlihat bahwa terdapat
core switch utama yang berada pada gedung
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
operasional PPSI di Fasilkom UI. Core switch utama
ini berfungsi sebagai penghubung core switch atau
router yang ada pada jaringan fakultas-fakultas.
Jaringan Universitas Indonesia Terpadu (JUITA)
mendapatkan interkoneksi internet dari empat sumber
yaitu Moratel, Indosat, Telkom, dan OpenIXP. Sumber
interkoneksi internet ini kemudian terhubung dengan
core DMZ sebelum disalurkan ke core switch utama
dimana core DMZ ini berfungsi sebagai sistem kontrol
dan keamanan dari jaringan.
JUITA terbagi menjadi tiga tempat lokasi daerah
terpisah, yaitu jaringan JUITA Depok, jaringan JUITA
Salemba dan jaringan JUITA Cikini. Pada masingmasing lokasi ini terdapat switch utama yang nantinya
akan terhubung dengan masing-masing gedung-gedung
didalamnya.
1. Jaringan JUITA Depok
Jaringan JUITA Depok terdiri atas 15 grup
jaringan utama yang saling terhubung dengan
core switch utama. Grup utama tersebut
memiliki
switch
atau
router
yang
menghubungkan jaringan LAN didalamnya.
Berikut adalah daftar 15 grup jaringan utama
yang terdapat pada jaringan JUITA utama,
yaitu jaringan Fakultas Teknik, jaringan PAU
Rektorat, jaringan Fakultas Ekonomi, Jaringan
Fakultas MIPA, jaringan Fakultas FIB,
jaringan
Fakultas
Psikologi,
Jaringan
Perpustakaan Pusat, Jaringan FISIP, jaringan
Fakultas Hukum, jaringan Gedung Pasca
Sarjana, Jaringan PPSI, jaringan MIS, jaringan
core switch lama, jaringan PPSI-C, dan
jaringan CS-B. Pada JUITA Depok ini hanya
jaringan Fakultas Teknik dan jaringan PAU
Rektorat
yang
menggunakan
router.
Sedangkan, jaringan yang lain menggunakan
switch.
2. Jaringan JUITA Salemba
Jaringan JUITA Salemba terdiri atas dua
jaringan utama, yaitu jaringan PPSI-MTI dan
jaringan IASTH. Jaringan ini memiliki switch
yang menghubungkan kepada jaringan LAN
yang ada didalamnya. Pada jaringan PPSIMTI switch utamanya terhubung dengan MTI,
Pasca pusat, Pasca FISIP, PPSI, FKG, FK, dan
FISIP-Politik. Sedangkan, pada IASTH
terhubung dengan MPKP, Pasca KWA, FE
Ekstensi, Pasca Hukum, IASTH-2, MAKSI,
dan GDLN-Client.
3. Jaringan JUITA Cikini
Pada jaringan JUITA Cikini hanya terdapat
switch utama Gedung Mochtar yang
terhubung dengan switch Mikro-Biologi.
Kebutuhan informasi yang meningkat menyebabkan
meningkatnya kebutuhan bandwidth pada suatu
jaringan telekomunikasi. Hal ini terjadi dikarenakan
meningkatnya pengguna yang menggunakan fasilitas
maupun fitur dari jaringan tersebut. Pada jaringan
JUITA, kebutuhan bandwidth yang ada mengalami
kenaikan dari periode semester ganjil tahun 2008
sampai dengan semester genap tahun 2012. Gambar
4.2 menunjukkan grafik peningkatan bandwidth yang
terjadi pada JUITA sejak semester ganjil tahun 2008
hingga semester genap tahun 2012.
1200
1000
1023
800
778
BW 600
(Mbps)
612
450
400
370
285 315
215
185
200
0
98
1 2
2008
3 4 5 6
2009 2010
7 8 9 10
2011 2012
Tahun
Gambar 4.2 Grafik Kebutuhan Bandwidth JUITA
Data kebutuhan bandwidth dihitung sebanyak dua kali
dalam setahun, yaitu dilakukan pada semester ganjil
dan genap. Perhitungan ini dilakukan pada setiap bulan
Juni dan Desember. Terlihat pada Gambar 4.2 bahwa
penambahan bandwidth yang terbesar terjadi pada
periode semester ganjil ke semester genap tahun 2012.
Sedangkan, penambahan bandwidth yang terkecil
terjadi pada periode semester genap tahun 2008 ke
semester ganjil 2009. Pada semester ganjil tahun 2008,
kebutuhan bandwidth JUITA sebesar 98 Mbps dan saat
ini kebutuhan bandwidth mencapai sebesar 1023 Mbps
atau 1,23 Gbps. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
tahunnya kebutuhan bandwidth pada JUITA
mengalami peningkatan. Pada Tabel 4.1 ditunjukkan
besarnya kebutuhan bandwidth yang terus meningkat
hingga pada tahun 2012 dengan besar kebutuhan
bandwidth adalah sebesar 1,23 Gbps.
Tabel 4.1 Besar kebutuhan Bandwith tahun 2008 –
2012
Tahun
Periode
Kebutuhan Bandwidth JUITA Periode
2008 – 2012
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
Besar
Bandwidth
(Mbps)
Penambahan
Bandwidth
(Mbps)
2008
2009
2010
2011
2012
Ganjil
Genap
Ganjil
Genap
Ganjil
Genap
Ganjil
Genap
Ganjil
Genap
98
185
215
285
315
370
450
612
778
1023
98
87
30
70
30
55
80
162
166
245
Tabel 4.2 Jarak kabel serat optik
No.
LINK
(End-to-end)
Jarak
(KM)
1
PPSI – UI
Salemba
PPSI – PAU
Rektorat
PAU Rektorat –
Fak. Teknik
Fak. Teknik –
FISIP
FISIP – Fak.
Hukum
Fak. Hukum –
PPSI
Total
29,47
Panjang
Kabel
(KM)
29,47
0,423
0,423
1,27
1,27
1,03
1,03
0,348
0,348
0,235
0,235
32,776
32,776
2
3
Topologi Jaringan Serat Optik CWDM
JUITA
4
Topologi jaringan dengan bentuk ring merupakan
konfigurasi yang dipilih untuk diimplementasikan pada
perencanaan
ini,
dengan
mempertimbangkan
kemampuan dalam memenuhi layanan yang
ditawarkan sekaligus menciptakan kehandalan yang
tinggi. Sedangkan, untuk jaringan PPSI-Depok dengan
UI Salemba digunakan point-to-point untuk
mengefisiensikan pemakaian kabel serat optik. Jadi,
pada perencanaan ini digunakan dua jaringan yang
berbeda dengan pusat terminal berada pada PPSIDepok. Gambar berikut ini adalah topologi jaringan
yang digunakan pada perencanaan ini.
6
5
Flow Chart Perencanaan
Flow chart perencanaan jaringan serat optik yang
digunakan pada perencanaan jaringan serat optik
CWDM JUITA dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut
ini.
Gambar 4.3 Topologi Jaringan CWDM JUITA
Pada Gambar 4.3, PPSI-Depok dan PAU Rektorat
merupakan jaringan utama (backbone) yang berfungsi
sebagai pusat gerbang keluar optik yang akan
menghubungkan ke antar jaringan lainnya. Masingmasing terminal yang terhubung pada JUITA memiliki
jarak yang berbeda. Berikut adalah rincian jarak
masing-masing terminal yang dapat dilihat pada Tabel
4.2.
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
Parameter perencanaan yang digunakan pada jaringan
ini, disesuaikan dengan standarisasi yang berlaku di
Universitas
Indonesia
sebagai
penyelenggara
pembangunan serat optik ini. Parameter perencanaan
serat optik tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Parameter perencanaan
Gambar 4.4 Flow chart perencanaan
Penentuan Teknologi Transport CWDM
Kebutuhan kapasitas kanal yang diprediksi pada
JUITA didasarkan oleh berapa besar kebutuhan
bandwidth terhadap waktu. Data prediksi kebutuhan
kapasitas kanal ini dibutuhkan agar jaringan serat optik
yang akan dibangun nantinya dapat digunakan untuk
masa mendatang. Apabila ada penambahan kapasitas
kanal JUITA, tidak lagi dilakukan pembangunan atau
pemugaran jaringan yang ada, sehingga biaya
pembangunan atau pemugaran jaringan dapat ditekan.
Adapun kebutuhan kapasitas kanal berdasar prediksi
bandwidth waktu JUITA untuk area Universitas
Indonesia sampai dengan tahun 2018 dapat dilihat
dalam pembahasan Bab 4.1, jika dikonversikan dalam
format STM-4 dan STM-16 maka nilai konversinya
sebagai berikut:
•
Bit rate dari STM-4 adalah sebesar 622 Mbps,
maka apabila ingin menggunakan STM-4
didapatkan jumlah STM-4 sebesar:
1934,29 Mbps =
•
,
= 3,11 ≈ 4 x STM-4
Bit rate dari STM-16 adalah sebesar 2,5 Gbps,
maka apabila ingin menggunakan STM-16
didapatkan jumlah STM-16 sebesar 1 buah.
4.5 Parameter Perencanaan
5. Perhitungan
Power Budget
Dengan menggunakan data parameter pada Tabel 4.3,
maka dapat dihitung power budget untuk perencanaan
sistem komunikasi serat optik JUITA sebagai berikut:
= − × − × !"# $ − % − % − &%
= 9 – (0,15 x 12) – (0,5 x 32,776) – (0,05 x 21) – 9
= - 19,238 dBm.
Detektor yang digunakan mempunyai sensitivitas
hingga -30 dBm, dengan demikian daya yang sampai
pada pendeteksi (-19,238 dBm) cukup untuk dapat
dideteksi oleh Avalanche Photodiode. Dari hasil
perhitungan menandakan bahwa tidak perlu dipasang
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
penguat optik dikarenakan sinyal tersebut dapat sampai
di detektor optik dengan daya yang lebih besar dari -30
dBm (sinyal dapat terdeteksi oleh avalanche
photodiode).
•
Jarak Maksimum Transmisi Tanpa Penguat
Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk
mengetahui jarak transmisi maksimum serat
optik apabila tidak menggunakan penguat
(optical amplifier). Melalui perhitungan jarak
maksimum yang mampu dicapai, maka dapat
diketahui apakah link ini memerlukan penguat
atau tidak. Perhitungan jarak maksimum
transmisi tanpa penguat dapat dihitung
sebagai berikut:
%!% = %!% =
4.
5.
'() '*)+, ×-, +. -. /. +0
–22,342,23–
2,3
%!% = 54,3 km ≈ 54 km.
6.
Rise Time Budget
Berdasarkan nilai rise time perangkat perencanaan
pada Tabel 3.3, dapat diperoleh nilai rise time sistem.
Dengan menggunakan persamaan dibawah ini, maka
rise time sistem untuk STM-4 (622 Mbps) dengan
format pengkodean NRZ adalah:
5%6% ≤ 0,7⁄:;
5? = 5 =@. B . = (3,5 ps/nm.km) x (1 nm) x (1,27 km)
= 4,445 ps
+ 5 5C = D5
+ 5C
?
= D600 + 500 + 4,445 = 781,04 ps
Link Fak. Teknik – FISIP tanpa menggunakan
DCM
5? = 5 =@. B . = (3,5 ps/nm.km) x (1 nm) x (1,03 km)
= 3,605 ps
+ 5 5C = D5
+ 5C
?
= D600 + 500 + 3,605 = 781,033 ps
Link FISIP – Fak. Hukum tanpa menggunakan
DCM
5? = 5 =@. B . = (3,5 ps/nm.km) x (1 nm) x (0,348 km)
= 4,445 ps
+ 5 5C = D5
+ 5C
?
= D600 + 500 + 0,348 = 781,025 ps
Link Fak.Hukum – PPSI tanpa menggunakan
DCM
5? = 5 =@. B . = (3,5 ps/nm.km) x (1 nm) x (0,235 km)
= 4,445 ps
+ 5 5C = D5
+ 5C
?
= D600 + 500 + 0,235 = 781,025 ps
6. Analisis Perencanaan
2,=
5%6% = 2>
Prediksi Kebutuhan Bandwidth JUITA
2018
5%6% = 1125 ps
Setelah dihitung nilai rise time sistem untuk format
pengkodean NRZ, maka selanjutnya menghitung nilai
rise time perencanaan tiap sublink sebagai berikut:
1.
Link PPSI – UI Salemba tanpa menggunakan
DCM
5? = 5 =@. B . = (3,5 ps/nm.km) x (1 nm)
x (29,47 km) = 103,145 ps
+ 5 5C = D5
+ 5C
?
= D600 + 500 + 103,145 = 787, 81 ps
2.
3.
Link PPSI – PAU tanpa menggunakan DCM
5? = 5 =@. B . = (3,5 ps/nm.km) x(1 nm) x (0,423 km)
= 1,4805 ps
+ 5 + 5C
5C = D5
?
= D600 + 500 + 1,4805 = 781,03 ps
Link PAU – Fak. Teknik tanpa menggunakan
DCM
Dengan berbagai faktor yang turut mendukung
permintaan layanan Metro Ethernet seperti yang telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, kebutuhan layanan
Metro Ethernet perlu diprediksi kedepannya. Prediksi
ini penting untuk masukan perencanaan, baik bagi
penyedia layanan maupun bagi operator. Perencanaan
bagi penyedia layanan meliputi aspek pengadaan
peralatan dan material, perencanaan jaringan,
pengadaan
SDM,
pengorganisasian,
rencana
pemasaran, dan rencana pendanaan.
Bagi operator, perencanaan meliputi perencanaan
pemasaran, manajemen operasi dan monitoring serta
anggaran. Pada bagian ini akan dilakukan prediksi
jumlah bandwidth selama periode semester ganjil 2013
hingga semester genap 2018 mendatang pada area
JUITA.
Dalam memprediksi kebutuhan bandwidth JUITA,
pertama didapatkan terlebih dahulu jumlah kebutuhan
bandwidth per semester tiap tahunnya. Data ini
kemudian diolah dengan membuat grafik antara jumlah
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
kebutuhan bandwidth dengan waktu. Dari grafik
tersebut, akan didapatkan sebuah persamaan yang
merepresentasikan data jumlah kebutuhan bandwidth
per tahunnya. Selanjutnya grafik dari hasil data
tersebut diprediksi dengan menggunakan regresi linear
dengan metode least square.
Dengan metode regresi linier didapatkan grafik
prediksi kebutuhan bandwidth JUITA sampai dengan
tahun 2018 sebagai berikut:
2500
2000
1934.29
1843.31
1752.27
1661.35
1570.37
1479.39
1388.41
1297.43
1206.45
1115.47
1023
1024.49
933.51
778
612
450
370
315
285
215
98185
1500
1000
500
0
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21
Gambar 6.1 Grafik prediksi bandwidth JUITA
Berdasarkan data yang telah diolah didapatkan bahwa
kebutuhan bandwidth pada tahun 2018 mencapai
1934,29 Mbps atau 1,93429 Gbps.
a.
Jarak total link Jaringan JUITA adalah sebesar
32,776 km
b.
Jarak transmisi maksimum tanpa penguat
adalah sebesar 54 km
Dari keterangan di atas, dapat diketahui
bahwa perencanaan jaringan serat optik ini tidak
membutuhkan penguat (optical amplifier) karena
sistem mampu mencapai jarak yang lebih jauh
dibandingkan jarak total jaringan yang akan dibangun
sehingga kebutuhan penggunaan perangkat pada sistem
ini bisa menjadi lebih minim dan juga dapat
mengurangi jumlah biaya yang dikeluarkan.
Margin sistem berperan penting dalam perhitungan
power link budget. Sebagai tambahan pada loss,
biasanya ditambahkan margin yang berfungsi sebagai
cadangan daya untuk mengatasi masalah-masalah yang
timbul pada link, seperti umur komponen, fluktuasi
suhu, dan redaman-redaman yang muncul dari
komponen yang akan ditambahkan suatu hari. Apabila
nilai daya yang sampai pada pendeteksi dari hasil
perhitungan lebih kecil dari nilai sensitivitas (Prx) pada
perangkat, maka dapat dikatakan bahwa nilai margin
masih dapat mengkompensasi redaman yang terjadi.
Tetapi, pada perencanaan ini nilai daya yang sampai
pendeteksi dari hasil perhitungan lebih besar dari nilai
sensitivitas (Prx) pada perangkat. Hal ini membuktikan
bahwa nilai margin yang ditetapkan sebenarnya tidak
dibutuhkan untuk saat ini, tetapi margin ini tetap
disertakan sebagai antisipasi adanya peningkatan loss
di masa yang akan datang akibat dari peralatan yang
digunakan.
Analisis Power Budget
Analisis Rise Time Budget
Analisis power budget diperlukan untuk menjamin
tingkatan daya terima pada receiver masih berada di
atas minimum sensitivitas threshold sehingga sinyal
informasi yang dikirim dapat diterima dengan baik
oleh receiver. Hasil perhitungan power budget,
menunjukkan bahwa daya yang sampai ke detektor
optik adalah sebesar - 19,238 dBm, yaitu lebih besar
dari sensitifitas minimum detektor sebesar -30 dBm.
Dalam hal ini, power budget telah terpenuhi sehingga
tidak perlu dipasang optical amplifier di tengah-tengah
sambungan serat optik untuk memperkuat sinyal optik
yang telah melemah.
Setelah itu, hal yang perlu dihitung adalah jarak
maksimum yang dapat ditempuh oleh jaringan serat
optik apabila tanpa menggunakan penguat dengan
merujuk pada parameter perangkat yang digunakan.
Apabila jarak tempuh maksimum jaringan serat optik
tersebut kurang dari jarak link perencanaan, maka
sistem tersebut diperlukan penguat. Dari data
parameter dan hasil perhitungan pada Bab 3,
didapatkan:
Gambar 6.2 di bawah ini menunjukkan grafik rise time
budget perencanaan jaringan serat optik CWDM
Jaringan Universitas Indonesia Terpadu (JUITA).
1200
Rise Time Budget
1000
800
600
400
200
0
1
2
3
4
5
Gambar 6.2 Rise time budget
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
6
Analisis rise time diperlukan untuk mengetahui apakah
kinerja sistem secara keseluruhan telah tercapai
ataukah belum, dengan menentukan keterbatasan
akibat dispersi pada saluran transmisi dan memastikan
bahwa sinyal yang sampai ke detektor masih dapat
diterima dengan baik tanpa terjadi distorsi yang
mengganggu pembacaan sinyal. Apabila nilai rise time
telah terpenuhi, maka dapat dilanjutkan dengan
menghitung biaya untuk pembangunan SKSO suatu
perencanaan.
Sesuai dengan hasil perhitungan di subbab 3.8 yang
tercantum pada lampiran 6, dapat diketahui bahwa nilai
rise time sistem adalah sebesar 1125 ps. Nilai rise time
ini dijadikan pembanding nilai rise time setiap jalur
perencanaan, sehingga dapat ditentukan apakah
jaringan serat optik yang direncanakan sudah
memenuhi syarat atau tidak. Setelah dilakukan
perhitungan, diperoleh bahwa nilai rise time budget
untuk semua jalur berada pada nilai yang lebih kecil
dibandingkan dengan rise time budget sistem seperti
terlihat pada Gambar 4.2 dimana bar yang berwarna
merah adalah rise time budget dari sistem. Sedangkan,
bar yang berwarna biru adalah rise time budget dari
perencanaan. Pada grafik tersebut terlihat bahwa bar
berwarna biru selalu berada dibawah bar berwarna
merah. Hal ini berarti perencanaan yang dilakukan
telah memenuhi syarat. Selain itu, pada perencanaan
ini tidak diperlukan DCM sebagai kompensator
dispersi sehingga meminimalisir biaya pembangunan.
7. Kesimpulan
1.
Kebutuhan bandwidth Universitas Indonesia
diprediksikan pada semester genap tahun 2018
adalah sebesar 1934,29 Mbps atau 1,93429
Gbps.
2.
Perencanaan jaringan serat optik CWDM ini
menggunakan teknologi transport STM-4 yang
berjumlah 4 buah modul perangkat dengan bit
rate 622 Mbps.
3.
Topologi jaringan yang digunakan pada
perencanaan ini adalah gabungan jaringan
ring dan point-to-point dimana pada link
jaringan UI Depok digunakan jaringan ring.
Sedangkan, pada link jaringan UI Depok – UI
Salemba digunakan jaringan poin-to-point.
4.
Hasil
perhitungan
power
budget,
menunjukkan bahwa daya yang sampai ke
detektor optik adalah sebesar - 19,238 dBm,
yaitu lebih besar dari sensitifitas minimum
detektor sebesar -30 dBm. Ini berarti pada
perencanaan ini tidak diperlukan optical
amplifier.
5.
Jarak maksimum yang dapat ditempuh oleh
jaringan
serat
optik
apabila
tanpa
menggunakan penguat adalah 54 km dimana
masih dapat menjangkau jarak total link
jaringan JUITA sejauh 32,776 km.
6.
Nilai rise time budget semua jalur memiliki
nilai yang lebih rendah dari rise time budget
sistem sebesar 1125 ps yang membuktikan
bahwa sinyal yang sampai ke detektor masih
dapat diterima dengan baik tanpa terjadi
distorsi yang mengganggu pembacaan sinyal.
7.
Perencanaan sistem transmisi serat optik
CWDM Jaringan Universitas Indonesia
Terpadu (JUITA) yang dilakukan telah
memenuhi
syarat
dan
dapat
diimplementasikan.
Daftar Acuan
[1] “Komunikasi Serat Optik”.
http://www.imambagibagi.blogspot.com. Tanggal
akses 25 Nopember 2012.
[2] Freeman, R.L. “Telecommunication Transmission
Handbook”. Edisi ke-4, John Willey & Sons, Inc.
Canada, 1998.
[3] Recommendation
ITU-T
G.671.
(2012),
“Transmission Characteristics of Optical Components
and Subststems”.
[4] Leza, Yorashaki M. “Skripsi : Perbandingan
Transmisi dengan Teknik DWDM dan CWDM pada
Komunikasi Serat Optik”. Departemen Teknik Elektro
Universitas Indonesia. 2011.
[5] Recommendation ITU-T G.694.2. (2003), “Spectral
Grids for WDM Applications: CWDM Wavelength
Grid”.
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
Analisis perencanaan…, Irvan Hardiyana, FT UI, 2013
Download