PENGGUNAAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: Roma Rizky Elhadi NIM: 109048000074 KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435H/2014M PENGGUNAAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: Roma Rizky Elhadi NIM. 109048000074 KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435H/2014M i PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi ini berjudul PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum. Jakarta, 23 Januari 2014 ii LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 23 Januari 2014 Roma Rizky Elhadi iii ABSTRAK ROMA RIZKY ELHADI. NIM 109048000074. PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakulatas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2013 M. xii + 80 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisi tentang penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat paska amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mengetahugaimana mekanisme penggunaan hak angket DPR dan permasalahan dalam proses pelaksanaan hak angket itu sendiri. Peneletian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis kasus penggunaan hak angket pasca amandemen undang-undang dasar 1945. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literature, pendapat ahli, makalahmakalah. Dalam studi kepustakaan penulis menganalisis tentang landasan pelaksanaaan hak angket DPR yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Ketentuan mengenai tata pelaksanaan hak angket yang terdapat di dalamnya saling bertentangan sehingga sering terjadi ketidakkonsistenan dalam penerapannya. Tata cara pelaksanaan hak angket juga diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI, peneliti dalam hal ini meneliti dasar hukum hak angket dan apa saja permasalahan yang terdapat dalam proses pelaksanaan hak angket. Kata Kunci : Hak Angket, Dewan Perwakilan rakyat, Undang-Undang Dasar 1945. Pembimbing : 1. Nur Habibi S.H.I., M.H 2. Nur Rohim Yunus L.L.M Daftar Pustaka : Tahun 1950 s.d Tahun 2013 iv Amandemen KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Segala puji dan Syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Besar kita Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Nur Habibi SH.I, M.H dan Bapak Nur Rohim Yunus, L.LM. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan arahan v selama saya menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah diberikan untuk membimbing saya. 4. Bapak Abdurrauf L.c. selaku dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan bimbingan dan masukannya selama beberapa tahun kepada penulis. Semoga apa yang telah bapak arahkan kepada penulis dapat bermanfaat dan dibalas oleh Allah SWT. 5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahsiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 6. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Universitas Indonesia, dan staff Humas DPR yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dan memberi data guna menyelesaikan skripsi ini. 7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Rushadi S.St., dan Ibunda Usu Suhernih yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta kakak tercinta Febrian Hadinata S.St dan Adikku tercinta Habil Rahman yang selalu memberikan semangat dan bantuan baik segi moril dan materil selama proses menyelesaikan skripsi ini. 8. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan semasa kuliah di lingkungan kampus UIN (Awak Zaki, Aryo, Abda, Tarikh, Iyan, Ruslan, Rhino, bang Mahmud, bang vi Erwin). Kelas Ilmu Hukum B dan kelas Kelembagaan Negara angkatan 2009 (Jajang, Dani, Ratno, Kholil, Farhan, Arif, Fandi, Bowo, Saddam, Daus, Aldo, Maul, Zaki, Gagat, Fina dan teman-teman yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu). Terimakasih untuk kebersamaannya dalam suka dan duka selama berada dalam studi Ilmu Hukum. 9. Sahabat-sahabat Alumni SMA Titian Teras angkatan XI ( Iryandi, Paulus Zega, Suprayogi, Dodi Meyondri, Regi Refyunando, Bari Ariatma, Diky Kurniadi, Didik Erwanto, Yoza Wiratama, Fariz Amar, Nugroho, Yunita Hasri dan temanteman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu). Terimakasih untuk kebersamaannya dalam suka maupun duka baik selama SMA hingga saat menjalani perkuliahan selama beberapa tahun ini. 10. Sahabat-sahabat KKN KOMPAK UIN Jakarta 2012 (Cahya, Surya, Rizky, Almam, Ivan, Jumhur, Erin, Aida, Ovi, Tika, Upi, Fikria, Lina, Thalita) yang memberi warna selama proses kegiatan perkuliahan dan memberi semangat demi kelancaran penulisan skripsi ini. 11. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian semua (Amin). Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini kurang vii berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb Jakarta, 23 Januari 2014 Roma Rizky Elhadi viii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEBIMBING ............................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................ iv KATA PENGANTAR .......................................................................................... v DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6 D. Metode Penelitian......................................................................... 8 E. Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 11 F. Sistematika Penulisan .................................................................. 13 BAB II LANDASAN DAN MEKANISME HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ................ 15 A. Pengertian Hak Angket ................................................................ 15 B. Sebab Timbulnya Hak Angket ..................................................... 17 C. Landasan Hak Angket .................................................................. 19 D. Mekanisme Penggunaan Hak Angket .......................................... 23 ix E. Landasan Teori ............................................................................. 29 BAB III HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ............................................................... 37 A. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat .............................................. 37 B. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat ....................... 42 C. Hubungan Hak Angket dengan Dewan Perwakilan Rakyat......... 43 D. Penggunan Hak Angket dibeberapa Negara................................. 46 E. Contoh Kasus Amandemen Hak Angket Undang-Undang Sebelum Dasar dan Sesudah Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .................................................................. 52 BAB IV PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ...... 57 A. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 ................................................. 57 B. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 Pasca Amandemen beserta Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia ...................................................... 60 x C. Permasalahan Dalam Penggunaan Hak Angket Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ............................................................................. 65 BAB V PENUTUP ......................................................................................... 73 A. Kesimpulan................................................................................... 73 B. Saran ............................................................................................. 74 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75 xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasai oleh konstitusi.1 Dalam empat ciri klasik negara hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut rechtsstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri pokok negara hukum.2 Oleh karena itu menurut Montesquieu dengan teori trias politica yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga tidak ada lagi yang dominan dalam menjalankan pemerintahan, seperti eksekutif dalam menjalankan kebijakannya selalu dipantau oleh legislatif atau di Indonesia disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terdapat tiga fungsi utama DPR, ketiga fungsi utama tersebut adalah Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pada hakikatnya ketiga fungsi DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang kemudian disetujui bersama dengan Presiden, maka DPR harus mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif yakni Presiden. 1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 281. 2 Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945,cet.I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1993), h. 281. 1 2 Peranan DPR diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh berbagai unsur DPR seperti anggota, pemimpin, fraksi, komisi, dan badan kelengkapan DPR secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama yang dilakukan dalam rangka melaksanakan fungsi badan tersebut. Dengan demikian, aktivitas unsur-unsur DPR yang bertujuan melaksanakan fungsi perwakilan, perundang-undangan dan pengawasan, merupakan kewenangan lembaga ini. Pengawasan (controlling) yaitu suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan hukum pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin sikap pemerintah agar berjalan sesuai hukum yang berlaku. Dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembagalembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.3 Melalui pelaksanaan fungsi pengawasan, lembaga ini melindungi kepentingan rakyat, Sebab melalui penggunaan kekuasaan yang dilandasi oleh fungsi ini, DPR dapat mengoreksi semua kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui pelaksanaan berbagai hak DPR. Dengan demikian tindakan-tindakan yang dapat mengabaikan kepentingan anggota masyarakat dapat diperbaiki. Tolak ukur suatu kontrol politik (pengawasan) berupa nilai-nilai politik yang dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan dalam kebijakan atau undang- 3 Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, h. 285. 3 undang. Tujuannya adalah meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksananya sejalan dengan tolak ukur tersebut. Fungsi kontrol merupakan konsekuensi logis dalam sistem demokrasi dalam memperbaiki dirinya.4 Kegiatan pengawasan bukanlah tujuan dari suatu kegiatan pemerintah, akan tetapi sebagai salah satu sarana untuk menjamin tercapainya tujuan. Dalam hukum tata negara berarti menjamin segala sikap tindak lembaga-lembaga pemerintahan (badan dan pejabat tata usaha negara) berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran, bahwa pelaksanaan fungsi anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama menjalankan pula fungsi pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem checks and balances. Selain ketiga fungsi di atas, secara konstitusional DPR memiliki hak yang melekat kepadanya. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dimana yang menjadi hak Dewan Perwakilan Rakyat adalah Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.5 Pada hakikatnya ketiga fungsi DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang kemudian disetujui bersama dengan Presiden, maka DPR harus mengadakan pengawasan terhadap produk Undang-Undang oleh 4 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet.II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 82. 5 Indonesia, Pasal 20A ayat 2, Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945. 4 lembaga Eksekutif yakni Presiden. Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran, bahwa pelaksanaan fungsi anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama menjalankan pula fungsi pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem checks and balances. Dalam menjalankan tugas-tugasnya DPR menjalankan fungsinya dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan tentang tugas-tugas DPR, yaitu mengawasi jalannya kinerja pemerintahan dengan menggunakan hak maupun kewajibannya.6 Salah satu hak yang dimiliki oleh DPR dalam menjalankan fungsinya untuk mengawasi pemerintahan yaitu Hak Angket, atau hak anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sebelum UUD 1945 diamandemen belum dikenal adanya istilah hak angket, istilah hak angket DPR baru mulai muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2. Latar belakang munculnya hak angket pasal 20 A dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah perubahan mengandung beberapa prinsip yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945, 6 Max Boboy, DPR RI dalam Prespektif dan Sejarah dan Tata Negara, cet.I. (Jakata: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h.71 5 adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini. Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system), menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsipprinsip negara berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945 sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945. Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.7 Berkaitan dengan urgensi bagaimana penggunaan hak angket DPR pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam amandemen UUD 1945 yang pertama istilah hak angket belum dikenal, istilah hak angket baru mulai muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2002. Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi dengan judul: “Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945” 7 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden. Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi. 2005), h. 4. 6 B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Ruang lingkup penulisan skripsi mengenai kewenangan DPR dalam fungsi pengawasan yang hanya dalam lingkup hak angket DPR RI yang hanya membatasi masalah pada penggunaan Hak Angket DPR RI pasca amandemen UUD NRI 1945 berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan pada penjelasan, maka terdapat tiga pokok permasalahan yang akan menjadi acuan dalam pembahasan pada bab bab selanjutnya, yakni: a. Bagaimana Kekuasaan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945 ? b. Bagaimana Kekuasaan DPR dalam Penggunaan Hak Angket Menurut UndangUndang Dasar Negara Republik 1945 beserta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009? c. Apa Saja Permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sesudah amandemen UUD 1945 ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas penelitian ini bertujuan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui Kekuasaan DPR menurut UUD NRI Tahun 1945. 7 b. Untuk mengetahui Kekuasaan DPR dalam penggunaan Hak Angket oleh DPR berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 27 Tahun 2009 c. Untuk mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 Adapun Manfaat penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut : 2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Manfaat Teoritis 1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk tulisan. 2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan dan menghubungkan dengan praktik di lapangan. 3) Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya maupun bidang ketatanegaraan pada khususnya yakni dengan mempelajari literatur yang ada di kombinasikan dengan perkembangan hukum yang timbul dalam masyarakat. b. Manfaat Praktis Sebagai kajian lebih lanjut Penelitian ini bertujuan untuk menggali sejauhmana pelaksanaan sistem demokrasi yang dimiliki Indonesia terhadap pemerintahan diterapkan dalam penerapan kebijakan yaitu dalam pengunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD 1945. Kajian ini juga akan 8 menambah khasanah keilmuan yang menyangkut tentang konsep kekuasaan legislatif dalam tata hukum di Indonesia. D. Metode Penelitian Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, yakni : 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat,8 karena titik tekannya adalah pada peraturan perundang-undangan serta peraturan lainnya yang terkait dengan penggunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD 1945. 2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu Yuridis Normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan Pendekatan Konsep (conceptual approach). Pendekatan 8 Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18. 9 Konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep yang dikemukakan para ahli hukum dalam pendapatnya.9 3. Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim10. Bahan Hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari UUD NRI Tahun 1945, UUD 1945 (Sebelum Amandemen), UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan penggunaan hak angket DPR RI pasca amandemen UUD 1945. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan Hukum Tata Negara, buku-buku hukum lainnya, Skripsi hukum tata negara, Tesis hukum tata negara, 9 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, 2012), h. 23. 10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. cet.VI, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 141. 10 Disertasi hukum tata negara, dan Jurnal ataupun materi-materi mengenai hukum yang mendukung kepada proses penelitian ini. c. Bahan non-hukum Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain-lain. 4. Pengumpulan Data Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber hierarkinya. 5. Analisis Data Karena pendekatan data utama penelitian ini adalah normatif, maka akan dilakukan dengan analisis isi (Content Analisis). Teknik analisis ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk pertauran perundang- undangan ataupun referensi-referensi Hukum yang berkaitan dengan hak angket DPR. Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi Undang-undang tersebut. Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah; Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut masing-masing objek bahasannya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi, 11 yakni diuraikan dan dijelaskan sesuai objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang telah dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012” E. Tinjaun (review) Studi Terdahulu Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan penelitian yang dijalankan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang lebih dahulu membahas terkait Hak Angket , diantaranya adalah: No Nama Penulis/ Judul Substansi Perbedaan skripsi, jurnal / Tahun. 1. Randhika dengan Penulis Oktaviano - Dalam ini Penulis menulis skripsi tentang tidak terfokus terhadap Panitia fokus terhadap ivestigasi investigasi terhadap bank Khusus Bank Century, bank century oleh panitia century, Skripsi UI 2010 angket DPR menjelaskan penggunaan /Penorobasan Bank oleh Rahasia skripsi menjelaskan namun 12 hak angket secara umum pasca amandemen UUD NRI 1945 2. Lesmana /Hak Angket - Skripsi ini Mejelaskan Penulis menulis skripsi sebagai hak DPR: Mekanisme dan Implikasinya Terhadap tentang hak angket tentang hak angket tidak terhadap kemungkinan hanya terjadinya pemakzulan. fokus terkait proses pemakzulan, Kemungkinan namun menjelaskan Pemakzulan, UI skripsi proses terhadap eksekutif 2010 baik itu presiden dan jajarannya baik menterimenteri dan penyelenggara negara yang diduga melanggar peraturan perundang- undangan mengenai kebijakan yang strategis. 3 Meri Yarni,SH.MH dan - Jurnal ini menjelaskan Penulis menulis skripsi Yetniwati, SH.MH/ penyebab dan tentang penggunaan hak Pelaksanaan Hak pelaksanaan hak angket angket Angket Dewan DPRD di Kota Jambi nasional dalam bukan lingkup dalam 13 Perwakilan Rakyat lingkup Daerah kota. Jurnal Kota Ilmu Jambi provinsi Sehingga atau dasar Hukum hukum dan mekanisme Universitas Jambi ,2009 penggunaan hak angket sudah pasti berbeda. F. Sistematika Penulisan Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masingmasing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut. BAB I Merupakan bab pendahuluan yang memuat: latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan sistematika penelitian. BAB II Pada bab ini dibahas tentang hak angket dan kekuasaan Legislatif di Indonesia yang terdiri dari pengertian hak angket, sebab timbulnya hak angket, landasan hak angket, mekanisme penggunaan hak angket dan landasan teori. 14 BAB III Bab ini membahas mengenai hak angket DPR yang terdiri dari sejarah DPR, peran dan wewenang DPR, hubungan hak angket dangan DPR, penggunaan hak angket dibeberapa negara, dan Contoh Kasus Hak Angket Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB IV Bab ini menjelaskan Penggunaan Hak Angket Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari Kekuasaan DPR RI Pasca amandemen UUD 1945, Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket Menurut UndangUndang Dasar Negara Republik 1945 beserta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Permasalahan dalam pelaksanaan hak angket sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 BAB V Bab ini merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini. Yang terdiri kesimpulan dan saran, yang menjadi penutup dari skripsi ini. 15 BAB II LANDASAN DAN MEKANISME HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA A. Pengertian Hak Angket Pengertian angket di dalam Black Law Dictionary yaitu enquete yang artinya sebagai berikut: “An examination of witnesses (take down a writing) by or before an authorized judge for the purpose of gathering testimony to be used in trial.”11 Sehingga pengertian angket dalam kamus Black Law dapat diartikan sebagai sebuah penyelidikan kepada para saksi (secara tertulis) baik sesudah atau sebelum disahkan oleh hakim dengan tujuan dikumpulkannya kesaksian untuk digunakan di pengadilan. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) angket adalah Penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah.12 Hak angket sendiri pertama kali dikenal di Inggris pada pertengahan abad ke XIV dan bermula dari right to investigate and chastice the abuses of administration (hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan-penyelewengan dalam administrasi pemerintahan) yang kemudian disebut right of impeachment (hak untuk menuntut seorang pejabat karena melakukan pelanggaran jabatan). Hak ini pertama kali digunakan oleh parlemen Inggris pada tahun 1376 yang mengakibatkan 11 12 Brian A Garner, Black Law Dictionary, Ninth Edition, ( West Group, 2009), h. 610. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.4 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 69. 16 pemecatan beberapa pejabat istana karena melakukan penyelewengan keuangan. Sekarang hak angket di Inggris dilakukan oleh sebuah komisi khusus yang bertugas menyelidiki kegiatan pemerintah dan administrasi.13 Pengertian dan ketentuan mengenai hak angket secara eksplisit diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Pasal 70 Tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, sebagai berikut: “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang,”14 Sehingga pengertian Hak Angket sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan adalah hak menyelidiki yang dimiliki oleh DPR, yang untuk selanjutnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada bagian konsiderans (Menimbang) pada UndangUndang Nomor 6 Tahun 1954, sebagai berikut: “bahwa hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan penyelidikan (angket) perlu diatur dengan undang-undang” Selanjutnya pengertian dan ketentuan tentang Hak Angket, ditentukan kembali pada pasal 20 A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen, sebagai berikut: 1. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. 13 Arifin Sari Surunganlan Tambunan, Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Suatu Studi Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997, (Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1998), h. 158. 14 Republik Indonesia, Pasal 70, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950. 17 2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Untuk selengkapnya pengertian Hak Angket dapat dilihat pada Bagian Penjelasan Pasal 27 huruf b Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyatakan sebagai berikut: “ Hak Angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.15 B. Sebab Timbulnya Hak Angket Secara normatif, hak Angket diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang penetapan Hak Angket DPR yang dibuat berdasarkan UUD Sementara 1950 pada masa Demokrasi Parlementer. Kemudian dipertegas dalam pasal 27 huruf b UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur bahwa hak Angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 15 Republik Indonesia, Pasal 27 huruf b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, UndangUndang tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. 18 Di dalam Undang-Undang tentang penetapan hak angket tidak menjelaskan mengenai apa saja yang menjadi alasan untuk memunculkan hak angket. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah. Dengan demikian hak angket dikenakan pada kebijakan pemerintah atau pelaksanaan Undang-Undang oleh pemerintah.16 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 ini membatasinya dengan menambahkan ketentuan bahwa kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang yang dilakukan memiliki hubungan ataupun keterkaitan penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Kemudian terdapat kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, yang terakhir ini menjadi ketentuan yang membedakan antara hak angket dengan hak-hak yang dimiliki oleh DPR. Hal yang menjadi permasalahan mengenai alasan yang memungkinkan diadakannya hak angket adalah mengenai syarat kebijakan ataupun pelaksanaan perundang-undangan tersebut berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas. Tidak ada batasan mengenai seberapa penting kebijakan tersebut, mengenai tolak ukur yang rigid mengenai dapat tidaknya suatu kebijakan dapat dikenakan hak angket. Hal yang dapat dijadikan pegangan mengenai alasan untuk mengajukan hak angket ini adalah: 1. Bila kebijakan tersebut bersentuhan langsung dengan rakyat. 16 Republik Indonesia, Pasal 77 ayat 3, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 19 2. Bila kebijakan ataupun pelaksanaan Undang-Undang tersebut diduga melanggar Undang-Undang. C. Landasan Hak Angket 1. Landasan Filosofis Zaman Yunani Kuno, Plato dan Aristoteles yakin, dan keyakinan mereka sejalan dengan tradisi Yunani, bahwa hukum dan perundangan (nomos dan nomoi) sangatlah penting untuk menata polis. Sejalan dengan keyakinan tersebut, didapati bahwa tatanan atau bangunan politik yang baik selalu berupa aturan hukum, yakni peraturan yang sesuai dengan hukum, yang akhirnya dapat membawa keadilan di dalam masyarakat.17 Menurut John Locke hukum membuktikan bahwa hak rakyat untuk menyusun aturan bersifat primer. Karena tidak ada manusia yang memiliki kuasa untuk memasrahkan pelestarian diri, kepada kehendak absolut dan dominasi pihak lain yang sewenang-wenang, maka bila orang yang hendak membawa pada kondisi perbudakan maka berhak menolak. Dengan demikian masyarakat bisa dikatakan sebagai penguasa tertinggi yang tidak berada di bawah bentuk pemerintahan apapun.18 Walaupun hak angket tidak disebutkan secara jelas, namun sistem aturan yang ada pada saat itu telah ada dalam pengaturan hubungan antara rakyat dengan 17 18 Carl Joachim Friedridh, Filsafat Hukum, (The University of Chicago Press, 1969), h. 17. Carl Joachim Friedrich, Constitutional Government and Democracy, 1950 (especcially chap.I and the literature given there, h. 129. 20 penguasa. Seperti halnya apabila terjadi penyelewengan kekuasaan, maka rakyat dapat melawan atau menghukum atau mendelegasikan terhadap perwakilannya. Maka sama halnya dengan hak angket yang tujuan awalnya sama yaitu untuk mengawasi bagaimana jalannya pemerintahan agar tidak terjadi pelanggaran, yang pada akhirnya sesuai dengan sila ke Lima Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” 2. Landasan Sosiologis Pengawasan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggara negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.19 Berangkat dari banyaknya kasus yang merugikan masyarakat langsung yang dikarenakan kebijakan pemerintah. Seperti kasus century banyak nasabah yang harus kehilangan uangnya karena kesalahan Bank Century dan kebijakan negara yang hingga kini tidak kunjung selesai. Maka dari itu dibentuklah hak angket untuk menyelidiki kasus tersebut agar kasus tersebut dapat terungkap dan kerugian nasabah Bank Century dapat dikembalikan secepatnya. Bentuk pengawasan hak angket di lakukan karena di lapangan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan sulit dilakukan karena kepolisian maupun 19 Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, h. 285. 21 kejaksaan masih merupakan bagian dari eksekutif, disaat para penyidik baik itu polisi atau kejaksaan tidak bisa berjalan maksimal maka DPR dapat menjalankan fungsinya dengan menggunakan hak angket. Maka dari itu Legislatif di samping pengawasan dapat menyelidiki apabila terdapat pelanggaran dalam kinerja pemerintah. 3. Landasan Hukum Mengenai pengaturan dan dasar hukum hak angket terbagi dalam beberapa peraturan Perundang-Undangan yakni: a. Konstitusi Indonesia Dasar hukum mengenai pengaturan hak angket dalam Konstitusi dapat ditemui dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat pasal 121 yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang Federal”.20 UndangUndang Dasar Sementara 1950 pasal 79 dinyatakan secara jelas bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturanaturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang”. Dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak angket secara jelas tercantum pada Pasal 20A ayat (2) dimana berbunyi” dalam 20 Serikat. Republik Indonesia, Pasal 121, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950, Republik Indonesia 22 melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakian Rakyat mempunyai hak angket”.21 b. Undang-Undang Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai hak angket adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Hak Angket, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1955, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999, Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. c. Peraturan di bawah Undang-Undang Hak angket atau hak untuk menyelidiki telah dikenal oleh lembaga legislasi saat kekuasaan legislasi di bawah komite nasional pusat dan badan pekerja komite nasional pusat. Hal ini dapat ditemukan pada peraturan Tata Tertib Badan Pekerja Komite Nasional Pusat.22 Pengaturan mengenai hak angket juga dapat ditemukan dalam peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR. Dalam peraturan ini hak angket salah satunya diatur dalam pasal 161 dimana dikatakan bahwa DPR memiliki hak interpelasi, Angket, dan Menyatakan 21 22 Republik Indonesia, Pasal 20 A ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Himpunan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1945-1971, (BP.KNIP-DPR Pemilu II), h. 19. 23 Pendapat. Dalam peraturan tata tertib ini juga dijelaskan bagaimana proses hak angket itu dilaksanakan. D. Mekanisme Penggunaan Hak Angket Mekanisme penggunaan Hak Angket DPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari struktur lembaga DPR. Adapun struktur lembaga DPR diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan berdasarkan peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib disebutkan tata cara pelaksanaan Hak Angket. Jika dilihat dari pengaturan hak angket maka pada intinya hak angket adalah hak untuk menyelidiki. Dalam ketentuan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) Pasal 1 angka 5 mengatakan bahwa “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”, M. Karjadi dan R. Soesilo menambahkan bahwa Penyelidikan adalah tindakantindakan yang disebutkan dalam pasal 5 yaitu:23 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; 2. Mencari keterangan dan barang bukti; 3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab; 5. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 6. Pemeriksaan dan penyitaan surat; 23 M.Karjadi dan R. Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan resmi dan Komentar.cet.III, (Politeia: Bogor, 1997) h. 94. 24 7. Mengambil sidik jari dan memotret orang; dan 8. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. Pengertian menyelidiki yang dimaksud dengan hak angket memang tidak dapat disamakan secara keseluruhan dengan penyelidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal mengenai tindakan paksa seperti penangkapan, menyuruh berhenti, mengambil sidik jari, dan memotret orang dan membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik tentunya DPR tidak berwenang untuk melakukannya. Meskipun demikian dalam menyelenggarakan hak angket terdapat beberapa hak dan kewenangan yang dapat dilakukan oleh DPR dalam melakukan penyelidikan yaitu: 1. Meminta keterangan pada pemerintah, badan hukum, organisasi profesi, saksi, pakar dan/atau pihak terkait;24 a. Saksi dapat merupakan warga negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang ada di Indonesia;25 b. Mendapatkan keterangan dari saksi atau Ahli yang berada diluar negeri melalui pertanyaan secara tertulis kepada menteri yang bersangkutan yang membantu dipenuhinya pertanyaan-pertanyaan itu dengan perantara perwakilan Indonesia di luar negeri;26 c. Dalam melakukan pemanggilan DPR dapat melakukannya secara tertulis;27 2. Melakukan sumpah pada saksi atau ahli yang berumur 16 tahun;28 3. Melakukan penuntutan pada saksi atau ahli ang lalai, melalui Kejaksaan Pengadilan Negeri;29 24 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Pasal 179 jo ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata tertib. 25 Republik Indonesia, Pasal 180, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 26 Republik Indonesia, Pasal 24, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954. 27 Republik Indonesia, Pasal 4, tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat. 28 RepublikIndonesia, Pasal 8 ayat (1), Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. 25 4. Memaksa saksi atau ahli untuk datang memenuhi panggilan dengan bantuan Kepolisian atau Kejaksaan;30 5. Melakukan penahanan kepada saksi atau ahli yang membangkang melalui ketua Pengadilan Negeri;31 6. Memeriksa surat-surat yang disimpan oleh pegawai kementrian;32 7. Melakukan penyitaan dan atau menyalin surat kecuali berisi rahasia negara melalui Pengadilan Negeri.33 Ketentuan mengenai hal apa yang menjadi objek penyelidikan dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (3) “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian jelas yang menjadi objek dari penyelidikan yang dilakukan oleh DPR adalah kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang oleh pemerintah. Dalam bagian umum pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 disebutkan hak-hak yang di miliki oleh DPR yaitu: a. Hak interpelasi ; b. Hak angket; dan 29 Republik Indonesia, Pasal 10, Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. 30 Republik Indonesia, Pasal 180 ayat (3), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Indonesia, jo Pasal 169 ayat (6) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib. 31 Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2), Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang Hak Angket. 32 Republik Indonesia, Pasal 18, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954. 33 Republik Indonesia, Pasal 19, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954. 26 c. Hak menyatakan pendapat.34 Sedangkan tata cara pelaksanaan hak angket tercantum dalam pasal 166 sampai dengan pasal 170 yaitu: 1. Hak angket diusulkan oleh paling sedikit dua puluh lima orang anggota dan lebih dari satu fraksi. 2. Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan alasan penyelidikan.35 3. Usul hak angket disampaikan, diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota. 4. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna atas usul hak angket dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasaan atas usul hak angket secara ringkas. 5. Selama usul hak angket belum disetujui oleh rapat paripurna, pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali. 6. Perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan membagikan kepada seluruh anggota 7. Dalam hal jumlah penandatangan usul hak angket yang belum memasuki Pembicaraan Tingkat I menjadi kurang dari jumlah, harus diadakan penambahan penandatangan sehingga jumlahnya mencukupi. 8. Dalam hal terjadi pengunduran diri penandatangan usul hak angket sebelum dan pada saat rapat paripurna yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penandatangan tidak mencukupi, Ketua rapat paripurna mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penandatangan mencukupi. 9. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul angket dengan membubuhkan tandatangan pada lembar pengusul, Ketua rapat paripurna mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna tetap dapat dilanjutkan. 10. Apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.36 34 35 Republik Indonesia, Pasal 161, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Republik Indonesia, Pasal 177, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib . 36 Republik Indonesia, Pasal 167, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009. jo Pasal 166 27 11. Dalam hal rapat paripurna memutuskan untuk menyetujui usul mengadakan angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket. 12. Keputusan DPR untuk mengadakan angket mencakup juga penentuan biaya panitia angket. 13. Keputusan DPR disampaikan kepada Presiden dan diumumkan dalam Berita Negara. 14. Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. 15. Panitia khusus meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya. 16. Pihak yang hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus. 17. Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran pihak karena suatu alasan yang dapat diterima. 18. Apabila pihak yang dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta sekali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan. 19. Apabila pihak tersebut tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, bagi yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh aparat yang berwajib yaitu kepolisian atau kejaksaan atas permintaan panitia khusus, yang bersangkutan dapat disandera lima belas hari oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37 20. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, panitia angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna, kemudian laporan tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. 21. Pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket, didahului dengan laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi, kemudian keputusan tersebut disampaikan kepada Presiden. 22. DPR dapat menindaklanjuti keputusan sesuai dengan kewenangan DPR menurut peraturan perundang-undangan.38 37 Republik Indonesia, Pasal 169, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009. 38 Republik Indonesia, Pasal 170, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009. 28 Dalam melaksanakan hak angket, maka dibentuklah panitia khusus hak angket. Panitia khusus ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 pasal 136 sampai pasal 141. Penjelasannya sebagai berikut: 1. Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.39 2. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. 3. Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak tiga puluh orang.40 4. Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. 5. Pimpinan panitia khusus terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. 6. Pemilihan pimpinan panitia khusus dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.41 7. Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna. 8. Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR. 9. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai. 10. Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.42 11. Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPR.43 39 Republik Indonesia, Pasal 136, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 40 Republik Indonesia, Pasal 137. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 41 Republik Indonesia, Pasal 138, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 42 Republik Indonesia, Pasal 139, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 43 Republik Indonesia, Pasal 140, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 29 12. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja panitia khusus diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.44 E. Landasan Teori 1. Teori Lembaga Negara Ketentuan UUD 1945 hasil amandemen sama sekali tidak terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi “Lembaga Negara”, sehingga banyak pemikir hukum Indonesia yang melakukan penemuan hukum untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep Lembaga Negara. Pengertian di atas juga memberi contoh frasa yang menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif.45 Secara definitif, Lembaga Negara adalah institusi-institusi yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi negara.46 Has Natabaya dalam Ernawati Munir mengatakan bahwa istilah badan, organ, atau lembaga mempunyai makna yang esensinya kurang lebih sama. Ketiganya dapat digunakan untuk menyebutkan suatu organisasi yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan pemerintahan negara. Namun demikian perlu 44 Republik Indonesia, Pasal 137. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. 45 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 905. 46 Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, cet.I, edisi revisi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h.241. 30 ditekankan adanya konsistensi penggunaan istilah agar tidak digunakan dua istilah untuk maksud yang sama. Secara sederhana istilah Organ Negara atau Lembaga Negara dapat dibedakan dari perkataan Organ atau Lembaga Swasta, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintah. Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai Lembaga Negara. Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.47 Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat delapan buah organ negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional dari UUD Delapan lembaga negara tersebut dibagi atas 4 kekuasaan dan satu Lembaga Negara Bantu sebagai berikut: Pertama, Kekuasaan Legislatif, yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tersusun atas: Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; Kedua, Kekuasaan Eksekutif, yaitu: Presiden dan 47 Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.27. 31 Wakil Presiden; Ketiga, Kekuasaan Yudisial, meliputi: Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.48 Kekuasaan terakhir adalah di bidang Eksaminatif (Inspektif), yaitu: Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga Negara Bantu (the state auxiliary body), yaitu Komisi Yudisial. Di samping kedelapan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu: (1) Tentara Nasional Indonesia, (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (3) Pemerintah Daerah, dan (4) Partai Politik. 49 Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan undangundang, yaitu: (1) bank sentral yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (2) Komisi Pemilihan Umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil.50 Oleh karena itu, dapat dibedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang, bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. 48 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet.I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.151. 49 Titik Triwulan Tutik, Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasaca Amandemen UUD 1945, cet.I, (Jakarta: Kencana, 2010), h.176. 50 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h.151. 32 Lembaga Negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UndangUndang merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.51 2. Teori Lembaga Perwakilan Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk memungkinkan anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orang-orang yang menjalankan tugas kenegaraannya. Teori lembaga perwakilan muncul karena asas demokrasi langsung, menurut Rousseau tidak mungkin lagi dapat dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara, dan bertambah rumitnya urusan kenegaraan.52 Adanya penyerahan kekuasaan rakyat pada Caesar yang secara mutlak diletakkan pada Lex Regia menurut orang Romawi dapat dianggap Caesar itu sebagai suatu perwakilan. Pada abad menengah mulai nyata timbul lembaga perwakilan yaitu pada saat sistem monarki feodal yang memungkinkan para feodal menguasai tanah dan orang di atas tanah tersebut. Dalam teorinya ada beberapa macam dari lembaga perwakilan: a. Teori Mandat 51 52 Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi, h.60. Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Cet: VII, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 143. 33 Si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di Perancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka teori mandat inipun terus menyesuaikan diri sesuai dengan kebutuhan zamannya. b. Teori Organ Teori organ muncul melalui pemikiran Von Gierke, menurut teori ini negara merupakan suatu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapannya seperti Eksekutif, Parlemen, dan mempunyai rakyat yang kesemuanya mempunyai fungsi masing-masing dan saling ketergantungan satu sama lain. Maka sesudah rakyat memilih Lembaga Perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri lembaga tersebut dan lembaga ini bebas berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. c. Sifat Perwakilan Umumnya perwakilan mempunyai kelemahan jika dipilih lewat pemilihan umum, karena yang terpilih biasanya adalah orang populer karena reputasi politiknya, tetapi belum tentu menguasai bidang teknik pemerintahan dan perekonomian. Sedang para ahli sukar terpilih melalui perwakilan politik ini, apalagi dengan sistem pemilihan distrik.53 53 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, h. 149. 34 Di Negara maju kelemahan ini kurang terasa, karena tingkat pengetahuan dan pendidikan sudah begitu maju. Lain halnya dengan negara berkembang, menganggap bahwa perlu mengangkat orang-orang tertentu di dalam Lembaga Perwakilan disamping melalui pemilihan umum karena masih belum sangat siap dibandingkan negara maju. 3. Teori Kedaulatan Rakyat Teori kedaulatan rakyat dikemukakan oleh J.J.Rousseau dan Imanuel Kant. J.J.Rousseau mengemukakan pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia berpendapat sebagai berikut: “kedaulatan rakyat itu pada prinsipnya merupakan cara atau sistem mengenai pemecahan sesuatu soal menurut cara atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Jadi, kehendak umum hanyalah khayalan saja yang bersifat abstrak dan kedaulatan itu adalah kehendak umum”54 J.J.Rousseau memfokuskan kedaulatan rakyat pada kehendak umum. Kehendak umum yang dimaksud disini adalah kesatuan yang dibentuk individu dan mempunyai kehendak. Kehendak individu-individu diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Sementara Immanuel Kant juga mengemukakan pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia berpendapat bahwa: “tujuan negara adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam pengertian kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan yang membuat undangundang adalah rakyat sendiri. Undang-undang merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatan” 55 54 Soehino, Ilmu Negara, ed.3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 161. 55 Soehino, Ilmu Negara, h.161. 35 Teori kedulatan rakyat juga terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan teori kedaulatan rakyat disajikan berikut ini. 1. Rakyat dapat memberitahukan pada pemerintah keluhan-keluhan yang dirasakan. 2. Rakyat mampu menentukan siapa pemimpin yang dia inginkan. Degan ini semua inspirasi rakyat dapat tertampung sebagai proses menuju kesejahteraan. 3. Kezaliman dapat diberantas karena yang memiliki kekuasaan adalah rakyat56 Jadi, jika pemimpin ingin melakukan kezaliman, pemimpin tersebut dapat dilengserkan. Kekurangan teori kedaulatan rakyat adalah sebagai berikut: 1. 2. 56 h.133. Dengan adanya pucuk kekuasaan diserahkan pada rakyat, dikhawatirkan sulit untuk memerintah. Contohnya apabila terjadi perang dengan negeri Jiran, dan seumpama rakyat di negara tersebut menolak untuk berjuang dan memilih untuk mengungsi, kedaulatan negara tersebut akan dirampas oleh kekuasaan lain. Ini merupakan salah satu penghinaan terhadap negara yang berdaulat karena pemerintah tidak berkuasa untuk mengumpulkan kekuasaan yang dimilikinya demi memberantas kezaliman dari pihak luar. Kalau rakyat yang memiliki kekuasaan tersebut, sedangkan mereka bukanlah orang yang benar-benar mengerti secara dalam ilmu tentang ilmu politik dan filsafat, lalu mereka menghendaki sebuah kebijakan yang sebenarnya secara realita akan menjalaskan kemakmuran negara, pemerintah yang memerintah pasti kesulitan untuk memberi kebijakan yang terbaik untuknya. Ini dibuktikan pada negara-negara yang melakukan sistem demokrasi bebas yang rakyatnya masih banyak tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk berpikir lebih jauh tentang kemaslahatan negaranya. Contohnya adalah Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya. Salim, HS. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, ed.1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 36 3. Apabila rakyat secara mayoritas ingin melegalkan sesuatu yang dianggap negatif, pemerintah tidak dapat menghalangi ini. Dengan ini, negara akan menjurus pada kesesatan yang membawa pada negatif moral etika dan moral kepercayaan. Dampak permasalahan ini sangat berbahaya karena akan membawa negara menjadi tidak stabil dari segi moral. Tanpa moral, negara akan terjerumus pada kriminalitas.57 Walaupun teori kedaulatn rakyat terdapat kekurangan, kebanyakan negara di dunia mengikuti teori kedaulatan rakyat dalam penyelenggara negara. Hal ini disebabkan karena rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam penyelenggaraan negara. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan hak angket maka jelas DPR merupakan representatif dari rakyat yang berhak menjalankan tugas pengawasannya terhadap pemerintah, yaitu dengan cara menggunakan hak angket. 57 H.Salim, HS. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, h.133. 37 BAB III HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Sesuai dengan konsep trias politica, DPR merupakan bagian dari kekuasaan legislatif di tingkat pusat, sedangkan ditingkat daerah dipegang oleh DPRD. Selama ini terjadi banyak perubahan baik dari fungsi dan wewenang DPR sejak dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga pasca reformasi saat ini terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sejarah perkembangan DPR di Indonesia sebagai berikut: 1. Masa Sebelum Kemerdekaan Volksraad (1918-1942) Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918). Volksraad hanya dirancang oleh Belanda sebagai konsesi untuk dukungan popular dari rakyat di tanah jajahan terhadap keberadaan Pemerintahan Hindia Belanda.58 Pada tanggal 8 Maret 1942 setelah kedatangan penjajah Jepang kemudian Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian 58 T.A.Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 16. 38 penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan. 2. DPR Pada Masa Orde Lama Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. KNIP merupakan badan pembantu presiden yang pembentukannya didasarkan pada keputusan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa ini bangsa Indonesia masih di hadapkan kepada persoalan pengakuan kemerdekaan dari negara lain.59 Pada masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) kewenangan yang dimiliki DPR terus berkembang. Hal ini ditandai dengan hak yang dimiliki DPR antara lain: hak budget, hak inisiatif, dan hak amandemen, menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) bersama-sama dengan pemerintah, hak bertanya, hak interpelasi, dan hak angket.60 Pada tahun 1959 Presiden mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya menyatakan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, maka keterwakilan yang dimiliki DPR 59 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998), Cet.XIX, h. 331. 60 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 24. 39 menjadi terbatas. DPR bekerja dalam suatu rangka yang lebih sempit, dalam arti hak-haknya kurang luas dalam Undang-Undang Dasar 1945 jika dibandingkan dengan UUD RIS 1945 dan UUD 1950.61 Pada saat DPR Gotong-Royong (DPR-GR) didirikan dengan penetapan presiden No 4 Tahun 1960 yang mengatur susunan DPR-GR. DPR-GR ini berbeda sekali dengan DPR sebelumnya, karena DPR-GR bekerja dalam susunan dimana DPR ditonjolkan peranannya sebagain pembantu pemerintah, yang tercermin dalam istilah Gotong Royong. Perubahan fungsi ini tercermin dalam istilah Gotong-Royong. Perubahan fungsi ini tercermin di dalam tata tertib DPRGR yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.14 Tahun 1960.62 3. DPR Pada Masa Orde Baru Dalam suasana penegakkan Orde Baru sesudah terjadinya G 30 S/PKI, DPR-GR mengalami perubahan, baik mengenai keanggotaan maupun wewenangnya. Selain itu juga diusahakan agar tata kerja DPR-GR lebih sesuai dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru. 61 B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), Edisi Revisi, h. 118. 62 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 336. 40 Sesudah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan Orde Baru, akhirnya berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presidden Soekarno, dengan menetapkan bahwa pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.63 Sejak Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar.64 Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak. Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya 63 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.338. 64 B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, h. 178. 41 sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto. 4. DPR Pada Masa Reformasi DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil, pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. 65 Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketetapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri. Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat). Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada 65 B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, h. 181. 42 beberapa perubahan penting yang terjadi.66 Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. B. Peran dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat DPR adalah Lembaga Tinggi Negara di Indonesia yang secara formil dan materiil mewakili rakyat Indonesia dalam sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Ditinjau dari aspek ketatanegaraan, DPR memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut:67 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang; Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas; Anggota DPR berhak mengajukan usul Rancangan Undang-Undang; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang selanjutnya. DPR sebagaimana telah disebutkan tentang tugas dan kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka membatasi kekuasaan agar tidak berrtindak sewenang-wenang, rakyat kemudian memilih perwakilannya untuk duduk dalam pemerintahan.68 DPR juga dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden jika presiden melanggar haluan negara yang telah ditetapkan Undang-Undang Dasar atau 66 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 341. 67 Republik Indonesia. Pasal 20-22, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 68 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 38. 43 MPR maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar dapat meminta pertanggungjawaban Presiden.69 Dalam rangka menjalankan peran DPR tersebut, DPR dilengkapi dengan beberapa fungsi utama yaitu: a. b. c. C. Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang. Selain itu, dalam tata tertib DPR disebutkan badan Legislasi memiliki tugas merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu masa keanggotan DPR dan setiap tahun anggaran dengan menginventrisasi masukan dari anggota fraksi, Komisi, DPD, dan masyarakat untuk ditetapkan menjadi keputusan Baleg.70 Fungsi anggaran adalah fungsi DPR bersama-sama dengan peemerintah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan harus mendapatkan persetujuan DPR.71 Kedudukan DPR dalam penetapan APBN sangat kuat karena DPR berhak menolak RAPBN yang diajukan Presiden.72 Fungsi pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang yang dijalankan oleh pemerintah, khususnya pelaksanaan APBN serta pengelolaan keuangan negara dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.73 Hubungan Hak Angket Dengan Dewan Perwakilan Rakyat Pada masa era reformasi, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat telah berpengaruh terhadap struktur ketatanegaraan, susunan DPR serta hubungan DPR dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Struktur ketatanegaraan ini mengarah kepada terciptanya mekanisme check and balances antar 69 B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, h. 189. 70 FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 95. 71 Republik Indonesia, Pasal 20A ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. 72 FORMAPPI, Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan, (Jakarta: FORMAPPI, 2009) h. 162. 73 Laporan DPR periode 1999-2004, h. 67. 44 lembaga negara khususnya antar tiga cabang kekuasaan yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.74 UUD 1945 hasil amandemen semakin menegaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem Presidensiil dengan menetapkan ketentuan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi dipilih oleh MPR. Sesuai dengan kondisi tersebut, Presiden tidak bertanggung jawab secara politis kepada MPR. Namun, Presiden memiliki pertanggung jawaban hukum apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Pada sisi Yudikatif, UUD 1945 dan perubahannya menetapkan tiga lembaga yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan Yudikatif, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan dalam pencalonan Hakim Agung, hakim Konstitusi, dan Anggota Komisi Yudisial. Pada sisi Kekuasaan Legislatif, terjadi penataan kelembagaan yang ditandai dengan reposisi dan penegasan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang serta terbentuknya lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Selain itu, terdapat satu penegasan bahwa DPR adalah lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada lagi anggota yang diangkat yaitu Utusan Golongan dan ABRI. 74 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 282. 45 Dari ketiga kekuasaan tersebut, ternyata dalam tataran implementasinya masih dijumpai berbagai macam persoalan dalam kaitannya dengan pola hubungan yang terbangun antar lembaga negara tersebut. Perubahan konstitusi yang diikuti dengan pembentukan dan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan adalah untuk terbentuknya perimbangan fungsi dan tugas lembaga-lembaga negara khhususnya lembaga Eksekutif dan Legislatif, juga dimaksudkan untuk saling mengimbangi dan saling mengawasi yang bekerja sama sistemik, berdasarkan aturan-aturan yang ada. Dengan diamandemennya UUD 1945, telah terjadi pergeseran dari stigma executive heavy menjadi legislative heavy.75 Peran DPR menjadi menonjol, karena konstitusi dan peraturan perundang-undang telah mengatur demikian, DPR dapat mengoptimalkan peran dan fungsinya, agar bisa lebih kuat dalam pengawasannya terhadap pemerintahan dan dapat membantu kinerja pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya sesuai dengan aturan. Pasal 25 UUD 1945 hasil amandemen menentukan bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan, dan pada pasal 27 UUD 1945 hasil amandemen di tentukan bahwa DPR mempunyai Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Atas dasar hal tersebut diatas, Hak Angket dalam hubungannya dengan DPR merupakan hak yang melekat pada DPR selaku 75 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, kajian terhadap dinamika perubahan UUD1945, (Yogyakarta : FH UII Press, 2003), h. 32 46 Badan Legislatif berdasarkan ketentuan konstitusi serta peraturan perundangundangan yang berlaku. 76 Hak angket merupakan bentuk pengawasan intensif serta investigatif DPR terhadap kebijaksanaan pemerintah. Peran DPR melalui Hak Angket akan lebih konkret daripada hanya sekadar menggunakan hak meminta keterangan, karena dalam hak angket terkandung unsur dimana DPR juga ikut andil mengawal proses penyelesaian suatu kasus dan sekaligus langsung menjadi investigator dalam kasus tersebut. Dimana dengan terlibatnya DPR terhadap suatu kasus, maka diharapkan upaya penyelesaian kasus ini akan semakin menemui titik terang dan mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. D. Penggunaan Hak Angket di Beberapa Negara Dalam penggunaan hak angket, terdapat beberapa negara yang menggunakan hak angket dan dapat dijadikan sebuah perbandingan yang tepat dengan hak angket yang digunakan di Indonesia. Contohnya Amerika Serikat dipandang merupakan salah satu contoh ideal dari pemerintahan presidensial, sedangkan Inggris dipilih sebagai negara yang mewakili sistem pemerintahan parlementer. Selain Inggris, akan dijelaskan pula negara Perancis, dengan dasar pertimbangan, pertama sebagai negara asal istilah angket (enquete) kemudian Afrika Selatan. Selanjutnya akan dijelaskan tentang hak angket di beberapa negara di dunia sebagai berikut: 76 1945 Republik Indonesia, Pasal 25-27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 47 1. Amerika Serikat Parlemen Amerika Serikat biasa disebut kongres (Congress) yang terdiri dari House of Representative dan Senate.77 Salah satu fungsi non-legislatif terpenting kongres adalah kekuasaannya untuk mengadakan penyelidikan.78 Meskipun tidak ada ketentuan dalam konstitusi Amerika Serikat yang memberikan kewenangan kepada kongres untuk melakukan penyelidikan. Kekuasaan penyelidikan didapatkan berdasarkan keputusan Supreme Court dalam beberapa perkara. Dalam perkara Watkins v United States, pengadilan menjelaskan keluasan dari kekuasaan penyelidikan: “ The power of the Congress to conduct investigations is inherent in the legislative process. That power is broad, It encompasess inquiries concerning the administration of existing law as well as proposed or possibly needed statues”.79 Berdasarkan keputusan pengadilan tersebut, kekuasaan kongres untuk melakukan penyelidikan merupakan kekuasaan yang inheren dengan proses pembentukan undang-undang. Kekuasaan tersebut sangat luas, yaitu mencakup penyelidikan yang berkenan dengan administrasi baik peraturan yang sedang diajukan atau peraturan yang mungkin dibutuhkan. 77 Jhon J. Patrick, dkk, The Oxford guide to the United States Government, (Oxford: Oxford University Press, 2001), h. 729. 78 Richard C. Schroeder, Garis-Garis Besar Pemerintah Amerika, (Dinas Penerangan AS), h. 91. 79 Morton Rosenberg, Investigative Oversight: An Introduction to the Law, Practice and Procedure of Congressional Inquiry, artikel diakses pada tanggal 11 oktober 2013: http://www.house.gove.rules/95-464.htm#2. 48 Kekuasaan dalam penyelidikan kongres terbatas, tidak ada wewenang untuk mengungkap kasus kecuali jika kongres membenahi fungsinya dan bukan fungsi dari kongres untuk menggunakan undang-undang eksekutif, penyelidikan mungkin tidak akan selesai tapi harus dimulai dengan membuat tugas kongres menjadi legal atau sah (legitimate).80 Kekuasaan Kongres untuk melakukan penyelidikan, dilengkapi dengan kekuasaan subpoena, yaitu kekuasaan untuk memanggil setiap orang untuk memberikan keterangan, jika perlu di bawah sumpah atau menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan oleh kongres. Kekuasaan ini menjadi penting ketika kongres dapat memaksa kesaksian orang-orang yang tidak bersedia menjadi saksi dan menyatakan bahwa orang-orang yang menolak menjadi saksi telah menghina kongres dan bahwa orang-orang yang memberikan kesaksian palsu adalah pengucap sumpah palsu.81 2. Inggris Pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas pemerintah Inggris dilakukan melalui beberapa kesempatan, yaitu: Parliamentary Question and Answer, Ministerial Statements, Adjournment Debates, dan yang terakhir adalah 80 Kermit, L, Hall. The Oxford Companion to the Supreme Court of the United States. (Oxford: Oxford University Press, 1992), h. 920. 81 Richard C. Schroeder, Garis-Garis Besar Pemerintah Amerika, (Dinas Penerangan AS), h. 91 49 Motions of No Confidence. Dewan juga dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah melalui Select Committee System.82 Parlementary Questions merupakan cara untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan pemerintah. Selain itu juga merupakan cara yang efektif mendapatkan perhatian dan menyuarakan dari konstituen anggota. Ada dua jenis pertanyaan, yaitu lisan dan tulisan. Pertanyaan lisan dijawab oleh Menteri atau Perdana Menteri pada question time di House of Commons. Kemudian kontrol terhadap pemerintah berpuncak pada mosi tidak percaya (motion of no confidence) dilakukan House of Commons memaksa pemerintah untuk mengundurkan diri. Pelaksanaan penyelidikan biasanya dilakukan oleh Departemental Select Committees, atau komisi yang membayangi atau merupakan pasangan dari departemen pemerintah. Ruang lingkup pemeriksaan komisi adalah berkaitan dengan pengeluaran, administrasi, dan kebijakan pemerintah dari departemen atau badan publik yang lain.83 Select Committees mempunyai kewenangan untuk memanggil saksi dan meminta keterangan baik lisan maupun tertulis, atau meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen tertentu dan hasil laporan diserahkan ke Parlemen. 82 The Accountability of Government, diakses pada tanggal 12 November 2013: http://www.parliament.uk/works/account.cfm, 83 House of Commons Select Committees: Guide for Witness, diakses pada tanggal 12 oktober 2013 http://www.parliament.uk/commons/selcom/witguide.htm, 50 3. Perancis Parlemen Perancis terdiri dari National Assembly dan Senate. Parlemen mempunyai dua fungsi utama, yaitu membentuk undang-undang dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Fungsi ini dilakukan menurut ketentuan dalam konstitusi dan Peraturan Tata Tertib National Assembly.84 Kegiatan pemerintah juga dapat diawasi melalui cara temporary information assignments, yang dapat melibatkan lebih dari satu komisi yang biasanya menghasilkan laporan yang di publikasikan. Mekanisme pengawasan juga dilakukan terhadap implementasi dan evaluasi pelaksanaan undang-undang yang telah dihasilkan oleh parlemen, termasuk informasi mengenai pelaksanaan anggaran yang sedang berjalan untuk dipergunakan sebagai bahan dalam pembahasan undang-undang keuangan (Financial Bill), Parlemen juga dapat membentuk Komisi Penyelidikan (Committees of Inquiry) untuk menyelidiki fakta-fakta mengenai manajemen pelayanan publik dan perusahaan-perusahaan nasional. 4. Afrika Selatan Parlemen Afrika Selatan terdiri dari National Assembly dan National Council of Provinces.85 National Assembly yang anggotanya dipilih merupakan lembaga yang bertugas mewakili rakyat sehingga mencerminkan demokrasi, 84 The French Parliament, diakses http://www.assembleenationale.fr/english/8ad.asp 85 pada tanggal 12 oktober 2013: Constitution of South Afirica, Section 46” The National Assembly consist of no fewer than 350 and no more than 400 women and men elected as member”. 51 yaitu pemerintahan oleh rakyat berdasarkan konstitusi, dengan cara memilih Presiden, memberikan pertimbangan terhadap isu nasional, memberikan persetujuan terhadap undang-undang, dan melalui pengawasan terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Konstruksi ketatanegaraan Afrika Selatan yang termuat di dalam konstitusi digambarkan secara jelas sistem pemerintahannya, yang berdasarkan ciri tidak dipisahkannya kepala negara dan kepala pemerintahann yang dijabat oleh Presiden, maka ciri tersebut menggambarkan sistem pemerintahan Presidensial. Hal tersebut menjadi rancu ketik Presiden dipilih oleh Parlemen. Parlemen juga dapat memaksa Presiden mengundurkan diri oleh mosi tidakpercaya Parlemen. Hal tersebut terlihat ciri pemerintahan parlementer lebih menonjol. Dalam melakukan pengawasan terhadap eksekutif oleh parlemen, konstitusi memberikan kekuasaan kepada National Assembly atau setiap komisinya untuk:86 a. b. c. d. 86 Memanggil setiap orang datang ke parlemen dan memberikan bukti-bukti atau keterangan di bawah sumpah atau untuk menyerahkan dokumendokumen. Meminta setiap orang atau institusi untuk melaporkannya Memaksa setiap orang atau institusi untuk memenuhi panggilan Menerima petisi, perwakilan atau delegasi dari setiap orang atau lembaga yang berkepentingan Constitution of south Africa, Section 56 “Evidence or information before National Assembly” 52 E. Contoh Kasus Hak Angket Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1. Kasus Hak Angket Sebelum Amandemen UUD NRI Tahun 1945 (a) Masa DPR 1950-1956 Pada akhir tahun 1954 anggota DPR, Margono Djojohadi Kusumo, dan kawan-kawan, mengajukan usul resolusi yang dimaksudkan ialah supaya DPR mengadakan angket atas usaha memperoleh dan cara menggunakan devisien.87 Dibuatlah keputusan untuk membentuk panitia angket yang terdiri dari tiga belas orang anggota dengan Margono Djojohadi Kusumo sebagai ketua panitia angket. DPR menerima baik laporan tentang hasil-hasil pekerjaan panitia angket atas usaha memperoleh dan cara menggunakan devisien. Catatan yang diberikan masih harus dirahasiakan sampai ada ketentuan lain dari DPR. (b) DPR 1956-1959 DPR hasil pemilu tahun 1955 mengacu kepda UUDS Tahun 1950. DPR periode ini menggunakan hak angket untuk menyelidiki kecelakaan kereta api di Trowek, Tasikmalaya. Adapun tujuan melaksanakan Hak Angket dijelaskan dalam usulan. Hak angket menyebutkan bahwa, ”Angket digunakan untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan yang lebih luas lebih banyak dari pada keterangan pemerintah. Dengan melakukan hak angket, 87 Pertama Kali Hak Angket digunakan DPR http://www.dpr.ri.go.id.berita., Pada tanggal 29 Agustus 2013. pada tahun 1950, diakses dari 53 diharapkan agar kepercayaan masyarakat yang digambarkan dengan rasa aman dan rasa tenang” terhadap kereta api pulih kembali. Dalam pembicaraan juga ditekankan bahwa panitia angket tidak mencari sipa yang salah, akan tetapi sekedar mencari jawaban yang lengkap, mencari keterangan-keterangan yang diterima dan demikian dapat membantu kekacauan jalannya kereta api.88 2. Kasus Hak Angket Setelah Amandemen UUD NRI Tahun 1945 (a) DPR Era Reformasi Periode 1999-2004 Pasca berakhirnya orde baru, desakan demokratisasi kehidupan politik terus berlanjut. Hak Angket dibentuk DPR untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Adapun hal ini didasarkan pada:89 1) Berita di media massa tentang bobolnya dana milik Yanatera Bulog dugaan sebesar Rp 35 milyar pada bulan Mei 2000. 2) Dugaan penyimpangan pengaliran Dana Bantuan yang diberikan Sultan Brunei Darussalam sebesar $US 2 juta kepada Presiden Abdurrahman Wahid. 88 Riris Kahtarina, “mengenai hak angket melalui perjalanan sejarah DPR RI dalam berbagai prespektif tentang memorandum kepada presiden: suatu studi terhadap pemberian memorandum DPR RI kepada Presiden Abdurrahman Wahid”,h. 171. 89 Riris Kahtarina, “mengenai hak angket melalui perjalanan sejarah DPR RI dalam berbagai prespektif tentang memorandum kepada presiden: suatu studi terhadap pemberian memorandum DPR RI kepada Presiden Abdurrahman Wahid”,h. 195. 54 Berdasarkan penyelidikan panitia ditemukan fakta-fakta dugaan penyimpangan sehingga DPR mengeluarkan memorandum 1 kepada Presiden Abdurrahman Wahid (b) DPR Era Reformasi Periode 2004-2009 Pada masa ini panitia angket digulirkan untuk menyelidiki kasus-kasus berikut: 1) Kasus penjualan dua tanker milik Pertamina Diusulkan oleh 23 anggota dari delapan fraksi dan disetujui rapat paripurna pada 14 Juni 2005 dan panitia angket melaporkan hasil kerjanya yang direkomendasikan oleh panitia khusus menyangkut penjualan dua tanker berindikasikan korupsi, pemerintah diminta mencari celah penyelamatan tanker. Dihasilkanlah rekomendasi akhir dari pansus angket yaitu (1) KPK atau Kejaksaan Agung agar segera mengusut secara tuntas Laksamana Sukardi yang diduga kuat terlibat dalam kasus penjualan tanker VLCC Milik Pertamina (2) Meminta Pimpinan DPR-RI untuk menugaskan Komisi III DPR RI supaya mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung agar segera menuntaskan kasus penjualan tanker VLCC tersebut.90 2) Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Diusulkan 117 anggota dari delapan fraksi dan usulan tersebut disetujui pada Rapat Paripurna. 90 Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Rapat Paripurna Ke-16, Masa Sidang III, Tahun Sidang 2006-2007, h. 78. 55 Adapun rekomendasi yang dihasilkan ialah: semua pihak yang meneken kontrak kerjasama wajib memuat ketentuan soal prioritas penjualan migas sebesar 40% ke perusahaan nasional, mendesak pemerintah mengajukan revisi uu migas, negosiasi ulang kontrak Blok Tangguh dan Blok Cepu, dan meninjau ulang keberadaan BP Migas dan BPH Migas.91 3) Pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji pada 1429 H Diusulkan 122 anggota dari tujuh fraksi dan disetujui Rapat Paripurna pada 17 Februari 2009. Pansus menyelesaikan pekerjaannya pada 29 September 2009, sedangkan rekomendasi yang dihasilkan sebagai berikut: penyelenggara ibadah haji tahun 2001 dan 2006 dinilai gagal, mendesak Presiden memberikan tindakan tegas kepada Menteri Agama periode 2004-2009, perlunya amaandemen Undang-Undang No.13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Haji, dan perlunya rancangan UU Lembaga Keuangan Haji.92 (c) DPR era Reformasi Periode 2009-2014 Pada periode ini Hak Angket digunakan untuk menyelidiki dana Bail Out pemerintah sebesar 6,7 trilyun ke Bank Century. Penggunaan hak angket terkait dan talangan ke bank Century bergulir cepat di DPR. Sejak diusulkan oleh 139 anggota DPR, dukungan atas terus membesar. Saat 91 Parlementaria, Menuju DPR Bersih, (Jakarta: Tata Usaha Bagian Pemberitaan & Penerbitan DPR-RI, 2008), h. 75. 92 Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Rapat Paripurna Ke-11, Masa Sidang I, Tahun Sidang 2009-2010, h. 78. 56 sidang Paripurna digelar 1 Desember 2009 tercatat 503 orang dari sembilaan fraksi mendukung hak angket diputuskanlah rekomendasi bahwa bailout century menyimpang dan ,merekomendasikan agar kepolisian, kejaksaan dan KPK menyelidiki kasus century ini. 93 93 Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Rapat Paripurna Ke-14, Masa Sidang II, Tahun Sidang 2009-2010, h. 32. 57 BAB IV PENGGUNAAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 A. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945 Sejak dilakukan amandemen UUD1945 terjadi pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan presiden. Sebelumnya presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan legislatif, sekarang justru sebaliknya, kekuasaan membentuk undang-undang berada pada legislatif, sedangkan presiden hanya berhak mengajukan RUU kepada DPR.94 Amandemen UUD1945 benar-benar membawa perubahan yang sangat signifikan bagi presiden dan DPR. Bahkan banyak kalangan yang menilai telah terjadi pergeseran kekuasaan dari dominasi eksekutif (executive heave) ke dominasi legislatif (legislatif heave).95 Namun, pada dasarnya kekuasaan DPR pada orde baru tergolong sangat kuat kewenangannya, dengan adanya kekuatan DPR tersebut dapat timbul sebuah sistem check and balances, dalam hal ini fungsi pengawasannya yang dapat diaktifkan baik dalam mengawasi lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Namun, pemasalahannya adalah terlalu berkuasanya atau terlalu dominannya Golkar di lembaga legislatif dan juga presiden berasal dari Golkar. Hal inilah yang menjadi 94 Muhadam. Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan (Suatu Kajian Teori, Konsep, dan Pengembangannya), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h. 114. 95 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, kajian terhadap dinamika perubahan UUD1945, h. 32. 58 kendala karena tidak kritis dan tidak adanya kritik yang disebabkan berasal satu golongan yang menyebabkan pengawasan DPR terhadap Presiden tidak berfungsi dengan baik. Peredaman kekuasaan presiden diawali dengan amandemen terhadap pasal 7 UUD 1945 (perubahan kesatu), dan pergeseran fungsi legislasi kepada DPR dalam menyempurnakan aturan dasar konstitusi tentang supremasi hukum, hak asasi manusia, otonomi daerah, dan sebagainya. Sebagaimana pendapat Y.Hartono, sebagai berikut: “Peredaman atas kekuasaan Eksekutif dapat dipahami, sebagaimana aksioma yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa power attend to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men. Dilain pihak, meskipun Presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan legislasi, sebab kekuasaan tersebut sekarang berada ditangan DPR yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, namun presiden masih mempunyai hak mengajukan rancangan undang-undang.96 Namun dalam perubahan dari executive heave menjadi legislative heave banyak juga yang menyangsikan akan terjadi perubahan menjadi lebih baik, namun kenyataannya lebih terasa tidak jauh berbeda dengan zaman orde baru yang didominasi oleh eksekutif disegala aspek kekuasaan. Legislatif dengan dominasinya mulai banyak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan banyaknya para anggota DPR yang ditangkap oleh KPK. Maka dari itu sekarang rakyat meminta DPR membuka semua kegiatannnya secara transparan yang dapat dipantau langsung oleh rakyat. 96 Y. Hartono, Dari Supremasi Eksekutif ke Supremasi Legislatif, Cet. 1, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya, 2003), h. 36. 59 Adanya amandemen terhadap UUD 1945, sangat mempengaruhi posisi dan kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif. Perubahan radikal terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dengan mengurangi secara signifikan kekuasaan Presiden dalam membuat undang-undang menjadi proses politik di DPR sebagai kekuatan paling dominan dalam menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD. Kini supremasi DPR dalam proses legislasi menjadi sangat dominan karena Presiden tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengesahkan rancangan undang-undang. Beberapa perubahan menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam bentuk memberi persetujuan kenegaraan adalah (1) Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, (2) peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (3) pengangkatan Hakim Agung, (4) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, masih ada agenda lain yang memerlukan pertimbangan DPR, antara lain adalah (1) pengangkatan Duta dan Konsul, (2) menerima penempatan duta negara lain, (3) pemberian amnesti dan abolisi.97 Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa 97 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca reformasi. Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 118. 60 Keuangan (BPK). Di samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).98 B. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Penggunaan Hak Angket Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 Pasca Amandemen beserta Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Dalam penjelasan mekanisme atau tata cara penggunaan hak angket sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan, dimulai dengan adanya usulan untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal atau permasalahan, yang dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR. Usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada pimpinana DPR yang disertai dengan daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya, dan dinyatakan dalam suatu perumusan secara jelas tentang hal yang diselidiki yang disertai dengan penjelasan dan rancangan biaya. Kemudian di dalam rapat paripurna, setelah usul pengadaan angket diterima oleh pimpinan DPR, Ketua rapat memberitahukan kepada anggota DPR tentang 98 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia. Ed.1-2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, h. 172. 61 masuknya usul untuk mengadakan angket, yang kemudian usulan-usulan tersebut beserta penjelasan dan rancangan biayanya diberikan kepaada anggota. Selanjutnya pada rapat Badan Musyawarah DPR, membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna. Selama usulan untuk mengadakan angket belum disetujui oleh Rapat Paripurna, maka pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali. Apabila jumlah tanda tangan usul untuk mengadakan angket yang belum dibicarakan dalan Rapat Paripurna ternyata menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud pasal 166 ayat (1) tersebut, maka harus diadakan penambahan penandatanganan sehingga jumlahnya mencukupi, apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penanda tanganan tidak terpenuhi, maka usul menjadi gugur. Apabila nantinya Rapat Paripurna menyetujui pengadaan angket maka dibentuk Panitia Khusus dan keputusan DPR untuk mengadakan angket. Terhadap hasil Keputusan DPR ini, Panitia Khusus selanjutnya memberikan laporan tertulis secara berkala sekurang-kurangnya sekali sebulan kepada Pimpinan DPR, kemudian laporan tersebut dibagikan kepada seluruh anggota, dan atas usul sekurang-kurangnya 25 orang anggota tersebut, untuk selanjutnya dibuat laporan berkala yang nantinya menjadi bahan pembicaraan dan pembahasan dalam Rapat Paripurna, kecuali apabila nantinya Badan Musyawarah akan menentukan lain.99 99 Sebastian Salang dkk, Panduan Kinerja DPR/DPRD Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 174. 62 Setelah Panitia Khusus menyelesaikan pekerjaannya, Panitia Khusus akan memberikan laporan tertulis kepada pimpinan DPR, kemudian laporan tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Terhadap pengambilan keputusan tentang laporan Panitia Khusus tersebut akan didahului dengan laporan hasil Panitia Khusus dan pendapat akhir Fraksi-Fraksi yang berada di DPR, yang kemudian keputusan yang diambil tersebut kemudian akan disampaikan kepada Presiden. Apabila dilihat dari Pembahasan yang berkenaan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD beserta Peraturan Tata Tertib DPR RI Nomor.01/DPRRI/2009 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, maka dapat dilihat penggunaan hak angket pada masa sebelum UUD 1945 di amandemen memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat memberhentikan Presiden di masa jabatannya, apabila Pemerintah yang dalam hal ini Presiden dianggap telah melanggar Undang-Undang atau terlibat kejahatan. Apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran Hukum yang menciderai Undang-Undang, maka DPR dapat langsung melakukan pengajuan memorandum 1 dan memorandum 2 kepada Presiden, untuk selanjutnya DPR dapat mengajukan kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa. .100 100 Untung Wahyono, Peran Politik Poros Tengah dalam Kancah Pepolitikan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 192. 63 Di dalam Sidang Istimewa inilah kedudukan jabatan Presiden ditentukan, apakah akan terjadi pemakzulan atau tidak terjadi sama sekali, tergantung dari putusan di dalam Sidang Istimewa MPR Hal ini pernah terjadi pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terkait dengan kasus Buloggate 1 dan Buloggate 2 serta kasus Brunneigate, karena kasus tersebut timbullah hak angket untuk menyelidiki kasus tersebut. Hal tersebut memicu kemarahan Presiden dengan mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan DPR. Sehingga terjadi sidang istimewa kelanjutan dari hak angket DPR yang memutuskan di dalam Sidang Istimewa tersebut dengan keputusan pemberhentian Presiden Republik Indonesia karena terbukti telah melanggar Undang-Undang.101 Terhadap penggunaan Hak Angket pada masa setelah Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen justru memiliki peluang yang lebih kecil bagi DPR untuk dapat memberhentikan Presiden di masa jabatannya, karena sesuai ketentuan Konstitusi Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, prosedur pemberhentian Presiden harus melalui berbagai mekanisme, yaitu atas pengajuan DPR kepada Mahkamah Konstitusi tentang berbagai macam alasan pelanggaran yang telah dibuat oleh Presiden untuk dinyatakan telah melanggar atau tidak melanggar Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945. 101 A.R. Loebis, Belantara Kebangsaan, cet.I, (Yogyakarta: Jendela Yogyakarta, 2001), h. 112. 64 Mahkamah Konstitusi kemudian dengan melalui surat Putusannya kepada DPR tentang dinyatakan telah atau tidaknya Presiden telah melanggar UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk kemudian apabila dinyatakan telah melanggar maka DPR dapat mengajukan Sidang Istimewa kepada MPR berdasarkan surat Keputusan Mahkamah Konstitusi dan untuk selanjutnya di limpahkan melalui Sidang Istimewa MPR baru dinyatakan bahwa Presiden berhenti atau tidak berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Contoh mengenai penggunaan hak angket pada masa sekarang ini tercermin dalam kasus Bank Century dan dalam kasus bahan bakar minyak tahun 2008. Namun ada yang menarik dalam penggunaan hak angket, selain dimana persetujuan penggunaan hak angket ini sebagai puncak dari kekecewaan DPR atas beberapa kali pemanggilan terhadap Presiden untuk dimintai keterangannya (interpelasi) tetapi semua pemanggilan diwakilkan kepada para menterinya dalam pemberian keterangan di DPR.102 Berdasarkan kesepakatan dalam Sidang Paripurna dalam penggunaan hak angket ini bukan ditujukan untuk memanggil Presiden ataupun sampai bermaksud berupaya untuk memberhentikan Presiden, namun justru adalah upaya DPR untuk membantu Pemerintah dalam hal ini Presiden untuk membuka (transparan) secara jelas dan obyektif atas dugaan kegiatan mafia minyak yang selama ini berlangsung sangat tertutup, sebagai salah satu indikator yang menyebabkan keterpurukan 102 43. Arif Rahman, “Tinjaun Yuridis Penggunaan Hak Angket Dalam Kasus Bank Century,” h. 65 ekonomi dan juga dalam kasus Bank Century yang telah merugikan negara hingga trilyunan. C. Permasalahan Dalam Penggunaan Hak Angket Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Dalam pelaksanaan hak angket DPR yang pernah dilakukan terdapat beberapa permasalahan-permasalahan antara lain: 1. Mengenai ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengenai sifat pelaksanaan hak angket. Mengenai hal ini pernah menjadi permasalahan pada masa pengusulan hak angket mengenai penyelidikan kasus Dana Milik Yanatera Bulog dan Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Dimana pada saat memberikan kesaksian para saksi meminta agar didampingi oleh pengacara.103 Namun hal ini bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang hak angket pasal 23 ayat (1) yang mengarahkan pemeriksaan dilakukan dalam rapat tertutup. Sedangkan dalam Pasal 240 ayat (1) Tata Tertib DPR 2009 Rapat tertutup adalah rapat yang hanya boleh dihadiri oleh anggota dan mereka yang diundang. Sehingga kehadiran pengacara dianggap sebagai pihak yang tidak diizinkan untuk hadir dalam rapat pemeriksaan hak angket. 103 Rodjil Ghufron, Ketegangan Presiden dan Parlemen, Sebuah Catatan dari Senayan. cet.I, (Jakarta: Factual Analysis Forum, 2001), h. 88. 66 Namun disisi lain hak untuk didampingi penasehat hukum adalah Hak Asasi manusia, sehingga jika hal ini tidak dipenuhi maka dianggap sebagai suatu pelanggaran. Mengenai sifat pemeriksaan hak angket secara secara khusus diatur dalam undang-undang nomor 6 tahun 1954. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan apakah pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara tertutup atau terbuka. Beberapa pertimbangan menngapa pemeriksaan hak angket dilakukan secara tertutup:104 a. Dalam penyelidikan hak angket sering kali akan bertemu dengan keterangan-keterangan yang bersifat rahasia, sehingga dikhawatirkan apabila pemeriksaan dilakukan secara terbuka, informasi tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. b. Keterangan yang diperlukan tidak dapat dipublikasikan sebelum berakhirnya masa kerja Pansus demi kelancaran kerja Pansus sendiri dalam mencapai tujuan. c. Pemeriksaan yang dilakukan oleh DPR adalah bukan sebagai proses hukum melainkan proses politik, hal ini didasarkan dengan fungsi DPR sebagai fungsi legislatif bukan sebagai lembaga pemegang kekuasn Yudikatif. Dengan demikian hal yang ditakutkan adalah pernyataan politik tersebut diartikan sebagai pernyataan hukum oleh masyarakat dan pada 104 Lesmana, Hak Angket Sebagai Hak DPR: Mekanisme dan Implikasinya Terhadap Kemungkinan Pemakzulan, (Jakarta: Fakultas Hukum ,Universitas Indonesia, 2010), h. 77. 67 akhirnya merugikan saksi itu sendiri. Hal ini terkait dengan opini masyarakat. d. Amanat Undang-Undang Hak Angket untuk melaksanakan pemeriksaan dengan rapat tertutup. Beberapa pertimbangan untuk melaksanakan pemeriksaan hak angket dalam rapat terbuka a. Mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap DPR dalam rangka menegakkan demokrasi b. Mewujudkan transparansi sesuai dengan tuntutan masyarakat saat ini. c. Menghindari opini publik akan terjdinya KKN ataupun kepentingan politik dalam proses penyelidikan hak angket. 2. Mengenai Hasil Hak Angket Mengenai hasil hak angket seringkali memiliki dampak politik terhadap pihak tertentu. Misalkan dalam hak angket mengenai penyidikan kasus Dana Milik Yanatera Bulog dan Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam kepada Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR membentuk Pansus hak angket Buloggate dan Bruneigate.105 Dimana pada akhirnya penyelidikan mengeluarkan kesimpulan: 105 Akbar Tanjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di tengah Turbulensi Politik Era Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 279. 68 1. Dalam Kasus Dana Yanatera Bulog, Pansus berpendapat: “Patut diduga bahwa Presiden Abdurrahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan Dana Yanatera Bulog.” 2. Dalam kasus dana bantuan Sultan, Pansus berpendapat: “Adanya inkonsistensi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang masalah Bantuan Sultan Brunei Darussalam menunjukan bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat.” Kemudian DPR mengeluarkan Memorandum I yang isinya mengingatkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara yaitu: a. Pasal 9 UUD 1945, tentang sumpah jabatan; dan b. Melanggar TAP MPR no. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebaas KKN.106 Sesuai dengan TAP MPR no. XI/MPR/1998 ternyata hingga turunnya memorandum ke III Presiden tidak menanggapinya sehingga berujung pada sidang istimewa MPR dan berakibat diturunkannya Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia. Ada hal yang menarik didalam proses penyelidikan Hak Angket yaitu terdapat proses hukum terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dimana didalam keputusan Kejaksaan Agung tersebut disimpulkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti terlibat dalam 106 Untung Wahyono, Peran Politik Poros Tengah dalam Kancah Pepolitikan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h. 192. 69 kasus Bulog dan Brunei sehingga tidak mungkin untuk ditingkatkan ke proses penyidikan apalagi penuntutan. Namun pada kenyataannya Presiden Abdurahman Wahid tetap di Impeachment oleh MPR, sehingga unsur politiknya terlihat jelas. Berbeda dengan sebelumnya, dibawah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, terdapat beberapa ketentuan yang berbeda dan lebih menghasilkan kepastian hukum bagi hasil hak angket. Beberapa perubahan telah dijelaskan sebelumnya yaitu: a. Hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment Presiden oleh MPR b. Dicabutnya TAP MPR Nomor. III/MPR/1978, sehingga tidak ada lagi proses memorandum yang diberikan DPR kepada Presiden Hasil hak angket tidak dapat lagi langsung diarahkan terhadap memorandum terhadap Presiden tetapi dilanjutkan dengan penggunaan hak untuk menyatakan pendapat, dimana hak menyatakan pendapat ini kemudian diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan dikembalikan lagi ke DPR kemudian DPR mengusulkan diadakannya Sidang Istimewa kepada MPR untuk meminta pertanggung jawaban terhadap Presiden.107 Sehingga tidak mengherankan jika dikatakan bahwa Proses penyelidikan yang dilakukan di DPR adalah proses politik karena proses tersebut tidak juga 107 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945, h. 123. 70 dapat dikatakan sebagai proses hukum. Mengenai hal ini sangat jelas jika kita mengambil contoh hak angket dalam penyelidikan Kasus Yanatera Bulog dan Dana Bantuan Sosial Brunei Darussalam kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Dari contoh diatas kasus tersebut dapat kita tarik kata “patut diduga” dan “Inkonsistensi Pernyataan”. Empat kata itu menunjukkan bahwa DPR menyadari bahwa bukan merupakan kewenangannya menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak. Ditambah lagi dengan keterangan Kejaksaan Agung bahwa Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti terlibat dalam kasus Bulog dan Brunei.108 Dengan demikian jika kita berpegang pada hukum, seharusnya Presiden Abdurrahman Wahid tidak dijatuhkan dalam impeachment, karena proses hukum menyatakan dia tidak bersalah. Pada hakikatnya wewenang hak angket yang dimiliki DPR merupakan suatu bentuk amanat yang akan di pertanggungjawabkan. Hal ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 58, Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah 108 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945. h. 100. 71 memberi pengajaran yang sebaik-baiknyakepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(Q.S. An-nisa,4: 58) Namun, saat ini khusus dalam mengenai hasil penyelidikan yang memiliki indikasi terlibatnya presiden atau wakil presiden dalam pelanggaran Undang-Undang, terdapat Mahkamah Konstitusi yang menilai benar tidaknya dugaan tersebut. Sehingga diharapkan hasil hak angket secara tidak langsung telah disahkan oleh Mahkamah konstitusi dan tidak lagi sebagai hasil politik. Meskipun pada akhirnya keputusan impeachment tetap berada di MPR namun dapat dikatakan tidak murni politik. Dalam Undang-Undang Hak angket pasal 25 menegaskan “dengan tidak mengurangi ketentuan yang tersebut dalam pasal 26 maka segala keterangan yang diberikan kepada panitia angket tidak dapat dipergunakan sebagai bukti dalam peradilan terhadap saksi atau ahli itu sendiri yang memberikan keterangan atau terhadap orang lain”.109 Dalam ketentuan ini jelas bahwa barang bukti dan keterangan yang didapatkan dalam pemeriksaan hak angket tidak dapat dipergunakan dalam pengadilan lain. Hal ini karena DPR bukanlah alat penegak hukum, sehingga pemeriksaan yang dilakukan oleh DPR bukanlah proses pro yustisia. Namun hal ini tidak berarti bahwa proses hak angket tidak mendukung penegakan hukum. Menurut penulis hal ini dapat kita kembalikan pada fungsi pengawasan dalam menegakkan prinsip check and balances dalam sistem 109 Republik Indonesia, Pasal 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket. 72 Presidensial. Hak angket dapat menjadi pemberi alasan atau langkah pertama untuk memberikan kewenangan penegak hukum dalam melakukan pro yustisia kepada pemerintah. Dalam kasus menyangkut Presiden atau Wakil Presiden keberadaan hak angket sangat penting sekali karena Presiden dan Wakil Presiden adalah pemimpin tertinggi Kepolisian dan Kejaksaan dimana mereka di bawah ranah eksekutif.110 Dengan demikian kekhawatiran atas tidak tegaknya hukum sangat besar dengan dilimpahkan secara utuh permasalahan ini kepada jaksa dan polisi. Namun tidak berarti juga proses di DPR yang penuh dengan kepentingan politik dibiarkan begitu saja berjalan tanpa ada kepastian hukum. Hadirnya Mahkamah Konstitusi memberikan kepastian hukum dan melegalkan proses tersebut dengan keputusannya dalam proses impeachment. 110 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), h. 30. 73 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan penulis adalah terjadinya beberapa permasalahan dalam penggunaan hak angket oleh DPR terutama disaat pasca reformasi, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dalam penggunaan hak angket DPR pasca amandemen UUD 1945 lebih banyak permasalahan dan kompleks. Hal ini dikarenakan timbulnya era reformasi yang lepas dari rezim otoriter zaman orde baru, sehingga memungkinkan terjadinya kebebasan berpedapat terhadap kebijakan pemerintah dan meningkatnya efektifitas dalam fungsi pengawasan, fungsi anggaran dan fungsi legislasi. 2. Dalam penggunaan hak angket terjadi terutama dalam pendampingan saksi oleh pengacara masih belum jelas. Hal ini dikarenakan terdapat saksi belum mengerti proses kesaksian yang terkadang Anggota DPR dalam meminta keterangan sering melebihi kewenangan, seolah-olah seperti jaksa penuntut umum. Padahal proses di DPR hanyalah proses politik. 3. Sifat pemeriksaan Hak Angket selalu dilakukan dengan cara terbuka, padahal amanah Undang-Undang Hak angket diperintahkan secara tertutup. Hal ini juga membuat ketidakjelasan dalam proses pemeriksaan hak angket. 4. Dalam kasus pengunaan hak angket pada saat kasus Bulooggate dan Bruneigate saat Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, penyelidikan kasus tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan aspek hukum karena kejaksaan Agung 74 menyimpulkan bahwa presiden tidak terbukti terlibat. Namun proses hak angket tetap memberi memorandum 1 dan 2 sehingga prosesnya benar-benar proses politik dan tidak mempertimbangkan dari aspek hukum. 5. Hasil penyelidikan hak angket DPR tidak bisa dijadikan barang bukti dan keterangan di dalam proses pengadilan. Hal ini karena DPR bukanlah alat penegak hukum, sehingga pemeriksaan yang dilakukan DPR pro yustisia. B. Saran-saran Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis merasa perlu untuk menyampaikan saran-saran sebagai berikut: 1. DPR hendaknya agar membuat Peraturan tentang hak angket lebih jelas, terutama tentang proses mekanisme penggunaan hak angket agar tidak multi tafsir, sehingga tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam proses penggunaan hak angket. 2. Penulis menyarankan agar hasil hak angket dapat menjadi dijadikan bukti di dalam proses pengadilan, karena selama ini hasil penyelidikan dari hak angket tidak bisa dijadikan bukti dalam proses pengadilan. Hal ini menyebabkan terjadi pemborosan, tidak efisiennya kinerja anggota DPR bahkan buang-buang anggaran dalam proses penyelidikan hak angket DPR. 3. Harus ada sanksi tegas terhadap anggota DPR apabila dalam mengunakan hak angket melanggar, menyalahgunakan, dan keluar dari aturan-aturan mekanisme penggunan hak angket. 75 DAFTAR PUSTAKA Kitab Suci Al Qur’an dan Terjemahan. Buku-Buku A.Garner, Bryan. Black Law Dictionary. Ninth Edition. West Group, 2009. Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. __________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. cet.I. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Boboy, Max. DPR RI dalam Prespektif dan Sejarah dan Tata Negara. Jakata: Pustaka Sinar Harapan, 1994. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. XIX. Jakarta: Dian Rakyat, 1998. Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Cet: VII. Jakarta: Bumi Aksara, 2010. Friedrich, Carl Joachim, Constitutional Government and Democracy, 1950 (especcially chap.I and the literature given there). __________, Filsafat Hukum, (The University of Chicago Press, 1969). Ghufron, Rodjil. Ketegangan Presiden dan Parlemen, Sebuah Catatan dari Senayan. cet. I. Jakarta: Factual Analysis Forum, 2001. Hall, Kermit, L. The Oxford Companion to the Supreme Court of the United States. Oxford: Oxford University Press, 1992 Hartono, Y. Dari Supremasi Eksekutif ke Supremasi Legislatif, cet. I. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya, 2003. 76 HS, H. Salim. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, ed.1. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. cet.I,. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Kahtarina, Riris. “mengenai hak angket melalui perjalanan sejarah DPR RI dalam berbagai prespektif tentang memorandum kepada presiden: suatu studi terhadap pemberian memorandum DPR RI kepada Presiden Abdurrahman Wahid”, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jenderal DPR RI, 2002). Karjadi, M dan Soesilo, M. KUHAP dengan Penjelasan resmi dan Komentar. Politeia: Jakarta, 1997. Kusnardi, Moh dan Saragih, Bintan. Ilmu Negara, cet.I. edisi revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Labolo, Muhadam. Memahami Ilmu Pemerintahan (Suatu Kajian Teori, Konsep, dan Pengembangannya). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Legowo, T,A. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: FORMAPPI, 2005. Loebis, A.R. Belantara Kebangsaan, cet I. Yogyakarta: Jendela Yogyakarta, 2001. Mahmud, Peter, Marzuki, Penelitian Hukum. cet.VI. Jakarta : kencana, 2010. Marbun, BN. DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Patrick, Jhon, J dkk, The Oxford guide to the United States Government, (Oxford: Oxford University Press, 2001 Salang, Sebastian dkk. Panduan Kinerja DPR/DPRD Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan. Jakarta: Forum Sahabat, 2009 Schroeder, Richard, C. Garis-Garis Besar Pemerintah Amerika, (Dinas Penerangan AS). 77 Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Himpunan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1945-1971. BP.KNIPDPR Pemilu II. Soehino. Ilmu Negara. ed.III. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005. Soemantri, Sri, dkk. Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1993. Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum. Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979. Tambunan, Arifin Sari Surunganlan. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Suatu Studi Analisis Mengenai Pengaturannya Tahun 1966-1997. .Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1998. Tanjung, Akbar. The Golkar Ways: Survival Partai Golkar di tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Triwulan, Titik, Tutik. Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasaca Amandemen UUD 1945. cet.I. Jakarta: Kencana, 2010. Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Wahyono, Untung. Peran Politik Poros Tengah dalam Kancah Perpolitikan Indonesia. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003. Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden. Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi. 2005. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. 78 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Undang-Undang tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang Hak Angket. Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib. Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Rapat Paripurna Ke-16. Masa Sidang III. Tahun Sidang 2006-2007. Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Rapat Paripurna Ke-11. Masa Sidang I. Tahun Sidang 2009-2010. Risalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Rapat Paripurna Ke-14. Masa Sidang II. Tahun Sidang 2009-2010. Constitution of South Africa. Jurnal Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. ed.IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, 2012. FORMAPPI. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945 (Kritik, Masalah, dan Solusi). Jakarta: FORMAPPI, 2005. FORMAPPI. Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan. Jakarta: FORMAPPI, 2009. Parlementaria. Menuju DPR Bersih. Jakarta: Tata Usaha Bagian Pemberitaan dan Penerbitan DPR-RI, 2008. Karya Ilmiah Rahman, Arif. Tinjaun Yuridis Penggunaan Hak Angket Dalam Kasus Bank Century. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2013. 79 Lesmana. Hak Angket Sebagai Hak DPR: Mekanisme dan Implikasinya Terhadap Kemungkinan Pemakzulan. Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. 2010. Internet Morton Rosenberg, Investigative Oversight: An Introduction to the Law, Practice and Procedure of Congressional Inquiry, artikel diakses pada tanggal 11 oktober 2013: http://www.house.gove.rules/95-464.htm#2. The Accountability of Government, diakses pada tanggal 12 November 2013: http://www.parliament.uk/works/account.cfm. House of Commons Select Committees: Guide for Witness, diakses pada tanggal 12 oktober 2013 http://www.parliament.uk/commons/selcom/witguide.htm. The French Parliament, diakses pada tanggal http://www.assembleenationale.fr/english/8ad.asp. 12 oktober 2013: Pertama Kali Hak Angket digunakan DPR pada tahun 1950, diakses dari http://www.dpr.ri.go.id.berita., Pada tanggal 29 Agustus 2013