PERUBAHAN POPULASI MIKROBA RUMEN DAN

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Teh (Camellia sinensis)
Tanaman teh termasuk dalam famili Theaceae umumnya ditanam di
perkebunan, dipanen secara manual dan dapat tumbuh di dataran tinggi. Terdapat dua
kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu varietas Assamica yang berasal dari
daerah Assam dan varietas Sinensis yang berasal dari china. Varietas Assamica
memiliki daun yang berukuran agak besar dengan ujung yang runcing, sedangkan
varietas Sinensis memiliki daun yang lebih kecil dengan ujung agak tumpul. Bagian
tanaman teh yang digunakan untuk pembuatan minuman teh yaitu bagian pucuk dan
daun muda. Daun teh berbau aromatik, sedikit pahit dan astringen (Dalimartha,
2005). Gambar 1 menunjukkan gambar daun teh :
Gambar 1: Daun Teh
Sumber : BPPT (2005a).
Menurut Tjitrosoepomo (1994), klasifikasi tanaman teh Camellia sinensis
O.K.Var.assamica (Mast) adalah sebagai berikut :
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub divisi
: Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)
Kelas
: Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah)
Sub Kelas
: Dialypetalae
Ordo (bangsa)
: Guttiferales (Clusiales)
Familia (suku)
: Camelliaceae (Theaceae)
Genus (marga)
: Camellia
Spesies (jenis)
: Camellia sinensis
Varietas
: Assamica
Tanin merupakan senyawa polifenol yang mempunyai kemampuan untuk
mengikat protein sehingga menghalangi kerja enzim protease. Jika dalam jumlah
3
yang kecil pada ruminansia dapat bersifat menguntungkan karena melindungi protein
dari degradasi oleh mikroba secara berlebihan (Soebarinoto, 1986).
Tanin dapat berinteraksi dengan protein dan ada tiga bentuk ikatan yaitu: (1)
ikatan hidrogen, (2) ikatan ion, (3) ikatan kovalen. Ikatan hidrogen dibentuk karena
adanya gugus hidroksil dari tanin dengan gugus reaktif protein. Ikatan ini yang
paling banyak terjadi antara protein-tanin. Ikatan ion terjadi karena tanin sebagai
anion dan protein sebagai kationnya, sedangkan ikatan kovalen terbentuk sebagai
interaksi gugus quinon dari tanin yang teroksidasi dengan gugus reaktif dari protein
(Makkar, 2003).
Penurunan protozoa sebagai efek penambahan tanin juga dijelaskan oleh
Subrata (2005) bahwa penambahan ampas teh sebanyak 0,67 gram setara dengan
kandungan tanin 6 mg/gram pada fermentasi bungkil kedelai secara in vitro
berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah protozoa yaitu sebanyak 77,03%.
Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis)
Kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis) adalah tanaman yang banyak
tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini merupakan salah satu jenis
tanaman yang dapat digunakan sebagai agen defaunasi protozoa. Daun, bunga, dan
akar kembang sepatu mengandung flavonoida. Disamping itu daunnya juga
mengandung saponin dan polifenol, bunga mengandung saponin dan polifenol,
akarnya juga mengandung tanin, saponin, skopoletin, cleomiscosin A, dan
cleomiscosin C (Harborne, 1996). Gambar 2 menunjukkan gambar daun kembang
sepatu :
Gambar 2 : Daun Kembang Sepatu
Sumber : BPPT (2005b).
Kembang sepatu termasuk jenis tanaman perdu yang memiliki tinggi sekitar
1-4 meter (Suryowinoto, 1997). Secara taksonomi, kembang sepatu diklasifikasikan
sebagai berikut :
4
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotilenaceae
Ordo
: Malvales
Family
: Malvaceae
Genus
: Hibiscus
Spesies
: Hibiscus rosa sinensis
Kembang sepatu dapat digunakan sebagai obat. Selain untuk pengobatan,
kembang sepatu juga dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak. Kandungan
nutrien dari kembang sepatu yaitu abu 88%, lemak 2,7%, serat kasar 12%, BETN
50%, dan protein kasar 11,9% (Hyene, 1987). Setiani (2002) menyatakan bahwa
penggunaan kombinasi ampas teh dan daun kembang sepatu dengan perbandingan
1:1 pada domba yang diuji secara in vitro menunjukkan hasil yang terbaik bagi
jumlah protozoa yang menurun.
Saponin merupakan jenis glikosida yang terdiri atas gula sebagai bagian
glikogen yang terikat pada sapogenin yang merupakan bagian aglikonnya (Harborne,
1996). Berdasarkan struktur kimia, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama
yaitu kelas steroid, kelas steroid alkaloid dan kelas triterpenoid (Wallace et al.,
2002).
Saponin adalah suatu glikosida yang terdapat pada beberapa tanaman.
Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian
tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi
saponin dalam tanaman untuk melindungi diri dari hama, saponin diketahui sebagai
bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan produk dari metabolisme sekunder
tumbuh-tumbuhan. Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa
dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, beracun bagi binatang berdarah
dingin, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah), tidak beracun
bagi binatang berdarah panas. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, senyawa saponin
mempunyai kegunaan yang sangat luas, antara lain sebagai detergen, pembentuk
busa pada alat pemadam kebakaran, pembentukan busa pada industri sampo dan
digunakan dalam industri farmasi serta dalam bidang fotografi. Beberapa saponin
5
bekerja sebagai antimikroba, saponin tertentu menjadi penting karena dapat
diperoleh dari beberapa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis
hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson, 1995).
Saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan
antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa, menyebabkan
membran pecah, sel lisis dan mati. Keberadaan kolesterol pada membran sel
eukariotik (termasuk protozoa) tetapi tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik,
memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin
mempunyai daya tarik menarik terhadap kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak
mengalami gangguan karena disamping bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat
berikatan dengan saponin, bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme
faktor antiprotozoa tersebut yang menghilangkan rantai karbohidrat (Suparjo, 2008).
Defaunasi adalah pengurangan jumlah populasi protozoa secara menyeluruh
maupun sebagian (parsial) dengan tujuan untuk mengoptimalkan tingkat kecernaan
serat kasar pakan. Defaunasi dilakukan karena kehadiran protozoa dalam rumen
cenderung merugikan, hal ini terjadi karena protozoa mempunyai sifat predator bagi
mikroba lain terutama bakteri dan jamur (Prihandono, 2001).
Berdasarkan struktur kimia, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama
yaitu kelas steroid, kelas steroid alkaloid dan kelas triterpenoid (Wallace et al.,
2002). Saponin menyebabkan perbedaan spesies bakteri dalam rumen. Bakteri
selulolitik lebih toleran terhadap saponin dibandingkan dengan bakteri lainnya
(Wang et al., 2000).
Minyak Daun Cengkeh (clove leaf oil)
Sejak zaman dahulu cengkeh sudah banyak digunakan untuk berbagai
keperluan yaitu sebagai bahan obat-obatan, penambah rasa dan aroma pada makanan,
minuman yang kemudian berkembang sebagai bahan baku rokok kretek dan
kosmetik. Luasnya kegunaan cengkeh tersebut disebabkan adanya komponen minyak
atsiri yang terkandung di dalam bunga, tangkai maupun daun cengkeh. Produk
samping dari tanaman cengkeh adalah minyak cengkeh. Minyak cengkeh
berdasarkan bahan bakunya ada tiga macam, yaitu minyak bunga cengkeh, minyak
tangkai cengkeh, dan minyak daun cengkeh. Akhir-akhir ini telah berkembang
beberapa kemungkinan lain penggunaan cengkeh dan hasil sampingnya, di antaranya
6
sebagai bahan untuk pengendalian hama dan penyakit serta bahan anestesi pada ikan
hias maupun sebagai bahan baku antiseptik (Nurdjannah, 2004).
Minyak cengkeh berasal dari tanaman cengkeh (Eugenia aromatica) yang
mengandung minyak atsiri golongan fenol. Komposisi minyak cengkeh dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu, kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan
eugenol sebagai komponen terbesar dan kelompok kedua senyawa nonfenolat.
Eugenol merupakan senyawa dari golongan oxygenated hydrocarbon,berupa cairan
minyak tidak berwarna atau sedikit kekuningan dan menjadi coklat jika kontak
dengan udara. Sifat fisik eugenol antara lain : bobot jenis 1.0651, indeks bias 1.5410,
kelarutan dalam alkohol 70% adalah 1:1 atau 1:2 (Sastrohamidjojo, 2002).
Menurut Tjitrosoepomo (1994), klasifikasi tanaman cengkeh adalah sebagai
berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa / Ordo: Myricales
Suku / Familia : Myricaceae
Genus
: Eugenia
Spesies
: Eugenia Aromatika O.K
Jenis
: Syzygium aromaticum (L.) Merr. & Perry.
Gambar 3 menunjukkan gambar daun cengkeh :
Gambar 3 : Daun Cengkeh
Sumber : BPPT (2005c).
Eugenol merupakan persenyawaan terbesar yang terdapat dalam minyak
cengkeh (Syzygium aromaticum). Menurut Ketaren (1985), kandungan eugenol
7
dalam minyak cengkeh agak berbeda untuk bagian tanaman cengkeh yaitu pada daun
cengkeh sebesar 79-90%, 85-95% dari kuncup bunga dan 90-95% dari tangkai
bunga. Eugenol adalah senyawa dari golongan hidrokarbon teroksidasi yang
merupakan cairan minyak tidak berwarna atau sedikit kekuningan, mudah menguap,
akan menjadi coklat jika kontak dengan udara dan berasa getir. Mempunyai rumus
molekul C 10 H 12 O 2 dan bobot molekul 164,2 g/mol. Tata nama eugenol adalah 1hidroksi 2-metoksi 4-alil benzene. Struktur kimia eugenol (Gambar 4):
Gambar 4. Struktur kimia eugenol
Sumber : Dwiono et al. (2002).
Minyak daun cengkeh pada umumnya berkadar eugenol lebih rendah
dibandingkan dengan minyak bunga cengkeh. Standar mutu untuk minyak cengkeh
baik daun, gagang maupun bunga seperti tercantum dalam Tabel 1 sedangkan sifat
fisiko-kimianya diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 1. Standar Mutu Minyak Daun, Gagang dan Bunga Cengkeh
Syarat Mutu
Daun (SNI)
Gagang (EOA)
Bunga (ISO)
Bobot jenis (25º/25 ºC)
1,03-1,06
1,048-1,056
1,044-1,057
Indeks Bias (20 ºC)
1,52-1,54
1,534-1,538
1,528-1,538
Putaran Optik (º)
1º35’
0º - (-1º30’)
0º- (-1º35’)
Kadar Eugenol total (%)
78-93
89-95
85-93
Kelarutan dalam alkohol 70%
1:2
1:2
1:2
Minyak pelican
negatif
-
-
Minyak lemak
negatif
-
-
Sumber : Ruhnayat (2002).
Menurut Kurniawan (2005), untuk mendapatkan eugenol dari minyak
cengkeh, biasanya dilakukan dengan penambahan NaOH atau KOH 3-5% sehingga
8
membentuk garamnya yaitu natrium atau kalium eugenolat yang larut dalam air.
Penambahan asam klorida (HCl) akan membebaskan eugenol yang kemudian
diekstraksi dengan eter.
Tabel 2. Sifat Fisiko Kimia Eugenol
Karakteristik
Nilai
Bobot jenis (25ºC)
1,053-1,064
Indeks bias 20 ºC
1,538-1,542
Titik didih
255 ºC
Putaran optik
-1º30’
Titik leleh
-7,5 ºC
Kelarutan
1:5 atau 1:6 dalam alkohol 50%, tidak
larut dalam air, larut dalam eter,
kloroform dan asam asetat.
Sumber : Purseglove et al. (1981).
Mannie (1999) melaporkan bahwa minyak cengkeh juga mempunyai aktivitas
antimikroba. Efek penghambatan terhadap mikroba ini disebabkan karena cengkeh
mengandung senyawa terpenoid yang dapat merusak membrane sel mikroba,
sehingga pertumbuhan mikroba dapat dihambat.
Aktivitas antimikroba dari ekstrak tumbuh-tumbuhan karena adanya senyawa
metabolit sekunder tanaman yang meliputi saponin, terpenoid dan phenylpropanoids
(seperti sinamilaldehida, eugenol, atau anethol) yang ada di fraksi minyak atsiri
banyak tanaman. Pengaruh ekstrak tanaman yang berbeda (bawang putih, lada,
minyak kayu manis, minyak adas, minyak daun cengkeh, minyak bawang putih dan
minyak jahe) pada fermentasi mikroba dan tanaman metabolit sekunder
menunjukkan potensi dari beberapa ekstrak untuk memodifikasi fermentasi mikroba
(Cardozo et al., 2004; Busquet et al., 2006).
Dosis tinggi dari ekstrak tumbuh-tumbuhan dan metabolit sekunder tanaman
menghasilkan efek merugikan pada fermentasi mikroba rumen yaitu menurunkan
konsentrasi VFA total. Penggunaan kombinasi aditif memungkinkan manipulasi
fermentasi mikroba. Secara umum bakteri gram positif terlihat lebih rentan terhadap
inhibisi oleh senyawa minyak atsiri tanaman dibandingkan dengan bakteri gram
negatif (Davidson dan Naidu, 2000).
9
Mikroba Rumen
Mikroba yang terdapat dalam rumen dibagi menjadi empat jenis
mikroorganisme anaerob, yaitu bakteri, protozoa, fungi dan mikroorganisme lainnya
seperti virus. Cacahan sel per gram isi rumen dapat mencapai 1010-1011, kondisi
ternak yang sehat populasi protozoa mencapai 105-106. Interaksi yang terjadi antar
mikroba rumen adalah simbiosis mutualisme. Bakteri dan protozoa yang hidup dalam
rumen menjadikan ruminansia mampu mencerna serat kasar tinggi (McDonald et al.,
2002). Pakan difermentasi dalam rumen menjadi VFA, NH 3 , protein mikroba dan
gas. Rumen-retikulum seperti wadah fermentasi yang besar, kapasitasnya bervariasi
mulai dari 3-15 liter untuk domba dan 35-100 liter untuk sapi. Rumen memiliki
kisaran suhu 38-40ºC, pH 5,5-7, tekanan osmotik cairan rumen sekitar 250mOsm/kg,
komposisi gas di dalam rumen adalah CO 2 65% dan CH 4 27% (Dehority, 2004).
Jumlah bakteri rumen bervariasi tergantung pada pakan, cara pemberian
pakan, waktu pengambilan sampel setelah makan, perbedaan spesies, perbedaan
individual spesies, musim, ketersediaan hijauan, dan ada atau tidaknya siliata
protozoa (Ensminger et al., 1990). Fermentasi mikroba terhadap serat menjadi bagian
terpenting ketika berbicara tentang ternak ruminansia, oleh karena itu kebutuhan
yang harus terpenuhi terlebih dahulu pada pakan ruminansia adalah kebutuhan
nutrien untuk mikroba. Tipe mikroba yang paling berperan dalam fermentasi serat
adalah bakteri selulolitik dan fungi anaerobik (Bakrie et al., 1996).
Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa,
dan fungi yang memiliki populasi secara berturut-turut sebagai berikut 1010-1011 /ml
dari 50 jenis, 104-106/ml dari 25 jenis, 103-105/ml dari 12 jenis. Mayoritas bakteri
(mikroflora) adalah Gram positif dan Gram negatif dan merupakan bakteri obligate
anaerobes, tumbuh pada pH 6,0-6,9 dan temperatur 39oC (Kamra, 2005).
Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi
mikroba rumen adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan
bahan kering dan potensial oksidasi reduksi (Dehority, 2004). Mikroba rumen
mempunyai karakteristik antara lain : suhu lingkungan sesuai dengan suhu saluran
pencernaan 39-400C, kondisi lingkungan anaerob dengan pH 5,3-7,0 (Widyastuti,
2005).
10
Bakteri rumen
Bakteri merupakan biomassa terbesar di dalam rumen, terdapat sekitar 50%
dari total bakteri hidup bebas dalam cairan rumen dan sekitar 30-40% menempel
pada partikel makanan. Beberapa jenis bakteri dari spesies Micrococcus,
Staphylococcus, Streptococcus, Corynebacterium, Lactobacillus, Fusobacterium dan
Propionibacterium ditemukan menempel pada epitel dinding rumen, disamping itu
terdapat spesies bakteri methanogen yang hidup menempel pada protozoa (Dehority,
2004). Guedon et al. (2002) menyatakan bahwa beberapa spesies bakteri hidup pada
kondisi temperatur, tekanan, dan pH yang ekstrim.
Bakteri Amilolitik
Bakteri amilolitik adalah bakteri yang mampu menghasilkan enzim amilase
untuk mendegradasi pakannya. Bakteri-bakteri tersebut disebut sebagai bakteri
amilolitik karena kemampuannya mendegradasi pati (amilum). Menurut Pelczar dan
Chan (1988), enzim amylase telah banyak digunakan dalam aplikasi industri,
meliputi senyawa α-amilase, β-amilase, glukoamilase dan puilunase. Berikut jenis
bakteri amilolitik diantaranya Bacteroides ruminicola, Ruminobacter amylophilus,
Succinivibrio dextrinosolvens, Succinimonas amylolytica, Butyrivibrio fibrisolvens
(Hobson dan Stewart, 1997).
Bakteri Selulolitik
Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang dapat memproduksi enzim
selulase yang mempunyai fungsi-fungsi khusus dalam degradasi selulosa menjadi
glukosa. Selulase dari mikroorganisme yang bersifat selulolitik adalah enzim yang
terinduksi dan hanya diproduksi bila mikroorganisme ditumbuhkan pada selulosa
atau glukan dengan ikatan β-1,4 seperti selobiosa, laktosa dan sophorosa (Pelczar dan
Chan, 1988). Jenis bakteri yang mendegradasi serat adalah Ruminococcus albus,
Ruminococcus flavefaciens, Fibrobacter succinogens, Syntrophococcus sucromutans
(Hobson dan Stewart, 1997). Menurut Beguin dan Aubert (1992), bakteri selulolitik
juga terdapat dalam usus herbivore vertebrata. Semuanya bersifat anaerob yang
bersimbiosis dalam menghancurkan pakan.
11
Bakteri Proteolitik
Bakteri proteolitik adalah bakteri yang memproduksi enzim protease
ekstraseluler, yaitu enzim pemecah protein yang diproduksi di dalam sel kemudian
dilepaskan keluar dari sel. Semua bakteri mempunyai enzim protease di dalam sel,
tetapi tidak semua mempunyai enzim protease ekstraseluler (Pelczar dan Chan,
1988). Berikut jenis bakteri proteolitik diantaranya Selenomonas ruminantium,
Ruminobacter amylophilus, dan Mitsuokella multiacidus (Hobson dan Stewart,
1997).
Protozoa rumen
Protozoa merupakan mikroorganisme yang ada dalam rumen dengan jumlah
lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah bakteri yaitu sekitar 1 juta/ml
(McDonald et al., 2002). Komponen dasar dari tubuh protozoa adalah nukleus (inti)
dan sitoplasma. Tampubolon (2004) mengatakan bahwa inti protozoa mempunyai
berbagai bentuk, ukuran dan struktur karena bentuk tubuh yang sangat bervariasi.
Komponen penting inti protozoa adalah membran inti, kromatin, plastin dan
nukleoplasma atau cairan inti. Secara struktural inti dibagi menjadi dua tipe yaitu
vasikuler dan kompak. Inti vasikuler terdiri dari membran inti yang kadang-kadang
sangat lembut tetapi jelas nukleoplasma, akromatin dan kromatinnya. Disamping itu
badan intranuklear biasanya agak bulat, tersusun dari kromatin, nukleolus atau
plasmasoma. Sedangkan inti kompak mengandung banyak substansi kromatin dan
sedikit jumlah nukleoplasma, oleh karena itu bersifat padat.
Protozoa (mikrofauna) secara alami terdapat dalam cairan rumen dan
keberadaannya
tidak
esensial
dalam
pencernaan
ruminansia.
Protozoa
diklasifikasikan menurut morfologinya yaitu holotrich (Isothrica) yaitu protozoa
yang memiliki silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang
mudah terfermentasi (amilum dan pektin), sedangkan oligotrichs mempunyai silia
disekitar kepala umumnya mendegradasi karbohidrat yang sulit dicerna (selulosa
dan hemiselulosa). Beberapa protozoa juga bersifat proteolitik yaitu Entodinium
caudatum dan Ophyroscolex caudatus. Jamur memiliki peran dalam fermentasi
rumen yaitu sebagai pencerna pakan berserat, karena jamur membentuk koloni pada
jaringan selulosa pakan. Rizoid jamur tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman
12
sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen (Kamra,
2005).
Gas metan
Metanogen termasuk kelompok archaea, memiliki karakteristik unik yang
memisahkan mereka dari kelompok bakteri dan eukaryotes. Bakteri metanogenik
termasuk gram positif dan negatif dan dalam pertumbuhannya harus dalam kondisi
anaerob (Kamra, 2005). Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses
fermentasi pakan oleh mikroba rumen, yaitu menghidrolisis karbohidrat menjadi
monosakarida dan disakarida yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak
terbang (VFA) terutama asam asetat, propionat dan butirat serta gas metan (CH 4 ) dan
CO 2 (McDonald et al., 2002).
Menurut Moss et al. (2000) secara umum gas metan yang diproduksi
mikrobia metanogenik bertujuan untuk menghindarkan ternak dari akumulasi H 2
pada proses fermentasi di rumen. Sebagian besar mikrobia rumen menggunakan jalur
Embeden-Meyerhof-Parnas untuk mengoksidasi gula menjadi piruvat. Stoichiometry
oksidasi reduksi fermentasi anaerob pada produksi H 2 dalam bentuk proton (H)
yang digunakan sebelum sintesis VFA yaitu sebagai berikut:
Reaksi produksi H:
Glukosa
2 piruvat + 4H (jalur Embeden-Meyerhof-Parnas)
Piruvat + H 2 O
asetat (C2)+ CO 2 + 2 H
Reaksi penggunaan H:
Piruvat + 4H
propionat (C3) + H 2 O
2 C2 + 4H
butirat (C4) + 2 H 2 O
CO 2 + 8H
metan (CH 4 ) + 2 H 2 O
Secara nyata proporsi H 2 akan meningkat dengan adanya oksidasi enzimatis
selama proses glikolisis dari NADH menjadi NAD+ dan H 2 . Hindrogen (H 2 )
dibentuk dalam jumlah yang besar tetapi tidak terakumulasi karena dengan segera
akan digunakan oleh bakteri metanogenik sehingga dapat dipertahankan pada
tekanan parsial yang rendah. Kondisi tersebut diperlukan bagi pertumbuhan mikrobia
rumen (Miller, 1995).
Defaunasi menyebabkan turunnya mekanisme simbiosis antara metanogen
dengan protozoa, sehingga hanya sedikit hidrogen yang dapat dikonversikan menjadi
13
metan (Takahashi, 2006). Sintesis asetat di dalam rumen juga menyebabkan
kenaikan produksi H 2 , sehingga meningkatnya aktivitas metanogenik dalam
mensintesis CH 4 dari CO 2 dan H 2 . Naiknya produksi asetat dan CO 2 ini juga
menyebabkan naiknya CH 4 dan menyebabkan kehilangan energi pakan (Moss et al.,
2000).
Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang juga berpengaruh
terhadap produksi gas metan didalam rumen. Hasil penelitian Carulla et al. (2005)
bahwa ekstrak Acacia mearnsii sebanyak 25 g/kg BK yang mengandung tanin 0,615
g/g pada pakan secara in vivo menyebabkan penurunan produksi gas metan sebanyak
12% per konsumsi bahan pakan (BK) dari 71 menjadi 64 KJ/kg. Beberapa hasil
penelitian juga menjelaskan bahwa pakan ruminansia yang mengandung tanin
mampu menurunkan produksi metan (Waghorn et al., 2002, Puchala et al., 2005).
Tanaman yang mengandung tanin tersebut adalah Include sulla (Hedysarum
coronarium: 2,7 sampai 6,8% tanin), dan Sericea despedeza (Lespedeza cuneata:
17,7% tanin).
14
Download