MAKALAH FARMAKOTERAPI OSTEOPOROSIS Disusun oleh : Kelompok 1 Vanny Lauwrina Septian Fajar Zamshidi Romdlon Fauzi Christanti Litani PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i DAFTAR ISI .......................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Definisi ......................................................................................... 1 B. Epidemiologi ................................................................................. 1 C. Etiologi ......................................................................................... 2 1. Osteoporosis primer .................................................................... 3 2. Osteoporosis sekunder ............................................................... 4 D. Patofisiologi .................................................................................. 4 1. Pencapaian Massa Tulang ............................................................ 4 2. Ketidakseimbangan Resorpsi Tulang dan Pembentukan Tulang ....... 5 E. Diagnosis ...................................................................................... 7 F. Tatalaksana Terapi .......................................................................... 10 1. Tujuan Terapi ............................................................................. 10 2. Strategi Terapi ............................................................................ 11 3. Terapi Non-farmakologi ............................................................... 11 4. Terapi Farmakologi ..................................................................... 13 BAB II PEMBAHASAN KASUS ........................................................... 22 A. Kasus ........................................................................................... 22 B. Hasil Laboratorium dan Diagnosis..................................................... 23 C. Analisis Kasus................................................................................. 24 D. Etiologi Osteoporosis pada Kasus .................................................... 25 E. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis OsteoporosisV................................ 25 F. Tatalaksana Terapi pada KasusV.......................................................... 26 1. Terapi Non-farmakologi ............................................................... 26 2. Terapi Farmakologi ...................................................................... 28 G. Monitoring dan Evaluasi .................................................................... 31 H. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi ................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 2 33 BAB I PENDAHULUAN A. Definisi Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Menurut NIH (National Institute of Health) osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah. B. Epidemiologi Saat ini diperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 12 pria di atas usia 50 tahun di seluruh dunia mengidap osteoporosis. Jumlah ini menambah kejadian jutaan fraktur lain pertahunnya yang sebagian besar melibatkan lumbar vertebra, panggul, dan pergelangan tangan (wrist). Fraktur yang sering terjadi antara lain adalah : 1. Fraktur Panggul Fraktur panggul paling sering terjadi akibat osteoporosis. Insidensi fraktur panggul meningkat setiap dekade dari urutan ke 6 menjadi urutan ke 9 baik untuk wanita maupun pria pada semua populasi. Insidensi tertinggi ditemukan pada pria dan wanita usia 80 tahun ke atas. 2. Fraktur Vertebral Antara 35-50% dari seluruh wanita usia di atas 50 tahun setidaknya satu orang mengidap fraktur vertebral. Dalam urutan kejadian dari 9.704 wanita usia 68,8 tahun pada studi selama 15 tahun, didapatkan 324 wanita sudah menderita fraktur vertebral pada saat mulai dimasukkan ke dalam penelitian. Sejumlah 18,2% berkembang menjadi fraktur vertebra, tapi resiko meningkat hingga 41,4% pada wanita yang sebelumnya telah terjadi fraktur vertebra. 3. Fraktur Pergelangan Tangan Fraktur pergelangan tangan merupakan tipe fraktur ketiga paling umum dari osteoporosis. Resiko waktu hidup adalah 16% untuk wanita kulit putih. 1 2 Ketika wanita mencapai usia 70 tahun, sekitar 20%-nya setidaknya terdapat satu fraktur pergelangan tangan. 4. Fraktur Tulang Rusuk Fragility fracture dari tulang iga umumnya terjadi pada laki-laki usia muda 25 tahun ke atas. Tanda-tanda osteoporosis pada pria ini sering diabaikan karena sering aktif secara fisik dan menderita fraktur pada saat berlatih aktifitas fisik. C. Etiologi Tabel 1. Faktor resiko terjadinya osteoporosis Umur Genetik Lingkungan Hormonal dan penyakit kronik Tiap peningkatan 1 dekade,risiko meningkat 1,4-1,8 1. Etnis : Kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia 2. Seks : Perempuan > Laki-laki 3. Riwayat keluarga 1. Defisinsi kalsium 2. Aktivitas fisik berkurang 3. Obat-obatan (kortikosteroid,anti konvulsan, heparin, siklosporin) Merokok dan alkohol Defisiensi estrogen dan androgen Tirotoksokosis,hiperparratidisme primer dan 4. 1. 2. hiperkortisolisme 3. Penyakit kronik (sirosis hepatis,gagal ginjal, dan Sifat fisik Tulang gastrektomi) Densitas (massa) Ukuran dan geometri Mikroarsitektur Komposisi 1. 2. 3. 4. Faktor resiko dari osteoporosis antara lain adalah usia, faktor genetik, lingkungan, sifat hormonal dan keberadaan penyakit kronik, serta sifat fisik dari tulang. Selain faktor risiko osteoporosis, risiko terjatuh juga harus diperhatikan karena terjatuh erat berhubungan dengan fraktur osteoporotik. Beberapa faktor yang berhubungan dengan risiko terjatuh adalah usia tua, ketidakseimbangan, 3 penyakit kronik seperti sakit jantung, gangguan neurologik, gangguan pengelihatan, lantai yang licin, dan sebagainya. Berdasarkan etiologinya, osteoporosis dibedakan menjadi osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. 1. Osteoporosis primer Merupakan keadaan osteoporosis yang paling sering ditemukan. Penyebab dari osteoporosis primer berhubungan langsung dengan sistem hormonal. Osteoporosis primer biasanya terjadi pada wanita postmenopause. Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal. Hal ini terutama dipengaruhi oleh faktor ras dan genetik dimana wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam. Osteoporosis primer dibagi menjadi 2 yaitu osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis postmenopause dan osteoporosis tipe II disebut osteoporosis senilis. Osteoporosis senilis dapat merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis biasanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita dimana estrogen berperan dalam timbulnya osteoporosis ini. Tabel 2. Karakteristik Osteoporosis Tipe I dan Tipe II : Umur (tahun) Perempuan : Laki-laki Tipe kerusakan tulang Bone turnover Lokasi fraktur Tipe I 50-75 6:1 Terutama trabekular Tinggi Vertebra, radius distal Tipe II >70 2:1 Trabekular dan Kortikal Rendah Vertebra, kolum femoris 4 terbanyak Fungsi paratiroid Efek estrogen Etiologi utama Menurun Terutama skeletal Defisiensi estrogen Meningkat Terutama ekstraskeletal Penuaan dan defiseinsi estrogen 2. Osteoporosis Sekunder Osteoporosis sekunder dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit osteoporosis bisa antara lain disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok juga bisa memperburuk keadaan osteoporosis. D. Patofisiologi Osteoporosis dapat terjadi karena kegagalan untuk mencapai puncak massa tulang dan resorpsi tulang yang berlebihan dan / atau penurunan pembentukan tulang selama proses renovasi. Semua proses ini mungkin berkontribusi dalam berbagai tingkatan pada osteoporosis. 1. Pencapaian Puncak Massa Tulang Pencapaian puncak massa tulang adalah hal yang terpenting dalam mencegah osteoporosis dan berlanjutnya patah tulang di masa dewasa. Fraktur panggul dapat dikurangi sebesar 30 % dengan peningkatan puncak massa tulang sebesar 10 %. Faktor genetik merupakan penentu utama puncak massa tulang dan keropos tulang dan memberikan kontribusi sebanyak 80 % ke variabilitas puncak massa tulang. Studi asosiasi genome mengidentifikasi beberapa varian genetik yang mengatur massa tulang termasuk low-density lipoprotein receptorrelated protein 5 (LRP5), sklerostin (SOST), osteoprotegerin (OPG), reseptor estrogen 1, dan reseptor penggerak NF - kb (RANK) gen pathway. Sejauh ini, telah diidentifikasi 20 gen yang mempengaruhi osteoporosis, tetapi masing-masing berkontribusi hanya 5 sejumlah kecil dari varians genetik dalam kerentanan penyakit tersebut. Ini bisa jadi karena studi asosiasi genome diarahkan terhadap identifikasi varian umum dari efek kecil daripada varian langka efek besar. Pekerjaan lebih lanjut sedang berlangsung untuk menentukan polimorfisme langka pada gen kandidat lain yang bisa memiliki efek lebih besar. Namun, saat ini tidak cukup diketahui tentang genetika osteoporosis untuk mempengaruhi pengambilan keputusan klinis. Pertambahan massa tulang di masa kanak-kanak dan dewasa awal juga dipengaruhi oleh status hormonal, terutama estrogen. Faktor-faktor lingkungan seperti nutrisi, olahraga, dan merokok memainkan peran penting dalam Pencapaian puncak massa tulang. Sekarang diketahui bahwa modulasi puncak massa tulang dapat terjadi selama kehidupan intrauterine dan dipengaruhi oleh gizi ibu, merokok, dan tingkat latihan. 2. Ketidakseimbangan Resorpsi Tulang dan Pembentukan Tulang Pada usia dewasa, proses remodeling tulang penting untuk pemeliharaan kesehatan tulang karena perbaikan dari area microdamage. Ini adalah proses selular yang melibatkan tindakan terkoordinasi osteoklas (sel resorbing tulang) dan osteoblas (sel pembentukan tulang) yang merupakan unit multiseluler tulang. OPG/RANK dan ligan (RANKL) adalah mediator yang paling penting dari aktifitas osteoklas, sedangkan LRP5 adalah salah satu mediator yang paling penting dari aktivitas osteoblas. Sel lain berkontribusi pada proses remodeling tulang dan termasuk diferensiasi osteoblas terminal, osteosit, dan unsur pembuluh darah pembentuk kompartemen remodeling tulang. Resorpsi tulang dirangsang melalui produksi RANKL oleh sel dari garis osteoblastic lineage. Pengikatan RANKL ke kognitif reseptor RANK menghasilkan aktivasi intraseluler pada jalur yang kompleks termasuk NF - kb yang menghasilkan induksi gen osteoklastogenik. OPG bertindak sebagai reseptor decoy mencegah RANKL mengikat RANK. Protein yang disebut Wnt mengaktifkan jalur LRP5 yang merangsang pembentukan tulang dan menghambat resorpsi tulang. Berbagai inhibitor sinyal LRP5 telah diidentifikasi termasuk SOST yang diproduksi oleh osteosit dan kemungkinan bertindak sebagai mediator dari efek beban mekanis pada skeleton. 6 Rasio OPG/RANKL merupakan faktor kunci dalam pemeliharaan pergantian tulang normal dan kekuatan/massa tulang. Banyak sekali hormon, faktor pertumbuhan (TGF - b, IGF - 1, BMP2), sitokin (IL - 1, IL - 6, TNF -a, prostaglandin E2), dan obat-obatan mempengaruhi ekspresi OPG/RANKL dan oleh karena itu juga pergantian tulang. Hal ini juga menetapkan bahwa ketidakseimbangan dalam remodeling tulang pada menopause adalah karena defisiensi estrogen. Pada pria, meskipun ada pengurangan lebih lambat dari serum testosteron dengan bertambahnya usia, bioavailabilitasnya berkurang secara progresif terutama setelah usia 80, yang mengakibatkan hilangnya tulang meskipun banyak efek testosteron dimediasi oleh aromatisasi estradiol. Meskipun ada kemungkinan bahwa peningkatan resorpsi tulang memiliki dampak terbesar pada kehilangan tulang dan risiko patah tulang, gangguan pembentukan tulang dalam menanggapi peningkatan tingkat resorpsi tulang merupakan komponen penting dari patogenesis osteoporosis. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan jumlah osteoprogenitor/sel-sel praosteoblastik dan/atau usia terkait cacat dalam proliferasi dan kemampuan berdiferensiasi. Dengan bertambahnya usia, penurunan pembentukan tulang lebih dari resorpsi tulang dimungkinkan karena diferensiasi preferensial sumsum tulang sel stroma ke dalam adiposa dari osteoblas. Usia dan menopause yang berhubungan dengan bone losses jelas penting sebagai faktor untuk osteoporosis dengan faktor genetik mungkin menjelaskan variasi yang luas dalam integritas tulang pada orang tua dari usia yang sama. Selain itu, faktor yang berkaitan dengan usia seperti ketajaman visual, kekuatan otot, kurangnya keseimbangan dan obat-obatan yang mempengaruhi keseimbangan akan berinteraksi dengan kepadatan tulang dengan cara yang penting untuk menentukan resiko patah tulang. Osteoporosis dapat disebabkan baik oleh kegagalan untuk membentuk tulang dan mencapai puncak massa tulang sebagai dewasa muda dan dengan adanya keropos tulang di kemudian hari. Percepatan keropos tulang dapat dipengaruhi oleh status hormonal seperti yang terjadi pada wanita perimenopause, 7 dapat berdampak pada pria dan wanita lanjut usia, dan dapat terjadi secara sekunder untuk berbagai keadaan penyakit dan obat-obatan. Penuaan dan hilangnya fungsi gonad adalah 2 faktor yang paling penting yang berkontribusi terhadap perkembangan osteoporosis. Penelitian telah menunjukkan bahwa hilangnya tulang pada wanita meningkat pesat di tahuntahun pertama setelah menopause. Kurangnya hormon gonad diperkirakan ikut mengatur sel-sel progenitor osteoklas. Defisiensi estrogen menyebabkan peningkatan ekspresi RANKL oleh osteoblas dan penurunan pelepasan OPG, peningkatan hasil RANKL dalam perekrutan angka preosteoklas yang lebih tinggi serta peningkatan aktivitas, kekuatan, dan umur osteoklas dewasa. E. Diagnosis Osteoporosis Pemeriksaan yang diperlukan untuk penilaian osteoporosis antara lain adalah anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan biokimia tulang, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan densitas massa tulang, sonodensitometri, dan magnetic resonance imaging. 1. Anamnesis Anamesis memegang peranan penting ada evaluasi pasien osteoporosis. Biasanya, keluhan utama dapat berupa fraktur kolum femoris pada osteoporosis bowing leg pada riket atau kesemutan atau rasa kebal disekitar mulut atau ujung jari pada hipokalsemi. Fraktur lain adalah trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan orang tua, kurang paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor, dan vitamin D, serta latihan yang teratur yang bersifat weight-bearing, obat-obatan yang harus diminum dalam jangka panjang harus diperhatikan, alkohol dan merokok merupakan faktor resiko osteoporosis. 2. Pemeriksaan Fisik Tinggi badan dan berat badan harus di ukur pada setiap pasien osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan pasien, deformitas tulang, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher. Pasien dengan osteoporosis menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus ( Dowager’s hump ) ada penurunan tinggi badan. 8 Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravetebral dan kulit yang tipis. 3. Pemeriksaan Biokimia Tulang Pemeriksaan biokimia tulang terdiri dari kalsium tulang dalam serum, ion kalsium, kadar fosfor serum, kalsium urin, fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin dan bila perlu hormin paratiroid dan vitamin D. Kalsium serum terdiri dari tiga fraksi yaitu kalsium yang terikat pada albumin (40%), kalsium ion dalam (48%) dan kalsium komplek (12%). Kalsium yang terikat dalam albumin tidak difiltrasi glomerulus. Untuk menetukan turnover tulang, dapat diperiksa petanda biokimia tulang yang terdiri dari petanda formasi dan resorpsi tulang. Petanda formasi tulang terdiri dari bone-specific alkaline phosphatase (BSAP), osteokalsin (OC), carboxy-terminal propeptide of type I collagen (PICP) dan aminoterminal propeptide of typi I collagen (PINP). Sedang kan petanda resorpsi terdiri dari hidrokksiprolin urin, free and total pyridinolines (pyd) urin, free and total deoxypyridinolines (Dpd) urin, N-telopeptide of collagen cross-links (Ntx) urin, C- telopeptide of collagen cross-links (Ctx) urin, cross-linked Ctelopeptide of type I collagen (ICTP) serum dan tartrate-reistant acid phosphatase (TRAP) serum. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan pada pemeriksaan petanda biokimia tulang : a. Karena petanda biokimia tulang hanya dapat diukur dari urin, maka harus diperhatikan kadar kreatinin dalam darah dan urin karena akan mempengaruhi hasil pemeriksaan. b. Pada umunya petanda formasi dan resorpsi tulang memiliki ritme sirkadian, sehingga sebaiknya diambil sample urin 24 jam atau bila tidak mungkin dapat diambil urin pagi yang kedua, karena kadar tertinggi petanda biokimia tulang dalam urin adalah antara pukul 04.00-08.00 pagi. Kadar OC dan PICP juga mencapai kadar tertinggi didalam serum pukul 04.00-08.00. c. Petanda biokimia tulang sangat dipengaruhi oleh umur karena pada usia muda juga terjadi peningkatan bone turnover. 9 d. Terdapat perbedaan hasil pada penyakit-penyakit tettentu misalnya pada paget’s disease. Manfaat pemeriksaan petanda biokimia tulang antara lain adalah : a. Prediksi kehilangan masa tulang b. Prediksi resiko fraktur c. Seleksi pasien yang membutuhkan antiresorptif d. Evaluasi efektivitas terapi 4. Pemeriksaan Radiologi Gambaran radiologi yang khas pada osteoporis adalah penipisan korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra. a. Vertebra b. Femur proksimal c. Metakarpal d. Skintigrafi tulang 5. Pemeriksaan Densitas Masa Tulang (densitometri) Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan presis untuk menilai densitas masa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan bahkan diagnosis osteoporosis. Berbagai metode yang dapat digunaka untuk menilai densitas masa tulang : a. Single-Photon Absorptiometry (SPA) b. Dual-Photon Absorptiometry (DPA) c. Quantitative Computer Tornography (QCT) d. Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) 6. Sonodensitometri Metode ini lebih murah dalam menilai densitas tulang perifer dengan menggunakan gelombang suara dan tanpa adanya resiko radiasi. Dilakukan pengukuran densitas btulang berdasarkan kecepatan gelombang suara, atenuasi ultrasound broadband dan kekakuan (stiffness). Namun, metode ini masih dalam penelitian. 7. Magnetic Resonance Imaging MRI mepunyai kemampuan yang cukup menjanjikan dalam menganalisa struktur trabekula dan sekitarnya. Metode ini mempunyai kelebihan dengan tidak adanya efek radiasi, namun juga sedang dalam penelitia 10 F. Tatalaksana Terapi 1. Tujuan Terapi Tujuan utama dari terapi pengelolan gangguan osteoporosis adalah melalui pencegahan terjadinya dan perkembangan osteoporosis. Mengoptimalkan perkembangan tulang dan massa tulang terutama pada masa anak-anak, remaja, dan awal dewasa, dapat menurunkan resiko terjadinya osteoporosis di masa yang akan datang. Tujuan terapi osteoporosis juga ditentukan oleh tingkat perkembangan osteoporosis. Apabila osteoporosis sudah mulai berkembang, maka tujuan terapi yang dilakukan adalah untuk menstabilkan dan meningkatkan massa dan kekuatan tulang dan mencegah terjadinya fraktur. Untuk pasien yang sudah mengalami osteoporosis yang disertai fraktur, maka tujuan terapi adalah untuk menurunkan resiko pasien mengalami jatuh dan fraktur yang lebih parah, meningkatkan kapasitas fungsional fisik, menurunkan nyeri dan deformasi tulang, serta meningkatkan kualitas hidup yang merupakan tujuan utama dari terapi osteoporosis. 11 2. Strategi Terapi Strategi terapi terapi yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah mengatur gaya hidup yang dapat menunjang kesehatan tulang. Menjaga kadar kalsium dan vitamin D yang adekuat dalam tubuh, baik melalui konsumsi makanan maupun obat-obatan. Penggunaan obatobatan untuk pasien dengan penderita osteopenia dengan T-score -1 hingga -2,4 masih kontroversial. Penggunaan obat-obatan untuk terapi osteoporosis direkomendasikan pada wanita postmenopause dengan T-score kurang dari -2,0 atau kurang dari -1,5 apabila memiliki faktor resiko osteoporosis. Penggunaan biphosphonat sebagai pilihan terapi obat direkomendasikan untuk pasien osteoporosis dengan T-score -2,5 atau kurang atau apabila ada trauma faktur ringan. 3. Terapi Non-Farmakologi Terdapat beberapa rekomendasi untuk terapi non-farmakologi berupa modifikasi atau perubahan terkait gaya hidup yang berhubungan dengan kesehatan tulang, yaitu diet, olahraga rutin yang terkait latihan angkat berat dan latihan untuk menguatkan otot, berhenti merokok dan minum minuman beralkohol, pencegahan jatuh, serta perlindungan pinggul. a. Diet Secara umum diet dengan gizi dan mineral yang seimbang sangatlah penting bagi tubuh. Menjaga asupan kalsium dan vitamin D melalui makanan merupakan salah satu terapi farmakologi utama untuk membantu mencegah osteoporosis dan menurunkan resiko terjadinya fraktur. Asupan vitamin D dan kalsium juga dapat dilakukan untuk menjaga asupan kalsium dan vitamin D secara adekuat. Asupan kalsium yang baik adalah sekitar 1200 mg per hari yang sangat berperan dalam pembentukan massa tulang dan menjaga kesehatan tulang. Makanan yang mengandung kalsium antara lain adalah susu, yoghurt, keju, buah-buahan dan sayur-sayuran. Asupan vitamin D yang direkomendasikan adalah sekitar 800-1.000 IU vitamin D, terutama untuk yang berusia 50 tahun ke atas. Makanan yang banyak 12 mengandung vitamin D antara lain adalah sereal, vitamin-D fortified milk, kuning telur, ikan, dan ati (NOF, 2013). Selain itu juga mengurangi konsumsi kafein juga sangat penting karena kafein dapat meningkatkan ekskresi kalsium, peningkatan hilangnya massa tulang dan resiko terjadinya fraktur. Konsumsi alkohol juga perlu dihindari karena dapat meningkatkan faktor resiko osteoporosis atau fraktur, dimana hal ini berhubungan dengan memburuknya status gizi, gangguan metabolisme kalsium dan vitamin D, dan peningkatan resiko jatuh. Konsumsi tinggi natrium juga berpengaruh pada peningkatan ekskresi kalsium yang dapat meningkatkan resorpsi tulang dan rendahnya nilai bone mass density (BMD). Vitamin K merupakan kofaktor untuk aktivasi dari beberapa protein, salah satunya adalah osteocalcin yang berperan dalam pembentukan tulang. Defisiensi vitamin K juga berkontribusi pada hilangnya massa tulang dan peningkatan resiko fraktur. Nutrisi dan mineral lain yang juga dibutuhkan antara lain adalah boron dan magnesium yang mempengaruhi kesehatan tulang. Diet protein juga berpengaruh pada kesehatan tulang. Intake protein yang tinggi memang berpengaruh pada meningkatmya ekskresi kalsium, namun beberapa data juga menunjukkan asupan protein yang rendah dapat meningkatkan resiko osteoporosis. Asupan protein yang tinggi juga dapat melindungi dari hilangnya massa tulang. Peningkatan ekskresi kalsium akibat peningkatan asupan protein juga dapat menjadi indikator yang memperlihatkan bahwa absorpsi kalsium lebih besar dibandingkan dengan tingkat resorpsi tulang. b. Menghindari Merokok Merokok merupakan faktor resiko osteoporosis dan berhubungan dengan 80% peningkatan resiko relatif terjadinya fraktur pada tulang pinggul. Efeknya bersifat dose-dependen dan juga tergantung durasi. Merokok juga berhubungan dengan penurunan kadar hormon seksual, penurunan absorpsi kalsium di intestinal, efek toksik langsung pada 13 osteoblast, dan efek perusakan pada neurovaskular yang berimplikasi pada tulang. c. Olahraga Aktivitas fisik merupakan terapi non-farmakologi yang sangat penting untuk pencegahan osteoporosis. Olahraga secara rutin terutama yang terkait dengan angkat berat dan penguatan otot dapat meningkatkan kekuatan dan keseimbangan tubuh, sehingga menurunkan resiko jatuh dan fraktur. Selain itu, olahraga secara rutin juga dapat meningkatkan densitas tulang (NOF, 2013). Olahraga secara rutin untuk orang yang dalam masa pertumbuhan sangat penting dalam menurunkan resiko deposisi tulang dan pelepasan massa tulang. d. Pencegahan Jatuh Jatuh dan resiko terjadinya cedera dan fraktur pada tulang sangat berkaitan erat. Hal ini tentunya membuat faktor dukungan keluarga dan lingkungan rumah yang aman juga berperan penting dalam terapi osteoporosis seseorang. Selain itu juga perlu pemeriksaan rutin mengenai bagaimana fungsi penglihatan, pendengaran, dan keadaan neurologis seseorang untuk mencegah resiko seseoarang mengalami jatuh. Selain itu penggunaan alat pelindung pinggu atau hip protector dari bahan yang baik juga dapat menurunkan resiko terjadinya jatuh. 4. Terapi Farmakologi Keputusan mengenai inisiasi pengobatan pada osteoporosis sangat kompleks. Pasien masuk kriteria osteoporosis apabila T-score <-2,5 atau pasien dengan resiko tinggi dengan riwayat patah tulang osteoporosis mendapatkan manfaat yang signifikan dari pengobatan. Guideline terbaru mendukung pemberian obat pada terapi pasien osteopenia dan osteoporosis karena terapi dengan obat efektif menurunkan resiko patah tulang. Lini pertama terapi untuk osteoporosis adalah bifosfonat. Sedangkan terapi, raloksifen, dan kalsitonin hanya digunakan sebagai terapi alternatif. Data keamanan penggunaan bifosfonat menunjukkan bahwa bifosfonat aman digunakan selaa 7 – 10 tahun. Teriparatid jangka 14 pendek (18 – 24 bulan) digunakan untuk osteoporosis parah kemudian diikuti dengan terapi bifosfonat.Terapi pengobatan osteoporosis untuk anak dan wanita pre dan perimenopause termasuk kontroversial dan sedang diinvestigasi lebih jauh. Gambar 1. Algoritma Terapi pada Pasien Osteoporosis a. Anti Resorptive 1). Suplemen Kalsium Ketidakseimbangan kalsium disebabkan karena kurangnya asupan kalsium dari makanan, penurunan absorbsi, maupun peningkatan ekskresi kalsium. Suplemen kalsium diperlukan oleh sebagian besar pasien osteoporosis maupun pasien dengan resiko osteoporosis. Kalsium dapat meningkatkan densitas mineral tulang, namun hanya sedikit berperan dalam pencegahan patah tulang. Efek peningkatan densitas mineral tulang dari kalsium termasuk rendah atau kurang jika dibandingkan dengan golongan antiresorptive lain. Efek samping utama dari kalsium adalah konstipasi. Hal tersebut dapat diatasi degan peningkatan konsumsi air, serat, dan olahraga. Apabila belum teratasi, maka dapat diatasi dengan penurunan dosis 15 disertai peningkatan frekuensi pemberian. Kalsium karbonat dapat menimbulkan gas dan menyebabkan sensasi kembung. Hal tersebut dapat diatasi dengan mengganti kalsium karbonat menjadi kalsium sitrat yang memiliki efek samping GI lebih sedikit. Gambar 2. Algoritma Terapi pada Pasien Osteoporosis Postmenopause Kalsium karbonat merupakan garam kalsium pilihan karena mengandung kalsium dalam jumlah banyak dan paling murah. Tablet kalsium karbonat sebaiknya dikonsumsi bersama makanan untuk meningkatkan absorbsinya. Sedangkan kalsium sitrat tidak diberikan bersama makanan. Trikalsium fosfat memang mengandung 30% kalsium, namun kompleks yang terbentuk antara kalsium dengan fosfat mengurangi absorbsi kalsium dibandingkan produk lain. Produk ini menguntungkan bagi 10% pasien yang mengalami hipofosfatemia yang tidak dapat dengan asupan makanan saja. 16 2). Suplemen Vitamin D Asupan vitamin D juga merupakan faktor penting dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis karena vitamin D dapat memaksimalkan absorbsi kalsium di intestinal. Pasien yang menjalani terapi osteoporosis dianjurkan untuk mengkonsumsi minimum 800 unit vitamin D melalui makanan dan suplemen dengan tujuan untuk menjaga konsentrasi 25(OH)D tetap dalam rentang cukup. Kolekalsiferol (vitamin D3) lebih efisien dibandingkan ergokalsiferol (vitamin D2) dalam meningkatkan konsentrasi 25(OH)D dan merupakan bentuk suplemen vitamin D yang lebih disukai. 3). Bisfosfonat Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat, yaitu suatu inhibitor resorbsi tulang endogen. Perbedaan bisfosfonat dengan pirofosfat yaitu pada atom oksigen di pusat digantikan oleh atom karbon dengan 2 substituen. Bisfosfonat menghambat resorbsi tulang sehingga memiliki efek hipokalsemia. Analog pirofosfat ini memiliki afinitas tinggi terhadap hidroksiapatit tulang dan menghambat resorbsi tulang oleh osteoklas. Bisfosfonat juga menghambat pembentukan dan pelarutan kristal hidroksiapatit sehingga memiliki potensi untuk mempengaruhi mineralisasi tulang. Etidronat adalah bisfosfonat paling poten dalam menghambat resorbsi tulang. Alendronat, risedronat, dan ibandronat oral diindikasikan untuk pencegahan dan terapi osteoporosis postmenopause. Ibandronat dan asam zoledronik intravena hanya diindikasikan untuk terapi osteoporosis postmenopause. Risedronat dan alendronat boleh diberikan juga pada laki-laki dan osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid dengan tujuan untuk meningkatkan densitas mineral tulang, bukan pengurangan risiko patah. Bisfosfonat memiliki efek terbesar dalam penurunan risiko patah dan peningkatan densitas mineral tulang di antara golongan antiresorptif lainnya. Peningkatan densitas mineral tulang dengan 17 bisfosfonat tergantung dosis dan efek terbesar akan muncul pada 612 bulan pertama terapi diikuti dengan peningkatan kecil secara kontinyu. Setelah penghentian pengggunaan bisfosfonat, peningkatan densitas mineral tulang tetap akan terjadi hingga waktu yang panjang (bervariasi tergantung bisfosfonat yang digunakan). Alendronat mingguan meningkatkan densitas mineral tulang lebih besar dibandingkan risedronat mingguan. Secara farmakokinetik, bisfosfonat sangat sulit diabsorbsi pada sediaan oral dan absorbsi berkurang dengan adanya makanan, terutama makanan yang mengandung kalsium atau kation polivalen lain. Sebanyak 50% dari dosis yang terserap akan masuk ke jaringan dan tetap tinggal selama jangka waktu yang lama. Bisfosfonat diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh. Overdosis bisfosfonat oral dapat menyebabkan gejala hipokalsemia. Hal tersebut dapat diatasi dengan infus parenteral garam kalsium, pemberian susu, atau antasida untuk mengikat bisfosfonat dan meminimalisir absorbsi. Efek samping GI dari bisfosfonat hanya akan muncul minimal apabila bisfosfonat digunakan dengan benar. Penggunaan bisfosfonat mingguan dan bulanan akan tetap memberikan efek samping yang mirip (perforasi, ulserasi, perdarahan GI) namun lebih ringan dibandingkan penggunaan harian. Ibandronat intravena dan asam zoledronik dapat digunakna bagi pasien yang kontraindikasi dan intoleran terhadap bisfosfonat oral. Efek samping utama bisfosfonat intravena adalah demam, gejala mirip flu, dan reaksi lokal pada tempat injeksi. Cara penggunaan bisfosfonat oral yang tepat dapat meminimalkan efek samping GI dan meningkatkan bioavailabilitas dari bisfosfonat. Bisfosfonat sebaiknya diminum bersama dengan air putih sekurang-kurangnya 30 menit sebelum makan (60 menit khusus ibandronat) makanan apapun, termasuk suplemen vitamin atau obat lain. Pasien harus tetap tegak (baik berdiri maupun duduk) kira-kira 18 selama 30 menit setelah mengkonsumsi alendronat dan risedronat dan selama 1 jam setelah pemberian ibandronat. Pemberian bisfosfonat intravena yaitu dengan cara disuntikkan selama 15-30 detik atau dapat juga dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau larutan salin. Kebanyakan pasien lebih memilih menggunakan bisfosfonat mingguan atau bulanan dibandingkan bisfosfonat harian. Apabila pasien melewatkan atau terlupa satu dosis mingguan, maka pasien tersebut dapat mengkonsumsi di hari berikutnya. Namun apabila terlewat lebih dari 1 hari, sebaiknya pasien menunggu jadwal pemberian selanjutnya. Apabila pasien melewatkan satu dosis bulanan bisfosfonat, pasien masih dapat menerima obat tersebut hingga 7 hari sebelum jadwal selanjutnya. 4). Campuran estrogen agonis/antagonis Raloksifen termasuk dalam golongan obat modulator reseptor estrogen selektif (SERM) yang secara parsial meniru efek estrogen pada tulang dan sistem kardiovaskular namun tanpa efek stimulasi pada endometrium dan paydara. Raloksifen merupakan generasi kedua campuran agonis/antagonis estrogen yang diterima untuk digunakan dalam pencegahan dan terapi ostoporosis postmenopause. Generasi terbaru dari kelas ini adalah Bazedoxifen dan Lasofoxifen. Raloksifen mengurangi fraktur vertebral dan meningkatkan densitas mineral tulang meskipun tidak lebih kuat dibandingkan bisfosfonat. Bagi wanita dengan osteoporosis yang berat, terutama apabila dikehendaki penurunan risiko fraktur, bisfosfonat merupakan pilihan yang lebih baik. Tidak seperti bisfosfonat, efek raloksifen akan hilang setelah penghentian obat. Raloksifen juga dapat diindikasikan untuk penurunan risika kanker payudara invasif. Penggunaan raloksifen adalah dengan dosis oral 60 mg per hari baik untuk pencegahan maupun untuk terapi osteoporosis postmenopausal. 19 Efek samping utama yang paling umum dari raloksifen adalah hot flushes, kram kaki, dan sindrom seperti flu. Raloksifen juga dikaitkan dengan peningkatan kejadian tromboemboli vena, khususnya pada 4 bulan pertama terapi. Wanita dengan riwayat tromboemboli vena dikontraindikasikan terhadap raloksifen. Wanita dengan risiko tinggi stroke atau penyakit koroner, atrial fibrilasi, atau serebrovaskular sebaiknya juga tidak diberikan raloksifen. 5). Terapi estrogen Estrogen dapat digunakan pada pasien tertentu untuk pencegahan dan terapi osteoporosis postmenopause. Estrogen memiliki efek antiresorptif langsung pada tulang dan dapat meningkatkan densitas mineral tulang. Peningkatan densitas mineral tulang yang ditimbulkan oleh terapi ini tidak sebesar bisfosfonat atau teripratide namun lebih besar daripada raloksifen dan kalsitonin. Efeknya terhadap penurunan risiko fraktur masih menjadi perdebatan dan dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara serta penyakit kardiovaskuler lain. Berdasarkan rasio benefit-risiko, HRT kurang dianjurkan sebagai lini pertama pencegahan osteoporosis dan tidak boleh diberikan pada wanita di atas usia 50 tahun. Namun, HRT tetap menjadi pilihan terapi apabila terapi lain tidak dapat dilakukan. HRT juga dapat diberikan kepada wanita dengan menopause dini hingga usia 50 tahun. Terapi penggunaan HRT sebaiknya tidak melebihi 5 tahun. Dosis minimum harian yang dianjurkan untuk pencegahan yaitu 625 mcg estrogen terkonjugasi oral, 2 mg estradiol oral atau 50 mg secara transdermal, 15 mcg etinilestradiol oral, atau 14 mcg estradiol patch. Penambahan progestogen baik secara berkala maupun secara kontinyu dibutuhkan untuk mencegah hiperplasia uterus. 6). Kalsitonin Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar tiroid ketika kalsium serum meningkat dan memberikan efek hipokalsemia karena 20 menghambat resorbsi tulang oleh osteoklas dan juga berefek langsung pada ginjal (mwningkatkan ekskresi urin kalsium dan fosfor). Kalsitonin bukanlah lini pertama dalam terapi osteoporosis. Biasanya hanya digunakan sebagai adjuvant atau lini kedua dalam bentuk injeksi subkutan 100 unit per hari ataupun semprotan intranasal 200 unit per hari (kalsitonin diinaktivasi secara cepat apabila diberikan dalam bentuk oral). Kalsitonin (salmon) diindikasikan untuk terapi osteoporosis bagi wanita yang setidaknya sudah 5 tahun menopause. Efek kalsitonin yaitu dapat meningkatkan densitas mineral tulang sumsum dan penurunan risiko fraktur vertebral (semprotan nasal). Efek analgesik kalsitonin dapat membantu bagi pasien yang menderita nyeri akut akibat fraktur osteoporosis yang dapat diperoleh dalam waktu 2 minggu terapi. Metabolisme kalsitonin di ginjal terjadi segera setelah diinjeksikan dan diekskresikan melalui urin. Efek samping kalsitonin yaitu mual, muntah, diare, pusing, dan flushing. Efek samping tersebut bersifat dose-dependent, sulit terdeteksi, dan lebih sering terjadi dengan dosis intravena. Kalsitonin harus diberikan secara hati-hati bagi pasien dengan gangguan ginjal dan apabila perlu dilakukan penurunan dosis. 7). Diuretik Tiazid Diuretik tiazid dapat meningkatkan reabsorbsi kalsium urin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan diuretik tiazid memiliki massa tulang yang lebih besar, pengeroposan tulang yang lebih lambat, dan lebih sedikit fraktur. Penggunaan diuretik tiazid masih terbatas sebagai terapi adjuvant saja dan merupakan pilihan yang masuk akal bagi pasien yang membutuhkan diuretik dan pasien yang menggunakan glukokortikoid dengan lebih dari 300 mg kalsium diekskresikan melalui urin selama 24 jam. b. Terapi Anabolik Teriparatid merupakan analog hormon paratiroid yang memiliki efek anabolik pada tulang dan meningkatkan densitas mineral tulang 21 sumsum. Injeksi subkutan teriparatid harian menurunkan risiko fraktur vertebral dan non non-vertebral pada pasien postmenopause melalui peningkatan pembentukan tulang, kecepatan perbaikan tulang, dan aktivitas dan jumlah osteoblas. Teriparatide direkomendasikan sebagai pilihan sebagai pencegahan sekunder fraktur akibat kerapuhan osteoporosis pada wanita berusia 65 tahun ke atas yang memiliki respon tidak memuaskan terhadap bisfosfonat atau bagi yang intoleran terhadap bisfosfonat, serta bagi yang memiliki densitas mineral tulang sangat rendah. Dosis yang biasa digunakan adalah 20 mcg injeksi subkutan harian dengan durasi terapi yang dibatasi 18 bulan (Inggris) atau 2 tahun (Amerika). Absorbsi teriparatide secara besar terjadi setelah injeksi subkutan dan konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 30 menit dengan bioavailabilitas 95%. Teriparatid diekskresikan melalui ginjal. Efek samping utama yang paling umum yaitu gangguan GI, nyeri pada tulang tempat injeksi, sakit kepala, hipotensi ortostatik, dan pusing. Terdapat juga kejadian hiperkalsemia tersembunyi yang jarang terjadi dan potensi osteosarkoma. Sebagai tambahan, teriparatid tidak direkomendasikan bagi pasien hiperkalsemia, penyakit metabolik tulang selain osteoporosis, kanker metastasis ataupun skeletal, atau wanita premenopause yang masih berpotensi memiliki anak. Teriparatide adalah terapi termahal dalam terapi osteoporosis. c. Terapi Kombinasi Beberapa studi kecil menunjukkan bahwa kombinasi terapi antara antiresorptif dan agen anabolik memberikan efek peningkatan densitas mineral tulang yang lebih besar namun tidak memberikan pengaruh pada risiko fraktur. Kombinasi raloksifen atau HRT dengan PTH memberikan peningkatan densitas mineral tulang. BAB II PEMBAHASAN KASUS A. Kasus Ny AK, 54 th, sejak 1 bulan yang lalu mengeluh nyeri pada punggung dan tulang belakang. Siklus menstruasinya sudah berhenti sekitar 3 tahun yang lalu. Untuk mengatasi keluhannya, dia minum Natrium Diklofenak tablet 2X50 mg sehari. Beberapa saat nyeri bisa berkurang, namun kemudian sering kambuh lagi. Riwayat Penyakit Sebelumnya Hipertensi sejak 10 th yang lalu Memiliki riwayat ulcer dan perdarahan lambung Pernah mengalami perdarahan per vagina (vaginal bleeding) setahun yang lalu Riwayat Keluarga Ibunya meninggal karena kanker payudara Riwayat Pengobatan Kaptopril 3X12,5 mg sehari Nifedipin 3X10 mg sehari Pemeriksaan fisik Tekanan Darah 160/100 Tek Nadi dan RR dbn (dalam batas normal) Pemeriksaan Laboratorium Kolesterol total 237 Serum kreatinin 0,9 Kalsium 9,0 Phosphor 4,0 BUN 30 22 23 Pemeriksaan urin Protein 0 Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan hysterocopic : Normal Pemeriksaan penunjang lain Hasil pap smear dan mammogram : Normal Diagnosa Osteoporosis post menopause B. Hasil Laboratorium dan Diagnosis Pemeriksaan Fisik Hasil Nilai Keteranga Tekanan Darah Pemeriksaan 160/100 mmHg Normal 120/80 n Tinggi Tekanan Nadi 35 mmHg mmHg 30-40 Normal Respiration 17x/menit mmHg 12- Normal 18x/menit Rate (RR) Pemeriksaan Laboratorium Kolesterol Total Serum Kreatinin Kalsium Phospor BUN Pemeriksaan Lain 237 mg/dL 0,9 mg/dL 9,0 mg/dL 4,0 mg/dL <200 mg/dL 0,5-1 mg/dL 9-11 mg/dL 2,5-4,5 Tinggi Normal Normal Normal 30 mg/dL mg/dL 8-25 mg/dL Tinggi 24 Pemeriksaan Radiologis Normal (Hysterocopic) Pap smear dan mammogram Normal Pengembangan Kasus Berat Badan 63 kg Tinggi Badan 155 cm BMI T-Score 26,22 -2,7 18,5-24,9 >-1 Overweight Rendah Diagnosis : Osteoporosis post Menopause, Hipertensi stadium II C.Analisis Kasus 1. Subjective Ny. AK, 54 tahun, sejak 1 bulan yang lalu mengeluh nyeri pada punggung dan tulang belakang. Siklus menstruasinya sudah berhenti sejak 5 tahun yang lalu. a. Riwayat Penyakit : Ulser, pendarahan vagina 1 tahun yang lalu, dan hipertensi sejak 10 tahun yang lalu b. Riwayat Keluarga : Ibu meninggal karena kanker payudara c. Riwayat Pengobatan : Kaptopril 3x12,5 mg, Nifedipin 3x10 mg sehari, Nadiklofenak tablet 2x50 mg/hari. d. Pengembangan Kasus : Pasien mengaku sering lupa dan mulai bosan meminum obat anti hipertensi karena sudah terlalu lama mengidap hipertensi tersebut. Selain itu juga pasien juga memiliki kebiasaan merokok. 2. Objective Berdasarkan pemeriksaan pasien mengalami osteoporosis dengan Tscore -2,7. Berdasarkan pemeriksaan juga didapat tekanan darah pasien adalah 160/100 mmHg, berat badan 63 kg dan tinggi badan 155 cm serta didapat nilai BMI 26,22 yang menunjukkan pasien mengalami overweight. Kadar kolesterol 25 juga menunjukkan nilai 237 mg/dL (>200 mg/dL). Pemeriksaan radiologis Hysterocopic, Pap Smear, dan mammogram menunjukkan hasil yang normal. 3,Assessment Pasien mengalami osteoporosis post-menopause dan hipertensi stadium II. 4. Plan a. Terapi obat untuk mengurangi perkembangan osteoporosis dan terjadinya fraktur b. Terapi untuk hipertensi c. Terapi untuk mengurangi gejala nyeri pada pasien d. Terapi non-farmakologi untuk mencegah perkembangan osteoporosis, hipertensi, dan overweight pada pasien. D. Etiologi Osteoporosis pada Kasus Berdasarkan pemeriksaan, pasien mengalami osteoporosis postmenopause, yang diakibatkan terjadinya penurunan hormon estrogen pasca menopause. Osteoporosis yang dialami oleh pasien termasuk ke dalam osteoporosis primer tipe I (osteoporosis akibat defisiensi estrogen pasca menopause). Osteoporosis pada wanita postmenopause terjadi akibat peningkatan resorpsi yang mengakibatkan pelepasan kalsium tulang yang dipengaruhi oleh menurunnya produksi hormon wanita terutama estrogen. Defisiensi estrogen mengakibatkan peningkatan proliferasi, diferensi dan aktivasi osteoclast yang berperan dalam resorpsi tulang yang daoat mengakibatkan penurunan massa tulang. E. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Osteoporosis Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan dengan melihat densitas massa tulang (BMD), yang dapat dilakukan dengan menggunakan pesawat X-ray absorptiometry, yaitu densitometer DEXA (Dual Energy X-ray Absoprtiometry. Pengukuran BMD pada pinggul dan tulang belakang dapat digunakan untuk melihat resiko fraktur, serta menentukan diagnosis dan keparahan osteoporosis. Central DXA Absorptiometry ini merupakan gold standard untuk mengukur BMD dan tingkat 26 keparahan osteoporosis karena memiliki tingkat presisi yang tinggi, waktunya singkat, dosis tingkat radiasi yang lebih ringan, dan kalibrasi yang stabil. Penggunaan DXA untuk pemeriksaan BMD juga dapat memberikan gambaran secara aktual mengenai densitas tulang, T-score, dan Z-score. Penilaian densitas tulang sangat berguna untuk melihat bagaimana respon pengobatan osteoporosis. T-score adalah perbandingan antara BMD pasien terukur dengan BMD orang normal. Sedangkan Z-score adalah perbandingan antara BMD pasien dengan BMD rata-rata orang sehat dan biasanya nilainya akan rendah apabila terdapat penyebab sekunder osteoporosis. Pemeriksaan lain yang juga perlu dilakukan adalah pemeriksaan serum 25-hidroksivitamin D [25(OH) D] untuk melihat kadar vitamin D total dalam tubuh. F. Tatalaksana Terapi 1. Terapi Non-farmakologi a. Nutrisi BMI pasien termasuk ke dalam kategori overweight dan pasien juga memiliki kadar kolesterol yang tinggi (>200 mg/dL), sehingga pasien membutuhkan pengaturan asupan makanan sehari-hari. Makan direkomendasikan adalah makanan rendah lemak kolesterol untuk mencegah peningkatan kadar kolesterol, buah-buahan dan sayur-sayuran yang mengandung kalsium dan vitamin D untuk menjaga kadar. Asupan kalsium dan vitamin D yang direkomendasikan adalah sekitar 1200 mg per hari (untuk kalsium) dan 800-1000 IU (untuk vitamin D) Pengaturan asupan makanan tersebut adalah untuk mencegah perkembangan osteoporosis dan menurunkan resiko terjadinya fraktur (NOF,2013). Selain itu juga pasien perlu menghindari makanan dan minuman yang banyak mengandung kafein, alkohol, natrium, dan minuman bersoda karena berpengaruh pada kondisi osteoporosis pasien. Makanan yang tinggi natrium juga kurang baik untuk pasien hipertensi karena dapat meningkatkan tekanan darah. Berdasarkan Dietary Guideline for Americans (DGA), total asupan natrium adalah kurang dari 1.500 mg per hari untuk pasien hipertensi. 27 b. Menghentikan kebiasaan merokok Pasien perlu mengurangi bahkan menghentikan kebiasaan merokok karena merupakan faktor resiko osteoporosis dan fraktur. Salah satu efek merokok adalah dapat menurunkan kadar hormon yang salah satunya adalah estrogen, penurunan absorpsi kalsium di intestinal, efek toksik pada osteoblas, dan efek pada fungsi neurovaskuler yang berefek negatif pada tulang. Pada wanita postmenopause, merokok dapat mengakibatkan peningkatan metabolisme estrogen yang dapat mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan meningkatkan pelepasan kalsium tulang dan peningkatan resiko fraktur tulang (Sampson, 2002). Kebiasaan merokok juga dapat mengakibatkan inhibisi pada proses diferensiasi sel osteoprogenitor (Moinuddin et al., 2008). c. Olahraga Olahraga merupakan terapi non farmakologi untuk meningkatkan kekuatan otot dan keseimbangan tubuh, dimana hal ini dapat mengurasi resiko seseorang mengalami jatuh yang berimplikasi pada penurunan resiko terjadinya fraktur. Selain itu juga karena pasien memiliki BMI di atas normal (overweight) maka pasien juga perlu olahraga rutin dengan salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi berat badan. Berat badan yang besar terutama pada pasien yang mengalami overweight bahkan hingga obesitas juga dapat meningkatkan resiko osteoporosis dan fraktur. Berat badan yang besar mengakibatkan beban pada tulang meningkat sehingga mengakibatkan terjadinya osteoporosis dan meningkatkan resiko terjadinya fraktur (Sampson, 2002). Olahraga rutin yang dapat dilakukan antara lain jalan santai, jogging, tennis, menaiki tangga, dan lain-lain. d. Meningkatkan paparan sinar matahari di Pagi Hari Eksposur dari sinar matahari mampu meningkatkan produksi vitamin D dalam tubuh. Sinar matahari mengakibatkan aktivasi provitamin D3 menjadi vitamin D3. Vitamin D sendiri berperan dalam meningkatkan absorpsi kalsium di intestin. Sinar matahari yang dibutuhkan adalah sinar 28 UV B dengan energi sekitar 290-315 nm (Holick, 2005). Waktu tepat untuk memperoleh sinar matahari yang baik adalah dibawah jam 9 pagi. 2. Terapi Farmakologi a. Raloxifene Nama Sediaan : Evista® Eli Lily Dosis : 60 mg Frekuensi : 1 hari 1 tablet setiap hari Durasi : 14 hari (2 minggu) Mekanisme aksi : Selective estrogen receptor modulator, agonis estrogen di jaringan tulang sehingga dapat menurunkan resporpsi tulang dan meningkatkan densitas tulang), namun beraksi sebagai antiestrogen pada jaringan uterus dan payudara. Efek samping : Tromboemboli vena, hot flashes. Interaksi obat :- Harga : Rp 264.000,-/14 tablet Alasan Pemilihan: Raloxifene adalah second-line therapy untuk pasien osteoporosis dengan T-score <-2,0 (Dirpiro, 2008). First-line therapy untuk kasus ini adalah biphosphonate, tetapi tidak digunakan karena meningkatkan resiko inflamasi dan ulserasi pada saluran gastrointestinal, dan efek samping pada saluran gastrointestinal lainnya (Lichtenberger et al., 2000; Vella, 2005). Pasien memiliki riwayat ulser dan pendarahan lambung, sehingga tidak diberikan boiphosphonate. Pasien juga memiliki resiko mengalami kanker payudara karena memiliki riwayat keluarga, dimana ibu nya meninggal karena kanker payudara. Menurut American Cancer Society (ACS) bila seseorang memiliki riwayat keluarga penderita kanker payudara maka resiko kanker payudara akan meningkat hingga 2 kali lipat. Penggunaan hormone-repalcement therapy yang mengandung estrogen dapat meningkatkan resiko kanker 29 payudara, sehingga obat yang mengandung estrogen tidak digunakan untuk kasus ini. Raloxifene memiliki mekanisme aksi sebagai selective estrogenreceptor modulator pada jaringan tulang sehingga dapat meningkatkan densitas tulang dan menurunkan resiko terjadinya fraktur, terutama pada tulang belakang. Namun raloxifene juga memiliki aksi sebagai antiestrogen di jaringan payudara sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya kanker payudara (Rosen, 2005). Selain itu raloxifene juga relatif aman untuk pasien karena tidak menyebabkan gangguan pada lambung dibandingkan dengan biphosphonate. Raloxifen juga baik untuk pasien osteoporosis yang mengalami hiperkolesterol karena memiliki efek menurunkan kolesterol, terutama LDL, tanpa mempengaruhi HDL (Insull et al, 2005). 2. Antihipertensi a. Captopril Mekanisme Aksi : Beraksi sebagai inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE). Menghambat pembentukan Angiotensi I menjadi Angiotensin II yang berperan sebagai vasokonstriktor, sehingga menurunkan tekanan darah melalui hambatan vasokonstriksi tersebut. b. Hydrochlorothiazide Mekanisme Aksi : Sebagai diuretik golongan thiazide, menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus distal renal, yang berefek pada peningkatan ekskresi air, natrium kalium, dan ion hidrogen Obat antihipertensi yang digunakan : Nama Sediaan : Capozide® Bristol-Myers Squibb Dosis : Captopril 25 mg dan Hydrochlorothiazide 12,5 mg Frekuensi : 1 kali 1 tablet setiap hari, diminum pada pagi hari Durasi : Seumur hidup 30 Efek samping : Batuk kering, hipotensi, hiperuricemia, dan penurunan ekskresi kalsium. Harga : Rp 6.058,-/tablet x 14 = 84.817,- (untuk 14 hari) Alasan Pemilihan: Berdasarkan guideline JNC7, untuk pasien tanpa indikasi khusus dan dikategorikan ke dalam stage II perlu diterapi dengan menggunakan obat kombinasi. Kombinasi obat yang biasa digunakan adalah golongan diuretik thiazid bersama ACEI, ARB, BB, ataupun CCB. Berdasarkan beberapa penelitian, obat golongan ACE-inhibitor memiliki efek pada peningkatan densitas tulang dan efek protektif pada resiko terjadinya fraktur. Sedangkan diuretik golongan thiazide memiliki efek dalam meningkatkan ekskresi natrium dan menghambat ekskresi kalsium yang dibutuhkan dalam pembentukan massa tulang, sehingga mampu mengurangi resiko dosteoporosis dan fraktur (Gosh dan Majumdar, 2014; Asaba et al, 2009). Sediaan yang digunakan adalah sediaan tablet yang mengandung kombinasi obat captopril dan hydrochlorothiazide yang lebih praktis bila dibandingkan 2 tablet sediaan tunggal, sehingga diharapkan dapat meningkatkan compliance pasien. 3. Analgesik Nama Sediaan : Voltaren-emulgel® Novartis, mengandung diclofenac diethylammin 1% Frekuensi : 3-4 kali sehari, dioleskan di lokasi nyeri Interaksi Obat :- Analisis biaya : emulgel 1 % x 10 g x 1 = Rp. 21.200,- Alasan Pemilihan: Penggunaan topikal adalah untuk mengurangi penggunaan obat secara oral yang dapat mengurangi compliance. Selain itu penggunaan topikal digunakan karena penggunaan oral obat analgesik diclofenak 31 kontraindikasi dengan kondisi pasien yang memiliki riwayat ulser dan pendarahan lambung. G. Monitoring 1. Monitoring tanda vital, terutama tekanan darah pasien. Target tekanan darah 2. 3. 4. 5. pasien untuk terapi selama 2 minggu ke depan adalah <140/90 mmHg. Monitoring gejala osteoporosis dan hipertensi yang dialami pasien. Monitoring densitas tulang setiap 1-2 tahun sekali. Monitoring kadar kolesterol pasien (target <200 mg/dL) Monitoring efek samping penggunaan obat H. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi 1. Pemberian informasi mengenai nama, kegunaan, dosis, dan aturan penggunaan obat : a. Evista®, mengandung raloxifenne 60 mg, diminum 1 kali sehari 1 tablet. b. Capozide®, mengandung captopril 25 mg dan hydrochlorothiazide 12,5 mg, diminum 1 kali sehari 1 tablet pada waktu pagi hari. c. Voltaren-emulgel® mengandung 1%, dioleskan 3 kali sehari bila nyeri. Dioleskan pada lokasi nyeri. 2. Informasikan mengenai efek samping obat. Apabila terjadi efek samping, segera hubungi dokter dan apoteker. 3. Menyarankan pasien untuk mengatur asupan makanannya untuk menjaga kadar kalsium dan vitamin D yang cukup dalam tubuh, menjaga kadar kolesterol tubuh, dan untuk menurunkan berat badan pasien yang overweight. Makanan yang direkomendasikan adalah makanan yang mengandung kalsium dan vitamin D, makanan yang mengandung serat, rendah lemak dan kolesterol. 4. Menyarankan pasien untuk melakukan olahraga dan aktivitas fisik secara rutin, dimana hal ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot tubuh sehingga menurunkan resiko terjadinya fraktur. Selain itu olahraga berperan untuk membantu pembakaran lemak dan kolesterol dalam tubuh sehingga dapat menurunkan kolesterol tubuh dan berat badan pasien yang overweight. 5. Menyarankan pasien untuk mengurangi dan bila mampu juga untuk menghentikan kebiasaan merokok yang berefek pada peningkatan resiko osteoporosis. 6. Menyarankan pasien untuk menghindari minuman yang mengandung kafein, alkohol, soda, dan mengandung natrium yang tinggi. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 7. DAFTAR PUSTAKA 8. Asaba, Y., Ito, M., Fumoto, T., Watanabe, K., Fukuhara, R., Takeshita, S., Nimura, Y., Ishida, J., Fukamizu, A., dan Ikeda, K., 2009, Activation of Renin–Angiotensin System Induces Osteoporosis Independently of Hypertension, Journal of Bone and Mineral Research, Vol. 24, No. 3, 241249. Black, D., M., Bauer, D.C., Schwartz, A.V., Cummings, S.R., dan Rosen, C.J., 2012, Continuing Bisphosphonate Treatment for Osteoporosis — For Whom and for How Long?, N Eng J Med, 366, 2051-2053 DiPiro, J.T., Talbert ,R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey, L.M., Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7th Edition, 1483-1502, The McGraw Hills Company, United States of America. Ghosh, M., dan Majumdar, S.R., 2014, Antihypertensive Medications, Bone Mineral Density, and Fractures : A Review of Old Cardiac Drugs That Provides New Insights into Osteoporosis, Endocrine, vol. 4. Holick, M.F., 2005, Vitamin D : Important for Prevention of Osteoporosis, Cardiovascular Heart Disease, Type 1 Diabetes, Autoimmune Disease, and Some Cancer, Southern Medical Journal, vol. 10, no. 10. Insull, W., Davidson, M.H., Kulkarni, P.M., Siddhati, S., Ciaccia, A.V., dan Keech, C.A., 2005, Effects of Raloxifene and Low-dose Simvastatin Coadministration on Plasma Lipids in Postmenopausal Women with Primary Hypercholesterolemia, Metabolism, 54 (7), 936-946. Lichtenberger, L.M., Romero, J.J., Gibson, G.G., dan Blank, M.A., 2000, Effect of Bisphosphonates on Surface Hydrophobicity and Phosphatidylcholine Concentration of Rodent Gastric Mucosa, Digestive Disease and Science, vol. 45, No. 49, 1792-1801. Moinuddin, M.M., Jameson, K.A., Syddall, H.E., Sayer, A.A., Martin, H.J., Robinson, S., Cooper, C., dan Dennison, E.M., 2008, Cigarette Smoking, Birthweight and Osteoporosis in Adulthood : Results from the Hertfordshire Cohort Study, The Open Rheumatology Journal, vol. 2. National Institute for Health and Clinical Excellence, 2010, Alendronate, Etindronate, Risedronate, Raloxifene, and Strontium Ranelate, for The Primary Prevention of Osteoporotic Fragility Fractures in Postmenopausal Women, 3-65, National Institute for Health and Clinical Excellence, London, United Kingdom. 26. 32 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. National Osteoporosis Foundation, 2013a, Clinician’s Guideline to Prevention and Treatment of Osteoporosis, hal. 1-30, National Osteoporosis Foundation, Washington, United States of America. National Osteoporosis Society, 2013, Drug Treatments for Osteoporosis, 1-33, National Osteoporosis Society, England. National Prescribing Service, 2012, Osteoporosis, 2-15, NPS Ltd., Australia. Popović, M.R., dan Tasić, I., Association Between Hypertension and Osteoporosis In Postmenopausal Women, Acta Medica Medianae, vol 48, 8-12. Riggs, B.L., 2000, The Mechanism of Estrogen Regulation of Bone Resorption, J. Clin. Invest., 106, 1203-1204. Rosen, C.J., 2005, Postmenopausal Osteoporosis, N Eng J Med, 353, 595603. Sampson, H.W., 2002, Alcohol and Other Factors Affecting Osteoporosis Risk in Women, Alcohol Research & Health, Vol. 26, No. 24. Sandhu, S.K., dan Hampson, G., 2014, The Pathogenesis, Diagnosis, Investigation and Management of Osteoporosis, J Clin Pathol, 64, 10421050. Sipos, W., Pietschmann, P., Reuner, M., Kerschan-Schind, dan Patsch, J., 2009, Pathophysiology of Osteoporosis, Wien Med Wochenschr, 159 : 230234 Vella, V., 2005, Drug-induced Peptic Ulcer Disease, Journal of The Malata College of Pharmacy Practice, 10, 1-18 Watts, N.B., Bilezikian, J.P., Camacho, P.M., Greenspan, S.L., Harris, S.T., Hodgsom, S.F., Kleerekoper, M., Luckey, M.M., McClung, M.R., Pollack, R.P., dan Petak, S.M., American Association of Clinical Endocrinology Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Treatments of Postmenopausal Osteoporosis, Endocrine Practice, vol. 16, suppl. 3. 48. 49. 50. 51. 52. 33