Dijajaki Bilateral RI-AS Pengusaha AS Khawatirkan Pembatasan Kepemilikan Asing Kps: 23-05-07 Nur Hidayati Washington, Kompas - Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat membentuk kelompok kerja untuk menjajaki kemungkinan diadakannya perjanjian bilateral investasi. Apabila kelompok kerja memandang perlu dan perjanjian disepakati, perjanjian itu setara dengan persetujuan perdagangan bebas atau kemitraan ekonomi khusus untuk bidang investasi. Menteri Perdagangan (Menperdag) Mari Elka Pangestu menyampaikan hal itu seusai perundingan dalam kerangka persetujuan perdagangan dan investasi (trade and investment framework agreement/TIFA) di Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (AS) di Washington DC, Senin (21/5) petang atau Selasa pagi waktu Indonesia. "Kita belum tahu apakah kita siap untuk itu (memiliki perjanjian bilateral investasi dengan AS). Ini masih dalam penjajakan," ujar Menperdag seusai menandatangani nota kesepahaman pembentukan kelompok kerja bersama Kepala Perwakilan Dagang AS Susan C Schwab. Susan sendiri hanya bersedia memberikan pernyataan tertulis. Kepastian hukum Menperdag menegaskan, keinginan AS mengadakan perjanjian bilateral investasi dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum. Pada pertemuan di antara pelaku usaha kedua negara, pebisnis AS mengusulkan perlunya diprioritaskan negosiasi untuk membentuk perjanjian bilateral investasi dengan Indonesia. Perjanjian bilateral diharapkan dapat membuahkan perlakuan setara bagi investor. Dengan demikian, hal itu akan lebih memikat investor baru. Selain itu, perjanjian bilateral investasi juga akan membolehkan adanya transfer modal secara bebas. Peningkatan mekanisme resolusi perselisihan secara tripartit juga dinilai perlu, antara lain melalui arbitrase internasional. Perjanjian bilateral investasi juga diharapkan akan mengurangi distorsi praktik-praktik perdagangan, seperti kuota ekspor. Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Mahendra Siregar yang turut dalam perundingan TIFA mengatakan, pihak Indonesia juga menjelaskan kepada AS tentang Undang-Undang Penanaman Modal yang baru serta aturan-aturan pelaksanaannya. "Jadi, dalam working group (kelompok kerja) akan disandingkan permintaan mereka dengan aturan kita, apa yang bisa kita berikan, apa yang tidak bisa diberikan," ujar Mahendra. Kelompok kerja itu belum mengarah pada negosiasi untuk menyusun perjanjian, melainkan sebatas bertugas menjajaki kemungkinan dilakukannya perjanjian itu. Selain kelompok kerja pada bidang investasi, dibentuk pula kelompok kerja pada bidang hak kekayaan intelektual, perdagangan produk pertanian dan industri, serta bidang jasa. Di bidang jasa, AS menginginkan Indonesia memperluas akses pasar industri jasa bagi pelaku usaha dari negara itu. "Kami sampaikan bahwa forum ini sebenarnya bukan forum negosiasi akses pasar di bidang jasa. Namun, kelompok kerja dibentuk untuk mendialogkan kepentingan AS maupun Indonesia dalam hal itu," ujar Mari. Khawatirkan pembatasan Seusai forum bisnis Indonesia-AS, Senin di Washington DC, Presiden US-ASEAN Business Council Matthew P Daley menjelaskan, pengusaha AS mengkhawatirkan adanya rezim baru yang akan mengurangi daya tarik investasi di Indonesia, khususnya pada industri jasa. Sektor jasa yang disebut-sebut rawan dibuat lebih restriktif antara lain asuransi, ritel, dan pengiriman barang atau jasa distribusi. "Semakin sedikit yang dimasukkan dalam daftar negatif investasi semakin baik," ujarnya. Menperdag pada forum bisnis itu menjelaskan, pengaturan sektor yang tertutup dan terbuka bersyarat untuk investasi sebagai aturan pelaksanaan UU Penanaman Modal. "Daftar negatif investasi yang baru akan lebih panjang, tetapi bukan lebih restriktif. Pada beberapa bagian memang mengatur lebih ketat, tetapi di bagian lain lebih longgar. Rincian yang lebih panjang itu untuk memberi kejelasan dan menjadi lebih transparan," ujar Mari. UU Penanaman Modal yang baru dan aturan pelaksanaannya tak berlaku surut. Dengan begitu, perusahaan asing yang sudah berinvestasi di Indonesia, misalnya, kata Mari, tidak diharuskan melepas sebagian sahamnya karena pembatasan kepemilikan asing. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menjelaskan, dalam pertemuan itu, pihak Indonesia menyampaikan, antara lain, perlakuan AS terhadap produk primer yang diekspor ke negeri itu. Pemotongan harga produk primer, seperti kakao dan udang, dengan alasan produk tidak memenuhi standar kualitas, diharapkan juga diikuti dengan bantuan teknis terhadap pelaku usaha Indonesia. Di sisi lain, pihak AS mempertanyakan persoalan aturan perburuhan dan kejelasan tata guna lahan. Kerunyaman tata guna lahan mengakibatkan produk perkebunan Indonesia dinilai tidak ramah lingkungan. Meskipun Indonesia sudah lolos dari pengawasan khusus untuk penerapan hak kekayaan intelektual, sejumlah pengusaha AS masih mempersoalkan perlindungan hak kekayaan intelektual di bidang farmasi. Indonesia dinilai kurang memerhatikan perlindungan hak kekayaan intelektual pada industri manufaktur, di luar produk industri kreatif. Terdapat pula keluhan tentang kurangnya suplai energi sehingga menghambat peningkatan kapasitas industri. Di bidang ritel, kejelasan aturan juga dipertanyakan pelaku usaha AS. Industri tekstil dan alas kaki secara khusus dibahas dalam perundingan pelaku usaha kedua negara dalam kerangka TIFA. Kerja sama penanganan perdagangan ilegal tekstil diapresiasi. Indonesia juga dinilai berpotensi untuk berkembang sebagai basis produksi alas kaki.