PENGGUNAAAN HAK ANGKET DEWAN

advertisement
PENGGUNAAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Roma Rizky Elhadi
NIM: 109048000074
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM
STUDI
ILMU
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435H/2014M
PENGGUNAAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Roma Rizky Elhadi
NIM. 109048000074
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI
ILMU
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435H/2014M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi ini berjudul PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 telah diujikan dalam Sidang Munaqosah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum.
Jakarta, 23 Januari 2014
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu
syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Januari 2014
Roma Rizky Elhadi
iii
ABSTRAK
ROMA RIZKY ELHADI. NIM 109048000074. PENGGUNAAN HAK ANGKET
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Program
Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakulatas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2013 M. xii +
80 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisi tentang penggunaan hak
angket Dewan Perwakilan Rakyat paska amandemen Undang-Undang Dasar 1945
dan untuk mengetahugaimana mekanisme penggunaan hak angket DPR dan
permasalahan dalam proses pelaksanaan hak angket itu sendiri. Peneletian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu
hukum, dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis
maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis kasus penggunaan
hak angket pasca amandemen undang-undang dasar 1945. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (library research) yang
bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum
yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literature, pendapat ahli, makalahmakalah. Dalam studi kepustakaan penulis menganalisis tentang landasan
pelaksanaaan hak angket DPR yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1954 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Ketentuan mengenai tata
pelaksanaan hak angket yang terdapat di dalamnya saling bertentangan sehingga
sering terjadi ketidakkonsistenan dalam penerapannya. Tata cara pelaksanaan hak
angket juga diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI, peneliti dalam hal ini
meneliti dasar hukum hak angket dan apa saja permasalahan yang terdapat dalam
proses pelaksanaan hak angket.
Kata Kunci
: Hak Angket, Dewan Perwakilan rakyat,
Undang-Undang Dasar 1945.
Pembimbing
: 1. Nur Habibi S.H.I., M.H
2. Nur Rohim Yunus L.L.M
Daftar Pustaka
: Tahun 1950 s.d Tahun 2013
iv
Amandemen
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji dan Syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat
serta
anugerah-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
dengan
judul
“PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA
AMANDEMEN
UNDANG-UNDANG
DASAR
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada
junjungan Nabi Besar kita Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia
dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Nur Habibi SH.I, M.H dan Bapak Nur Rohim Yunus, L.LM. selaku Dosen
Pembimbing yang telah bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan arahan
v
selama saya menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu
dan pikiran yang telah diberikan untuk membimbing saya.
4. Bapak Abdurrauf L.c. selaku dosen pembimbing akademik, yang telah
memberikan bimbingan dan masukannya selama beberapa tahun kepada penulis.
Semoga apa yang telah bapak arahkan kepada penulis dapat bermanfaat dan
dibalas oleh Allah SWT.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan selama penulis menjadi mahsiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang
diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
6. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
staff Perpustakaan Universitas Indonesia, dan staff Humas DPR yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dan memberi data
guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Rushadi S.St., dan Ibunda Usu Suhernih
yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta kakak
tercinta Febrian Hadinata S.St dan Adikku tercinta Habil Rahman yang selalu
memberikan semangat dan bantuan baik segi moril dan materil selama proses
menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan semasa kuliah di lingkungan kampus UIN
(Awak Zaki, Aryo, Abda, Tarikh, Iyan, Ruslan, Rhino, bang Mahmud, bang
vi
Erwin). Kelas Ilmu Hukum B dan kelas Kelembagaan Negara angkatan 2009
(Jajang, Dani, Ratno, Kholil, Farhan, Arif, Fandi, Bowo, Saddam, Daus, Aldo,
Maul, Zaki, Gagat, Fina dan teman-teman yang lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu). Terimakasih untuk kebersamaannya dalam suka dan
duka selama berada dalam studi Ilmu Hukum.
9. Sahabat-sahabat Alumni SMA Titian Teras angkatan XI ( Iryandi, Paulus Zega,
Suprayogi, Dodi Meyondri, Regi Refyunando, Bari Ariatma, Diky Kurniadi,
Didik Erwanto, Yoza Wiratama, Fariz Amar, Nugroho, Yunita Hasri dan temanteman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu). Terimakasih untuk
kebersamaannya dalam suka maupun duka baik selama SMA hingga saat
menjalani perkuliahan selama beberapa tahun ini.
10. Sahabat-sahabat KKN KOMPAK UIN Jakarta 2012 (Cahya, Surya, Rizky,
Almam, Ivan, Jumhur, Erin, Aida, Ovi, Tika, Upi, Fikria, Lina, Thalita) yang
memberi warna selama proses kegiatan perkuliahan dan memberi semangat demi
kelancaran penulisan skripsi ini.
11. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian semua
(Amin).
Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih dan permohonan maaf yang
sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini kurang
vii
berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Jakarta, 23 Januari 2014
Roma Rizky Elhadi
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEBIMBING ............................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6
D. Metode Penelitian......................................................................... 8
E. Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 11
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 13
BAB II
LANDASAN DAN MEKANISME HAK ANGKET DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ................ 15
A. Pengertian Hak Angket ................................................................ 15
B. Sebab Timbulnya Hak Angket ..................................................... 17
C. Landasan Hak Angket .................................................................. 19
D. Mekanisme Penggunaan Hak Angket .......................................... 23
ix
E. Landasan Teori ............................................................................. 29
BAB III
HAK
ANGKET
DEWAN
PERWAKILAN
RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA ............................................................... 37
A. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat .............................................. 37
B. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat ....................... 42
C. Hubungan Hak Angket dengan Dewan Perwakilan Rakyat......... 43
D. Penggunan Hak Angket dibeberapa Negara................................. 46
E. Contoh
Kasus
Amandemen
Hak
Angket
Undang-Undang
Sebelum
Dasar
dan
Sesudah
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945 .................................................................. 52
BAB IV
PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ...... 57
A. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen UUD
Negara Republik Indonesia 1945 ................................................. 57
B. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak
Angket Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
1945 Pasca Amandemen beserta Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia ...................................................... 60
x
C. Permasalahan Dalam Penggunaan Hak Angket Sesudah
Amandemen
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia 1945 ............................................................................. 65
BAB V
PENUTUP ......................................................................................... 73
A. Kesimpulan................................................................................... 73
B. Saran ............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara konstitusional atau constitutional state, yaitu
negara yang dibatasai oleh konstitusi.1 Dalam empat ciri klasik negara hukum Eropa
Kontinental yang biasa disebut rechtsstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan
sebagai salah satu ciri pokok negara hukum.2 Oleh karena itu menurut Montesquieu
dengan teori trias politica yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga tidak ada
lagi yang dominan dalam menjalankan pemerintahan, seperti eksekutif dalam
menjalankan kebijakannya selalu dipantau oleh legislatif atau di Indonesia disebut
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Terdapat tiga fungsi utama DPR, ketiga fungsi utama tersebut adalah Fungsi
Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pada hakikatnya ketiga fungsi
DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan
fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang
kemudian disetujui bersama dengan Presiden, maka DPR harus mengadakan
pengawasan terhadap pelaksanaan produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif
yakni Presiden.
1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),
h. 281.
2
Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun
Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945,cet.I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1993), h. 281.
1
2
Peranan DPR diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh berbagai unsur
DPR seperti anggota, pemimpin, fraksi, komisi, dan badan kelengkapan DPR secara
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama yang dilakukan dalam rangka melaksanakan
fungsi badan tersebut. Dengan demikian, aktivitas unsur-unsur DPR yang bertujuan
melaksanakan fungsi perwakilan, perundang-undangan dan pengawasan, merupakan
kewenangan lembaga ini.
Pengawasan (controlling) yaitu suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin
agar penyelenggaraan negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan hukum
pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan
untuk menjamin sikap pemerintah agar berjalan sesuai hukum yang berlaku.
Dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembagalembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.3
Melalui pelaksanaan fungsi pengawasan, lembaga ini melindungi kepentingan
rakyat, Sebab melalui penggunaan kekuasaan yang dilandasi oleh fungsi ini, DPR
dapat mengoreksi semua kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui pelaksanaan
berbagai hak DPR. Dengan demikian tindakan-tindakan yang dapat mengabaikan
kepentingan anggota masyarakat dapat diperbaiki.
Tolak ukur suatu kontrol politik (pengawasan) berupa nilai-nilai politik yang
dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan dalam kebijakan atau undang-
3
Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun
Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, h. 285.
3
undang. Tujuannya adalah meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang
menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksananya
sejalan dengan tolak ukur tersebut. Fungsi kontrol merupakan konsekuensi logis
dalam sistem demokrasi dalam memperbaiki dirinya.4
Kegiatan pengawasan bukanlah tujuan dari suatu kegiatan pemerintah, akan
tetapi sebagai salah satu sarana untuk menjamin tercapainya tujuan. Dalam hukum
tata negara berarti menjamin segala sikap tindak lembaga-lembaga pemerintahan
(badan dan pejabat tata usaha negara) berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran, bahwa pelaksanaan fungsi
anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama menjalankan pula fungsi
pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem checks and balances. Selain
ketiga fungsi di atas, secara konstitusional DPR memiliki hak yang melekat
kepadanya. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dimana yang menjadi hak Dewan Perwakilan
Rakyat adalah Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.5
Pada hakikatnya ketiga fungsi DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga
fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR
menghasilkan Undang-Undang yang kemudian disetujui bersama dengan Presiden,
maka DPR harus mengadakan pengawasan terhadap produk Undang-Undang oleh
4
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet.II, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), h. 82.
5
Indonesia, Pasal 20A ayat 2, Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945.
4
lembaga Eksekutif yakni Presiden. Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran,
bahwa pelaksanaan fungsi anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama
menjalankan pula fungsi pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem
checks and balances.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya DPR menjalankan fungsinya dengan
menggunakan kewenangan yang dimilikinya, di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan tentang tugas-tugas DPR, yaitu
mengawasi jalannya kinerja pemerintahan dengan menggunakan hak maupun
kewajibannya.6 Salah satu hak yang dimiliki oleh DPR dalam menjalankan fungsinya
untuk mengawasi pemerintahan yaitu Hak Angket, atau hak anggota badan legislatif
untuk mengadakan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sebelum UUD 1945 diamandemen belum dikenal adanya istilah hak angket,
istilah hak angket DPR baru mulai muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2.
Latar belakang munculnya hak angket pasal 20 A dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah perubahan mengandung
beberapa prinsip yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas
sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945,
6
Max Boboy, DPR RI dalam Prespektif dan Sejarah dan Tata Negara, cet.I. (Jakata: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), h.71
5
adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945
sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini.
Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas
beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip
negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system),
menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa
lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsipprinsip negara berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD
1945 sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945.
Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan
kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan
negara demokrasi modern.7
Berkaitan dengan urgensi bagaimana penggunaan hak angket DPR pasca
amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam amandemen UUD
1945 yang pertama istilah hak angket belum dikenal, istilah hak angket baru mulai
muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2 yang disahkan pada tanggal 18
Agustus 2002. Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan
diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi dengan judul:
“Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca
Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945”
7
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden. Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
menurut UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi. 2005), h. 4.
6
B.
Batasan dan Rumusan Masalah
1.
Pembatasan Masalah
Ruang lingkup penulisan skripsi mengenai kewenangan DPR dalam fungsi
pengawasan yang hanya dalam lingkup hak angket DPR RI yang hanya
membatasi masalah pada penggunaan Hak Angket DPR RI pasca amandemen
UUD NRI 1945 berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan pada
penjelasan, maka terdapat tiga pokok permasalahan yang akan menjadi acuan
dalam pembahasan pada bab bab selanjutnya, yakni:
a.
Bagaimana Kekuasaan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945 ?
b.
Bagaimana Kekuasaan DPR dalam Penggunaan Hak Angket Menurut UndangUndang Dasar Negara Republik 1945 beserta Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009?
c.
Apa Saja Permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sesudah amandemen
UUD 1945 ?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas penelitian ini
bertujuan sebagai berikut :
a.
Untuk mengetahui Kekuasaan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945.
7
b.
Untuk mengetahui Kekuasaan DPR dalam penggunaan Hak Angket oleh
DPR berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 27 Tahun 2009
c.
Untuk mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sebelum dan
sesudah amandemen UUD 1945
Adapun Manfaat penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :
2.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.
Manfaat Teoritis
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan
merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk tulisan.
2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan dan
menghubungkan dengan praktik di lapangan.
3) Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum pada
umumnya maupun bidang ketatanegaraan pada khususnya yakni dengan
mempelajari literatur yang ada di kombinasikan dengan perkembangan
hukum yang timbul dalam masyarakat.
b.
Manfaat Praktis
Sebagai kajian lebih lanjut Penelitian ini bertujuan untuk menggali
sejauhmana pelaksanaan sistem demokrasi yang dimiliki Indonesia terhadap
pemerintahan diterapkan dalam penerapan kebijakan yaitu dalam pengunaan
hak angket DPR RI pasca amandemen UUD 1945. Kajian ini juga akan
8
menambah khasanah keilmuan yang menyangkut tentang konsep kekuasaan
legislatif dalam tata hukum di Indonesia.
D.
Metode Penelitian
Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini, yakni :
1.
Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma
hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan
pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang
menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat,8 karena titik tekannya adalah
pada peraturan perundang-undangan serta peraturan lainnya yang terkait dengan
penggunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD 1945.
2.
Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu Yuridis Normatif,
maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), dan Pendekatan Konsep (conceptual approach). Pendekatan
8
Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
9
Konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep yang dikemukakan para
ahli hukum dalam pendapatnya.9
3.
Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a.
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya
mempunyai
otoritas.
Bahan-bahan
hukum
primer
meliputi
perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim10. Bahan Hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari UUD NRI Tahun 1945,
UUD 1945 (Sebelum Amandemen), UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan peraturan perundang-undangan lain yang
berkaitan dengan penggunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD
1945.
b.
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari buku-buku yang berkenaan dengan Hukum Tata Negara, buku-buku
hukum lainnya, Skripsi hukum tata negara, Tesis hukum tata negara,
9
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi,
(Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, 2012), h. 23.
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. cet.VI, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 141.
10
Disertasi hukum tata negara, dan Jurnal ataupun materi-materi mengenai
hukum yang mendukung kepada proses penelitian ini.
c.
Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus
Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain-lain.
4.
Pengumpulan Data
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum
yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah
dan diklasifikasikan menurut sumber hierarkinya.
5.
Analisis Data
Karena pendekatan data utama penelitian ini adalah normatif, maka akan
dilakukan dengan analisis isi (Content Analisis). Teknik analisis ini diawali
dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk
pertauran
perundang-
undangan ataupun referensi-referensi Hukum yang berkaitan dengan hak angket
DPR. Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content), baik terkait
kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan
lainnya yang dimaksudkan dalam isi Undang-undang tersebut.
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis
tersebut adalah; Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh melalui normatif
disistematisir dan diklasifikasikan menurut masing-masing objek bahasannya.
Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi,
11
yakni diuraikan dan dijelaskan sesuai objek yang diteliti berdasarkan teori.
Ketiga, bahan yang telah dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan
ukuran ketentuan hukum yang berlaku.
6.
Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh penulis dalam skripsi
ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
E.
Tinjaun (review) Studi Terdahulu
Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan
dengan penelitian yang dijalankan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda.
Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang lebih
dahulu membahas terkait Hak Angket , diantaranya adalah:
No Nama Penulis/
Judul Substansi
Perbedaan
skripsi, jurnal / Tahun.
1.
Randhika
dengan
Penulis
Oktaviano - Dalam
ini
Penulis menulis skripsi
tentang
tidak terfokus terhadap
Panitia
fokus terhadap ivestigasi
investigasi terhadap bank
Khusus Bank Century,
bank century oleh panitia
century,
Skripsi UI 2010
angket DPR
menjelaskan penggunaan
/Penorobasan
Bank
oleh
Rahasia
skripsi
menjelaskan
namun
12
hak angket secara umum
pasca amandemen UUD
NRI 1945
2.
Lesmana /Hak Angket - Skripsi ini Mejelaskan Penulis menulis skripsi
sebagai
hak
DPR:
Mekanisme
dan
Implikasinya Terhadap
tentang
hak
angket tentang hak angket tidak
terhadap
kemungkinan hanya
terjadinya pemakzulan.
fokus
terkait
proses
pemakzulan,
Kemungkinan
namun
menjelaskan
Pemakzulan, UI skripsi
proses terhadap eksekutif
2010
baik itu presiden dan
jajarannya baik menterimenteri
dan
penyelenggara
negara
yang diduga melanggar
peraturan
perundang-
undangan
mengenai
kebijakan yang strategis.
3
Meri Yarni,SH.MH dan - Jurnal ini menjelaskan Penulis menulis skripsi
Yetniwati, SH.MH/
penyebab
dan tentang penggunaan hak
Pelaksanaan Hak
pelaksanaan hak angket angket
Angket Dewan
DPRD di Kota Jambi
nasional
dalam
bukan
lingkup
dalam
13
Perwakilan Rakyat
lingkup
Daerah
kota.
Jurnal
Kota
Ilmu
Jambi
provinsi
Sehingga
atau
dasar
Hukum
hukum dan mekanisme
Universitas Jambi ,2009
penggunaan hak angket
sudah pasti berbeda.
F.
Sistematika Penulisan
Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masingmasing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup
dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing
bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.
BAB I
Merupakan bab pendahuluan yang memuat: latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan sistematika
penelitian.
BAB II
Pada bab ini dibahas tentang hak angket dan kekuasaan Legislatif di
Indonesia yang terdiri dari pengertian hak angket, sebab timbulnya hak
angket, landasan hak angket, mekanisme penggunaan hak angket dan
landasan teori.
14
BAB III
Bab ini membahas mengenai hak angket DPR yang terdiri dari sejarah
DPR, peran dan wewenang DPR, hubungan hak angket dangan DPR,
penggunaan hak angket dibeberapa negara, dan Contoh Kasus Hak
Angket Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BAB IV
Bab ini menjelaskan Penggunaan Hak Angket Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri
dari Kekuasaan DPR RI Pasca amandemen UUD 1945, Kekuasaan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket Menurut UndangUndang Dasar Negara Republik 1945 beserta Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009, Permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sebelum
dan sesudah amandemen UUD 1945
BAB V
Bab ini merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini. Yang terdiri
kesimpulan dan saran, yang menjadi penutup dari skripsi ini.
15
BAB II
LANDASAN DAN MEKANISME HAK ANGKET
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
A.
Pengertian Hak Angket
Pengertian angket di dalam Black Law Dictionary yaitu enquete yang artinya
sebagai berikut:
“An examination of witnesses (take down a writing) by or before an authorized
judge for the purpose of gathering testimony to be used in trial.”11
Sehingga pengertian angket dalam kamus Black Law dapat diartikan sebagai sebuah
penyelidikan kepada para saksi (secara tertulis) baik sesudah atau sebelum disahkan
oleh hakim dengan tujuan dikumpulkannya kesaksian untuk digunakan di pengadilan.
Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) angket adalah
Penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah.12
Hak angket sendiri pertama kali dikenal di Inggris pada pertengahan abad ke
XIV dan bermula dari right to investigate and chastice the abuses of administration
(hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan-penyelewengan dalam
administrasi pemerintahan) yang kemudian disebut right of impeachment (hak untuk
menuntut seorang pejabat karena melakukan pelanggaran jabatan). Hak ini pertama
kali digunakan oleh parlemen Inggris pada tahun 1376 yang mengakibatkan
11
12
Brian A Garner, Black Law Dictionary, Ninth Edition, ( West Group, 2009), h. 610.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.4 (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005), h. 69.
16
pemecatan beberapa pejabat istana karena melakukan penyelewengan keuangan.
Sekarang hak angket di Inggris dilakukan oleh sebuah komisi khusus yang bertugas
menyelidiki kegiatan pemerintah dan administrasi.13
Pengertian dan ketentuan mengenai hak angket secara eksplisit diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Pasal 70 Tentang Perubahan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, sebagai berikut:
“Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut
aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang,”14
Sehingga pengertian Hak Angket sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
adalah hak menyelidiki yang dimiliki oleh DPR, yang untuk selanjutnya pengertian
Hak Angket dapat dilihat pada bagian konsiderans (Menimbang) pada UndangUndang Nomor 6 Tahun 1954, sebagai berikut:
“bahwa hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan penyelidikan
(angket) perlu diatur dengan undang-undang”
Selanjutnya pengertian dan ketentuan tentang Hak Angket, ditentukan kembali
pada pasal 20 A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen,
sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan.
13
Arifin Sari Surunganlan Tambunan, Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Menurut UUD 1945, Suatu Studi Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997, (Jakarta:
Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1998), h. 158.
14
Republik Indonesia, Pasal 70, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950.
17
2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal
lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Untuk selengkapnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada Bagian
Penjelasan Pasal 27 huruf b Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang susunan
dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyatakan
sebagai berikut:
“ Hak Angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan”.15
B.
Sebab Timbulnya Hak Angket
Secara normatif, hak Angket diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun
1954 tentang penetapan Hak Angket DPR yang dibuat berdasarkan UUD Sementara
1950 pada masa Demokrasi Parlementer. Kemudian dipertegas dalam pasal 27 huruf
b UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD yang mengatur bahwa hak Angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki
kebijakan pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
15
Republik Indonesia, Pasal 27 huruf b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, UndangUndang tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat.
18
Di dalam Undang-Undang tentang penetapan hak angket tidak menjelaskan
mengenai apa saja yang menjadi alasan untuk memunculkan hak angket. Dalam
ketentuan tersebut ditegaskan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah.
Dengan demikian hak angket dikenakan pada kebijakan pemerintah atau pelaksanaan
Undang-Undang oleh pemerintah.16
Undang-undang
Nomor
27
Tahun
2009
ini
membatasinya
dengan
menambahkan ketentuan bahwa kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang yang
dilakukan memiliki hubungan ataupun keterkaitan penting, strategis dan berdampak
luas pada kehidupan masyarakat. Kemudian terdapat kemungkinan terjadinya
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, yang terakhir ini menjadi
ketentuan yang membedakan antara hak angket dengan hak-hak yang dimiliki oleh
DPR.
Hal yang menjadi permasalahan mengenai alasan yang memungkinkan
diadakannya hak angket adalah mengenai syarat kebijakan ataupun pelaksanaan
perundang-undangan tersebut berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak
luas. Tidak ada batasan mengenai seberapa penting kebijakan tersebut, mengenai
tolak ukur yang rigid mengenai dapat tidaknya suatu kebijakan dapat dikenakan hak
angket. Hal yang dapat dijadikan pegangan mengenai alasan untuk mengajukan hak
angket ini adalah:
1. Bila kebijakan tersebut bersentuhan langsung dengan rakyat.
16
Republik Indonesia, Pasal 77 ayat 3, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
19
2. Bila kebijakan ataupun pelaksanaan Undang-Undang tersebut diduga
melanggar Undang-Undang.
C.
Landasan Hak Angket
1. Landasan Filosofis
Zaman Yunani Kuno, Plato dan Aristoteles yakin, dan keyakinan mereka
sejalan dengan tradisi Yunani, bahwa hukum dan perundangan (nomos dan nomoi)
sangatlah penting untuk menata polis. Sejalan dengan keyakinan tersebut, didapati
bahwa tatanan atau bangunan politik yang baik selalu berupa aturan hukum, yakni
peraturan yang sesuai dengan hukum, yang akhirnya dapat membawa keadilan di
dalam masyarakat.17
Menurut John Locke hukum membuktikan bahwa hak rakyat untuk
menyusun aturan bersifat primer. Karena tidak ada manusia yang memiliki kuasa
untuk memasrahkan pelestarian diri, kepada kehendak absolut dan dominasi pihak
lain yang sewenang-wenang, maka bila orang yang hendak membawa pada
kondisi perbudakan maka berhak menolak. Dengan demikian masyarakat bisa
dikatakan sebagai penguasa tertinggi yang tidak berada di bawah bentuk
pemerintahan apapun.18
Walaupun hak angket tidak disebutkan secara jelas, namun sistem aturan
yang ada pada saat itu telah ada dalam pengaturan hubungan antara rakyat dengan
17
18
Carl Joachim Friedridh, Filsafat Hukum, (The University of Chicago Press, 1969), h. 17.
Carl Joachim Friedrich, Constitutional Government and Democracy, 1950 (especcially chap.I
and the literature given there, h. 129.
20
penguasa. Seperti halnya apabila terjadi penyelewengan kekuasaan, maka rakyat
dapat melawan atau menghukum atau mendelegasikan terhadap perwakilannya.
Maka sama halnya dengan hak angket yang tujuan awalnya sama yaitu untuk
mengawasi bagaimana jalannya pemerintahan agar tidak terjadi pelanggaran, yang
pada akhirnya sesuai dengan sila ke Lima Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”
2. Landasan Sosiologis
Pengawasan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar
penyelenggara negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan dengan hukum tata
negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin
terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai
dengan hukum yang berlaku.19
Berangkat dari banyaknya kasus yang merugikan masyarakat langsung yang
dikarenakan kebijakan pemerintah. Seperti kasus century banyak nasabah yang
harus kehilangan uangnya karena kesalahan Bank Century dan kebijakan negara
yang hingga kini tidak kunjung selesai. Maka dari itu dibentuklah hak angket
untuk menyelidiki kasus tersebut agar kasus tersebut dapat terungkap dan kerugian
nasabah Bank Century dapat dikembalikan secepatnya.
Bentuk pengawasan hak angket di lakukan karena di lapangan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan sulit dilakukan karena kepolisian maupun
19
Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30
Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, h. 285.
21
kejaksaan masih merupakan bagian dari eksekutif, disaat para penyidik baik itu
polisi atau kejaksaan tidak bisa berjalan maksimal maka DPR dapat menjalankan
fungsinya dengan menggunakan hak angket. Maka dari itu Legislatif di samping
pengawasan dapat menyelidiki apabila terdapat pelanggaran dalam kinerja
pemerintah.
3. Landasan Hukum
Mengenai pengaturan dan dasar hukum hak angket terbagi dalam beberapa
peraturan Perundang-Undangan yakni:
a. Konstitusi Indonesia
Dasar hukum mengenai pengaturan hak angket dalam Konstitusi dapat
ditemui dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat pasal 121 yang berbunyi
“Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut
aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang Federal”.20 UndangUndang Dasar Sementara 1950 pasal 79 dinyatakan secara jelas bahwa “Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturanaturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.
Dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak
angket secara jelas tercantum pada Pasal 20A ayat (2) dimana berbunyi” dalam
20
Serikat.
Republik Indonesia, Pasal 121, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950, Republik Indonesia
22
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakian Rakyat mempunyai hak angket”.21
b. Undang-Undang
Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai hak angket
adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Hak Angket, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1955, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999, Undang-Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD.
c.
Peraturan di bawah Undang-Undang
Hak angket atau hak untuk menyelidiki telah dikenal oleh lembaga
legislasi saat kekuasaan legislasi di bawah komite nasional pusat dan badan
pekerja komite nasional pusat. Hal ini dapat ditemukan pada peraturan Tata
Tertib Badan Pekerja Komite Nasional Pusat.22
Pengaturan mengenai hak angket juga dapat ditemukan dalam peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR.
Dalam peraturan ini hak angket salah satunya diatur dalam pasal 161 dimana
dikatakan bahwa DPR memiliki hak interpelasi, Angket, dan Menyatakan
21
22
Republik Indonesia, Pasal 20 A ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Himpunan peraturan tata tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1945-1971, (BP.KNIP-DPR Pemilu II), h. 19.
23
Pendapat. Dalam peraturan tata tertib ini juga dijelaskan bagaimana proses hak
angket itu dilaksanakan.
D.
Mekanisme Penggunaan Hak Angket
Mekanisme penggunaan Hak Angket DPR merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari struktur lembaga DPR. Adapun struktur lembaga DPR diatur dalam
UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan berdasarkan
peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib disebutkan tata cara
pelaksanaan Hak Angket.
Jika dilihat dari pengaturan hak angket maka pada intinya hak angket adalah
hak untuk menyelidiki. Dalam ketentuan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana) Pasal 1 angka 5 mengatakan bahwa
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang”,
M. Karjadi dan R. Soesilo menambahkan bahwa Penyelidikan adalah tindakantindakan yang disebutkan dalam pasal 5 yaitu:23
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
5. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
6. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
23
M.Karjadi dan R. Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan resmi dan Komentar.cet.III, (Politeia:
Bogor, 1997) h. 94.
24
7. Mengambil sidik jari dan memotret orang; dan
8. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Pengertian menyelidiki yang dimaksud dengan hak angket memang tidak dapat
disamakan secara keseluruhan dengan penyelidikan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Hal mengenai tindakan paksa seperti penangkapan, menyuruh
berhenti, mengambil sidik jari, dan memotret orang dan membawa dan
menghadapkan seorang pada penyidik tentunya DPR tidak berwenang untuk
melakukannya. Meskipun demikian dalam menyelenggarakan hak angket terdapat
beberapa hak dan kewenangan yang dapat dilakukan oleh DPR dalam melakukan
penyelidikan yaitu:
1. Meminta keterangan pada pemerintah, badan hukum, organisasi profesi,
saksi, pakar dan/atau pihak terkait;24
a. Saksi dapat merupakan warga negara Indonesia maupun Warga Negara
Asing yang ada di Indonesia;25
b. Mendapatkan keterangan dari saksi atau Ahli yang berada diluar negeri
melalui pertanyaan secara tertulis kepada menteri yang bersangkutan
yang membantu dipenuhinya pertanyaan-pertanyaan itu dengan
perantara perwakilan Indonesia di luar negeri;26
c. Dalam melakukan pemanggilan DPR dapat melakukannya secara
tertulis;27
2. Melakukan sumpah pada saksi atau ahli yang berumur 16 tahun;28
3. Melakukan penuntutan pada saksi atau ahli ang lalai, melalui Kejaksaan
Pengadilan Negeri;29
24
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Pasal 179 jo ayat (1) Peraturan
DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata tertib.
25
Republik Indonesia, Pasal 180, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
26
Republik Indonesia, Pasal 24, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954.
27
Republik Indonesia, Pasal 4, tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat.
28
RepublikIndonesia, Pasal 8 ayat (1), Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
25
4. Memaksa saksi atau ahli untuk datang memenuhi panggilan dengan bantuan
Kepolisian atau Kejaksaan;30
5. Melakukan penahanan kepada saksi atau ahli yang membangkang melalui
ketua Pengadilan Negeri;31
6. Memeriksa surat-surat yang disimpan oleh pegawai kementrian;32
7. Melakukan penyitaan dan atau menyalin surat kecuali berisi rahasia negara
melalui Pengadilan Negeri.33
Ketentuan mengenai hal apa yang menjadi objek penyelidikan dapat ditemukan pada
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (3) “Hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.” Dengan demikian jelas yang menjadi objek dari penyelidikan
yang dilakukan oleh DPR adalah kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang oleh
pemerintah.
Dalam bagian umum pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
disebutkan hak-hak yang di miliki oleh DPR yaitu:
a. Hak interpelasi ;
b. Hak angket; dan
29
Republik Indonesia, Pasal 10, Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
30
Republik Indonesia, Pasal 180 ayat (3), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Indonesia,
jo Pasal 169 ayat (6) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
31
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2), Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang Hak
Angket.
32
Republik Indonesia, Pasal 18, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954.
33
Republik Indonesia, Pasal 19, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954.
26
c. Hak menyatakan pendapat.34
Sedangkan tata cara pelaksanaan hak angket tercantum dalam pasal 166 sampai
dengan pasal 170 yaitu:
1.
Hak angket diusulkan oleh paling sedikit dua puluh lima orang anggota dan
lebih dari satu fraksi.
2. Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang materi kebijakan
dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan alasan
penyelidikan.35
3. Usul hak angket disampaikan, diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat
paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.
4. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna atas usul
hak angket dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk
memberikan penjelasaan atas usul hak angket secara ringkas.
5. Selama usul hak angket belum disetujui oleh rapat paripurna, pengusul
berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali.
6. Perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua
pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan
pimpinan membagikan kepada seluruh anggota
7. Dalam hal jumlah penandatangan usul hak angket yang belum memasuki
Pembicaraan Tingkat I menjadi kurang dari jumlah, harus diadakan
penambahan penandatangan sehingga jumlahnya mencukupi.
8. Dalam hal terjadi pengunduran diri penandatangan usul hak angket
sebelum dan pada saat rapat paripurna yang telah dijadwalkan oleh Badan
Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penandatangan tidak
mencukupi, Ketua rapat paripurna mengumumkan pengunduran diri
tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau
dilanjutkan setelah jumlah penandatangan mencukupi.
9. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna terdapat anggota yang
menyatakan ikut sebagai pengusul angket dengan membubuhkan
tandatangan pada lembar pengusul, Ketua rapat paripurna mengumumkan
hal tersebut dan rapat paripurna tetap dapat dilanjutkan.
10. Apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penandatangan yang
dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.36
34
35
Republik Indonesia, Pasal 161, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Republik Indonesia, Pasal 177, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009,
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib
.
36
Republik Indonesia, Pasal 167, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009.
jo Pasal 166
27
11. Dalam hal rapat paripurna memutuskan untuk menyetujui usul mengadakan
angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket.
12. Keputusan DPR untuk mengadakan angket mencakup juga penentuan biaya
panitia angket.
13. Keputusan DPR disampaikan kepada Presiden dan diumumkan dalam
Berita Negara.
14. Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat
negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan.
15. Panitia khusus meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah,
badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis dalam jangka waktu
yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal
pelaksanaannya.
16. Pihak yang hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan
dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia
khusus.
17. Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran
pihak karena suatu alasan yang dapat diterima.
18. Apabila pihak yang dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang dapat diterima
atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta sekali lagi kehadiran
yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan.
19. Apabila pihak tersebut tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua
tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, bagi yang
bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh aparat yang berwajib yaitu
kepolisian atau kejaksaan atas permintaan panitia khusus, yang
bersangkutan dapat disandera lima belas hari oleh aparat yang berwajib,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37
20. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, panitia angket menyampaikan
laporan dalam rapat paripurna, kemudian laporan tersebut dibagikan
kepada seluruh anggota.
21. Pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket, didahului dengan
laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi, kemudian keputusan
tersebut disampaikan kepada Presiden.
22. DPR dapat menindaklanjuti keputusan sesuai dengan kewenangan DPR
menurut peraturan perundang-undangan.38
37
Republik Indonesia, Pasal 169, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009.
38
Republik Indonesia, Pasal 170, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009.
28
Dalam melaksanakan hak angket, maka dibentuklah panitia khusus hak angket.
Panitia khusus ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 pasal 136
sampai pasal 141. Penjelasannya sebagai berikut:
1. Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR
yang bersifat sementara.39
2. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
3. Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling
banyak tiga puluh orang.40
4. Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat
kolektif dan kolegial.
5. Pimpinan panitia khusus terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan
memperhatikan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta
keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi.
6. Pemilihan pimpinan panitia khusus dilakukan dalam rapat panitia khusus
yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan
keanggotaan panitia khusus.41
7. Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu
tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna.
8. Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.
9. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya
berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
10. Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.42
11. Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai
dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPR.43
39
Republik Indonesia, Pasal 136, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
40
Republik Indonesia, Pasal 137. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
41
Republik Indonesia, Pasal 138, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
42
Republik Indonesia, Pasal 139, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
43
Republik Indonesia, Pasal 140, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
29
12. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas,
wewenang dan mekanisme kerja panitia khusus diatur dengan peraturan
DPR tentang tata tertib.44
E.
Landasan Teori
1. Teori Lembaga Negara
Ketentuan UUD 1945 hasil amandemen sama sekali tidak terdapat
ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi “Lembaga Negara”, sehingga
banyak pemikir hukum Indonesia yang melakukan penemuan hukum untuk
mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep Lembaga Negara.
Pengertian di atas juga memberi contoh frasa yang menggunakan kata
lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan sebagai badan-badan
pemerintahan dalam lingkungan eksekutif.45 Secara definitif, Lembaga Negara
adalah institusi-institusi yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi
negara.46
Has Natabaya dalam Ernawati Munir mengatakan bahwa istilah badan,
organ, atau lembaga mempunyai makna yang esensinya kurang lebih sama.
Ketiganya dapat digunakan untuk menyebutkan suatu organisasi yang tugas dan
fungsinya menyelenggarakan pemerintahan negara. Namun demikian perlu
44
Republik Indonesia, Pasal 137. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
45
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 905.
46
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, cet.I, edisi revisi, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000), h.241.
30
ditekankan adanya konsistensi penggunaan istilah agar tidak digunakan dua
istilah untuk maksud yang sama.
Secara sederhana istilah Organ Negara atau Lembaga Negara dapat
dibedakan dari perkataan Organ atau Lembaga Swasta, atau yang biasa disebut
Ornop atau Organisasi Nonpemerintah. Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang
dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai Lembaga
Negara. Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif,
yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.47
Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur
kelembagaan Republik Indonesia terdapat delapan buah organ negara yang
mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan
konstitusional dari UUD
Delapan
lembaga negara tersebut dibagi atas 4 kekuasaan dan satu
Lembaga Negara Bantu sebagai berikut: Pertama, Kekuasaan Legislatif, yaitu:
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tersusun atas: Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Daerah; Kedua, Kekuasaan Eksekutif, yaitu: Presiden dan
47
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet.I,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.27.
31
Wakil Presiden; Ketiga, Kekuasaan Yudisial, meliputi: Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.48
Kekuasaan terakhir adalah di bidang Eksaminatif (Inspektif), yaitu: Badan
Pemeriksa Keuangan. Lembaga Negara Bantu (the state auxiliary body), yaitu
Komisi Yudisial. Di samping kedelapan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa
lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu: (1)
Tentara Nasional Indonesia, (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (3)
Pemerintah Daerah, dan (4) Partai Politik. 49
Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut
fungsinya, namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan undangundang, yaitu: (1) bank sentral yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”,
dan (2) Komisi Pemilihan Umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan
huruf kecil.50
Oleh karena itu, dapat dibedakan dengan tegas antara kewenangan organ
negara berdasarkan perintah Undang-Undang dan kewenangan organ negara
yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang, bahkan dalam kenyataan ada
pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari
Keputusan Presiden belaka.
48
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet.I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
h.151.
49
Titik Triwulan Tutik, Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasaca Amandemen UUD
1945, cet.I, (Jakarta: Kencana, 2010), h.176.
50
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.151.
32
Lembaga Negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar
merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UndangUndang merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk
karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat
perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.51
2. Teori Lembaga Perwakilan
Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk memungkinkan
anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orang-orang yang
menjalankan tugas kenegaraannya. Teori lembaga perwakilan muncul karena
asas demokrasi langsung, menurut Rousseau tidak mungkin lagi dapat
dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara, dan
bertambah rumitnya urusan kenegaraan.52
Adanya penyerahan kekuasaan rakyat pada Caesar yang secara mutlak
diletakkan pada Lex Regia menurut orang Romawi dapat dianggap Caesar itu
sebagai suatu perwakilan. Pada abad menengah mulai nyata timbul lembaga
perwakilan yaitu pada saat sistem monarki feodal yang memungkinkan para
feodal menguasai tanah dan orang di atas tanah tersebut. Dalam teorinya ada
beberapa macam dari lembaga perwakilan:
a. Teori Mandat
51
52
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi, h.60.
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Cet: VII, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 143.
33
Si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan karena mendapat
mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di
Perancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh
Petion. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka teori mandat inipun terus
menyesuaikan diri sesuai dengan kebutuhan zamannya.
b. Teori Organ
Teori organ muncul melalui pemikiran Von Gierke, menurut teori ini
negara
merupakan
suatu
organisme
yang
mempunyai
alat-alat
perlengkapannya seperti Eksekutif, Parlemen, dan mempunyai rakyat yang
kesemuanya mempunyai fungsi masing-masing dan saling ketergantungan
satu sama lain. Maka sesudah rakyat memilih Lembaga Perwakilan mereka
tidak perlu lagi mencampuri lembaga tersebut dan lembaga ini bebas
berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar.
c. Sifat Perwakilan
Umumnya perwakilan mempunyai kelemahan jika dipilih lewat
pemilihan umum, karena yang terpilih biasanya adalah orang populer karena
reputasi politiknya, tetapi belum tentu menguasai bidang teknik pemerintahan
dan perekonomian. Sedang para ahli sukar terpilih melalui perwakilan politik
ini, apalagi dengan sistem pemilihan distrik.53
53
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, h. 149.
34
Di Negara maju kelemahan ini kurang terasa, karena tingkat
pengetahuan dan pendidikan sudah begitu maju. Lain halnya dengan negara
berkembang, menganggap bahwa perlu mengangkat orang-orang tertentu di
dalam Lembaga Perwakilan disamping melalui pemilihan umum karena masih
belum sangat siap dibandingkan negara maju.
3.
Teori Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat dikemukakan oleh J.J.Rousseau dan Imanuel Kant.
J.J.Rousseau mengemukakan pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia
berpendapat sebagai berikut:
“kedaulatan rakyat itu pada prinsipnya merupakan cara atau sistem
mengenai pemecahan sesuatu soal menurut cara atau sistem tertentu yang
memenuhi kehendak umum. Jadi, kehendak umum hanyalah khayalan saja
yang bersifat abstrak dan kedaulatan itu adalah kehendak umum”54
J.J.Rousseau memfokuskan kedaulatan rakyat pada kehendak umum.
Kehendak umum yang dimaksud disini adalah kesatuan yang dibentuk individu
dan mempunyai kehendak. Kehendak individu-individu diperoleh melalui
perjanjian masyarakat. Sementara Immanuel Kant juga mengemukakan
pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia berpendapat bahwa:
“tujuan negara adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga
negaranya. Dalam pengertian kebebasan disini adalah kebebasan dalam
batas-batas perundang-undangan, sedangkan yang membuat undangundang adalah rakyat sendiri. Undang-undang merupakan penjelmaan
kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan
tertinggi atau kedaulatan” 55
54
Soehino, Ilmu Negara, ed.3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 161.
55
Soehino, Ilmu Negara, h.161.
35
Teori kedulatan rakyat juga terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
teori kedaulatan rakyat disajikan berikut ini.
1. Rakyat dapat memberitahukan pada pemerintah keluhan-keluhan yang
dirasakan.
2. Rakyat mampu menentukan siapa pemimpin yang dia inginkan. Degan
ini semua inspirasi rakyat dapat tertampung sebagai proses menuju
kesejahteraan.
3. Kezaliman dapat diberantas karena yang memiliki kekuasaan adalah
rakyat56
Jadi, jika pemimpin ingin melakukan kezaliman, pemimpin tersebut dapat
dilengserkan.
Kekurangan teori kedaulatan rakyat adalah sebagai berikut:
1.
2.
56
h.133.
Dengan adanya pucuk kekuasaan diserahkan pada rakyat,
dikhawatirkan sulit untuk memerintah. Contohnya apabila terjadi
perang dengan negeri Jiran, dan seumpama rakyat di negara tersebut
menolak untuk berjuang dan memilih untuk mengungsi, kedaulatan
negara tersebut akan dirampas oleh kekuasaan lain. Ini merupakan
salah satu penghinaan terhadap negara yang berdaulat karena
pemerintah tidak berkuasa untuk mengumpulkan kekuasaan yang
dimilikinya demi memberantas kezaliman dari pihak luar.
Kalau rakyat yang memiliki kekuasaan tersebut, sedangkan mereka
bukanlah orang yang benar-benar mengerti secara dalam ilmu tentang
ilmu politik dan filsafat, lalu mereka menghendaki sebuah kebijakan
yang sebenarnya secara realita akan menjalaskan kemakmuran negara,
pemerintah yang memerintah pasti kesulitan untuk memberi kebijakan
yang terbaik untuknya. Ini dibuktikan pada negara-negara yang
melakukan sistem demokrasi bebas yang rakyatnya masih banyak tidak
memiliki pendidikan yang cukup untuk berpikir lebih jauh tentang
kemaslahatan negaranya. Contohnya adalah Indonesia dan negara Asia
Tenggara lainnya.
Salim, HS. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, ed.1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),
36
3.
Apabila rakyat secara mayoritas ingin melegalkan sesuatu yang
dianggap negatif, pemerintah tidak dapat menghalangi ini. Dengan ini,
negara akan menjurus pada kesesatan yang membawa pada negatif
moral etika dan moral kepercayaan. Dampak permasalahan ini sangat
berbahaya karena akan membawa negara menjadi tidak stabil dari segi
moral. Tanpa moral, negara akan terjerumus pada kriminalitas.57
Walaupun teori kedaulatn rakyat terdapat kekurangan, kebanyakan negara
di dunia mengikuti teori kedaulatan rakyat dalam penyelenggara negara. Hal ini
disebabkan karena rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam
penyelenggaraan negara. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan hak angket maka
jelas DPR merupakan representatif dari rakyat yang berhak menjalankan tugas
pengawasannya terhadap pemerintah, yaitu dengan cara menggunakan hak
angket.
57
H.Salim, HS. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, h.133.
37
BAB III
HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
A.
Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat
Sesuai dengan konsep trias politica, DPR merupakan bagian dari kekuasaan
legislatif di tingkat pusat, sedangkan ditingkat daerah dipegang oleh DPRD. Selama
ini terjadi banyak perubahan baik dari fungsi dan wewenang DPR sejak dari masa
sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga pasca reformasi saat ini terus
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejarah perkembangan DPR di
Indonesia sebagai berikut:
1.
Masa Sebelum Kemerdekaan Volksraad (1918-1942)
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen
bentukan
pemerintahan
kolonial
Belanda
yang
dinamakan
Volksraad.
Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan
yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
Volksraad hanya dirancang oleh Belanda sebagai konsesi untuk dukungan
popular dari rakyat di tanah jajahan terhadap keberadaan Pemerintahan Hindia
Belanda.58
Pada tanggal 8 Maret 1942 setelah kedatangan penjajah Jepang kemudian
Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian
58
T.A.Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan
Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 16.
38
penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad
secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa
perjuangan Kemerdekaan.
2.
DPR Pada Masa Orde Lama
Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945
belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan
dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. KNIP merupakan
badan pembantu presiden yang pembentukannya didasarkan pada keputusan
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa ini bangsa
Indonesia masih di hadapkan kepada persoalan pengakuan kemerdekaan dari
negara lain.59
Pada masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) kewenangan yang
dimiliki DPR terus berkembang. Hal ini ditandai dengan hak yang dimiliki DPR
antara lain: hak budget, hak inisiatif, dan hak amandemen, menyusun Rancangan
Undang-Undang (RUU) bersama-sama dengan pemerintah, hak bertanya, hak
interpelasi, dan hak angket.60
Pada tahun 1959 Presiden mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya
menyatakan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, maka keterwakilan yang dimiliki DPR
59
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998), Cet.XIX, h. 331.
60
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 24.
39
menjadi terbatas. DPR bekerja dalam suatu rangka yang lebih sempit, dalam arti
hak-haknya kurang luas dalam Undang-Undang Dasar 1945 jika dibandingkan
dengan UUD RIS 1945 dan UUD 1950.61
Pada saat DPR Gotong-Royong (DPR-GR) didirikan dengan penetapan
presiden No 4 Tahun 1960 yang mengatur susunan DPR-GR. DPR-GR ini
berbeda sekali dengan DPR sebelumnya, karena DPR-GR bekerja dalam susunan
dimana DPR ditonjolkan peranannya sebagain pembantu pemerintah, yang
tercermin dalam istilah Gotong Royong. Perubahan fungsi ini tercermin dalam
istilah Gotong-Royong. Perubahan fungsi ini tercermin di dalam tata tertib DPRGR yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.14 Tahun 1960.62
3.
DPR Pada Masa Orde Baru
Dalam suasana penegakkan Orde Baru sesudah terjadinya G 30 S/PKI,
DPR-GR
mengalami
perubahan,
baik
mengenai
keanggotaan
maupun
wewenangnya. Selain itu juga diusahakan agar tata kerja DPR-GR lebih sesuai
dengan
ketentuan-ketentuan
Undang-Undang
Dasar
1945.
Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU
No. 10/1966, DPR-GR masa Orde Baru
memulai kerjanya dengan
menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru.
61
B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1992), Edisi Revisi, h. 118.
62
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 336.
40
Sesudah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan Orde
Baru, akhirnya berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama pada tahun
1971. Seharusnya berdasarkan ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu
diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum
MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presidden Soekarno,
dengan menetapkan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.63
Sejak Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 pemerintahan “Orde Baru”
mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta
Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua
partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi)
ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru”
tergabung dalam Golkar.64
Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara
terbanyak. Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan
presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi
dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu
menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya
63
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.338.
64
B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, h. 178.
41
sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya
untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
4.
DPR Pada Masa Reformasi
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam
masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang
kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie,
masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk
mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil, pada 7 Juni 1999, atau 13
bulan masa kekuasaan Habibie. 65
Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara
dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan
Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang
menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas
permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketetapan MPR No. III Tahun 1978.
Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat
saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah berhasil
melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada
tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat).
Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada
65
B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, h. 181.
42
beberapa perubahan penting yang terjadi.66 Beberapa perubahan tersebut yaitu
perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya
presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
B.
Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat
DPR adalah Lembaga Tinggi Negara di Indonesia yang secara formil dan
materiil mewakili rakyat Indonesia dalam sistem Pemerintahan Negara Republik
Indonesia. Ditinjau dari aspek ketatanegaraan, DPR memiliki tugas dan kewenangan
sebagai berikut:67
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang;
Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama;
DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan;
DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat;
Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas;
Anggota DPR berhak mengajukan usul Rancangan Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat persetujuan
DPR dalam persidangan yang selanjutnya.
DPR sebagaimana telah disebutkan tentang tugas dan kewenangannya dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka membatasi kekuasaan agar tidak
berrtindak sewenang-wenang, rakyat kemudian memilih perwakilannya untuk duduk
dalam pemerintahan.68 DPR juga dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden jika
presiden melanggar haluan negara yang telah ditetapkan Undang-Undang Dasar atau
66
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 341.
67
Republik Indonesia. Pasal 20-22, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
68
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 38.
43
MPR maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar dapat
meminta pertanggungjawaban Presiden.69
Dalam rangka menjalankan peran DPR tersebut, DPR dilengkapi dengan
beberapa fungsi utama yaitu:
a.
b.
c.
C.
Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang. Selain itu, dalam tata
tertib DPR disebutkan badan Legislasi memiliki tugas merencanakan dan
menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu masa
keanggotan DPR dan setiap tahun anggaran dengan menginventrisasi masukan
dari anggota fraksi, Komisi, DPD, dan masyarakat untuk ditetapkan menjadi
keputusan Baleg.70
Fungsi anggaran adalah fungsi DPR bersama-sama dengan peemerintah
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan harus mendapatkan
persetujuan DPR.71 Kedudukan DPR dalam penetapan APBN sangat kuat karena
DPR berhak menolak RAPBN yang diajukan Presiden.72
Fungsi pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang
yang dijalankan oleh pemerintah, khususnya pelaksanaan APBN serta
pengelolaan keuangan negara dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.73
Hubungan Hak Angket Dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Pada masa era reformasi, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat telah berpengaruh terhadap struktur ketatanegaraan,
susunan DPR serta hubungan DPR dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Struktur
ketatanegaraan ini mengarah kepada terciptanya mekanisme check and balances antar
69
B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, h. 189.
70
FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 95.
71
Republik Indonesia, Pasal 20A ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
72
FORMAPPI, Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan, (Jakarta: FORMAPPI,
2009) h. 162.
73
Laporan DPR periode 1999-2004, h. 67.
44
lembaga negara khususnya antar tiga cabang kekuasaan yaitu Eksekutif, Legislatif,
dan Yudikatif.74
UUD 1945 hasil amandemen semakin menegaskan bahwa sistem pemerintahan
Indonesia adalah sistem Presidensiil dengan menetapkan ketentuan bahwa Presiden
dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi dipilih oleh MPR. Sesuai
dengan kondisi tersebut, Presiden tidak bertanggung jawab secara politis kepada
MPR. Namun, Presiden memiliki pertanggung jawaban hukum apabila terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Pada sisi Yudikatif, UUD 1945 dan perubahannya menetapkan tiga lembaga
yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan Yudikatif, yaitu Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
kewenangan dalam pencalonan Hakim Agung, hakim Konstitusi, dan Anggota
Komisi Yudisial.
Pada sisi Kekuasaan Legislatif, terjadi penataan kelembagaan yang ditandai
dengan reposisi dan penegasan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang
kekuasaan membentuk undang-undang serta terbentuknya lembaga baru yaitu Dewan
Perwakilan Daerah. Selain itu, terdapat satu penegasan bahwa DPR adalah lembaga
yang dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada lagi anggota yang diangkat yaitu Utusan
Golongan dan ABRI.
74
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 282.
45
Dari ketiga kekuasaan tersebut, ternyata dalam tataran implementasinya masih
dijumpai berbagai macam persoalan dalam kaitannya dengan pola hubungan yang
terbangun antar lembaga negara tersebut. Perubahan konstitusi yang diikuti dengan
pembentukan dan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan adalah untuk
terbentuknya perimbangan fungsi dan tugas lembaga-lembaga negara khhususnya
lembaga Eksekutif dan Legislatif, juga dimaksudkan untuk saling mengimbangi dan
saling mengawasi yang bekerja sama sistemik, berdasarkan aturan-aturan yang ada.
Dengan diamandemennya UUD 1945, telah terjadi pergeseran dari stigma
executive heavy menjadi legislative heavy.75 Peran DPR menjadi menonjol, karena
konstitusi dan peraturan perundang-undang telah mengatur demikian, DPR dapat
mengoptimalkan peran dan fungsinya, agar bisa lebih kuat dalam pengawasannya
terhadap pemerintahan dan dapat membantu kinerja pemerintah dalam menjalankan
pemerintahannya sesuai dengan aturan.
Pasal 25 UUD 1945 hasil amandemen menentukan bahwa DPR mempunyai
fungsi legislasi, fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan, dan pada pasal 27 UUD
1945 hasil amandemen di tentukan bahwa DPR mempunyai Hak Interpelasi, Hak
Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Atas dasar hal tersebut diatas, Hak Angket
dalam hubungannya dengan DPR merupakan hak yang melekat pada DPR selaku
75
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, kajian terhadap dinamika perubahan
UUD1945, (Yogyakarta : FH UII Press, 2003), h. 32
46
Badan Legislatif berdasarkan ketentuan konstitusi serta peraturan perundangundangan yang berlaku. 76
Hak angket merupakan bentuk pengawasan intensif serta investigatif DPR
terhadap kebijaksanaan pemerintah. Peran DPR melalui Hak Angket akan lebih
konkret daripada hanya sekadar menggunakan hak meminta keterangan, karena
dalam hak angket terkandung unsur dimana DPR juga ikut andil mengawal proses
penyelesaian suatu kasus dan sekaligus langsung menjadi investigator dalam kasus
tersebut. Dimana dengan terlibatnya DPR terhadap suatu kasus, maka diharapkan
upaya penyelesaian kasus ini akan semakin menemui titik terang dan mencegah
terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme.
D.
Penggunaan Hak Angket di Beberapa Negara
Dalam penggunaan hak angket, terdapat beberapa negara yang menggunakan
hak angket dan dapat dijadikan sebuah perbandingan yang tepat dengan hak angket
yang digunakan di Indonesia. Contohnya Amerika Serikat dipandang merupakan
salah satu contoh ideal dari pemerintahan presidensial, sedangkan Inggris dipilih
sebagai negara yang mewakili sistem pemerintahan parlementer. Selain Inggris, akan
dijelaskan pula negara Perancis, dengan dasar pertimbangan, pertama sebagai negara
asal istilah angket (enquete) kemudian Afrika Selatan. Selanjutnya akan dijelaskan
tentang hak angket di beberapa negara di dunia sebagai berikut:
76
1945
Republik Indonesia, Pasal 25-27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
47
1.
Amerika Serikat
Parlemen Amerika Serikat biasa disebut kongres (Congress) yang terdiri
dari House of Representative dan Senate.77 Salah satu fungsi non-legislatif
terpenting kongres adalah kekuasaannya untuk mengadakan penyelidikan.78
Meskipun tidak ada ketentuan dalam konstitusi Amerika Serikat yang
memberikan kewenangan kepada kongres untuk melakukan penyelidikan.
Kekuasaan penyelidikan didapatkan berdasarkan keputusan Supreme Court
dalam beberapa perkara. Dalam perkara Watkins v United States, pengadilan
menjelaskan keluasan dari kekuasaan penyelidikan:
“ The power of the Congress to conduct investigations is inherent in the
legislative process. That power is broad, It encompasess inquiries concerning the
administration of existing law as well as proposed or possibly needed statues”.79
Berdasarkan keputusan pengadilan tersebut, kekuasaan kongres untuk
melakukan penyelidikan merupakan kekuasaan yang inheren dengan proses
pembentukan undang-undang. Kekuasaan tersebut sangat luas, yaitu mencakup
penyelidikan yang berkenan dengan administrasi baik peraturan yang sedang
diajukan atau peraturan yang mungkin dibutuhkan.
77
Jhon J. Patrick, dkk, The Oxford guide to the United States Government, (Oxford: Oxford
University Press, 2001), h. 729.
78
Richard C. Schroeder, Garis-Garis Besar Pemerintah Amerika, (Dinas Penerangan AS), h.
91.
79
Morton Rosenberg, Investigative Oversight: An Introduction to the Law, Practice and
Procedure of Congressional Inquiry, artikel diakses pada tanggal 11 oktober 2013:
http://www.house.gove.rules/95-464.htm#2.
48
Kekuasaan dalam penyelidikan kongres terbatas, tidak ada wewenang
untuk mengungkap kasus kecuali jika kongres membenahi fungsinya dan bukan
fungsi dari kongres untuk menggunakan undang-undang eksekutif, penyelidikan
mungkin tidak akan selesai tapi harus dimulai dengan membuat tugas kongres
menjadi legal atau sah (legitimate).80
Kekuasaan Kongres untuk melakukan penyelidikan, dilengkapi
dengan kekuasaan subpoena, yaitu kekuasaan untuk memanggil setiap orang
untuk memberikan keterangan, jika perlu di bawah sumpah atau menyerahkan
dokumen-dokumen yang diperlukan oleh kongres. Kekuasaan ini menjadi
penting ketika kongres dapat memaksa kesaksian orang-orang yang tidak
bersedia menjadi saksi dan menyatakan bahwa orang-orang yang menolak
menjadi saksi telah menghina kongres dan bahwa orang-orang yang memberikan
kesaksian palsu adalah pengucap sumpah palsu.81
2.
Inggris
Pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas pemerintah Inggris
dilakukan melalui beberapa kesempatan, yaitu: Parliamentary Question and
Answer, Ministerial Statements, Adjournment Debates, dan yang terakhir adalah
80
Kermit, L, Hall. The Oxford Companion to the Supreme Court of the United States. (Oxford:
Oxford University Press, 1992), h. 920.
81
Richard C. Schroeder, Garis-Garis Besar Pemerintah Amerika, (Dinas Penerangan AS), h. 91
49
Motions of No Confidence. Dewan juga dapat melakukan pengawasan terhadap
pemerintah melalui Select Committee System.82
Parlementary Questions merupakan cara untuk mendapatkan informasi
mengenai kegiatan pemerintah. Selain itu juga merupakan cara yang efektif
mendapatkan perhatian dan menyuarakan dari konstituen anggota. Ada dua jenis
pertanyaan, yaitu lisan dan tulisan. Pertanyaan lisan dijawab oleh Menteri atau
Perdana Menteri pada question time di House of Commons. Kemudian kontrol
terhadap pemerintah berpuncak pada mosi tidak percaya (motion of no
confidence) dilakukan House of Commons memaksa pemerintah untuk
mengundurkan diri.
Pelaksanaan penyelidikan biasanya dilakukan oleh Departemental Select
Committees, atau komisi yang membayangi atau merupakan pasangan dari
departemen pemerintah. Ruang lingkup pemeriksaan komisi adalah berkaitan
dengan pengeluaran, administrasi, dan kebijakan pemerintah dari departemen
atau badan publik yang lain.83 Select Committees mempunyai kewenangan untuk
memanggil saksi dan meminta keterangan baik lisan maupun tertulis, atau
meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen tertentu dan hasil laporan
diserahkan ke Parlemen.
82
The Accountability of Government, diakses pada tanggal 12 November 2013:
http://www.parliament.uk/works/account.cfm,
83
House of Commons Select Committees: Guide for Witness, diakses pada tanggal 12 oktober
2013 http://www.parliament.uk/commons/selcom/witguide.htm,
50
3.
Perancis
Parlemen Perancis terdiri dari National Assembly dan Senate. Parlemen
mempunyai dua fungsi utama, yaitu membentuk undang-undang dan melakukan
pengawasan terhadap pemerintah. Fungsi ini dilakukan menurut ketentuan dalam
konstitusi dan Peraturan Tata Tertib National Assembly.84 Kegiatan pemerintah
juga dapat diawasi melalui cara temporary information assignments, yang dapat
melibatkan lebih dari satu komisi yang biasanya menghasilkan laporan yang di
publikasikan.
Mekanisme pengawasan juga dilakukan terhadap implementasi dan
evaluasi pelaksanaan undang-undang yang telah dihasilkan oleh parlemen,
termasuk informasi mengenai pelaksanaan anggaran yang sedang berjalan untuk
dipergunakan sebagai bahan dalam pembahasan undang-undang keuangan
(Financial Bill), Parlemen juga dapat membentuk Komisi Penyelidikan
(Committees of Inquiry) untuk menyelidiki fakta-fakta mengenai manajemen
pelayanan publik dan perusahaan-perusahaan nasional.
4.
Afrika Selatan
Parlemen Afrika Selatan terdiri dari National Assembly dan National
Council of Provinces.85 National Assembly yang anggotanya dipilih merupakan
lembaga yang bertugas mewakili rakyat sehingga mencerminkan demokrasi,
84
The
French
Parliament,
diakses
http://www.assembleenationale.fr/english/8ad.asp
85
pada
tanggal
12
oktober
2013:
Constitution of South Afirica, Section 46” The National Assembly consist of no fewer than
350 and no more than 400 women and men elected as member”.
51
yaitu pemerintahan oleh rakyat berdasarkan konstitusi, dengan cara memilih
Presiden, memberikan pertimbangan terhadap isu nasional, memberikan
persetujuan terhadap undang-undang, dan melalui pengawasan terhadap
tindakan-tindakan pemerintah.
Konstruksi ketatanegaraan Afrika Selatan yang termuat di dalam konstitusi
digambarkan secara jelas sistem pemerintahannya, yang berdasarkan ciri tidak
dipisahkannya kepala negara dan kepala pemerintahann yang dijabat oleh
Presiden, maka ciri tersebut menggambarkan sistem pemerintahan Presidensial.
Hal tersebut menjadi rancu ketik Presiden dipilih oleh Parlemen. Parlemen juga
dapat memaksa Presiden mengundurkan diri oleh mosi tidakpercaya Parlemen.
Hal tersebut terlihat ciri pemerintahan parlementer lebih menonjol.
Dalam melakukan pengawasan terhadap eksekutif oleh parlemen,
konstitusi memberikan kekuasaan kepada National Assembly atau setiap
komisinya untuk:86
a.
b.
c.
d.
86
Memanggil setiap orang datang ke parlemen dan memberikan bukti-bukti
atau keterangan di bawah sumpah atau untuk menyerahkan dokumendokumen.
Meminta setiap orang atau institusi untuk melaporkannya
Memaksa setiap orang atau institusi untuk memenuhi panggilan
Menerima petisi, perwakilan atau delegasi dari setiap orang atau lembaga
yang berkepentingan
Constitution of south Africa, Section 56 “Evidence or information before National Assembly”
52
E.
Contoh Kasus Hak Angket Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
1.
Kasus Hak Angket Sebelum Amandemen UUD NRI Tahun 1945
(a) Masa DPR 1950-1956
Pada akhir tahun 1954 anggota DPR, Margono Djojohadi Kusumo, dan
kawan-kawan, mengajukan usul resolusi yang dimaksudkan ialah supaya
DPR mengadakan angket atas usaha memperoleh dan cara menggunakan
devisien.87 Dibuatlah keputusan untuk membentuk panitia angket yang terdiri
dari tiga belas orang anggota dengan Margono Djojohadi Kusumo sebagai
ketua panitia angket.
DPR menerima baik laporan tentang hasil-hasil pekerjaan panitia angket atas
usaha memperoleh dan cara menggunakan devisien. Catatan yang diberikan
masih harus dirahasiakan sampai ada ketentuan lain dari DPR.
(b) DPR 1956-1959
DPR hasil pemilu tahun 1955 mengacu kepda UUDS Tahun 1950. DPR
periode ini menggunakan hak angket untuk menyelidiki kecelakaan kereta
api di Trowek, Tasikmalaya. Adapun tujuan melaksanakan Hak Angket
dijelaskan dalam usulan. Hak angket menyebutkan bahwa, ”Angket
digunakan untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan yang lebih luas lebih
banyak dari pada keterangan pemerintah. Dengan melakukan hak angket,
87
Pertama Kali Hak Angket digunakan DPR
http://www.dpr.ri.go.id.berita., Pada tanggal 29 Agustus 2013.
pada
tahun
1950,
diakses
dari
53
diharapkan agar kepercayaan masyarakat yang digambarkan dengan rasa
aman dan rasa tenang” terhadap kereta api pulih kembali. Dalam
pembicaraan juga ditekankan bahwa panitia angket tidak mencari sipa yang
salah, akan tetapi sekedar mencari jawaban yang lengkap, mencari
keterangan-keterangan yang diterima dan demikian dapat membantu
kekacauan jalannya kereta api.88
2.
Kasus Hak Angket Setelah Amandemen UUD NRI Tahun 1945
(a) DPR Era Reformasi Periode 1999-2004
Pasca berakhirnya orde baru, desakan demokratisasi kehidupan politik terus
berlanjut. Hak Angket dibentuk DPR untuk menyelidiki dugaan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Adapun hal ini
didasarkan pada:89
1) Berita di media massa tentang bobolnya dana milik Yanatera Bulog
dugaan sebesar Rp 35 milyar pada bulan Mei 2000.
2) Dugaan penyimpangan pengaliran Dana Bantuan yang diberikan Sultan
Brunei Darussalam sebesar $US 2 juta kepada Presiden Abdurrahman
Wahid.
88
Riris Kahtarina, “mengenai hak angket melalui perjalanan sejarah DPR RI dalam berbagai
prespektif tentang memorandum kepada presiden: suatu studi terhadap pemberian memorandum DPR
RI kepada Presiden Abdurrahman Wahid”,h. 171.
89
Riris Kahtarina, “mengenai hak angket melalui perjalanan sejarah DPR RI dalam berbagai
prespektif tentang memorandum kepada presiden: suatu studi terhadap pemberian memorandum DPR
RI kepada Presiden Abdurrahman Wahid”,h. 195.
54
Berdasarkan
penyelidikan
panitia
ditemukan
fakta-fakta
dugaan
penyimpangan sehingga DPR mengeluarkan memorandum 1 kepada Presiden
Abdurrahman Wahid
(b) DPR Era Reformasi Periode 2004-2009
Pada masa ini panitia angket digulirkan untuk menyelidiki kasus-kasus
berikut:
1) Kasus penjualan dua tanker milik Pertamina
Diusulkan oleh 23 anggota dari delapan fraksi dan disetujui rapat
paripurna pada 14 Juni 2005 dan panitia angket melaporkan hasil
kerjanya yang direkomendasikan oleh panitia khusus menyangkut
penjualan dua tanker berindikasikan korupsi, pemerintah diminta mencari
celah penyelamatan tanker. Dihasilkanlah rekomendasi akhir dari pansus
angket yaitu (1) KPK atau Kejaksaan Agung agar segera mengusut secara
tuntas Laksamana Sukardi yang diduga kuat terlibat dalam kasus
penjualan tanker VLCC Milik Pertamina (2) Meminta Pimpinan DPR-RI
untuk menugaskan Komisi III DPR RI supaya mendesak Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung agar segera
menuntaskan kasus penjualan tanker VLCC tersebut.90
2) Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Diusulkan 117 anggota
dari delapan fraksi dan usulan tersebut disetujui pada Rapat Paripurna.
90
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Rapat Paripurna Ke-16, Masa Sidang III,
Tahun Sidang 2006-2007, h. 78.
55
Adapun rekomendasi yang dihasilkan ialah: semua pihak yang meneken
kontrak kerjasama wajib memuat ketentuan soal prioritas penjualan migas
sebesar 40% ke perusahaan nasional, mendesak pemerintah mengajukan
revisi uu migas, negosiasi ulang kontrak Blok Tangguh dan Blok Cepu,
dan meninjau ulang keberadaan BP Migas dan BPH Migas.91
3) Pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji pada 1429 H
Diusulkan 122 anggota dari tujuh fraksi dan disetujui Rapat Paripurna
pada 17 Februari 2009. Pansus menyelesaikan pekerjaannya pada 29
September 2009, sedangkan rekomendasi yang dihasilkan sebagai
berikut: penyelenggara ibadah haji tahun 2001 dan 2006 dinilai gagal,
mendesak Presiden memberikan tindakan tegas kepada Menteri Agama
periode 2004-2009, perlunya amaandemen Undang-Undang No.13 Tahun
2008 tentang penyelenggaraan Haji, dan perlunya rancangan UU
Lembaga Keuangan Haji.92
(c) DPR era Reformasi Periode 2009-2014
Pada periode ini Hak Angket digunakan untuk menyelidiki dana Bail
Out pemerintah sebesar 6,7 trilyun ke Bank Century. Penggunaan hak
angket terkait dan talangan ke bank Century bergulir cepat di DPR. Sejak
diusulkan oleh 139 anggota DPR, dukungan atas terus membesar. Saat
91
Parlementaria, Menuju DPR Bersih, (Jakarta: Tata Usaha Bagian Pemberitaan & Penerbitan
DPR-RI, 2008), h. 75.
92
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Rapat Paripurna Ke-11, Masa Sidang I, Tahun
Sidang 2009-2010, h. 78.
56
sidang Paripurna digelar 1 Desember 2009 tercatat 503 orang dari
sembilaan fraksi mendukung hak angket diputuskanlah rekomendasi bahwa
bailout century menyimpang dan ,merekomendasikan agar kepolisian,
kejaksaan dan KPK menyelidiki kasus century ini. 93
93
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Rapat Paripurna Ke-14, Masa Sidang II, Tahun
Sidang 2009-2010, h. 32.
57
BAB IV
PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
A.
Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945
Sejak dilakukan amandemen UUD1945 terjadi pergeseran kekuasaan legislatif
dari tangan presiden. Sebelumnya presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan legislatif, sekarang justru sebaliknya, kekuasaan
membentuk undang-undang berada pada legislatif, sedangkan presiden hanya berhak
mengajukan RUU kepada DPR.94 Amandemen UUD1945 benar-benar membawa
perubahan yang sangat signifikan bagi presiden dan DPR. Bahkan banyak kalangan
yang menilai telah terjadi pergeseran kekuasaan dari dominasi eksekutif (executive
heave) ke dominasi legislatif (legislatif heave).95
Namun, pada dasarnya kekuasaan DPR pada orde baru tergolong sangat kuat
kewenangannya, dengan adanya kekuatan DPR tersebut dapat timbul sebuah sistem
check and balances, dalam hal ini fungsi pengawasannya yang dapat diaktifkan baik
dalam mengawasi
lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Namun,
pemasalahannya adalah terlalu berkuasanya atau terlalu dominannya Golkar di
lembaga legislatif dan juga presiden berasal dari Golkar. Hal inilah yang menjadi
94
Muhadam. Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan (Suatu Kajian Teori, Konsep, dan
Pengembangannya), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h. 114.
95
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, kajian terhadap dinamika perubahan
UUD1945, h. 32.
58
kendala karena tidak kritis dan tidak adanya kritik yang disebabkan berasal satu
golongan yang menyebabkan pengawasan DPR terhadap Presiden tidak berfungsi
dengan baik.
Peredaman kekuasaan presiden diawali dengan amandemen terhadap pasal 7
UUD 1945 (perubahan kesatu), dan pergeseran fungsi legislasi kepada DPR dalam
menyempurnakan aturan dasar konstitusi tentang supremasi hukum, hak asasi
manusia, otonomi daerah, dan sebagainya. Sebagaimana pendapat Y.Hartono, sebagai
berikut:
“Peredaman atas kekuasaan Eksekutif dapat dipahami, sebagaimana aksioma
yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa power attend to corrupt, and absolute
power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men. Dilain pihak,
meskipun Presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan legislasi, sebab kekuasaan
tersebut sekarang berada ditangan DPR yang menyatakan DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang, namun presiden masih mempunyai hak mengajukan
rancangan undang-undang.96
Namun dalam perubahan dari executive heave menjadi legislative heave banyak
juga yang menyangsikan akan terjadi perubahan menjadi lebih baik, namun
kenyataannya lebih terasa tidak jauh berbeda dengan zaman orde baru yang
didominasi oleh eksekutif disegala aspek kekuasaan. Legislatif dengan dominasinya
mulai banyak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan banyaknya para anggota DPR
yang ditangkap oleh KPK. Maka dari itu sekarang rakyat meminta DPR membuka
semua kegiatannnya secara transparan yang dapat dipantau langsung oleh rakyat.
96
Y. Hartono, Dari Supremasi Eksekutif ke Supremasi Legislatif, Cet. 1, (Yogyakarta: Fakultas
Hukum Universitas Katolik Atmajaya, 2003), h. 36.
59
Adanya amandemen terhadap UUD 1945, sangat mempengaruhi posisi dan
kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif. Perubahan radikal terhadap ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dengan mengurangi secara
signifikan kekuasaan Presiden dalam membuat undang-undang menjadi proses politik
di DPR sebagai kekuatan paling dominan dalam menerjemahkan rumusan-rumusan
normatif yang terdapat dalam UUD. Kini supremasi DPR dalam proses legislasi
menjadi sangat dominan karena Presiden tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
mengesahkan rancangan undang-undang.
Beberapa perubahan menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus
dalam bentuk memberi persetujuan kenegaraan adalah (1) Presiden dalam membuat
perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat, (2) peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (3) pengangkatan Hakim
Agung, (4) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping
itu, masih ada agenda lain yang memerlukan pertimbangan DPR, antara lain adalah
(1) pengangkatan Duta dan Konsul, (2) menerima penempatan duta negara lain, (3)
pemberian amnesti dan abolisi.97
Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan
untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari
sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa
97
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca reformasi.
Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 118.
60
Keuangan (BPK). Di samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling
menentukan
dalam
proses
pengisian
lembaga non-state lainnya (auxiliary
bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum.
Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan
DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI
(Kapolri).98
B.
Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 Pasca Amandemen
beserta Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
Dalam penjelasan mekanisme atau tata cara penggunaan hak angket sebagai
bagian dari fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan, dimulai
dengan adanya usulan untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal atau
permasalahan, yang dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima)
orang anggota DPR. Usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada pimpinana
DPR yang disertai dengan daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama
fraksinya, dan dinyatakan dalam suatu perumusan secara jelas tentang hal yang
diselidiki yang disertai dengan penjelasan dan rancangan biaya.
Kemudian di dalam rapat paripurna, setelah usul pengadaan angket diterima
oleh pimpinan DPR, Ketua rapat memberitahukan kepada anggota DPR tentang
98
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia. Ed.1-2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006, h. 172.
61
masuknya usul untuk mengadakan angket, yang kemudian usulan-usulan tersebut
beserta penjelasan dan rancangan biayanya diberikan kepaada anggota. Selanjutnya
pada rapat Badan Musyawarah DPR, membahas penentuan waktu pembicaraan
dalam Rapat Paripurna. Selama usulan untuk mengadakan angket belum disetujui
oleh Rapat Paripurna, maka pengusul berhak mengajukan perubahan atau
menariknya kembali.
Apabila jumlah tanda tangan usul untuk mengadakan angket yang belum
dibicarakan dalan Rapat Paripurna ternyata menjadi kurang dari jumlah
sebagaimana dimaksud pasal 166 ayat (1) tersebut, maka harus diadakan
penambahan penandatanganan sehingga jumlahnya mencukupi, apabila sampai dua
kali masa persidangan jumlah penanda tanganan tidak terpenuhi, maka usul
menjadi gugur. Apabila nantinya Rapat Paripurna menyetujui pengadaan angket
maka dibentuk Panitia Khusus dan keputusan DPR untuk mengadakan angket.
Terhadap hasil Keputusan DPR ini, Panitia Khusus selanjutnya memberikan
laporan tertulis secara berkala sekurang-kurangnya sekali sebulan kepada Pimpinan
DPR, kemudian laporan tersebut dibagikan kepada seluruh anggota, dan atas usul
sekurang-kurangnya 25 orang anggota tersebut, untuk selanjutnya dibuat laporan
berkala yang nantinya menjadi bahan pembicaraan dan pembahasan dalam Rapat
Paripurna, kecuali apabila nantinya Badan Musyawarah akan menentukan lain.99
99
Sebastian Salang dkk, Panduan Kinerja DPR/DPRD Menghindari Jeratan Hukum Bagi
Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 174.
62
Setelah Panitia Khusus menyelesaikan pekerjaannya, Panitia Khusus akan
memberikan laporan tertulis kepada pimpinan DPR, kemudian laporan tersebut
dibagikan kepada seluruh anggota. Terhadap pengambilan keputusan tentang
laporan Panitia Khusus tersebut akan didahului dengan laporan hasil Panitia
Khusus dan pendapat akhir Fraksi-Fraksi yang berada di DPR, yang kemudian
keputusan yang diambil tersebut kemudian akan disampaikan kepada Presiden.
Apabila dilihat dari Pembahasan yang berkenaan dengan Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD beserta Peraturan Tata Tertib DPR RI Nomor.01/DPRRI/2009 Tentang
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, maka dapat dilihat penggunaan
hak angket pada masa sebelum UUD 1945 di amandemen memiliki peluang yang
lebih besar untuk dapat memberhentikan Presiden di masa jabatannya, apabila
Pemerintah yang dalam hal ini Presiden dianggap telah melanggar Undang-Undang
atau terlibat kejahatan.
Apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran Hukum yang menciderai
Undang-Undang, maka DPR dapat langsung melakukan pengajuan memorandum 1
dan memorandum 2 kepada Presiden, untuk selanjutnya DPR dapat mengajukan
kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa. .100
100
Untung Wahyono, Peran Politik Poros Tengah dalam Kancah Pepolitikan Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 192.
63
Di dalam Sidang Istimewa inilah kedudukan jabatan Presiden ditentukan,
apakah akan terjadi pemakzulan atau tidak terjadi sama sekali, tergantung dari
putusan di dalam Sidang Istimewa MPR
Hal ini pernah terjadi pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid terkait dengan kasus Buloggate 1 dan Buloggate 2 serta kasus Brunneigate,
karena kasus tersebut timbullah hak angket untuk menyelidiki kasus tersebut. Hal
tersebut memicu kemarahan Presiden dengan mengeluarkan Dekrit untuk
membubarkan DPR. Sehingga terjadi sidang istimewa kelanjutan dari hak angket
DPR yang memutuskan di dalam Sidang Istimewa tersebut dengan keputusan
pemberhentian Presiden Republik Indonesia karena terbukti telah melanggar
Undang-Undang.101
Terhadap penggunaan Hak Angket pada masa setelah Undang-Undang Dasar
1945 di amandemen justru memiliki peluang yang lebih kecil bagi DPR untuk
dapat memberhentikan Presiden di masa jabatannya, karena sesuai ketentuan
Konstitusi Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, prosedur pemberhentian Presiden harus melalui berbagai mekanisme, yaitu
atas pengajuan DPR kepada Mahkamah Konstitusi tentang berbagai macam alasan
pelanggaran yang telah dibuat oleh Presiden untuk dinyatakan telah melanggar atau
tidak melanggar Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945.
101
A.R. Loebis, Belantara Kebangsaan, cet.I, (Yogyakarta: Jendela Yogyakarta, 2001), h. 112.
64
Mahkamah Konstitusi kemudian dengan melalui surat Putusannya kepada
DPR tentang dinyatakan telah atau tidaknya Presiden telah melanggar UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk kemudian apabila
dinyatakan telah melanggar maka DPR dapat mengajukan Sidang Istimewa kepada
MPR berdasarkan surat Keputusan Mahkamah Konstitusi dan untuk selanjutnya di
limpahkan melalui Sidang Istimewa MPR baru dinyatakan bahwa Presiden
berhenti atau tidak berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Contoh mengenai penggunaan hak angket pada masa sekarang ini tercermin
dalam kasus Bank Century dan dalam kasus bahan bakar minyak tahun 2008.
Namun ada yang menarik dalam
penggunaan hak angket, selain dimana
persetujuan penggunaan hak angket ini sebagai puncak dari kekecewaan DPR atas
beberapa kali pemanggilan terhadap Presiden untuk dimintai keterangannya
(interpelasi) tetapi semua pemanggilan diwakilkan kepada para menterinya dalam
pemberian keterangan di DPR.102
Berdasarkan kesepakatan dalam Sidang Paripurna dalam penggunaan hak
angket ini bukan ditujukan untuk memanggil Presiden ataupun sampai bermaksud
berupaya untuk memberhentikan Presiden, namun justru adalah upaya DPR untuk
membantu Pemerintah dalam hal ini Presiden untuk membuka (transparan) secara
jelas dan obyektif atas dugaan kegiatan mafia minyak yang selama ini berlangsung
sangat tertutup, sebagai salah satu indikator yang menyebabkan keterpurukan
102
43.
Arif Rahman, “Tinjaun Yuridis Penggunaan Hak Angket Dalam Kasus Bank Century,” h.
65
ekonomi dan juga dalam kasus Bank Century yang telah merugikan negara hingga
trilyunan.
C.
Permasalahan Dalam Penggunaan Hak Angket Sesudah Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945
Dalam pelaksanaan hak angket DPR yang pernah dilakukan terdapat
beberapa permasalahan-permasalahan antara lain:
1.
Mengenai ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengenai
sifat pelaksanaan hak angket.
Mengenai hal ini pernah menjadi permasalahan pada masa pengusulan
hak angket mengenai penyelidikan kasus Dana Milik Yanatera Bulog dan
Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam kepada Presiden Abdurrahman
Wahid. Dimana pada saat memberikan kesaksian para saksi meminta agar
didampingi oleh pengacara.103 Namun hal ini bertentangan dengan ketentuan
Undang-Undang hak angket pasal 23 ayat (1) yang mengarahkan pemeriksaan
dilakukan dalam rapat tertutup. Sedangkan dalam Pasal 240 ayat (1) Tata
Tertib DPR 2009 Rapat tertutup adalah rapat yang hanya boleh dihadiri oleh
anggota dan mereka yang diundang. Sehingga kehadiran pengacara dianggap
sebagai pihak yang tidak diizinkan untuk hadir dalam rapat pemeriksaan hak
angket.
103
Rodjil Ghufron, Ketegangan Presiden dan Parlemen, Sebuah Catatan dari Senayan. cet.I,
(Jakarta: Factual Analysis Forum, 2001), h. 88.
66
Namun disisi lain hak untuk didampingi penasehat hukum adalah Hak
Asasi manusia, sehingga jika hal ini tidak dipenuhi maka dianggap sebagai
suatu pelanggaran. Mengenai sifat pemeriksaan hak angket secara secara
khusus diatur dalam undang-undang nomor 6 tahun 1954. Ada beberapa hal
yang menjadi pertimbangan apakah pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara
tertutup atau terbuka. Beberapa pertimbangan menngapa pemeriksaan hak
angket dilakukan secara tertutup:104
a. Dalam penyelidikan hak angket sering kali akan bertemu dengan
keterangan-keterangan yang bersifat rahasia, sehingga dikhawatirkan
apabila pemeriksaan dilakukan secara terbuka, informasi tersebut
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
b. Keterangan yang diperlukan tidak dapat dipublikasikan sebelum
berakhirnya masa kerja Pansus demi kelancaran kerja Pansus sendiri
dalam mencapai tujuan.
c. Pemeriksaan yang dilakukan oleh DPR adalah bukan sebagai proses
hukum melainkan proses politik, hal ini didasarkan dengan fungsi DPR
sebagai fungsi legislatif bukan sebagai lembaga pemegang kekuasn
Yudikatif. Dengan demikian hal yang ditakutkan adalah pernyataan politik
tersebut diartikan sebagai pernyataan hukum oleh masyarakat dan pada
104
Lesmana, Hak Angket Sebagai Hak DPR: Mekanisme dan Implikasinya Terhadap
Kemungkinan Pemakzulan, (Jakarta: Fakultas Hukum ,Universitas Indonesia, 2010), h. 77.
67
akhirnya merugikan saksi itu sendiri. Hal ini terkait dengan opini
masyarakat.
d. Amanat Undang-Undang Hak Angket untuk melaksanakan pemeriksaan
dengan rapat tertutup.
Beberapa pertimbangan untuk melaksanakan pemeriksaan hak angket
dalam rapat terbuka
a. Mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap DPR dalam rangka
menegakkan demokrasi
b. Mewujudkan transparansi sesuai dengan tuntutan masyarakat saat ini.
c. Menghindari opini publik akan terjdinya KKN ataupun kepentingan
politik dalam proses penyelidikan hak angket.
2.
Mengenai Hasil Hak Angket
Mengenai hasil hak angket seringkali memiliki dampak politik terhadap
pihak tertentu. Misalkan dalam hak angket mengenai penyidikan kasus Dana
Milik Yanatera Bulog dan Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam kepada
Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR membentuk Pansus hak angket
Buloggate
dan
Bruneigate.105
Dimana
pada
akhirnya
penyelidikan
mengeluarkan kesimpulan:
105
Akbar Tanjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di tengah Turbulensi Politik Era
Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 279.
68
1.
Dalam Kasus Dana Yanatera Bulog, Pansus berpendapat: “Patut diduga
bahwa Presiden Abdurrahman Wahid berperan dalam pencairan dan
penggunaan Dana Yanatera Bulog.”
2.
Dalam kasus dana bantuan Sultan, Pansus berpendapat: “Adanya
inkonsistensi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang masalah
Bantuan Sultan Brunei Darussalam menunjukan bahwa Presiden telah
menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat.”
Kemudian
DPR
mengeluarkan
Memorandum
I
yang
isinya
mengingatkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid sungguh-sungguh
melanggar Haluan Negara yaitu:
a.
Pasal 9 UUD 1945, tentang sumpah jabatan; dan
b.
Melanggar TAP MPR no. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebaas KKN.106
Sesuai dengan TAP MPR no. XI/MPR/1998 ternyata hingga turunnya
memorandum ke III Presiden tidak menanggapinya sehingga berujung pada
sidang istimewa MPR dan berakibat diturunkannya Presiden Abdurrahman
Wahid sebagai Presiden Indonesia. Ada hal yang menarik didalam proses
penyelidikan Hak Angket yaitu terdapat proses hukum terhadap Presiden
Abdurrahman Wahid dimana didalam keputusan Kejaksaan Agung tersebut
disimpulkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti terlibat dalam
106
Untung Wahyono, Peran Politik Poros Tengah dalam Kancah Pepolitikan Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 192.
69
kasus Bulog dan Brunei sehingga tidak mungkin untuk ditingkatkan ke proses
penyidikan apalagi penuntutan. Namun pada kenyataannya Presiden
Abdurahman Wahid tetap di Impeachment oleh MPR, sehingga unsur
politiknya terlihat jelas.
Berbeda dengan sebelumnya, dibawah Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009, terdapat beberapa ketentuan yang berbeda dan lebih
menghasilkan kepastian hukum bagi hasil hak angket. Beberapa perubahan
telah dijelaskan sebelumnya yaitu:
a.
Hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment Presiden oleh
MPR
b.
Dicabutnya TAP MPR Nomor. III/MPR/1978, sehingga tidak ada lagi
proses memorandum yang diberikan DPR kepada Presiden
Hasil hak angket tidak dapat lagi langsung diarahkan terhadap
memorandum terhadap Presiden tetapi dilanjutkan dengan penggunaan hak
untuk menyatakan pendapat, dimana hak menyatakan pendapat ini kemudian
diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan dikembalikan lagi ke DPR kemudian
DPR mengusulkan diadakannya Sidang Istimewa kepada MPR untuk meminta
pertanggung jawaban terhadap Presiden.107
Sehingga tidak mengherankan jika dikatakan bahwa Proses penyelidikan
yang dilakukan di DPR adalah proses politik karena proses tersebut tidak juga
107
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
menurut UUD 1945, h. 123.
70
dapat dikatakan sebagai proses hukum. Mengenai hal ini sangat jelas jika kita
mengambil contoh hak angket dalam penyelidikan Kasus Yanatera Bulog dan
Dana Bantuan Sosial Brunei Darussalam kepada Presiden Abdurrahman
Wahid.
Dari contoh diatas kasus tersebut dapat kita tarik kata “patut diduga” dan
“Inkonsistensi Pernyataan”. Empat kata itu menunjukkan bahwa DPR
menyadari bahwa bukan merupakan kewenangannya menyatakan seseorang
itu bersalah atau tidak. Ditambah lagi dengan keterangan Kejaksaan Agung
bahwa Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti terlibat dalam kasus Bulog
dan Brunei.108 Dengan demikian jika kita berpegang pada hukum, seharusnya
Presiden Abdurrahman Wahid tidak dijatuhkan dalam impeachment, karena
proses hukum menyatakan dia tidak bersalah. Pada hakikatnya wewenang hak
angket yang dimiliki DPR merupakan suatu bentuk amanat yang akan di
pertanggungjawabkan. Hal ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat
58, Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
108
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden
menurut UUD 1945. h. 100.
71
memberi pengajaran yang sebaik-baiknyakepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(Q.S. An-nisa,4: 58)
Namun, saat ini khusus dalam mengenai hasil penyelidikan yang
memiliki indikasi terlibatnya presiden atau wakil presiden dalam pelanggaran
Undang-Undang, terdapat Mahkamah Konstitusi yang menilai benar tidaknya
dugaan tersebut. Sehingga diharapkan hasil hak angket secara tidak langsung
telah disahkan oleh Mahkamah konstitusi dan tidak lagi sebagai hasil politik.
Meskipun pada akhirnya keputusan impeachment tetap berada di MPR namun
dapat dikatakan tidak murni politik.
Dalam Undang-Undang Hak angket pasal 25 menegaskan “dengan tidak
mengurangi ketentuan yang tersebut dalam pasal 26 maka segala keterangan
yang diberikan kepada panitia angket tidak dapat dipergunakan sebagai bukti
dalam peradilan terhadap saksi atau ahli itu sendiri yang memberikan
keterangan atau terhadap orang lain”.109 Dalam ketentuan ini jelas bahwa
barang bukti dan keterangan yang didapatkan dalam pemeriksaan hak angket
tidak dapat dipergunakan dalam pengadilan lain. Hal ini karena DPR bukanlah
alat penegak hukum, sehingga pemeriksaan yang dilakukan oleh DPR
bukanlah proses pro yustisia.
Namun hal ini tidak berarti bahwa proses hak angket tidak mendukung
penegakan hukum. Menurut penulis hal ini dapat kita kembalikan pada fungsi
pengawasan dalam menegakkan prinsip check and balances dalam sistem
109
Republik Indonesia, Pasal 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket.
72
Presidensial. Hak angket dapat menjadi pemberi alasan atau langkah pertama
untuk memberikan kewenangan penegak hukum dalam melakukan pro yustisia
kepada pemerintah. Dalam kasus menyangkut Presiden atau Wakil Presiden
keberadaan hak angket sangat penting sekali karena Presiden dan Wakil
Presiden adalah pemimpin tertinggi Kepolisian dan Kejaksaan dimana mereka
di bawah ranah eksekutif.110
Dengan demikian kekhawatiran atas tidak tegaknya hukum sangat besar
dengan dilimpahkan secara utuh permasalahan ini kepada jaksa dan polisi.
Namun tidak berarti juga proses di DPR yang penuh dengan kepentingan
politik dibiarkan begitu saja berjalan tanpa ada kepastian hukum. Hadirnya
Mahkamah Konstitusi memberikan kepastian hukum dan melegalkan proses
tersebut dengan keputusannya dalam proses impeachment.
110
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan
UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), h. 30.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan penulis adalah
terjadinya beberapa permasalahan dalam penggunaan hak angket oleh DPR terutama
disaat pasca reformasi, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalam penggunaan hak angket DPR pasca amandemen UUD 1945 lebih banyak
permasalahan dan kompleks. Hal ini dikarenakan timbulnya era reformasi yang
lepas dari rezim otoriter zaman orde baru, sehingga memungkinkan terjadinya
kebebasan berpedapat terhadap kebijakan pemerintah dan meningkatnya
efektifitas dalam fungsi pengawasan, fungsi anggaran dan fungsi legislasi.
2. Dalam penggunaan hak angket terjadi terutama dalam pendampingan saksi oleh
pengacara masih belum jelas. Hal ini dikarenakan terdapat saksi belum mengerti
proses kesaksian yang terkadang Anggota DPR dalam meminta keterangan
sering melebihi kewenangan, seolah-olah seperti jaksa penuntut umum. Padahal
proses di DPR hanyalah proses politik.
3. Sifat pemeriksaan Hak Angket selalu dilakukan dengan cara terbuka, padahal
amanah Undang-Undang Hak angket diperintahkan secara tertutup. Hal ini juga
membuat ketidakjelasan dalam proses pemeriksaan hak angket.
4. Dalam kasus pengunaan hak angket pada saat kasus Bulooggate dan Bruneigate
saat Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, penyelidikan kasus tersebut sama
sekali tidak mempertimbangkan aspek hukum karena kejaksaan Agung
74
menyimpulkan bahwa presiden tidak terbukti terlibat. Namun proses hak angket
tetap memberi memorandum 1 dan 2 sehingga prosesnya benar-benar proses
politik dan tidak mempertimbangkan dari aspek hukum.
5. Hasil penyelidikan hak angket DPR tidak bisa dijadikan barang bukti dan
keterangan di dalam proses pengadilan. Hal ini karena DPR bukanlah alat
penegak hukum, sehingga pemeriksaan yang dilakukan DPR pro yustisia.
B. Saran-saran
Dari
hasil
penelitian
yang
dilakukan,
penulis
merasa
perlu
untuk
menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. DPR hendaknya agar membuat Peraturan tentang hak angket lebih jelas, terutama
tentang proses mekanisme penggunaan hak angket agar tidak multi tafsir,
sehingga tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam proses penggunaan hak
angket.
2. Penulis menyarankan agar hasil hak angket dapat menjadi dijadikan bukti di
dalam proses pengadilan, karena selama ini hasil penyelidikan dari hak angket
tidak bisa dijadikan bukti dalam proses pengadilan. Hal ini menyebabkan terjadi
pemborosan, tidak efisiennya kinerja anggota DPR bahkan buang-buang
anggaran dalam proses penyelidikan hak angket DPR.
3. Harus ada sanksi tegas terhadap anggota DPR apabila dalam mengunakan hak
angket melanggar, menyalahgunakan, dan keluar dari aturan-aturan mekanisme
penggunan hak angket.
75
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci
Al Qur’an dan Terjemahan.
Buku-Buku
A.Garner, Bryan. Black Law Dictionary. Ninth Edition. West Group, 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
__________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
cet.I. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Boboy, Max. DPR RI dalam Prespektif dan Sejarah dan Tata Negara. Jakata:
Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. XIX. Jakarta: Dian Rakyat, 1998.
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Cet: VII. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Friedrich, Carl Joachim, Constitutional Government and Democracy, 1950
(especcially chap.I and the literature given there).
__________, Filsafat Hukum, (The University of Chicago Press, 1969).
Ghufron, Rodjil. Ketegangan Presiden dan Parlemen, Sebuah Catatan dari Senayan.
cet. I. Jakarta: Factual Analysis Forum, 2001.
Hall, Kermit, L. The Oxford Companion to the Supreme Court of the United States.
Oxford: Oxford University Press, 1992
Hartono, Y. Dari Supremasi Eksekutif ke Supremasi Legislatif, cet. I. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya, 2003.
76
HS, H. Salim. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, ed.1. Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. cet.I,. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.
Kahtarina, Riris. “mengenai hak angket melalui perjalanan sejarah DPR RI dalam
berbagai prespektif tentang memorandum kepada presiden: suatu studi
terhadap pemberian memorandum DPR RI kepada Presiden Abdurrahman
Wahid”, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretaris
Jenderal DPR RI, 2002).
Karjadi, M dan Soesilo, M. KUHAP dengan Penjelasan resmi dan Komentar.
Politeia: Jakarta, 1997.
Kusnardi, Moh dan Saragih, Bintan. Ilmu Negara, cet.I. edisi revisi. Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2000.
Labolo, Muhadam. Memahami Ilmu Pemerintahan (Suatu Kajian Teori, Konsep, dan
Pengembangannya). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Legowo, T,A. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum
dan Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: FORMAPPI, 2005.
Loebis, A.R. Belantara Kebangsaan, cet I. Yogyakarta: Jendela Yogyakarta, 2001.
Mahmud, Peter, Marzuki, Penelitian Hukum. cet.VI. Jakarta : kencana, 2010.
Marbun, BN. DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1992.
Patrick, Jhon, J dkk, The Oxford guide to the United States Government, (Oxford:
Oxford University Press, 2001
Salang, Sebastian dkk. Panduan Kinerja DPR/DPRD Menghindari Jeratan Hukum
Bagi Anggota Dewan. Jakarta: Forum Sahabat, 2009
Schroeder, Richard, C. Garis-Garis Besar Pemerintah Amerika, (Dinas Penerangan
AS).
77
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Himpunan peraturan tata
tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1945-1971. BP.KNIPDPR Pemilu II.
Soehino. Ilmu Negara. ed.III. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005.
Soemantri, Sri, dkk. Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia:
30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,1993.
Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di
Dalam Penelitian Hukum. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas
Indonesia, 1979.
Tambunan, Arifin Sari Surunganlan. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Menurut UUD 1945, Suatu Studi Analisis Mengenai
Pengaturannya Tahun 1966-1997. .Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer,
1998.
Tanjung, Akbar. The Golkar Ways: Survival Partai Golkar di tengah Turbulensi
Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Triwulan, Titik, Tutik. Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasaca Amandemen
UUD 1945. cet.I. Jakarta: Kencana, 2010.
Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983.
Wahyono, Untung. Peran Politik Poros Tengah dalam Kancah Perpolitikan
Indonesia. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003.
Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden. Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi. 2005.
Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia.
78
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Undang-Undang tentang MPR, DPR,DPD,
dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang Hak Angket.
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Rapat Paripurna Ke-16. Masa Sidang
III. Tahun Sidang 2006-2007.
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Rapat Paripurna Ke-11. Masa Sidang I.
Tahun Sidang 2009-2010.
Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Rapat Paripurna Ke-14. Masa Sidang
II. Tahun Sidang 2009-2010.
Constitution of South Africa.
Jurnal
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. ed.IV. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan
Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum, 2012.
FORMAPPI. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Studi dan Analisis Sebelum
dan Setelah Perubahan UUD 1945 (Kritik, Masalah, dan Solusi). Jakarta:
FORMAPPI, 2005.
FORMAPPI. Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan. Jakarta:
FORMAPPI, 2009.
Parlementaria. Menuju DPR Bersih. Jakarta: Tata Usaha Bagian Pemberitaan dan
Penerbitan DPR-RI, 2008.
Karya Ilmiah
Rahman, Arif. Tinjaun Yuridis Penggunaan Hak Angket Dalam Kasus Bank Century.
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2013.
79
Lesmana. Hak Angket Sebagai Hak DPR: Mekanisme dan Implikasinya Terhadap
Kemungkinan Pemakzulan. Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia. 2010.
Internet
Morton Rosenberg, Investigative Oversight: An Introduction to the Law, Practice and
Procedure of Congressional Inquiry, artikel diakses pada tanggal 11 oktober
2013: http://www.house.gove.rules/95-464.htm#2.
The Accountability of Government, diakses pada tanggal 12 November 2013:
http://www.parliament.uk/works/account.cfm.
House of Commons Select Committees: Guide for Witness, diakses pada tanggal 12
oktober 2013 http://www.parliament.uk/commons/selcom/witguide.htm.
The
French Parliament, diakses pada tanggal
http://www.assembleenationale.fr/english/8ad.asp.
12
oktober
2013:
Pertama Kali Hak Angket digunakan DPR pada tahun 1950, diakses dari
http://www.dpr.ri.go.id.berita., Pada tanggal 29 Agustus 2013
Download