ADULT ADVANCED LIFE SUPPORT (BANTUAN HIDUP

advertisement
ADULT ADVANCED LIFE SUPPORT
(BANTUAN HIDUP TAHAP LANJUT UNTUK ORANG DEWASA)
PENDAHULUAN
Secara umum, pembahasan mengenai Advanced Life Support (ALS) pasien
dewasa pada bab ini menyerupai prinsip-prinsip panduan tahun 2005, namun
terdapat beberapa perubahan yang ditambahkan untuk perbaikan. Panduan yang
ada pada bab ini ditujukan untuk tenaga kesehatan professional yang telah mahir
dalam menggunakan teknik ALS. Pembahasan mengenai penolong pertama, orang
awam, dan pengguna AED dapat dilihat pada bab Basic Life Support (BLS) dan
AED
PERUBAHAN PANDUAN
Defibrilasi
•
Hal yan g ditekankan saat melakukan intervensi ALS adalah memberikan
kompresi dada berkualitas tinggi dengan hanya sedikit interupsi: kompresi
dada dihentikan sementara hanya ketika akan melakukan intervensi
tertentu.
•
Rekomendasi mengenai pemberian Resusitasi Kardiopulmoner (RKP)
selama periode waktu tertentu sebelum melakukan tindakan defibrilasi
terhadap pasien henti jantung di luar rumah sakit yang tidak disaksikan
lain (unwitnessed) oleh emergency medical services (EMS), saat ini telah
ditiadakan.
•
Kompresi dada harus terus dilanjutkan saat defibrilasi sedang diisi ulang
(recharged) – hal ini bertujuan untuk meminimalisasi jeda pra-kejutan
(pre-shock)
•
Penggunaan precordial thump (tinju jantung) saat ini tidak lagi dianjurkan
•
Prosedur tiga kali kejutan berturut-turut (three quick successive shock)
merupakan hal yang dianjurkan untuk pasien fibrilasi ventrikel/takikardia
ventrikuel tanpa denyut (VF/VT) yang sedang menjalani kateterisasi
1
jantung atau untuk pasien henti jantung yang baru saja menjalani operasi
jantung
Obat-obatan
•
Pemberian obat-obatan melalui tuba trakeal tidak lagi dianjurkan – jika
akses intravena tidak dapat diperoleh, maka kita dapat memberikan obatobatan melalui rute intraosseus (IO)
•
Ketika mengatasi henti jantung VF/VT, adrenaline 1 mg diberikan begitu
kompresi dada dimulai kembali setelah pemberikan tiga kali kejut listrik
dan selanjutnya tiap 3-5 menit (selama perubahan siklus RKP). Pada
panduan tahun 2005, adrenaline diberikan sebelum kejut listrik yang
ketiga. Perubahan dalam waktu pemberian adrenaline bertujuan untuk
membedakan periode pemberian obat dengan percobaan fibrilasi. Selain
itu, melalui perubahan tersebut diharapkan agar pemberian kejut listrik
menjadi lebih efisien dan interupsi kompresi dada bisa lebih minimal.
Amiodarone 300 mg juga diberikan setelah kejut listrik yang ketiga.
•
Pemberian atropine secara rutin tidak lagi direkomendasikan untuk kasus
asistol atau pulseless electrical activity (PEA)
Jalan napas
•
Penggunaan intubasi secara dini tidak lagi menjadi perhatian utama,
kecuali tindakan tersebut dilakukan oleh tenaga yang terampil dan
berpengalaman. Yang penting, dalam pelaksanaannya, pemasangan
intubasi tidak boleh mengganggu kompresi dada.
•
Penggunaan kapnografi semakin dianjurkan untuk mengkonfirmasi
keberhasilan pemasangan tuba trakeal, mengawasi keberhasilan RKP dan
mengidentifikasi indikasi Return Of Spontaneous Circulation (ROSC).
Ultrasonografi
•
Pencitraan ultrasonografi mulai dianggap memiliki peran yang potensial
selama ALS
Perawatan pasca-resusitasi
2
•
Hiperoksemia pasca-ROSC merupakan salah satu masalah potensial yang
dapat terjadi pada pasien pasca-resusitasi: jika ROSC telah tercapai dan
saturasi oksigen arteri (SaO2) telah terpantau (dengan menggunakan
oksimetri dan/atau analisis gas darah arterial), maka oksigen inpirasi dapat
dititrasi agar saturasinya sekitar 94-98%.
•
Lebih banyak pembahasan mengenai pentingnya penatalaksanaan postcardiac-arrest syndrome
•
Panduan mengenai kontrol kadar glukosa juga telah direvisi: untuk orang
dewasa pasca-ROSC yang baru saja mengalami henti jantung, apabila
kadar gula darahnya >10 mmol /l, maka hal tersebut harus segera diatasi,
namun hipoglikemia harus dihindari
•
Penggunan hipotermia terapeutik saat ini telah mencakup pasien koma
yang bertahan hidup dari henti jantung. Pada awalnya, kondisi ini
berhubungan erat dengan ritme jantung yang tidak dapat diberi kejut
listrik, namun semakin banyak kasus yang ritme jantungnya dapat diberi
kejut listrik. Namun, saat ini semakin sedikut bukti yang menunjukkan
penggunaan prosedur tersebut pada pasien henti jantung yang ritmenya
tidak dapat diberi kejut listrik.
•
Banyak prediktor keluaran buruk pada pasien koma yang berhasil
bertahan hidup dari henti jantung ternyata tidak dapat dipercaya, terutama
jika pasien telah diberi terapi hipotermia.
3
Selama RKP
• RKP harus berkualitas: laju, kedalaman, pengembangan
dada/recoil
• Rencanakan tindakan dengan cermat sebelum menginterupsi RKP
• Berikan oksigen
• Pertimbangkan tindakan jalan napas dan kapnografi
• Melakukan kompresi dada secara berkelanjutan ketika jalan napas
telah terpasang
• Akses vaskuler (intravena, intraosseus)
• Berikan adrenaline tiap 3-5 menit
• Koreksi penyebab henti jantung yang reversibel
Penyebab Henti Jantung yang Reversibel
• hipoksia
• hipovolemia
• hipo/hiperkalemia/metabolik
• hipotermia
• trombosis – koroner atau pulmoner
4
•
•
•
tamponade – jantung
racun
tension pneumothoraks
Aritmia yang berhubungan dengan henti jantung dibagi menjadi dua jenis:
ritme jantung yang shockable/dapat diberi kejut listrik (VF/VT) dan ritme jantung
yang tidak shockable/tidak dapat diberi kejut listrik (asistole dan PEA). Perbedaan
prinsip penanganan di antara kedua jenis henti jantug tersebut adalah VF/VT
harus segera mendapatkan tindakan defibrilasi. Sedangkan tindakan lainnya untuk
kedua jenis henti jantung tersebut hampir sama, baik itu kompresi dada,
manajamen jalan napas dan ventilasi, akses vaskuler, pemberian adrenaline, serta
identifikasi dan koreksi faktor penyebab yang reversibel. Algoritma ALS dapat
memberikan pendekatan yang terstandarisasi untuk penatalaksanaan henti jantung
pada pasien dewasa.
HENTI JANTUNG YANG DAPAT DIBERI KEJUT LISTRIK (VF/VT)
Ritme jantung VF/VT terjadi pada 25% pasien henti jantung, baik yang berada di
dalam maupun di luar rumah sakit. VF/VT juga dapat terjadi selama pelaksanaan
resusitasi pada sekitar 25% pasien yang ritme awalnya berupa asistol ataupun
PEA.
Penatalaksanaan henti jantung yang dapat diberi kejut listrik (VF/VT)
1. bila terjadi henti jantung – periksa tanda-tanda kehidupan atau
jika
terlatih, lakukan pemeriksaan napas dan denyut secara simultan
2. panggil bantuan tim resusitasi
3. lakukan kompresi dada yang tak terinterupsi sambil memasang alat
defibrilasi sekaligus alat pemantau jantung – satu di bawah klavikula
kanan dan satunya di posisi lead V6 di garis midaksilaris
4. rencanakan tindakan dengan baik sebelum menghentikan RKP untuk
menganalisis ritme jantung dan berkomunikasi dengan anggota tim
resusitasi lainnya
5. hentikan kompresi dada: konfirmasi tanda-tanda VF dari EKG
5
6. lanjutkan kompresi dada sementara pada waktu yang bersamaan, anggota
lainnya melakukan pengaturan defibrilator (150-200 J bifasik untuk
kejutan yang pertama, lalu 150-360 J bifasik untuk kejutan berikutnya)
kemudian menekan tombol isi ulang/charge.
7. Ketika defibrilator sedang mengisi, peringatkan ke semua penolong
kecuali yang sedang melakukan kompresi dada, agar melakukan “stand
clear” dan melepaskan semua peralatan penghantar oksigen. Pastikan
bahwa penolong yang mengompresi dada merupakan satu-satunya orang
yang menyentuh pasien
8. Ketika defibrilator telah terisi penuh, beritahu penolong yang sedang
mengompresi dada untuk minggir/stand clear; jika sudah aman, maka
berikan kejutan
9. Tanpa memeriksa ulang ritme jantung maupun mengecek denyut nadi,
lanjutkan RKP dengan rasio 30:2, yang diawali dengan kompresi dada
10. Lanjutkan RKP selama 2 menit; sementara itu, ketua tim menyiapkan tim
untuk jeda RKP berikutnya
11. Hentikan kompresi sesaat untuk mengecek monitor
12. Jika pada monitor terlihat VF/VT, maka ulangi langkah 1-6 lalu berikan
kejutan kedua
13. Jika tetap VF/VT, maka ulangi langkah 6-8 lalu berikan kejtan ketiga.
Lanjutkan kompresi dada sesegera mungkin lalu berikan adrenaline 1 mg
IV dan amiodarone 300 mg IV sambil melanjutkan RKP selama 2 menit.
14. Ulangi urutan <RKP 2 menit – cek ritme/denyut –defibrilasi> ini jika
masih VF/VT
15. Berikan adrenaline tambahan 1 mg IV tiap akhir kejutan (tiap 3-5 menit)
Jika aktivitas elektrik yang teratur serta curah jantung mulai terdeteksi, maka
segera cari tanda-tanda Return Of Spontaneous Circulation (ROSC):
•
Periksa denyut sentral dan jejak end-tidal CO2 jika tersedia
•
Jika terdapat bukti ROSC, segera mulai perawatan pasca-resusitasi
6
•
Jika tidak ada tanda-tanda ROSC, lanjutkan RKP dan segera mulai
algoritma untuk kasus henti jantung non-shockable (ritme jantung yang tak
dapat diberi kejut listrik)
Jika terdapat tanda-tanda asistol, maka lanjutkan RKP dan segera mulai
algoritma untuk kasus henti jantung non-shockable (ritme jantung yang tak dapat
diberi kejut listrik)
Interval antara penghentian kompresi dan pemberian kejut listrik harus
diminimalisasi dan kalau bisa tidak lebih dari beberapa detik (idealnya kurang dari
5 detik). Semakin lama interupsi pada kompresi dada, maka semakin rendah
kesempatan untuk mengembalikan sirkulasi spontan.
Jika ritme yang teratur telah terlihat selama RKP 2 menit, jangan interupsi
kompresi dada untuk mempalpasi denyut kecuali pasien telah menunjukkan tandatanda kehidupan (seperti peningkatan end-tidal CO2 [ETCO2]) yang menandakan
ROSC. Jika ada keraguan telah timbul denyutan, maka tetap lanjutkan RKP. Jika
pasien telah mengalami ROSC, segera mulai perawatan pasca-resusitasi.
Precordial Thump/tinju prekordial
Precordial thump tunggal memiliki angka kesuksesan yang rendah dalam
kardioversi henti jantung yang shockable dan prosedur ini kemungkinan dapat
berhasil jika diberikan dalam beberapa detik pertama saat timbulnya henti jantung
yang shockable. Prosedur ini lebih berhasil saat dilakukan pada VT yang tanpa
denyut (pulseless) jika dibandingkan dengan VF. Tindakan precordial thump
harus dilakukan sesegera mungkin, tanpa harus meminta bantuan atau mencari
defibrilator. Sehingga tindakan ini hanya dapat dilakukan jika dokter ada di
tempat terjadinya henti jantung pasien, terutama jika tidak terdapat defibrilator di
sekitarnya. Pada prakteknya, tindakan seperti itu hanya dapat dilakukan pada
lingkungan yang terawasi dengan baik, seperti di ruang resusitas unit gawat
darurat, ICU, CCU, ruang kateterisasi jantung atau ruang pacemaker.
Precordial thump haruss dilakukan begitu henti jantung telah dikonfirmasi dan
sebaiknya tindakan ini dilakukan oleh profesional kesehatan yang terlatih. Dalam
melakukannya, sebaiknya menggunakan sisi ulnar genggaman tangan yang telah
7
terkepal, lalu kepalan tangan tersebut dihantamkan pada setengah inferior sternum
dari ketinggian sekitar 20 cm, setelah tinju dilakukan, segera tarik tangan agar
dapat menciptakan stimulus yang menyerupai impuls jantung. Hanya ada
beberapa laporan mengenai precordial thumpyang mengaibatkan konversi ritme
jantung perfusi menjadi ritme non-perfusi.
PENJELASAN MENGENAI PERUBAHAN TATALAKSANA VF/VT
Strategi defibrilasi
•
Strategi shock tunggal versus tiga shock
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa interupsi yang relatif
singkat pada kompresi dada baik itu untuk memberikan napas bantuan atau
analisis ritme berhubungan erat dengan penurunan angka bertahan hidup.
Interupsi pada kompresi dada juga dapat menurunkan kemungkinan
konversi VF menjadi ritme lain. Adanya interupsi RKP dengan protokol
tiga kali shock serta adanya peningkatan efisiensi shock pertama (untuk
menghilangkan VF/VT) dengan defibrilator bifasik, maka pada Panduan
2005 telah direkomendasikan untuk menggunakan strategi shock tunggal.
Penelitian-penelitian selanjutnya juga menunjukkan rasio hands-off yang
naan protokol shock tunggal, dan beberapa penelitian (tapi tidak semua)
menyatakan adanya manfaat dalam hal keberlangsungan hidup pasien
denggan menggunakan strategi shock tunggal.
Jika VF/VT terjadi selama kateterisasi jantung atau pada fase awal pascaoperasi jantung (ketika kompresi dada dapat mengganggu jahitan
vaskuler), maka kita dapat mempertimbangkan pemberian tiga kali kejut
listrik sebelum melakukan kompresi dada. Strategi tiga shock ini dapat
dipertimbangkan sebagai tindakan awal untuk kejadian henti jantung
VF/VT yang disaksikan oleh tenaga medis, terutama jika pasien telah
terhubung dengan defibrilator manual (meskipun kejadian seperti ini
jarang ditemukan). Meskipun tidak ada data yang mendukung strategi tiga
shock pada kondisi seperti itu, namun kemungkinan besar, kompresi dada
8
tidak akan
lagi diperlukan karena kemungkinan ROSC sudah sangat
tinggi jika defibrilasi dilakukan segera setelah terjadi onset VF.
•
Energi defibrilasi
Shock awal yang diberikan dari defibrilator bifasik tidak boleh lebih
rendah dari 120 J untuk defibrilator tipe rectilinear biphasic waveforms
dan, tidak boleh lebih rendah dari 150 J untuk defibrilator tipe biphasic
truncated
exponential
waveforms.
Untuk
keseragaman,
maka
direkomendasikan agar besarnya shock bifasik tidak boleh lebih rendah
dari 150 J. Karena rendahnya efektivitas defibrilator monofasik dan
strategi shock tunggal dalam mengatasi VF/VT, maka besarnya energi
untuk defibrikator monofasik tetap 360 J.
Untuk shock kedua dan selanjutnya, panduan 2005 tidak membedakan
antara protokol menggunakan besar energi yang tetap dengan protokol
menggunakan energi yang dinaikkan. Oleh karena itu, beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa strategi peningkatan energi lebih dapat
menurunkan frekuensi shock yang diperlukan untuk mengembalikan ritme
teratur jika dibandingkan dengan strategi shock dengan energi tetap,
namun angka ROSC atau angka bertahan hidup pasien dengan strategi ini
tidak bertambah. Sebaliknya, protokol bifasik dengan energi tetap
menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi jika dilakukan dengan
protokol tiga shock. Jika shock awal tidak berhasil, maka sebaiknya
lakukan shock berikutnya dengan energi yang lebih tinggi. Protokol
pemberian shock dengan besar energi yang tetap maupun peningkatan
energi sama-sama dapat diterima berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Pabrik pembuat defibrilator harus mencantumkan kisaran gelombang
energi yang efektif pada alat defibrilator bifasik. Jika tidak terdapat label
energi efektif, maka gunakan energi paling tinggi yang tersedia pada alat
untuk shock pertama, dan shock berikutnya.
•
VF yang halus
VF halus, yang sulit dibedakan dari asistol, sangat kecil kemungkinannya
untuk kembali ke ritme perfusi dengan pemberian shock. Pemberian RKP
9
berkualitas dapat meningkatkan amplitudo dan frekuensi VF sehingga
meningkatkan kemungkinan kesuksesan defibrilasi untuk menghasilkan
ritme perfusi. Pemberian shock berulang pada keadaan yang disangka
merupakan VF halus dapat meningkatkan cedera miokardial, baik akibat
arus listriknya sendiri maupun karena interupsi aliran darah koroner.
Adrenaline
Meskipun adrenaline sering digunakan selama resusitasi, dan beberapa
penelitian juga mencoba penggunaan vasopressin, tidak ada penelitian
placebo-controlled yang menunjukkan penggunaan vasopressor secara
rutin pada henti jantung dapat meningkatkan ketahanan fungsi neurologis
pasien. Bukti-bukti terbaru tidak cukup untuk mendukung maupun
menghapuskan penggunaan rutin obat-obatan atau rangkaian obat-obatan
tertentu. Meskipun data penelitian pada manusia masih sedikit, namun
penggunaan adrenaline masih tetap direkomendasikan berdasarkan data
penelitian pada hewan dan adanya peningkatan angka bertahan hidup pada
manusia.
Aksi
alfa-adrenergik
adrenaline
dapat
menyebabkan
vasokonstriksi, yang meningkatkan tekanan perfusi miokardial dan
serebral. Semakin besar aliran darah koroner maka semakin besar pula
frekuensi dan amplituod gelombang VF, sehingga meningkatkan
kemungkinan merestorasi sirkulasi ketika defibrilasi dilakukan. Meskipun
adrenaline dapat meningkatkan angka bertahan hidup jangka pendek,
namun dari data hewan ditemukan bahwa obat tersebut dapat
menyebabkan gangguan mikrosirkulasi sehingga dapat menyebabkan
disfungsi miokardial pasca-henti jantung dan akan mempengaruhi luaran
jangka panjang. Dosis optimal adrenaline hingga saat ini masih belum
diketahui, dan tidak ada data yang mendukung penggunaan dosis berulang.
Selain itu, data farmakokinetika adrenaline selama RKP hanya sedikit.
Durasi optimal RKP dan jumlah kejut listrik yang harus diberikan sebelum
pemberian obat hingga saat ini masih belum diketahui. Berdasarkan
konsensus para hali, untuk VF/VT, pemberian adrenaline dilakukan
setelah shock ketiga, saat kompresi dada dilanjutkan kembali, lalu diulangi
10
lagi tiap 3-5 menit selama masih terjadi henti jantung (tiap pergantian
siklus). Jangan menghentikan RKP untuk pemberian obat.
Ritme jantung yang non-shockable/tidak dapat diberi kejut listrik (PEA dan
asistol)
Pulseless electrical activity (PEA) merupajan suatu kondisi di mana tidak
terdapat denyut arteri teraba yang mampu menghasilkan curah jantung
meskipun masih ada aktivitas listrik jantung. Pasien seperti ini masih
mengalami kontraksi miokardial namun terlalu lemah untuk menghasilkan
denyut arteri atau tekanan darah – hal ini kadang disebut sebagai pseudoPEA. PEA dapat disebabkan oleh berbagai kondisi reversibel yang dapat
dikoreksi. Pasien yang bertahan hidup dari henti jantung asistol atau PEA
jarang terjadi, meskipun penyebab reversibel telah ditemukan dan diberi
tatalaksana secara efektif.
•
Langkah-langkah untuk mengatasi PEA
1. Mulai RKP 30:2
2. Berikan adrenaline 1 mg sesegera mungkin ketika akses
intravaskuler berhasil didapatkan
3. Lanjutkan RKP 30:2 hingga jalan napas berhasil diamankan, lalu
lanjutkan kompresi dada tanpa henti selama memberikan ventilasi
4. Pertimbangkan penyebab reversibel PEA dan koreksi penyebab
tersebut jika telah diidentifikasi
5. Periksa ulang pasien setelah 2 menit
•
Jika tetap tiddak terdapat denyutan dan tidak ada perubahan
pada tampilan EKG, maka:
i. Lanjutkan RKP
ii. Periksa ulang pasien setelah 2 menit dan lakukan
secara berurutan
iii. Berikan adrenaline tambahan 1 mg tiap 3-5 menit
(tiap pergantian siklus)
11
•
•
Jika timbul VF/VT, segera jalankan algoritma shockable
•
Jika terjadi denyut, mulai perawatan pasca-resusitasi
Langkah-langkah penanganan asistol
1. Mulai RKP 30:2
2. Tanpa menghentikan RKP, pastian lead telah terpasang dengan benar
3. Berikan adrenaline 1 mg sesegera mungkin saat akses intravaskuler
telah ada
4. Lanjutkan RKP 30:2 hingga jalan napas diamankan, lalu lanjutkan
kompresi dada tanpa jeda selama pemberian ventilasi
5. Pertimbangkan penyebab PEA dan koreksi sesegera mungkin
6. Periksa ulang ritme jantung setelah 2 menit dan lakukan secara
berurutan
7. Jika timbul VF/VT, segera jalankan algoritma shockable
8. Berikan adrenaline 1 mg IV tiap 3-5 menit (tiap pergantian siklus)
Kapanpun diagnosis asistol ditegakkan, periksa EKG secara hati-hati untuk
memastikan adanya gelombang P karena pasien dapat merespon pacu jantung
ketika terdapat gelombang P. Tidak ada gunanya melakukan pacu jantung pada
keadaan asistol sejati.
Atropine
Atropine dapat meng-antagonis aksi neurotransmiter parasimpatetik asetilkolin di
reseptor muskarinik. Sehingga, atropine dapat memblok efek nervus vagus pada
nodus sinoatrial (SA) dan nodus atrioventrikuler (AV), yang menimbulkan
peningkatan laju sinus dan mempercepat konduksi nodus AV.
Panduan 2005 merekomendasikan pemberian 3 mg dosis tunggal atropine untuk
kondisi asistol dan PEA lambat (< 60 x/menit); namun, penggunaan atropine rutin
tidak memberikan manfaat untuk asistol atau PEA. Beberapa penelitian terbaru
menunjukkan bahwa atropine tidak memiliki manfaat untuk mengatasi pasien
henti jantung di luar maupun di dalam rumah sakit, sehingga penggunaan rutinnya
pada PEA dan asistol tidak lagi direkomendasikan.
Selama RKP
12
Selama penatalaksanaan VF/VT atau PEA/asistol yang persisten, hal yang perlu
ditekankan adalah prosedur kompresi dada yang berkualitas di antara percobaan
defibrilasi, sambil terus berupaya untuk mengenali dan mengatasi penyebab
reversibel (4 Hs dan 4 Ts), serta mengamankan jalan napas dan akses
intravaskuler. Profesional kesehatan harus berlatih mempraktekkan koordinasi
yang efisien antara RKP dan pemberian kejut listrik. Semakin singkat interval
antara penghentian kompresi dada dan pemberian kejut listrik, maka semakin
tinggi keberhasilan resusitasi. Penurunan interval antara kompresi dada dan
pemberian kejut listrik meskipun hanya beberapa detik dapat meningkatkan
keberhasilan kejut. Pemberian RKP dengan rasio CV 30:2 merupakan hal yang
melelahkan; penggantian penolong dapat dilakukan tiap 2 kmenit.
Penyebab Henti Jantung Yang Reversibel
Faktor penyebab atau pemicu timbulnya henti jantung harus dapat dikenali dan
diatasi. Untuk mudah diingat, ada 2 kelompok penyebab henti jantung yang
bersifat reversibel yakni kelompok H dan T:
•
Hipoksia
•
Hipovolemia
•
Hiperkalemia, hipokalemia, hipokalsemia, asidemia, dan gangguan
metabolik lainnya
•
Hipotermia
•
Tension pneumothorax
•
Tamponade
•
Toksin
•
Tromboembolisme (emboli paru/trombosis koroner)
Empat H
Cara untuk meminimalisasi hipoksia adalah memastikan paru-paru pasien telah
terventilasi secara adekuat dengan oksigen 100%. Pastikan telah terjadi
pengembangan dada yang adekuat dan terdengar bunyi napas secara bilateral. Cek
dengan hati-hati tuba trakeal, pastikan tidak salah masuk ke bronkus atau
esofagus.
13
Aktivitas elektrik yang tanpa denyut dapat disebabkan oleh hipovolemia akibat
perdarahan hebat; yang dipresipitasi oleh trauma, perdarahan gastrointestinal, atau
ruptur aneurisma aorta. Tindakan yang harus dilakukan adalah mengembalikan
volume intravaskuler sesegera mungkin yang dikombinasikan dengan operasi
secepatnya untuk menghentikan perdarahan.
Hiperkalemia, hipokalemia, hipokalsemia, asidemia, dan gangguan metabolik
lainnya dapat terdeteksi melalui pemeriksan biokimiawi atau dari riwayat medis
pasien seperti gagal ginjal. EKG 12 lead dapat menjadi salah satu alat diagnostik
yang berguna. Kalsium klorida intravena dapat diberikan pada keadaan
hiperkalemia, hipokalsemia, dan overdosis calcium channel blocker.
Kecurigaan hipotermia biasanya ditemukan pada pasien tenggelam; atau
penggunaan thermometer yang ambang batas bawahnya terlalu rendah.
Empat T
Tension pneumothorax merupakan salah satu penyebab utama PEA, hal ini dapat
terjadi setelah proses pemasangan kateter vena sentral. Diagnosis pneumothorax
dapat ditegakkan secara klinis dan/atau dengan menggunakan ultrasonografi.
Tindakan untuk kasus ini adalah melakukan dekompresi secepatnya dengan
thorakosentesis jarum atau thorakostomi darurat, lalu memasang drain.
Tamponade jantung sulit untuk didiagnosis karena tanda-tanda seperti distensi
venda dan hipotensi sulit untuk dinilai, terutama jika telah terjadi henti jantung.
Ekokardiografi transtorakal dengan interupsi minimal pada kompresi dada dapat
dilakuka untuk mengidentifikasi efusi perikardial. Henti jantung akibat trauma
penetrasi dada sangat mendukung untuk timbulnya tamponade dan kasus seperti
ini merupakan indikasi untuk melakukan tindakan thorakotomi resusitatif.
Jika pasien tidak memiliki riwayat medis yang spesifik, maka kita dapat
melakukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan apakah pasien telah
mengosumsi zat toksik atau obat-obatan tertentu. Jika tersedia, sebaiknya segera
berikan antidot pada pasien dan terapi suportif.
Penyebab utama tromboemboli adalah atau obstruksi sirkulasi mekanis adalah
emboli pulmoner yang masif. Jika henti jantung disebabkan oleh emboli
14
pulmoner, maka pertimbangkan untuk memberikan obat tormbolitik sesegera
mungkin. Trombolisis dapat dipertimbangkan sebagai terapi pada henti jantung,
namun ini tergantung kasusnya. RKP bukanlah kontraindikasi untuk terapi
trombolisis. Obat-obatan trombolisis kemungkinan besar butuh waktu 90 menit
untuk menimbulkan efek.
Penggunaan pencitraan ultrasonografi selama pemberian bantuan hidup lanjutan
Beberapa penelitian telah menguji penggunaan ultrasonografi selama henti
jantung untuk mendeteksi etiologi yang bersifat reversibel. Meskipun belum ada
penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan modalitas pencitraan ini dapat
meningkatkan luaran hasil, namun tidak ada keraguan bahwa pencitraan
ultrasonografi dapat memberikan informasi yang dapat membantu kita dalam
mengidentifikasi etiologi reversibel dari henti jantung (seperti tamponade jantung,
embolisme paru, iskemia (abnormalitas gerakan dinding jantung regional), diseksi
aorta, hipovolemia, pneumothoraks). Jika ultrasonografi digunakan oleh klinisi
yang terlatih, maka modalitas tersebut dapat membantu kita dalam pemeriksaan
dan penatalaksanaan etiologi henti jantung yang bersifat reversibel. Posisi probe
di sub-xiphoideus direkomendasikan dalam pemeriksaan. Pemasangan probe
sebelum kompresi dada sebaiknya dilakukan dalam waktu sekitar 10 detik secara
bersamaan dengan pemeriksaan ritme.
Cairan Intravena
Hipovolemia merupakan penyebab henti jantung yang bersifat reversibel: infus
cairan harus dilakukan secepatnya jika dicurigai telah terjadi hipovolemia.
Manfaat penggunaan koloid pada fase awal resusitasi hingga saat ini masih belum
jelas: gunakan NaCl 0,9% atau larutan Hartmann. Hindari penggunaan dekstrosa;
karena cairan ini dapat ter-redistribusi dengan cepat dari ruang intravaskuler dan
menyebabkan hiperglikemia, yang dapat memperburuk luaran hasil neurologis
pasien setelah henti jantung. Pastikan pasien mencapai normovolemia, namun jika
pada kondisi non-hipovolemia, pemberian cairan yang berlebihan justru akan
15
memperburuk kondisi pasien yang menjalani RKP. Penggunaan cairan intravena
dilakukan untuk menginjeksi obat-obatan secara perifer ke dalam sirkulasi sentral.
Kompresi Jantung pada thorakotomi terbuka
Kompresi jantung pada thorakotomi terbuka hanya diindikasikan untuk pasien
yang mengalami henti jantung akibat trauma, untuk fase awal henti jantung pasien
yang baru saja menjalani bedah thoraks, atau ketika thoraks atau abdomen sudah
terbuka, seperti pada saat pasien menjalani operasi.
Tanda-tanda kehidupan
Jika tanda-tanda kehidupan telah muncul kembali saat melakukan RKP (seperti
usaha bernapas reguler, batuk, pasien bergerak atau membuka mata), atau pada
monitor telah (seperti terdeteksinya ETCO2 atau tekanan darah) menunjukkan
ROSC, maka hentikan RKP lalu cek lagi monitor dalam waktu singkat. Jangan
samakan terengah-engah dengan tanda-tanda kehidupan, karena hal tersebut
sering kali timbul pada fase awal tindakan RKP. Jika ritme jantung yang teratur
telah timbul, maka periksa denyut. Jika denyut telah teraba, lanjutkan ke
perawatan pasca-resusitasi, penatalaksanaan peri-henti jantung, atau keduaduanya. Jika denyut masih tidak teraba, tetap lanjutkan RKP.
DEFIBRILASI
Strategi sebelum melakukan defibrilasi
Pads versus Paddle
Pads defibrilasi yang self-adhesive lebih praktis digunakan jika dibandingkan
dengan hand-held paddle, terutama untuk monitor rutin dan defibrilasi. Keduanya
aman dan efektif untuk digunakan, namun sejak terjadi perubahan strategi
defibrilasi tahun 2010, maka paddle defibrilasi lebih dianjurkan. Pads selfadhesive hanya digunakan untuk situasi peri-henti jantung dan situasi klinis ketika
akses ke pasien sulit tercapai. Kedua wahana tersebut memiliki impedance
transthorakal yang sama (begitu juga dengan khasiatnya). Namun dengan pads
adhesive, maka penolong dapat melakukan defibrilasi dari jarak yang aman.
16
Selain itu pads lebih memudahkan proses pemberian kejut listrik jika
dibandingkan dengan paddle.
Penggunaan Oksigen Secara Aman
Paddle defibrilator dapat memercikkan api pada oksigen yang diperkaya oleh
tekanan atmosfir. Sehingga kita harus mengambil langkah-langkah berikut ini
untuk meminimalisasi resiko kebakaran:
•
Singkirkan semua masker oksigen atau nasal kanul dan letakkan semua
benda tersebut sekitar 1 m dari dada pasien selama proses defibrilasi
•
Biarkan kantung ventilasi tetap tersambung pada tuba trakeal atau alat
jalan napas lainnya. Sebagai alternatif, lepaskan kantung ventilasi dari tuba
trakeal dan jauhkan dari dada pasien sekitar 1 m selama proses defibrilasi
•
Penggunaan pads self-adhesive lebih meminimalisasi resiko timbulnya
percikan jika dibandingkan dengan paddle.
Rambut dada
Sebaiknya area dada yang akan dipasangi elektroda bersih dicukur dengan bersih,
namun proses pencukuran harus dilakukan dengan cepat dan tidak boleh
menghambat prosedur defibrilasi, terutama jika tidak tersedia pisau cukur.
Posisi elektroda
Elektroda kanan (sternal) dipasang pada sisi kanan sternum, di bawah klavikula.
Letakkan paddle apikal pada linea mid-aksilaris, dekat dengan posisi lead V6 pada
EKG. Elektroda ini harus beba dari semua jaringan payudara. Kita harus
meletakkan elektroda ini di daerah lateral.
Pemasangan elektroda antero-posterior merupakan salah satu posisi alterntif untuk
posisi elektroda pektoral-apikal kanan untuk defibrilasi dan merupakan posisi
pilihan untuk kardioversi atrial fibrilasi.
Alat-alat medis yang terimplantassi (seperti alat pacu jantung permanen) dapat
mengalami kerusakan selama proses defibrilasi, terutama jika arus listrik melewati
elektrida yang dipasang di atas alat yang terimplantasi. Jika memungkinkan,
letakkan elektroda terpisah dari alat yang terimplantasi, kalau perlu gunakan
posisi elektroda alternatif.
17
MANAJEMEN JALAN NAPAS DAN VENTILASI
Mayoritas prinsip penanganan jalan napas dan ventilasi di panduan 2005 tidak
mengalami perubahan. Hanya saja tindakan intubasi dini tidak lagi terlalu
ditekankan, kecuali dilakukan oleh tenaaga yang terampil dengan interupsi
minimal pada kompresi dada. Penggunaan kapnografi semakin dianjurkan untuk
mengkonfirmasi dan mengawasi pemasangan tuba trakeal, kualitasi RKP dan
mengidentifikasi ROSC secara dini.
Pasien yang membutuhkan resusitasi seringkali mengalami obstruksi jalan napas.
Pada kasus seperti ini, pemeriksaan yang tepat, disertai kontrol jalan napas dan
ventilasi pada paru-paru merupakan tindakan yang esensial. Tanpa oksigenasi
yang adekuat, maka tidak mungkin untuk mengembalikan curah jantung spontan.
Pada kasus henti jantung yang kejadiannya disaksikan oleh petugas medis serta
terdapat defibrilator di sekitar lokasi kejadian, maka percobaan defibrilasi harus
dilakukan terlebih dahulu sebelum membuka jalan napas.
Pemberian oksigen aliran tinggi hingga tercapai ROSC harus dilakukan dengan
cara memantau saturasi oksigen arterial.
Manuver pembebasan jalan napas dasar dan alat bantu jalan napas
Periksa jalan napas. Gunakan head tilt dan chin lift, atau jawa thrust untuk
membuka jalan napas. Alat jalan napas sederhana (alat jalan napas orofaringeal
atau nasofaringeal) dapat membantu kita dalam mengamankan jalan napas.
Ventilasi
Pemberian ventilasi buaan harus dilakukan sesegera mungkin pada semua pasien
yang ventilasi spontan-nya tidak adekuat atau tidak ada sama sekali. Ventilasi
udara sisa (rescue breathing) merupakan salah satu tindakan yang efektif namun
konsentrasi oksigen penolong hanya 16-17%, sehingga tindakan ini harus segera
digantikan oleh ventilasi yang diperkaya oleh oksigen. Masker protabel untuk
resusitasi dapat membantu kita dalam melakukan ventilasi mouth-to-mask
sehingga kadar oksigen yang diberikan bisa lebih tinggi. Penggunaan teknik dua
tangan dapat memaksimalisasi pemberian oksigen karena udara lebih sedikit yang
lolos dari masker. Kantung ventilasi yang mengembang sendiri dapat
18
disambungkan ke sungkup wajah, tuba trakeal, atau alat jalan napas supraglotis
supraglottic airway device (SAD). Teknik pemasangan ventilasi bag-mask dengan
dua penolong merupakan metode yang lebih dianjurkan. Pemberian untuk tiap
kali bernapas sekitar 1 detik dan volume udara yang diberikan harus sesuai
dengan pergerakan dada normal; tujuannya untuk memberikan volume udara yang
adekuat, sambil meminimalisasi resiko inflasi gastrik, serta menyediakan waktu
yang adekuat untuk kompresi dada. Selama melakukan RKP yang belum memiliki
jalan napas terproteksi, kita harus memberikan dia ventilasi untuk tiap rangkaian
30 kali kompresi dada. Jika tuba trakeal datau SAD telah diinsersi, maka lakukan
ventilasi paru-paru dengan kecepatan 10 kali per menit dan lanjutkan kompresi
dada tanpa henti selama melakukan ventilasi.
Alat bantu Jalan napas alternatif
Pemasangan tuba trakeal merupakan metode yang dianggap paling optimal untuk
mengatasi masalah jalan napas selama terjadi henti jantung. Namun ada bukti
yang menunjukkan bahwa tanpa latihan dan pengalaman yang adekuat, maka
tindakan intubasi justru dapat meningkatkan sejumlah komplikasi seperti
masuknya intubasi ke esofagus (6-17% pada penelitian yang dilakukan pada
paramedik).
Percobaan
intubasi
trakeal
yang
berlangsung
lama
dapat
membahayakan pasien; penghentian kompresi dada selama percobaan intubasi
dapat mengakibatkan gangguan perfusi koroner dan serebral. Beberapa alat bantu
jalan napass alternatif dapat digunakan untuk mengatasi masalah jalan napas
selama melakukan RKP. Ada beberapa penelitian yang menggunakan Combitude,
classic laryngeal mask airway (cLMA), Laryngeal Tube (LT) dan i-gel dalam
prosedur RKP, namun tidak ada satupun penelitian yang menggunakan indikator
angka bertahan hidup sebagai tujuan utama penelitian. Meskipun begitu, dari
penelitian diketahui bahwa alat-alat bantu tersebut memiliki angka keberhasilan
yang tinggi dalam proses insersi dan ventilasi. SAD lebih mudah dipasang jika
dibandingkan dengan tuba trakeal, dan tidak seperti intubasi trakeal, prosedur
pemasangan SAD dapat dilakukan tanpa menginterupsi kompresi dada. Namun
hingga kini belum ada data yang mendukung penggunaan alat-alat tersebut dalam
19
prosedur rutin penanganan henti jantung. Pemilihan teknik terbaik dalam
penanganan jalan napas sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang terjadi
selama henti jantung serta kemahiran penolong. Combitude jarang digunakan,
kalaupun terpakai, alat ini hanya sering digunakan di Inggris dan tidak lagi
dimasukkan dalam panduan ALS.
Laryngeal mask airway (LMA)
LMA relatif lebih mudah dipasang jika dibandingkan dengan tuba trakeal, selain
itu pemberian ventilasi melalui LMA lebih efisien dan lebih mudah jika
dibandingkan dengan bag-mask. Jika terjadi kebocoran gas yang berlebihan, maka
kompresi dada harus terinterupsi untuk memudahkan ventilasi. Meskipun LMA
tidak sebaik tuba trakeal dalam melindungi jalan napas, namun aspirasi pulmoner
jarang terjadi ketika LMA digunakan dalam penanganan henti jantung.
i-gel
Cuff i-gel terbuat dari gel elastomer thermoplastik, sehingga dalam proses
pemasangannya, i-gel tidak membutuhkan inflasi udara; batang i-gel bersatu
dengan pemblok gigitan dan sebuah drain esofageal yang sempit. I-gel sering
digunakan untuk mempertahankan jalan napas selama prosedur anestesia. I-gel
sangat mudah dipasang, selain itu secara teoritis, alat ini jarang mengalami
kebocoran sehingga cukup menarik untuk dijadikan pilihan oleh penolong yang
tidak berpengalaman dalam melakukan intubasi trakeal. Penggunaan i-gel untuk
penanganan henti jantung sudah pernah dilaporkan, namun data penggunaannya
masih butuh penelitian lebih lanjut.
Laryngeal Tube
The laryngeal tube (LT) pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001. Saat ini
laryngeal tube disposable (LT-D) juga telah tersedia dan dapat digunakan untuk
resusitasi pasien henti jantung di luar rumah sakit. LT masih jarang digunakan di
Inggris.
Intubasi Trakeal
Manfaat dan kerugian intubasi telah dijelaskan pada bab pra-rumah sakit. Seperti
pada intubasi trakeal pra-rumah sakit, intubasi di rumah sakit seharusnya
dilakukan oleh tenan yang terampil dan percaya diri. Tiap percobaan intubasi
20
tidak boleh mengganggu kompresi dada lebih dari 10 detik; jika intubassi tidak
tercapai dalam rentang waktu tersebut, maka gunakan saja ventilasi bag-mask.
Setelah intubasi, pastikan pemasangan tuba telah benar dan amankan tuba secara
adekuat.
Memastikan Pemasangan Tuba Trakeal yang benar
Intubasi esofageal yang tida disengaja merupakan komplikasi paling
serius dari percobaan intubasi traekal. Penggunaan teknik primer dan
sekunder untuk mengkonfirmasi pemasangan tuba merupakan salah satu
tindakan yang berguna untuk meminimalisasi resiko salah pasang.
Pemeriksaan
primer
yang
dapat
dilakukan
adalah
observasi
pengembangan dada secara bilateral, auskultasi kedua lapangan paru-paru
pada daerah aksila (suara napas harus simetris dan terdengar jelas) serta di
atas epigastrium (bunyi napas tidak boleh terdengar). Namun tanda klinis dari
pemasangan tuba yang benar (terdapat kondensasi pada tuba, pengembangan
dada, terdengar bunyi napas pada auskultasi, tidak terdengarnya suara napas
pada epigastrium) merupakan pemeriksaan yang sulit untuk diandalkan.
Untuk konfirmasi sekunder pemasangan tuba yang benar, diperlukan
pemeriksaan kadar CO2 yang diekspirasi atau alat pendeteksi gas di esofagus.
Namun, tidak ada satupun pemeriksaan sekunder yang mampu membedakan
antara pemasangan tuba hanya memasuki trakea atau justru telah memasuki
salah satu cabang bronkus utama, sehingga pemeriksaan primer untuk
memastikan pengembangan dada dan suara napas yang simetris tetap menjadi
hal yang penting.
Belum terlalu banyak data yang mampu mengidentifikasi metode yang
optimal untuk mengkonfrimasi keberhasilan pemasangan tuba pada pasien
henti jantung. Semua alat-alat yang tersedia hanya dianggap sebagai
pelengkap teknik konfirmasi yang telah ada. Tidak ada satupun data yang
mampu mengukur kuantitas keberhasilan posisi pemasangan tuba.
Alat pendeteksi karbon dioksida hanya mampu mengukur konsentrasi
karbon dioksida yang diekspirasi dari paru-paru. Ekspirasi CO2 yang persisten
setelah enam kali ventilasi mengindikasikan bahwa tuba trakea telah
21
terpasang di trakea atau cabang bronkus. Selama henti jantung, aliran darah
pulmoner akan mengalami perlambatan sehingga terjadi penurunan kadar
CO2 yang terekspirasi. Oleh karena itu, detektor CO2 tidak mampu
mengidentifikasi apakah pemasangan tuba sudah dilakukan secara tepat.
Namun, ketika CO2 ekspirasi telah terdeteksi pada pasien henti jantung, maka
kita dapat memastikan bahwa tuba telah terpasang dengan pada trakea atau
cabang bronkus. Detektor kolorimetrik CO2 telah tersedia untuk penggunaan
di rumah sakit dan luar rumah sakit. Detektor end tidal CO 2 yang memiliki
gambaran grafik gelombang (kapnograf) merupakan alat yang paling
terpercaya untuk memverifikasi posisi tuba trakeal selama terjadi henti
jantung.
Berdasarkan data-data yang ada, diketahui bahwa akurasi kolorimetrik
CO2, detektor esofageal dan kapnometer non-gelombang dalam mendeteksi
posisi tuba trakela, tidak lebih baik dari akurasi auskultasi dan visualisasi
langsung. Kapnografi gelombang merupakan cara yang paling sensitif dan
spesifik untuk mengkonfirmasi dan memantau secara terus-menerus posisi
tuba trakeal pada pasien hentu jantung, namun pemeriksaan ini harus
digabungkan dengan pemeriksaan klinis (auskultasi dan visualisasi ketika
tuba trakeal melewati plica vokalis). Karena kapnografi gelombang tidak
mampu membedakan apakah tuba trakeal hanya memasuki trakea atau telah
memasuki bronkus, maka auskultasi yang hati-hati merupakan tindakan yang
esensial. Kapnografi portabel dapat digunakan untuk memantau pemasangan
tuba trakeal baik pada kondisi di luar rumah sakit, unit gawat darurat, maupun
dalam rumah sakit. Jika tidak ada kapnograf gelombang maka sebaiknya
gunakan alat jalan napas supraglotis.
Cricothyroidotomy/ krikotiroidotomi
Jika tidak memungkinkan untuk melakukan ventilasi bag-mask pada pasien
apneik, atau sulit untuk melewatkan tuba trakeal atau alat bantu jalan napas
alaternatif, maka pemberian oksigen melalui krikotiroidotomi kanula atau bedah
dapat menyelamatkan jiwa pasien. Krikotiroidotomi bedah dapat menyediakan
22
jalan napas definitif yang dapat digunakan untuk memventilasi paru-paru pasien
hingga dapat dilakukan trakeostromi atau intubasi semi-elektif. Krikotiroidotomi
jarum merupakan prosedur sementara yang dapat memberikan akses oksigenasi
jangka pendek.
SIRKULASI
Akeses intravascular
Pemberian obat via vena perifer versus vena sentral
Kanulasi vena periferlebih cepat, mudah dan aman. Setiap pemberian obat
dari vena perifer harus diikuti dengan pemberian cairan sekurangnya 20 mL.
pemasaangan akes vena sentral sebaiknya dilakukan hanya oleh orang yang sudah
terlatih dan kompeten dan proses pemasangan harus dilakukan dengan interupsi
minimal pada kompresi dada.
Jalur intraosseus
Bila akses intravena tidak bias didapat dalam 2 menit pertama resusitasi,
pertimbangkan untuk pemasangan akses intraosseus. Akses intraosseus biasanya
digunakan pada anak-anak karena sulitnya mendapatkan akses intravena, namun
teknik ini telah diaanggap sebagai jalur yang aman dan efektif untuk pemberian
obat dan cairan bagi orang dewasa juga.171-173 Daerah yang dapat diakses
diantaranya daerah tibia dan humerus.172 Pemberian obat-obat resusitasi melalui
jalur ini akan mencapai konsentrasi plasma yang adekuat.
Jalur trakea
Obat-obat resusitasi juga dapat diberikan melalui pipa trakea,
namun
konsentrasi plasma obat yang diberikan melalui jalur ini sangat bervariasi dan
secara umum dianggap lebih rendah daripada peberian melalui jalur intravena dan
intraosseus, terutama adrenalin. Cairan intratrakeal dalam jumlah besar akan
mengganggu pertukaran gas. Karena akses IO yang lebih mudah dan kurang
efisiennya pemberian obat via jalur trakea, maka teknik ini tidak lagi
direkomendasikan.
Obat
23
Penggunaan adrenalin telah didiskusikan sebelumnya.
Obat antiaritmia
Sama halnya dengan vasopressor, bukti mengenai manfaat obat-obat anti
aritmia dalam penanganan henti jantung terbatas. Tidak ada obat anti aritmia yang
diberikan saat henti jantung pada manusia yang menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit, namun amiodaron disebutkan
dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup hingga perawatan di rumah sakit
setelah VF/VT refrakter-shock. Tidak ada data mengenai
penggunaan
amiodarione untuk VF?VT refrakte-shock bila yang digunakan adalah shock
tunggal. Meskipun data mengenai prognosis jangka panjang pada manusia
terbatas, tapi tetap banyak yng mendukung penggunaan oat anti aritmia untuk
penanganan aritmia pada henti jantung.
Amiodarone
Amiodaron
adalah
obat
anti
aritmia
membrane-stabilising
yang
meningkatkan durasi aksi potensial dan periode refrakter pada miokardium
atrium dan ventrikel. Selain itu, konduksi atrioventrikular juga diperlambat,
dan efek yang sama juga terjadi pada jalur aksesorius. Hipotensi yang terjadi
setelah pemberian amiodarone diduga tergantung pada kecepatan pemberian
dan juga diduga terjadi lebih karena efek pelarutnya (Polysorbate 80 dan
benzyl alcohol), yang menyebabkan pelepasan histamine dibandingkan karena
efek obatnya senidri.176 Sediaan amiodarone cair yang bebas dari efek samping
itu saat ini telah disetujui penggunaannya di Amerika Serikat.
Berdasarkan consensus para ahli, bila VF?VT menetap, beri 300 mg
amiodarone (setelah itu beri 20 mL NaCl 0,9% atau Dextrosa 5 %) 177 setelah
shock yang ketiga. Dosis selanjutnya, 150 mg, dapat diberikan bila terjadi
VF/VT rekuren atau refrakter, dan setelah itu diikuti denan pemberian infuse
900 mg dalam 24 jam. Lidokain 1 mg/kg dapat digunakan sebagai alternative
bila amiodarone tida tersedia, tapi jangan berikan lidokain bila sebelumnya
telah diberi amiodarone.
Magnesium
24
Meskipun madnesium diketahui bermanfaar dalam kondisi hipomagnesemia,
namun manfaat penggunaannya secara rutin saat henti jantung tidak terbukti.
Penelitian pada orang dewasa di dalam dan luar rumah sakit tidak dapat
menunjukkan adanya peningkatan angka kembalinya sirkulasi spontan (Return
of Spontaneous Circulatin ROSC) bila magnesium diberikan secara rutin saat
RKP. Berikan dosis awal 2 g (=9 mmol, 4 mL magnesium sulfat 50%) secara
IV untuk VF refrakter bila terdapat kevurigaan hipomagnesemia (misalnya
pasien yang mengonsumsi diuretic yang tidak hemat potassium); dosis dapat
diulang setelah 10-15 menit. Indikasi yang lain diantaranya:
•
Takiaritmia ventricular yang disertai kemungkinan hipomagnesemia
•
VT torsade de pointes
•
Keracunan digoksin
Bikarbonat
Henti jantung mengakibatkan kombinasi asidosis respirasi dan metabolic
karena terhentinya pertukaran gas di paru-paru dan metabolism seluler menjadi
anaerob. Penanganan terbaik untuk academia pada henti jantung adalah kompresi
dada dn manfat tambahan lain didapatkan dari ventilasi. Saat henti jantung, nilai
gas arteri dapat menyesatkan dan hanya sedikit hubungannya dengan status asambasa jaringan;184 analisis darah dari vena sentral dapat memberikan perkiraan pH
jaingan yang lebih baik. Bikarbonat menyebabkan pembentukan karbondioksida
yang kemudian berdifusi ke sel dengan cepat. Efek bikarbonat diantaranya:
•
Mengeksaserbasi asidosis intraselular
•
Menyebabkan efek inotropik negative pada miokardium yang iskemik
•
Menyebabkan penimbunan sodium yang besar, yang aktif berosmosis pada
sirkulasi dan otak yang sudah terganggu
•
Menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen ke kiri (shift to the left)
yang nantinya menghalangi pelepasan oksigen ke jaringan
Pemberian sodium bikarbonat secara rutin pada henti jantung dan Resusitasi
Kardipulmoner (utamanya pada kasus henti jantung di ;uar rumah sakit), atau
setelah sirkulasi spontan kembali, tida direkomendasikan. Beri sodium bikarbonat
25
(50 mmoL) bila henti jantung diduga akibat hiperkalemia atau overdosis
antidepresan trisiklik. Pemberian dosis ulang disesuaikan dengan keadaan klinis
pasien dan hasil analisis gas darah.
Kalsium
Kalsium memegang peran penting dalam mekanisme seluler yang
menyebabkan kontraksi miokardium. Tidak ada data yang menggambarkan
adanya manfaat kalsium pada kasus-kasus henti jantung. Konsentrasi plasma yang
tinggi dapat berbahaya nbagi miokardium yang iskemik dan dapat mengganggu
proses penyembuhan serebral. Pemberian kalsium saat resusitasi hanya bila
terdapat indikasi seperti pada henti jantung yang diakibtkan oleh hiperkalemia,
hipokalsemia, dan obat calcium channel blocker.
Dosis permulaan adalah 10 ML kalsium klorida 10$ (6,8 mmol Ca 2+) dan
dapat diulangi bila perlu. Kalsium dapat menurunkan denyut jantung dan
menyebabkan aritmia. Pada henti jantung, kalsium dapat diberikan melalui injeksi
intravena secara cepat. Bila ada sirkulasi spontan, berikan secara pelan. Jangan
berikan larutan kalsium dan sodium bikarbonat secara bersamaan melalui rute
yang sama.
RKP Mekanis
RKP manual standar dapat membuat perfusi koroner dan serebral paling
baik sebesar 30%.185 Beberapa teknik dan peraatan RKP dapat eningkatkan
hemodinamik atau angka kelangsungan hidup jangka pendek bila digunakan oleh
petugas terlatih pada kasus-kasus tertentu. Namun, keberhasilan setiap teknik dan
peralatan bergantung pada edukasi dan pelatihan semua petugas. Meskipun
kompresi dada manual kadang dilakukan dengan buruk,186-188 namun tidak ada alat
yang secara konsisten lebih baik daripada RKP manual.
Impedance Threshold Device (ITD)
ITD adalah sebuah katup yang membatasi jumlah udara yang masuk ke
paru-paru saat dada mengemabang (di antara 2 kompresi dada). Hal ini
menurunkan tekanan intratoraks dan meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
Sebuah metaanalisa terbaru menunjukkan bahwa dengan penggunaan ITD ini
26
kembalinya sirkulasi spontan dan kelangsungan hidup jangka pendek meningkat
tapi dalam hal kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit atau keutuhan status
neurologis tidak meningkat secara signifikan bila digunakan pada kasus henti
jantung di luar rumah sakit.189 Karena tidak ada data yang menunjukkan bahwa
ITD dapat meningkatkan kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit, maka
penggunaannya secara rutin dalam penanganan serangan jantung tidak
direkomendasikan.
RKP Lund University cardiac arrest system (LUCAS)
LUCAS adalah alat kompresi sternum yang digerakkan oleh gas dan
dihubungkan dengan suction cup untuk dekompresi aktif. Meskipun percobaan
pada binatang menunjukkan penggunaan RKP LUCAS dapat meningkatkan
hemodinamik dan kelangsungan hidup jangka pendek,
190,192
namun belum ada
penelitian pada manusia yang membandingkan RKP LUCAS dan RKP standar.
RKP Load-distributing band (AutoPulse)
LDB adalah alat kompresi dada melingkar yang terdiri dari constricting
band (yang dijalankan secara pneumatic) dan backboard. Meskipun RKP LDB
dapat meningkatkan hemodinamik, 192-194 namun hasil penelitian berlawanan.195-196
Status terkini LUCAS dan Auto Pulse
Saat ini, sedang dilakukan 2 penelitian prospektif untuk mengevaluasi LDB
(Autopulse) dan LUCAS. Hasil penelitian ini sangat dinanti. Di rumah sakit, alat
mekanis telah digunakan secara efektif dalam membantu pasien yang menjalani
Intervensi Koroner Primer (IKP) 197,198 dan CT Scan199 dan juga saat resusitasi yang
lama (misalnya hipotermia,200,201 keracunan, thrombolisis untuk emboli paru,
transport yang lama) dimana kelelahan penolong dapat mengganggu efektivitas
kompresi dada. Peran alat mekanis dalam segala situasi butuh evaluasi lebih lanjut
sebelum direkomendasikan penggunaannya secara luas.
PERAWATAN PASCA RESUSITASI
Sindrom pasca henti jantung
Kembalinya sirkulasi spontan (Return of Spontaneous Circulation ROSC)
hanya merupakan langkah awal dalam pemulihan setelah serangan jantung.
27
Sindrom pasca henti jantung yang terdiri atas cedera otak pasca henti jantung,
disfungsi miokardium pasca henti jantung, respon iskemia/reperfusi sistemik, dan
patologi yang persisten, biasanya mempersulit fase pasca resusitasi. 202 Tingkat
keparahan sindrom ini akan bervariasi tergantung pada durasi dan penyebab henti
jantung. Sindrom ini dapat pula tidak terjadi bila henti jantung terjadi hanya
sesaat. Cedera otak pasca henti jantung biasanya bermanifestasi sebagai koma,
kejang, mioklonus, disfungsi neurokognitif, dan kematian otak. Cedera otak pasca
henti jantung dapat disebabkan oleh kegagalan mikrosirkulasi, ketidakseimbangan
autoregulasi, hiperkarbia, hiperoksia, pireksia, hiperglikemia, dan kejang.
Disfungsi miokardium yang signifikan sering terjadi setelah henti jantung namun
biasanya akan sembuh dalam 2-3 hari.
203-204
Iskemia/reperfusi sistemik yang
terjadi setelah resusitasi akan mengaktifkan jaur imunologis dan koagulasi yang
dapat menyebabkan gagal organ multiple dan peningkatan risiko infeksi. 205,206
Sindorm pasca henti jantung memiliki banyak gejala yang sama dengan sepsis,
diantaranya penurunan volume intravaskuler dan vasodilatasi.207,208
Jalan nafas dan pernafasan
Baik
hipoksemia
maupun
hiperkarbia,
keduanya
meningkatkan
kemungkinan timbulnya henti jantung lebih lanjut dan dapat menyebabkan cedera
otak
sekunder.
Beberapa
penelitian
pada
hewan
menunjukkan
bahwa
hiperoksemia menyebabkan stres oksidatif dan membahayakan neuron pasca
iskemik.
209
Suatu penelitian registri klinis mencatat bahwa hiperoksemia pasca
resusitasi dikaitkan dengan keluaran yang buruk, dibandingkan dengan normooksemia dan hipoksemia.
210
Setelah saturasi oksigen darah arteri dapat dipantau
dengan baik (dengan analisis gas darah dan atau pulse oxymetry), sebaiknya
dilakukan titrasi oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen darah arteri
pada kisaran 94-98%. Pertimbangkan intubasi endotrakeal, sedasi dan ventilasi
terkontrol pada setiap pasien dengan gangguan fungsi serebral. Tidak terdapat
data yang mendukung target PCO2 arteri tertentu setelah resusitasi henti jantung,
tapi
sangat masuk akal untuk menyesuaikan ventilasi untuk mencapai
normokarbia dan untuk memonitor hal ini dapat digunakan PCO 2 end tidal dan
anaisa gas darah arteri.
28
Sirkulasi
Telah diketahui secara luas bahwa pasien pasca henti jantung dengan
STEMI (ST Elevation Miocardial Infarction) harus menjalani angiografi koroner
dini dan intervensi koroner perkutan (PCI = percutaneous coronary intervention),
namun karena keluhan nyeri dada dan atau elevasi ST tidak selalu menunjukkan
adanya oklusi koroner akut,211 maka intervensi tersebut harus dipertimbangkan
pada semua pasien pasca henti jantung yang diduga menderita penyakit arteri
koroner.
55,211,212
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kombinasi hipotermia
terapeutik dan PCI mudah dan aman dilakukan
untuk henti jantung yang
disebabkan oleh infark miokard akut. 212-216
Disfungsi miokard pasca henti jantung menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik, yang bermanifestasi sebagai hipotensi, indeks jantung rendah dan
aritmia. 203 Jika penanganan dengan cairan dan obat-obatan vasoaktif tidak cukup
untuk memperbaiki sirkulasi, pertimbangkan untuk melakukan insersi intra-aortic
balloon pump.
212,213
Karena tidak adanya data definitive, targetkan untuk
mencapai tekanan darah arterirata-rata untuk mendapatkan urine output yang
adekuat (1 ml /kg /jam) dan kadar laktat plasma yang normal atau menurun, dan
pertimbangkan juga untuk mencapat tekanan darah pasien yang biasanya (bila
diketahui), penyebab henti jantng dan tingkat keparahan disfungsi miokard. 202
Disabilitas (Optimalisasi penyembuhan neurologis)
Pengendalian kejang
Kejang atau mioklonus atau keduanya terjadi pada 5-15% pasien dewasa
yang mengalami sirkulasi spontan dan 10-40% dari pasien yang tetap koma. 217-220
Kejang meningkatkan metabolisme otak hingga 3 kali lipat dan dapat
menyebabkan cedera otak: tangani denagn cepat dan efektif dengan
benzodiazepin, fenitoin, valproate sodium, propofol, atau barbiturat. Belum ada
penelitian yang menganjurkan pemberian obat antikonvulsan profilaksis setelah
henti jantung pada orang dewasa.
Kontrol kadar glukosa
Terdapat hubungan yang kuat antara kadar glukosa darah tinggi setelah
resusitasi henti jantung dan
keluaran neurologis yang buruk.
29
221,222
Sebuah
penelitian acak skala besar terhadap kontrol glukosa intensif (4,5-6,0 mmol /liter)
dibandingkan kontrol glukosa konvensional (10 mmol /liter atau kurang) pada
pasien ICU memberikan hasil peningkatan 90-day mortality pada pasien-pasien
yang ditangani dengan kontrol glukosa intensif.223 Penelitian terbaru dan dua
penelitian
meta-analisis
lainnya
terhadap
kontrol
glukosa
secara
ketat
dibandingkan kontrol glukosa konvensional pada pasien kritis menunjukkan tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal mortalitas tetapi didapatkan
bahwa kontrol glukosa yang ketat dikaitkan dengan peningkatan resiko
hipoglikemia yang signifikan.
224-226
Hipoglikemia berat dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas pada pasien kritis,
227
dan pasien koma juga memiliki
resiko hipoglikemia yang tidak terduga.
Kontrol suhu tubuh
Penanganan hiperpireksia.
Hipertermia (hiperpireksia) sering terjadi dalam 48 jam pertama setelah
henti jantung. 229 Beberapa penelitian melaporkan hubungan antara pireksia
pasca henti jantung dan keluaran yang buruk. 230-232 Meskipun efek kenaikan
suhu terhadap prognosis tidak dapat dibuktikan, namun tampaknya sangat
bijaksana untuk menangani hipertermia yang terjadi setelah henti jantung
dengan pemberian antipiretik atau pendinginan aktif.
Hipotermia terapeutik.
Data pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa hipotermia ringan
bersifat neuroprotektif dan dapat memperbaiki keluaran setelah periode
hipoksik-iskemik serebral yang global. 233,234 Suhu dingin menekan banyak jalur
sehingga dapat menunda kematian sel, termasuk apoptosis (kematian sel
terprogram). Hipotermia menurunkan tingkat metabolisme oksigen otak
sebesar 6% untuk setiap penurunan suhu 1 °C 235 dan hal ini dapat menurunkan
pelepasan asam amino eksitatorik dan radikal bebas.
233
Hipotermia dapat
menghalangi paparan eksitoksin (konsentrasi kalsium dan glutamat yang
tinggi) dan mengurangi respon inflamasi yang berkaitan dengan sindrom pasca
henti jantung.
30
Semua penelitian terhadap hipotermia terapeutik pasca henti jantung
melibatkan pasien yang dalam keadaan koma. Terdapat bukti yang cukup baik
yang mendukung induksi hipotermia pada penderita koma setelah henti jantung
akibat VF yang terjadi di luar rumah sakit. Salah satu penelitian acak dan
pseudo acak 237 menunjukkan adanya perbaikan keluaran neurologis saat keluar
rumah sakit atau dalam 6 bulan pada pasien koma setelah henti jantung akibat
VF yang terjadi di luar rumah sakit. Pendinginan dimulai dalam waktu
beberapa menit sampai beberapa jam setelah sirkulasi spontan dicapai dengan
kisaran suhu 32-34 °C dipertahankan selama 12-24 jam. Ekstrapolasi data ini
untuk tipe henti jantung lainnya (mis, ritme jantung awal lainnya, henti jantung
yang terjadi di rumah sakit, pasien pediatrik) tampaknya masuk akal tapi
didukung oleh data yang didapatkan dari percobaan non-acak.212,238,241
Pelaksanaan hipotermia terapeutik dibagi menjadi tiga fase: induksi,
pemeliharaan, dan penghangatan kembali.
242
Data yang diperoleh dari
penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa pendinginan segera setelah
sirkulasi spontan kembali menghasilkan keluaran yang lebih baik.
243
Teknik
pendinginan eksternal dan/atau internal dapat digunakan untuk memulai
pendinginan. Infus 30 ml /kg cairan NaCl 0,9% yang bersuhu 4 °C atau larutan
Hartmann dapat menurunkan suhu inti tubuh sekitar 1,5 °C. Metode lain yang
dapat digunakan untuk menginduksi dan atau mempertahankan hipotermia
meliputi: ice packs sederhana dan atau handuk basah, selimut atau bantalan
pendingin, selimut bersirkulasi air atau udara, bantalan bersirkulasi air yang
dilapisi gel, intravascular heat exchanger, dan bypass kardiopulmoner.
Pada tahap pemeliharaan, dipilih metode pendinginan dengan monitoring
suhu efektif untuk menghindari fluktuasi suhu. Hal ini dapat dicapai dengan
perangkat pendinginan eksternal atau internal yang mencakup umpan balik
temperatur secara kontinyu untuk mencapai suhu target yang ditetapkan.
Konsentrasi elektrolit plasma, volume intravaskular yang efektif dan tingkat
metabolisme dapat berubah dengan cepat selama tahap penghangatan kembali,
seperti
yang
terjadi
selama
tahap
pendinginan.
Dengan
demikian,
penghangatan kembali harus dicapai secara perlahan: tingkat yang optimal
31
belum diketahui, tetapi konsensus saat ini menyatakan agar penghangatan
dilakukan sekitar 0,25-0,5 °C per jam.
240
Efek fisiologis hipotermia harus
ditangani dengan baik.242
PROGNOSIS
Dua-pertiga dari pasien pasca henti jantung di luar rumah sakit yang
kemudian dirawat di ICU meninggal karena cedera neurologis.
244
Seperempat
dari pasien pasca henti jantung di dalam rumah sakit yang juga kemudian dirawat
di ICU meninggal karena cedera neurologis. Diperlukan suatu metode untuk
memprediksi keluaran
neurologis yang dapat diterapkan pada setiap pasien
segera setelah sirkulasi spontan tercapai. Sejumlah penelitian berfokus pada
prediksi keluaran jangka panjang yang buruk (kondisi vegetatif atau kematian),
berdasarkan temuan klinis atau tes yang menunjukkan adanya cedera otak
ireversibel, sehingga memungkinkan dokter untuk membatasi perawatan atau
menghentikan melepaskan alat penunjang organ. Penggunaan tes prognostik ini
harus memiliki spesifisitas 100% atau tidak ada positif palsu, misalnya tidak ada
pasien yang memiliki keluaran jangka panjang baik padahal sudah diperediki
bahwa keluarannya akan buruk.
Pemeriksaan klinis
Tidak ada tanda-tanda neurologis klinis yang andal untuk memprediksi
keluaran yang buruk (Kategori Kinerja Cerebral [CCP= Cerebral Performance
Category] 3 atau 4, atau kematian) pada saat kurang dari 24 jam setelah henti
jantung. Pada pasien dewasa yang mengalami koma setelah henti jantung, dan
yang belum diterapi dengan hipotermia serta yang tidak memiliki faktor penyerta
(seperti hipotensi, obat-obat sedatif atau relaksan otot), hilangnya refleks cahaya
pupil dan refleks kornea setelah > 72 jam, dapat dipercaya untuk memprediksi
keluaran yang buruk.
220
Hilangnya refleks vestibulo-okular pada > 24 jam
dan skor GCS motorik 2 atau kurang setelah > 72 jam
Tanda-tanda klinis lainnya, seperti
220
245,246
kurang dapat dipercaya.
mioklonus, tidak dianjurkan untuk
32
memprediksi keluaran yang buruk. Adanya status mioklonus pada orang dewasa
sangat terkait dengan keluaran yang buruk,
219,220,247,249
tapi pada beberapa kaus
(jarang) dapat mengalami penyembuhan neurologis yang baik.
Penanda Biokimia
Penanda serum (misalnya Enolase neuron spesifik, protein S100) atau
Liquor serebrospinalis saja tida cukup untuk memprediksi keluaran yang buruk
pada pasien koma setelah henti jantung dengan atau tanpa hipotermia terapeutik.
Pemeriksaan Neurofisiologi
Tidak ada pemeriksaan neurofisiologi yang dapat memprediksi keluaran
pasien koma dengan tepat dalam 24 jam pertama setelah henti jantung. Jika
somatosensory evoked potential (SSEP) diukur setelah 24 jam, pada pasien koma
pasca henti jantung yang tidak ditangani dengan hipotermia terapeutik, tidak
adanya respon N20 kortikal bilateral terhadap rangsangan saraf median dapat
diperkirakan keluaran yang buruk (kematian atau CPC 3 atau 4).250 Sangat sedikit
rumah sakit di Inggris yang punya peralatan SSEP.
Pemeriksaan Radiologis
Banyak
pemeriksaan radiologi (Magnetic Resonance Imaging [MRI],
Computed Tomography [CT], Single Photon Emission Computed Tomography
[SPECT], angiografi serebral, Doppler transkranial, kedokteran nuklir, Near
Infra-Red Spectroscopy [NIRS] ) telah diteliti untuk mengetahui kegunaannya
dalam memprediksi keluaran pasien dewasa yang bertahan hidup setelah henti
jantung.
251
Namun belum ada penelitian yang mendukung penggunaan
pemeriksaan radiologis untuk memprediksi keluaran pasien pasca henti jantung
yang koma.
Dampak hipotermia terapeutik pada perkiraan prognosis
Tidak ada bukti yang adekuat untuk merekomendasikan suatu cara tertentu
utntuk memprediksi keluaran yang buruk pada pasien pasca henti jantung yang
ditangani dengan hipotermia terapeutik. Tidak ada tanda-tanda neurologis,
pemeriksaan neurofisiologi, biomarker, atau pemeriksaan radiologi yang dapat
dipercaya dalam memprediksi keluaran neurologis dalam 24 jam pertama pasca
henti jantung. Lat yang mungkin dapat dipercaya dlam memprediksi keluaran
33
buruk pada pasien yang ditangani dengan hipotermia terapeutik diantaranya
absennya puncak N20 bilateral pada SSEP setelah 24 jam pasca henti jantung
dan tidak adanya refleks kornea dan pupil dalam waktu 3 hari atau lebih pasca
henti jantung.
247,252
Karena terbatasnya bukti, maka keputusan pembatasan
perawatn tidak boleh diambil hanya berdasarkan pada satu alat prediksi prognosis
saja.
Donasi organ
Pasien pasca henti jantung yang tidak bertahan hidup menggambarkan
kesempatan untuk donasi organ,baik setelah kematian otak253 maupun sebagai
donor non-heart-beating.254
Pusat perawatan henti jantung
Terdapat angka kelangsungan hidup yang bervariasi antar rumah sakit
yang merawat pasien setelah reusitasi pasca henti jantung.255-258 Terdapat bukti
tidak langsung bahwa system perawatan kardiologi regional dapat meningkatkan
keluaran setelah STEMI.251 Dari data-data ini dapat disimpulkan bahwa pusat henti
jantung dan system perawatan dapat efektif tapi bukti langsung masih ditunggi. 259261
34
Download