TINJAUAN PUSTAKA Teh (Camellia sinensis) Tanaman teh termasuk dalam famili Theaceae umumnya ditanam di perkebunan, dipanen secara manual dan dapat tumbuh di dataran tinggi. Terdapat dua kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu varietas Assamica yang berasal dari daerah Assam dan varietas Sinensis yang berasal dari china. Varietas Assamica memiliki daun yang berukuran agak besar dengan ujung yang runcing, sedangkan varietas Sinensis memiliki daun yang lebih kecil dengan ujung agak tumpul. Bagian tanaman teh yang digunakan untuk pembuatan minuman teh yaitu bagian pucuk dan daun muda. Daun teh berbau aromatik, sedikit pahit dan astringen (Dalimartha, 2005). Gambar 1 menunjukkan gambar daun teh : Gambar 1: Daun Teh Sumber : BPPT (2005a). Menurut Tjitrosoepomo (1994), klasifikasi tanaman teh Camellia sinensis O.K.Var.assamica (Mast) adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji) Sub divisi : Angiospermae (tumbuhan biji terbuka) Kelas : Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah) Sub Kelas : Dialypetalae Ordo (bangsa) : Guttiferales (Clusiales) Familia (suku) : Camelliaceae (Theaceae) Genus (marga) : Camellia Spesies (jenis) : Camellia sinensis Varietas : Assamica Tanin merupakan senyawa polifenol yang mempunyai kemampuan untuk mengikat protein sehingga menghalangi kerja enzim protease. Jika dalam jumlah 3 yang kecil pada ruminansia dapat bersifat menguntungkan karena melindungi protein dari degradasi oleh mikroba secara berlebihan (Soebarinoto, 1986). Tanin dapat berinteraksi dengan protein dan ada tiga bentuk ikatan yaitu: (1) ikatan hidrogen, (2) ikatan ion, (3) ikatan kovalen. Ikatan hidrogen dibentuk karena adanya gugus hidroksil dari tanin dengan gugus reaktif protein. Ikatan ini yang paling banyak terjadi antara protein-tanin. Ikatan ion terjadi karena tanin sebagai anion dan protein sebagai kationnya, sedangkan ikatan kovalen terbentuk sebagai interaksi gugus quinon dari tanin yang teroksidasi dengan gugus reaktif dari protein (Makkar, 2003). Penurunan protozoa sebagai efek penambahan tanin juga dijelaskan oleh Subrata (2005) bahwa penambahan ampas teh sebanyak 0,67 gram setara dengan kandungan tanin 6 mg/gram pada fermentasi bungkil kedelai secara in vitro berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah protozoa yaitu sebanyak 77,03%. Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis) Kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis) adalah tanaman yang banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai agen defaunasi protozoa. Daun, bunga, dan akar kembang sepatu mengandung flavonoida. Disamping itu daunnya juga mengandung saponin dan polifenol, bunga mengandung saponin dan polifenol, akarnya juga mengandung tanin, saponin, skopoletin, cleomiscosin A, dan cleomiscosin C (Harborne, 1996). Gambar 2 menunjukkan gambar daun kembang sepatu : Gambar 2 : Daun Kembang Sepatu Sumber : BPPT (2005b). Kembang sepatu termasuk jenis tanaman perdu yang memiliki tinggi sekitar 1-4 meter (Suryowinoto, 1997). Secara taksonomi, kembang sepatu diklasifikasikan sebagai berikut : 4 Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dycotilenaceae Ordo : Malvales Family : Malvaceae Genus : Hibiscus Spesies : Hibiscus rosa sinensis Kembang sepatu dapat digunakan sebagai obat. Selain untuk pengobatan, kembang sepatu juga dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak. Kandungan nutrien dari kembang sepatu yaitu abu 88%, lemak 2,7%, serat kasar 12%, BETN 50%, dan protein kasar 11,9% (Hyene, 1987). Setiani (2002) menyatakan bahwa penggunaan kombinasi ampas teh dan daun kembang sepatu dengan perbandingan 1:1 pada domba yang diuji secara in vitro menunjukkan hasil yang terbaik bagi jumlah protozoa yang menurun. Saponin merupakan jenis glikosida yang terdiri atas gula sebagai bagian glikogen yang terikat pada sapogenin yang merupakan bagian aglikonnya (Harborne, 1996). Berdasarkan struktur kimia, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas steroid, kelas steroid alkaloid dan kelas triterpenoid (Wallace et al., 2002). Saponin adalah suatu glikosida yang terdapat pada beberapa tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi saponin dalam tanaman untuk melindungi diri dari hama, saponin diketahui sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan produk dari metabolisme sekunder tumbuh-tumbuhan. Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah), tidak beracun bagi binatang berdarah panas. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, senyawa saponin mempunyai kegunaan yang sangat luas, antara lain sebagai detergen, pembentuk busa pada alat pemadam kebakaran, pembentukan busa pada industri sampo dan digunakan dalam industri farmasi serta dalam bidang fotografi. Beberapa saponin 5 bekerja sebagai antimikroba, saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson, 1995). Saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa, menyebabkan membran pecah, sel lisis dan mati. Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa) tetapi tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik, memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin mempunyai daya tarik menarik terhadap kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena disamping bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin, bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut yang menghilangkan rantai karbohidrat (Suparjo, 2008). Defaunasi adalah pengurangan jumlah populasi protozoa secara menyeluruh maupun sebagian (parsial) dengan tujuan untuk mengoptimalkan tingkat kecernaan serat kasar pakan. Defaunasi dilakukan karena kehadiran protozoa dalam rumen cenderung merugikan, hal ini terjadi karena protozoa mempunyai sifat predator bagi mikroba lain terutama bakteri dan jamur (Prihandono, 2001). Berdasarkan struktur kimia, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas steroid, kelas steroid alkaloid dan kelas triterpenoid (Wallace et al., 2002). Saponin menyebabkan perbedaan spesies bakteri dalam rumen. Bakteri selulolitik lebih toleran terhadap saponin dibandingkan dengan bakteri lainnya (Wang et al., 2000). Minyak Daun Cengkeh (clove leaf oil) Sejak zaman dahulu cengkeh sudah banyak digunakan untuk berbagai keperluan yaitu sebagai bahan obat-obatan, penambah rasa dan aroma pada makanan, minuman yang kemudian berkembang sebagai bahan baku rokok kretek dan kosmetik. Luasnya kegunaan cengkeh tersebut disebabkan adanya komponen minyak atsiri yang terkandung di dalam bunga, tangkai maupun daun cengkeh. Produk samping dari tanaman cengkeh adalah minyak cengkeh. Minyak cengkeh berdasarkan bahan bakunya ada tiga macam, yaitu minyak bunga cengkeh, minyak tangkai cengkeh, dan minyak daun cengkeh. Akhir-akhir ini telah berkembang beberapa kemungkinan lain penggunaan cengkeh dan hasil sampingnya, di antaranya 6 sebagai bahan untuk pengendalian hama dan penyakit serta bahan anestesi pada ikan hias maupun sebagai bahan baku antiseptik (Nurdjannah, 2004). Minyak cengkeh berasal dari tanaman cengkeh (Eugenia aromatica) yang mengandung minyak atsiri golongan fenol. Komposisi minyak cengkeh dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan eugenol sebagai komponen terbesar dan kelompok kedua senyawa nonfenolat. Eugenol merupakan senyawa dari golongan oxygenated hydrocarbon,berupa cairan minyak tidak berwarna atau sedikit kekuningan dan menjadi coklat jika kontak dengan udara. Sifat fisik eugenol antara lain : bobot jenis 1.0651, indeks bias 1.5410, kelarutan dalam alkohol 70% adalah 1:1 atau 1:2 (Sastrohamidjojo, 2002). Menurut Tjitrosoepomo (1994), klasifikasi tanaman cengkeh adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa / Ordo: Myricales Suku / Familia : Myricaceae Genus : Eugenia Spesies : Eugenia Aromatika O.K Jenis : Syzygium aromaticum (L.) Merr. & Perry. Gambar 3 menunjukkan gambar daun cengkeh : Gambar 3 : Daun Cengkeh Sumber : BPPT (2005c). Eugenol merupakan persenyawaan terbesar yang terdapat dalam minyak cengkeh (Syzygium aromaticum). Menurut Ketaren (1985), kandungan eugenol 7 dalam minyak cengkeh agak berbeda untuk bagian tanaman cengkeh yaitu pada daun cengkeh sebesar 79-90%, 85-95% dari kuncup bunga dan 90-95% dari tangkai bunga. Eugenol adalah senyawa dari golongan hidrokarbon teroksidasi yang merupakan cairan minyak tidak berwarna atau sedikit kekuningan, mudah menguap, akan menjadi coklat jika kontak dengan udara dan berasa getir. Mempunyai rumus molekul C 10 H 12 O 2 dan bobot molekul 164,2 g/mol. Tata nama eugenol adalah 1hidroksi 2-metoksi 4-alil benzene. Struktur kimia eugenol (Gambar 4): Gambar 4. Struktur kimia eugenol Sumber : Dwiono et al. (2002). Minyak daun cengkeh pada umumnya berkadar eugenol lebih rendah dibandingkan dengan minyak bunga cengkeh. Standar mutu untuk minyak cengkeh baik daun, gagang maupun bunga seperti tercantum dalam Tabel 1 sedangkan sifat fisiko-kimianya diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 1. Standar Mutu Minyak Daun, Gagang dan Bunga Cengkeh Syarat Mutu Daun (SNI) Gagang (EOA) Bunga (ISO) Bobot jenis (25º/25 ºC) 1,03-1,06 1,048-1,056 1,044-1,057 Indeks Bias (20 ºC) 1,52-1,54 1,534-1,538 1,528-1,538 Putaran Optik (º) 1º35’ 0º - (-1º30’) 0º- (-1º35’) Kadar Eugenol total (%) 78-93 89-95 85-93 Kelarutan dalam alkohol 70% 1:2 1:2 1:2 Minyak pelican negatif - - Minyak lemak negatif - - Sumber : Ruhnayat (2002). Menurut Kurniawan (2005), untuk mendapatkan eugenol dari minyak cengkeh, biasanya dilakukan dengan penambahan NaOH atau KOH 3-5% sehingga 8 membentuk garamnya yaitu natrium atau kalium eugenolat yang larut dalam air. Penambahan asam klorida (HCl) akan membebaskan eugenol yang kemudian diekstraksi dengan eter. Tabel 2. Sifat Fisiko Kimia Eugenol Karakteristik Nilai Bobot jenis (25ºC) 1,053-1,064 Indeks bias 20 ºC 1,538-1,542 Titik didih 255 ºC Putaran optik -1º30’ Titik leleh -7,5 ºC Kelarutan 1:5 atau 1:6 dalam alkohol 50%, tidak larut dalam air, larut dalam eter, kloroform dan asam asetat. Sumber : Purseglove et al. (1981). Mannie (1999) melaporkan bahwa minyak cengkeh juga mempunyai aktivitas antimikroba. Efek penghambatan terhadap mikroba ini disebabkan karena cengkeh mengandung senyawa terpenoid yang dapat merusak membrane sel mikroba, sehingga pertumbuhan mikroba dapat dihambat. Aktivitas antimikroba dari ekstrak tumbuh-tumbuhan karena adanya senyawa metabolit sekunder tanaman yang meliputi saponin, terpenoid dan phenylpropanoids (seperti sinamilaldehida, eugenol, atau anethol) yang ada di fraksi minyak atsiri banyak tanaman. Pengaruh ekstrak tanaman yang berbeda (bawang putih, lada, minyak kayu manis, minyak adas, minyak daun cengkeh, minyak bawang putih dan minyak jahe) pada fermentasi mikroba dan tanaman metabolit sekunder menunjukkan potensi dari beberapa ekstrak untuk memodifikasi fermentasi mikroba (Cardozo et al., 2004; Busquet et al., 2006). Dosis tinggi dari ekstrak tumbuh-tumbuhan dan metabolit sekunder tanaman menghasilkan efek merugikan pada fermentasi mikroba rumen yaitu menurunkan konsentrasi VFA total. Penggunaan kombinasi aditif memungkinkan manipulasi fermentasi mikroba. Secara umum bakteri gram positif terlihat lebih rentan terhadap inhibisi oleh senyawa minyak atsiri tanaman dibandingkan dengan bakteri gram negatif (Davidson dan Naidu, 2000). 9 Mikroba Rumen Mikroba yang terdapat dalam rumen dibagi menjadi empat jenis mikroorganisme anaerob, yaitu bakteri, protozoa, fungi dan mikroorganisme lainnya seperti virus. Cacahan sel per gram isi rumen dapat mencapai 1010-1011, kondisi ternak yang sehat populasi protozoa mencapai 105-106. Interaksi yang terjadi antar mikroba rumen adalah simbiosis mutualisme. Bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menjadikan ruminansia mampu mencerna serat kasar tinggi (McDonald et al., 2002). Pakan difermentasi dalam rumen menjadi VFA, NH 3 , protein mikroba dan gas. Rumen-retikulum seperti wadah fermentasi yang besar, kapasitasnya bervariasi mulai dari 3-15 liter untuk domba dan 35-100 liter untuk sapi. Rumen memiliki kisaran suhu 38-40ºC, pH 5,5-7, tekanan osmotik cairan rumen sekitar 250mOsm/kg, komposisi gas di dalam rumen adalah CO 2 65% dan CH 4 27% (Dehority, 2004). Jumlah bakteri rumen bervariasi tergantung pada pakan, cara pemberian pakan, waktu pengambilan sampel setelah makan, perbedaan spesies, perbedaan individual spesies, musim, ketersediaan hijauan, dan ada atau tidaknya siliata protozoa (Ensminger et al., 1990). Fermentasi mikroba terhadap serat menjadi bagian terpenting ketika berbicara tentang ternak ruminansia, oleh karena itu kebutuhan yang harus terpenuhi terlebih dahulu pada pakan ruminansia adalah kebutuhan nutrien untuk mikroba. Tipe mikroba yang paling berperan dalam fermentasi serat adalah bakteri selulolitik dan fungi anaerobik (Bakrie et al., 1996). Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa, dan fungi yang memiliki populasi secara berturut-turut sebagai berikut 1010-1011 /ml dari 50 jenis, 104-106/ml dari 25 jenis, 103-105/ml dari 12 jenis. Mayoritas bakteri (mikroflora) adalah Gram positif dan Gram negatif dan merupakan bakteri obligate anaerobes, tumbuh pada pH 6,0-6,9 dan temperatur 39oC (Kamra, 2005). Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering dan potensial oksidasi reduksi (Dehority, 2004). Mikroba rumen mempunyai karakteristik antara lain : suhu lingkungan sesuai dengan suhu saluran pencernaan 39-400C, kondisi lingkungan anaerob dengan pH 5,3-7,0 (Widyastuti, 2005). 10 Bakteri rumen Bakteri merupakan biomassa terbesar di dalam rumen, terdapat sekitar 50% dari total bakteri hidup bebas dalam cairan rumen dan sekitar 30-40% menempel pada partikel makanan. Beberapa jenis bakteri dari spesies Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Corynebacterium, Lactobacillus, Fusobacterium dan Propionibacterium ditemukan menempel pada epitel dinding rumen, disamping itu terdapat spesies bakteri methanogen yang hidup menempel pada protozoa (Dehority, 2004). Guedon et al. (2002) menyatakan bahwa beberapa spesies bakteri hidup pada kondisi temperatur, tekanan, dan pH yang ekstrim. Bakteri Amilolitik Bakteri amilolitik adalah bakteri yang mampu menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pakannya. Bakteri-bakteri tersebut disebut sebagai bakteri amilolitik karena kemampuannya mendegradasi pati (amilum). Menurut Pelczar dan Chan (1988), enzim amylase telah banyak digunakan dalam aplikasi industri, meliputi senyawa α-amilase, β-amilase, glukoamilase dan puilunase. Berikut jenis bakteri amilolitik diantaranya Bacteroides ruminicola, Ruminobacter amylophilus, Succinivibrio dextrinosolvens, Succinimonas amylolytica, Butyrivibrio fibrisolvens (Hobson dan Stewart, 1997). Bakteri Selulolitik Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang dapat memproduksi enzim selulase yang mempunyai fungsi-fungsi khusus dalam degradasi selulosa menjadi glukosa. Selulase dari mikroorganisme yang bersifat selulolitik adalah enzim yang terinduksi dan hanya diproduksi bila mikroorganisme ditumbuhkan pada selulosa atau glukan dengan ikatan β-1,4 seperti selobiosa, laktosa dan sophorosa (Pelczar dan Chan, 1988). Jenis bakteri yang mendegradasi serat adalah Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens, Fibrobacter succinogens, Syntrophococcus sucromutans (Hobson dan Stewart, 1997). Menurut Beguin dan Aubert (1992), bakteri selulolitik juga terdapat dalam usus herbivore vertebrata. Semuanya bersifat anaerob yang bersimbiosis dalam menghancurkan pakan. 11 Bakteri Proteolitik Bakteri proteolitik adalah bakteri yang memproduksi enzim protease ekstraseluler, yaitu enzim pemecah protein yang diproduksi di dalam sel kemudian dilepaskan keluar dari sel. Semua bakteri mempunyai enzim protease di dalam sel, tetapi tidak semua mempunyai enzim protease ekstraseluler (Pelczar dan Chan, 1988). Berikut jenis bakteri proteolitik diantaranya Selenomonas ruminantium, Ruminobacter amylophilus, dan Mitsuokella multiacidus (Hobson dan Stewart, 1997). Protozoa rumen Protozoa merupakan mikroorganisme yang ada dalam rumen dengan jumlah lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah bakteri yaitu sekitar 1 juta/ml (McDonald et al., 2002). Komponen dasar dari tubuh protozoa adalah nukleus (inti) dan sitoplasma. Tampubolon (2004) mengatakan bahwa inti protozoa mempunyai berbagai bentuk, ukuran dan struktur karena bentuk tubuh yang sangat bervariasi. Komponen penting inti protozoa adalah membran inti, kromatin, plastin dan nukleoplasma atau cairan inti. Secara struktural inti dibagi menjadi dua tipe yaitu vasikuler dan kompak. Inti vasikuler terdiri dari membran inti yang kadang-kadang sangat lembut tetapi jelas nukleoplasma, akromatin dan kromatinnya. Disamping itu badan intranuklear biasanya agak bulat, tersusun dari kromatin, nukleolus atau plasmasoma. Sedangkan inti kompak mengandung banyak substansi kromatin dan sedikit jumlah nukleoplasma, oleh karena itu bersifat padat. Protozoa (mikrofauna) secara alami terdapat dalam cairan rumen dan keberadaannya tidak esensial dalam pencernaan ruminansia. Protozoa diklasifikasikan menurut morfologinya yaitu holotrich (Isothrica) yaitu protozoa yang memiliki silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang mudah terfermentasi (amilum dan pektin), sedangkan oligotrichs mempunyai silia disekitar kepala umumnya mendegradasi karbohidrat yang sulit dicerna (selulosa dan hemiselulosa). Beberapa protozoa juga bersifat proteolitik yaitu Entodinium caudatum dan Ophyroscolex caudatus. Jamur memiliki peran dalam fermentasi rumen yaitu sebagai pencerna pakan berserat, karena jamur membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rizoid jamur tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman 12 sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen (Kamra, 2005). Gas metan Metanogen termasuk kelompok archaea, memiliki karakteristik unik yang memisahkan mereka dari kelompok bakteri dan eukaryotes. Bakteri metanogenik termasuk gram positif dan negatif dan dalam pertumbuhannya harus dalam kondisi anaerob (Kamra, 2005). Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi pakan oleh mikroba rumen, yaitu menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida dan disakarida yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak terbang (VFA) terutama asam asetat, propionat dan butirat serta gas metan (CH 4 ) dan CO 2 (McDonald et al., 2002). Menurut Moss et al. (2000) secara umum gas metan yang diproduksi mikrobia metanogenik bertujuan untuk menghindarkan ternak dari akumulasi H 2 pada proses fermentasi di rumen. Sebagian besar mikrobia rumen menggunakan jalur Embeden-Meyerhof-Parnas untuk mengoksidasi gula menjadi piruvat. Stoichiometry oksidasi reduksi fermentasi anaerob pada produksi H 2 dalam bentuk proton (H) yang digunakan sebelum sintesis VFA yaitu sebagai berikut: Reaksi produksi H: Glukosa 2 piruvat + 4H (jalur Embeden-Meyerhof-Parnas) Piruvat + H 2 O asetat (C2)+ CO 2 + 2 H Reaksi penggunaan H: Piruvat + 4H propionat (C3) + H 2 O 2 C2 + 4H butirat (C4) + 2 H 2 O CO 2 + 8H metan (CH 4 ) + 2 H 2 O Secara nyata proporsi H 2 akan meningkat dengan adanya oksidasi enzimatis selama proses glikolisis dari NADH menjadi NAD+ dan H 2 . Hindrogen (H 2 ) dibentuk dalam jumlah yang besar tetapi tidak terakumulasi karena dengan segera akan digunakan oleh bakteri metanogenik sehingga dapat dipertahankan pada tekanan parsial yang rendah. Kondisi tersebut diperlukan bagi pertumbuhan mikrobia rumen (Miller, 1995). Defaunasi menyebabkan turunnya mekanisme simbiosis antara metanogen dengan protozoa, sehingga hanya sedikit hidrogen yang dapat dikonversikan menjadi 13 metan (Takahashi, 2006). Sintesis asetat di dalam rumen juga menyebabkan kenaikan produksi H 2 , sehingga meningkatnya aktivitas metanogenik dalam mensintesis CH 4 dari CO 2 dan H 2 . Naiknya produksi asetat dan CO 2 ini juga menyebabkan naiknya CH 4 dan menyebabkan kehilangan energi pakan (Moss et al., 2000). Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang juga berpengaruh terhadap produksi gas metan didalam rumen. Hasil penelitian Carulla et al. (2005) bahwa ekstrak Acacia mearnsii sebanyak 25 g/kg BK yang mengandung tanin 0,615 g/g pada pakan secara in vivo menyebabkan penurunan produksi gas metan sebanyak 12% per konsumsi bahan pakan (BK) dari 71 menjadi 64 KJ/kg. Beberapa hasil penelitian juga menjelaskan bahwa pakan ruminansia yang mengandung tanin mampu menurunkan produksi metan (Waghorn et al., 2002, Puchala et al., 2005). Tanaman yang mengandung tanin tersebut adalah Include sulla (Hedysarum coronarium: 2,7 sampai 6,8% tanin), dan Sericea despedeza (Lespedeza cuneata: 17,7% tanin). 14