10 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Produk (Product)
Produk merupakan salah satu unsur dari bauran pemasaran yang dapat
memuaskan atau memenuhi kebutuhan dan keinginan dari konsumen. Melalui
pembelian produk tersebut kepuasan konsumen diharapkan dapat terpenuhi.
Kotler (2005:69) mendefinisikan produk adalah segala sesuatu yang dapat
ditawarkan ke pasar untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan. Produk-produk
yang dipasarkan meliputi barang fisik, jasa, pengalaman, acara-acara, orang,
tempat, properti, organisasi dan gagasan.
Produk merupakan bagian dari pemasaran karena pengertian pemasaran itu
sendiri adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok
mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan dengan menciptakan,
menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan
pihak lain (Kotler, 2005:10). American Marketing Association dalam (Kasali,
2000:53) juga mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses perencanaan dan
eksekusi, mulai dari tahap konsepsi, penetapan harga, promosi hingga distribusi
barang-barang, ide-ide, dan jasa-jasa, untuk melakukan pertukaran yang
memuaskan individu dan lembaga-lembaganya. Jadi, produk adalah alat yang
digunakan individu atau lembaga agar pertukaran dalam pemasaran dapat
dilakukan sehingga keinginan dan kebutuhan pasar dapat dipenuhi. Produk yang
10
ditawarkan kepada kosumen haruslah memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen. Produk bisa berupa manfaat tangible maupun intangible yang dapat
memuaskan konsumen.
Kotler (2005:72) mengidentifikasikan enam tingkat hierarki produk, yaitu:
1. Kebutuhan keluarga (family need) yaitu kebutuhan inti yang mendasari
keberadaan suatu produk, contoh: keamanan.
2. Kebutuhan produk (product need) yaitu semua kelas produk yang dapat
memenuhi suatu kebutuhan inti dengan lumayan efektif, contoh: tabungan
dan penghasilan.
3. Kelas produk (product class) yaitu sekelompok produk dalam keluarga
produk yang diakui mempunyai ikatan fungsional tertentu, contoh:
instrumen keuangan.
4. Lini produk (product line) yaitu sekelompok produk dalam suatu kelas
produk yang saling terkait erat karena melaksanakan suatu fungsi yang
sama, dijual kepada kelompok pelanggan yang sama, dan dipasarkan
melalui saluran yang sama atau masuk ke dalam rentang harga tertentu,
contoh: asuransi jiwa.
5. Jenis produk (product type) yaitu satu kelompok produk dalam lini produk
yang sama-sama memiliki salah satu dari beberapa kemungkinan bentuk
produk tersebut, contoh: asuransi berganda.
6. Unit produk (item) yaitu suatu unit tersendiri dalam suatu merek atau nilai
produk yang dapat dibedakan berdasaran ukuran, harga, penampilan atau
11
ciri lain, contoh: asuransi jiwa berjangka Prudential yang dapat
diperpanjang.
2.1.2
Pengertian Merek (Brand)
Merek (brand) suatu produk atau jasa memegang peranan sangat penting.
Berbagai pengertian mengenai merek (brand) telah diungkapkan oleh para
peneliti. Keller (2005) mendefinisikan merek sebagai bagian paling berharga dari
properti legal, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku konsumen,
dapat dibeli dan dijual, dan menyediakan pendapatan masa depan yang aman bagi
perusahaan.
American
Marketing
Association
dalam
Kotler
(2005:82)
mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau
kombinasi semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa
seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang atau
jasa pesaing.
Merek menjadi tanda pengenal yang sangat penting bagi penjual atau
pembuat. Definisi brand serupa diungkapkan oleh Janita (2005) yaitu brand
adalah ide, kata, desain grafis dan suara / bunyi yang mensimbolisasikan produk,
jasa, dan perusahaan yang memproduksi produk dan jasa tersebut. Berdasarkan
pengertian di atas, dapat disimpulkan brand adalah identitas tambahan dari suatu
produk yang tak hanya membedakannya dari produk pesaing; namun merupakan
janji produsen atau kontrak kepercayaan dari produsen kepada konsumen dengan
menjamin konsistensi bahwa sebuah produk akan selalu dapat menyampaikan
nilai yang diharapkan konsumen dari sebuah produk.
12
Merek-merek terbaik memberikan jaminan kualitas dan merek lebih dari
sekedar symbol. Sehingga merek dapat memiliki enam pengertian (Kotler,
2002:460) sebagai berikut:
1) Atribut, yaitu merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
2) Manfaat, yaitu atribut perlu diterjemahkan menjadi manfaat fungsional
dan emosional.
3) Nilai, yaitu merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
4) Budaya, yaitu merek juga mewakili budaya tertentu.
5) Kepribadian, yaitu merek juga mencerminkan kepribadian tertentu.
6) Pemakai, yaitu merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau
menggunakan merek tersebut.
2.1.3
Kebaikan dan Keburukan Merek
Kotler (2005:90) merumuskan beberapa keunggulan bagi penjual yang
menggunakan merek pada produknya, yaitu:
1) Merek memudahkan penjual memproses pesanan dan menelusuri masalah
baik masalah yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan, pemesanan
produk atau jasa tersebut dan lain sebagainya.
2) Nama merek dan tanda merek penjual memberikan perlindungan hukum
atas ciri-ciri produk yang unik.
3) Merek memberikan penjual kesempatan untuk menarik pelanggan yang
setia dan menguntungkan. Kesetiaan konsumen memberi penjual atau
perusahaan perlindungan dari persaingan serta pengendalian yang lebih
besar dari perencanaan program pemasarannya.
13
4) Merek membantu penjual melakukan segmentasi pasar.
5) Merek yang kuat membantu meningkatkan citra perusahaan, memudahkan
perusahaan meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima para
distributor dan pelanggan.
Menurut Swastha (2002:138) alasan-alasan perusahaan untuk tidak
menggunakan merek pada barang atau jasa yang dijualnya adalah sebagai berikut.
1) Pertimbangan perusahaan
Adanya ketidakpuasan konsumen terhadap barang atau jasa yang telah
dibelinya baik mengenai mutu, harga maupun pelayanan yang diberikan
perusahaan. Adanya ketidakpuasan konsumen tersebut akan berakibat
tidak menguntungkan bagi perusahaan sebagai pemilik produk dan merek
karena konsumen akan menjadi ragu-ragu untuk melakukan pembelian
ulang, tidak hanya pembelian untuk barang yang sama tetapi juga pada
barang atau jasa lain yang memiliki merek yang sama.
2) Sifat barang
Beberapa macam barang sengaja tidak diberi merek karena sulit dibedakan
dengan barang yang dihasilkan dari perusahaan lain seperti: kapas,
gandum, buah-buahan, sayur-sayuran dan sebagainya. Jadi, yang termasuk
dalam kelompok ini adalah barang-barang yang secara fisik mudah rusak,
busuk atau basi. Apabila barang-barang semacam ini diberi merek maka
resiko yang harus ditanggung oleh perusahaan sangat besar karena apabila
terjadi kerusakan barang seringkali mengakibatkan rusaknya nama baik
merek tersebut.
14
2.1.4
Ekuitas Merek (Brand Equity)
Ekuitas merek menurut Kotler (2001:357) adalah nilai dari suatu merek,
sejauh mana merek itu mempunyai loyalitas merek yang tinggi, kesadaran nama,
kualitas yang diterima, asosiasi merek yang kuat, serta aset lain seperti paten, dan
merek dagang. Keller (2005), mendefinisikan ekuitas merek sebagai nilai yang
secara langsung ataupun tidak langsung dimiliki oleh merek. Durianto, dkk
(2004:4) mendefinisikan ekuitas merek sebagai seperangkat aset dan liabilitas
merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol yang mampu menambah
atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada
perusahaan maupun pada pelanggan. Brand Equity sangat berkaitan dengan
seberapa banyak pelanggan suatu merek merasa puas dan merasa rugi bila
berganti merek (brand switching), menghargai merek itu dan menganggapnya
sebagai teman, dan merasa terikat kepada merek itu (Kotler, 2002 : 461). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ekuitas merek (brand equity) adalah kekuatan
merek yang menjanjikan nilai yang diharapkan konsumen atas suatu produk
sehingga akhirnya konsumen akan merasa mendapatkan kepuasan yang lebih bila
dibanding produk-produk lainnya.
Menurut Kotler (2005:86) ekuitas merek yang tinggi akan memberikan
sejumah keunggulan bersaing bagi perusahaan, yaitu:
1) Perusahaan tersebut akan memiliki pengaruh perdagangan yang lebih
besar dalam melakukan tawar menawar dengan distributor dan pengecer
karena pelanggan mengharapkannya menjual merek tersebut.
15
2) Perusahaan tersebut dapat menggunakan harga yang lebih tinggi daripada
pesaing-pesaingnya karena merek itu memiliki persepsi mutu untuk lebih
tinggi.
3) Perusahaan tersebut dapat dengan mudah melakukan perluasan produk
karena nama merek tersebut menyandang kredibilitas yang tinggi.
4) Merek tersebut menawarkan kepada perusahaan itu suatu pertahanan
terhadap persaingan harga.
Menurut Simamora (2003:14) ekuitas merek memiliki tiga nilai yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Nilai fungsional
Nilai fungsional adalah nilai yang diperoleh dari atribut produk yang
memberikan kegunaan (utility) fungsional kepada konsumen. Nilai ini
berkaitan langsung dengan fungsi yang diberikan oleh produk atau layanan
kepada konsumen.
2. Nilai emosional
Merek memberikan nilai emosional apabila konsumen mengalami
perasaan positif (positive feeling) pada saat membeli atau menggunakan
suatu merek. Pada intinya, nilai emosional berhubungan dengan perasaan
yaitu perasaan positif apa yang dialami konsumen pada saat membeli
produk.
16
3. Nilai ekspresi diri
Nilai ini berpusat pada ekspresi publik dengan kata lain mencari jawaban
atas “jati diri” seseorang atau tentang “bagaimana saya di mata orang lain
maupun diri saya sendiri”.
Brand equity tidak terjadi dengan sendirinya tetapi ditopang oleh elemenelemen pembentuk brand equity, dimana hal tersebut dapat dikelompokkan
menjadi lima kategori (Durianto, dkk 2004:4) sebagai berikut.
1) Brand awareness atau kesadaran merek merupakan kesanggupan
sekumpulan konsumen untuk mengenal atau mengingat kembali tentang
keberadaan suatu merek yang merupakan suat bagian dari kategori produk
atau jasa tertentu.
2) Brand association atau asosiasi merek adalah pencitraan suatu merek
terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya
hidup, manfaat, atribut produk, geografi, harga, pesaing, selebritis dan
lain-lain.
3) Brand perceived quality atau persepsi kualitas merupakan persepsi
konsumen terhadap kinerja kualitas atau keunggulan suatu produk atau
jasa yang dibandingkan dengan harapan konsumen dalam mengkonsumsi
produk atau jasa tersebut.
4) Brand loyalty atau loyalitas merek merupakan keterikatan atau kesetiaan
konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek produk atau jasa tertentu.
5) Other proprietary asset atau aset-aset merek lainnya.
17
Gambar 2.1 Konsep Ekuitas Merek (Brand Equity)
Perceived quality
Brand
awareness
Brand association
Brand Equity
Brand
loyalty
Brand assets
Memberikan nilai kepada pelanggan dengan
Memberikan nilai kepada perusahaan
memperkuat:
dengan memperkuat:
1.
Interpretasi atau proses informasi
1.
Efisiensi dan efektifitas
2.
Rasa percaya diri dalam pembelian
3.
Pencapaian kepuasan dari
2.
Brand loyalty
pelanggan
3.
Harga atau laba
4.
Perluasan merek
program pemasaran
5. Peningkatan perdagangan
6.
Keuntungan kompetitif
Sumber: Durianto ,dkk (2004:5)
Unsur-unsur brand equity diluar other proprietary asset dikenal dengan
unsur-unsur utama dari brand equity. Elemen brand equity yang kelima (other
proprietary asset) akan secara langsung dipengaruhi oleh kualitas dari keempat
unsur utama tersebut.
Menurut Kotler (2001:461) terdapat konsumen yang sadar akan
keberadaan suatu produk atau jasa tertentu (brand awareness), dimana kesadaran
18
merek ini diukur berdasarkan ingatan atau pengakuan konsumen terhadap merek
tersebut. Di atas itu, ada merek yang memiliki penerimaan (brand acceptability)
yang tinggi atas suatu kondisi dimana konsumen tidak menolak untuk membeli
merek tersebut. Kemudian ada pula merek yang tingkat preferensi mereknya
tinggi, ini merupakan kondisi dimana konsumen memilih suatu merek diatas
merek lainnya.
2.1.5
Kesadaran Merek (Brand Awareness)
Menurut
Durianto,
dkk
(2004:54)
brand
awareness
merupakan
kesanggupan sekelompok konsumen untuk mengenal atau mengingat kembali
tentang keberadaan suatu merek yang berkaitan dengan suatu kategori produk
atau jasa tertentu. Schumann (2004) menyatakan bahwa brand awareness adalah
kemungkinan merek-merek yang muncul di benak konsumen ketika mengingat
sebuah produk atau jasa.
Rangkuti (2002:40) menyatakan bahwa terdapat beberapa tingkatan brand
awareness dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut.
1) Unaware of brand merupakan tingkat kesadaran yang paling rendah dari
konsumen, dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek
yang dikaitkan dengan suatu kategori produk atau jasa tertentu.
2) Brand recognition merupakan tingkat minimal kesadaran konsumen
dimana dalam mengingat merek tersebut konsumen memerlukan bantuan.
3) Brand recall merupakan tingkat kesadaran konsumen akan suatu merek
dimana dalam mengingat merek tersebut konsumen tidak memerlukan
bantuan.
19
4) Top of mind merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada di
benak konsumen.
Kesadaran merek menciptakan suatu nilai-nilai tertentu, dimana oleh
Durianto, dkk (2004:7) dibagi menjadi empat nilai, yaitu:
1) Jangkar tempat tautan berbagai asosiasi
Suatu merek yang kesadarannya tinggi dibenak konsumen akan membantu
asosiasi-asosiasi melekat pada merek tersebut karena daya jelajah merek
tersebut menjadi sangat tinggi dibenak konsumen. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa jika kesadaran suatu merek rendah, maka asosiasi
yang diciptakan oleh pemasar akan sulit melekat pada merek tersebut.
2) Familier/rasa suka
Jika kesadaran atas merek sangat tinggi, konsumen akan sangat akrab
dengan merek tersebut, dan lama-kelamaan akan timbul rasa suka yang
tinggi terhadap merek tersebut.
3) Substansi/komitmen
Kesadaran merek dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang
sangat penting bagi suatu perusahaan. Jadi jika kesadaran atas merek
tinggi, kehadiran merek itu akan selalu dapat dirasakan. Sebuah merek
dengan kesadaran konsumen tinggi biasanya disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu diiklankan secara luas, eksistensi yang sudah teruji oleh
waktu, jangkauan distribusi yang luas, dan merek tersebut dikelola dengan
baik.
20
4) Mempertimbangkan merek
Langkah pertama dalam suatu proses pembelian adalah menyeleksi merekmerek yang dikenal dalam suatu kelompok untuk dipertimbangkan dan
diputuskan merek mana yang akan dibeli. Merek dengan top of mind yang
tinggi mempunyai nilai pertimbangan yang tinggi. Jika suatu merek tidak
tersimpan dalam ingatan, merek tersebut tidak akan dipertimbangkan
dalam benak konsumen.
2.1.6
Asosiasi Merek (Brand Association)
Pengertian brand association menurut Durianto, dkk (2004:69) adalah
keseluruhan kesan yang ada di benak konsumen yang berkenaan dengan
ingatannya terhadap merek suatu produk atau jasa tertentu. Adapun fungsi brand
association menurut Durianto, dkk (2004:69) adalah sebagai berikut.
1) Help process retrive information artinya membantu dalam proses
penyusunan informasi.
2) Diferentiate, artinya suatu asosiasi dapat memberikan landasan didalam
upaya membedakan antara merek yang satu dengan merek yang lainnya.
3) Reason to buy artinya brand association dapat mengangkat atribut produk
atau manfat produk bagi konsumen, dimana dalam hal ini memberikan
alasan untuk memakai merek tersebut bagi konsumen.
4) Create positive attitude feelings, artinya asosiasi-asosiasi merek dapat
menciptakan perasaan yang positif berdasarkan pengalaman pemakaian
terdahulu.
21
5) Basis for extension, artinya asosiasi dapat menjadi landasan dalam
melakukan perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian dengan merek
dan sebuah merek baru.
Menurut Durianto, dkk (2004:70) asosiasi-asosiasi terhadap suatu merek
umumnya dikaitkan dengan hal-hal berikut.
1) Product attributes (atribut produk), dimana dengan mengasosiasikan
atribut atau karakteristik produk atau jasa dan jika atribut tersebut
bermakna akan menjadi alasan dalam pembelian merek tersebut.
2) Intangible attributes (atribut tak berwujud). Suatu atribut tak berwujud
merupakan atribut umum seperti persepsi kualitas, kemajuan teknologi,
atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang objektif.
3) Consumers benefits (manfaat pelanggan). Sebagian besar atribut
memberikan manfaat bagi pemakainya.
4) Relative price (harga relatif). Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian
kelas produk ini terwakili dengan penentuan posisi merek tersebut dalam
satu atau dua tingkat harga.
5) Application (pengguna). Pendekatan ini adalah mengasosiasikan merek
dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu.
6) User costumers (pengguna/pelanggan). Pendekatan ini adalah dengan
mengasosiasikan merek dengan tipe pengguna atau pelanggan.
7) Celebrity person (responden terkenal/ khalayak). Responden terkenal yang
dikaitkan dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat responden
terkenal tersebut kepada merek.
22
8) Life style personality (gaya hidup/kepribadian). Asosiasi merek yang
dikaitkan dengan gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para pemakai
merek dengan kepribadian dan gaya hidup yang hampir sama.
9) Product class (kelas produk). Pendekatan ini dilakukan dengan
mengasosiasikan sebuah merek dengan kelas produknya.
10) Competitors
(para
pesaing).
Pendekatan
ini
dilakukan
dengan
mengidentifikasi pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan
mengunggulinya.
11) Country geographic area (Negara/ wilayah geografis). Sebuah negara
dapat menjadi simbol sebuah merek asalkan terdapat hubungan yang erat
dengan produk, bahan dan kemampuan.
2.1.7
Persepsi Kualitas Merek (Brand Perceived Quality)
Brand perceived quality menurut Durianto, dkk (2004:96) adalah persepsi
konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan dari suatu produk atau
jasa yang dikaitkan dengan harapan konsumen dalam mengkonsumsikan produk
atau jasa tersebut. Menurut Aaker dalam Rangkuti (2002:41), persepsi kualitas
adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu
produk atau jasa layanan yang sama dengan maksud yang diharapkannya.
Brand perceived quality dapat mewujudkan lima nilai (Rangkuti,
2002:42), yaitu:
23
1) Memberikan alasan utama bagi konsumen dalam membeli suatu produk
atau jasa. Hal ini akan mempengaruhi merek-merek mana yang
dipertimbangkan dan merek mana yang akan dipilih konsumen.
2) Dapat dijadikan sebagai strategi positioning yang akan membedakan suatu
merek dengan merek lainnya.
3) Dapat dijadikan sebagai pilihan dalam menetapkan berbagai harga
optimum atau harga premium.
4) Dapat menarik minat distributor, pengecer, atau saluran distribusi yang
lainnya untuk mendistribusikan merek tersebut.
5) Dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai perluasan merek
yaitu dengan menggunakan suatu merek tertentu untuk masuk dalam
kategori produk baru.
Dimensi brand perceived quality mengacu kepada pendapat Garvin
menurut Durianto, dkk (2004:98) adalah sebagai berikut.
1) Kinerja: meliputi berbagai karakteristik operasional dari perusahaan. Oleh
karena faktor kepentingan setiap konsumen berbeda, maka konsumen
memiliki penilaian yang berbeda terhadap atribut-atribut kinerja tersebut.
2) Pelayanan: menggambarkan kemampuan untuk memberikan pelayanan
pada produk yang ditawarkan.
3) Ketahanan: menggambarkan umur ekonomis dari produk tersebut.
4) Keandalan: menggambarkan konsistensi dari kinerja produk.
5) Karakteristik produk: menggambarkan feature atau tambahan-tambahan
atribut dari produk.
24
6) Kesesuaian dengan spesifikasi: menggambarkan kualitas produk yang
sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji.
7) Hasil: menggambarkan kualitas yang dirasakan setelah mengkonsumsi
produk tersebut.
2.1.8
Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Oliver (2000) menyatakan bahwa brand loyalty adalah pilihan dari
konsumen pada merek dari produk atau jasa yang paling disukai. Pengertian
brand loyalty menurut Rangkuti (2002:60) adalah ukuran kesetiaan konsumen
terhadap suatu merek produk atau jasa tertentu. Hal ini merupakan inti dari brand
equity yang menjadi sentral gagasan pemasaran karena merupakan suatu ukuran
keterkaitan sekelompok konsumen terhadap suatu brand equity.
Terdapat lima tingkatan brand loyalty dari yang terendah sampai yang
tertinggi (Rangkuti, 2002:61), yaitu:
1) Switcher buyer. Pada tingkat loyalitas yang paling dasar ini konsumen sama
sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek apapun yang ditawarkan.
Merek memainkan peranan yang kecil dalam keputusan pembelian karena
konsumen lebih memperhatikan harga sehingga konsumen lebih sering
berpindah-pindah merek dalam mengkonsumsi suatu kategori produk atau
jasa.
2) Habitual buyer. Pada tingkatan ini tidak terdapat dimensi ketidakpuasan
yang cukup memadai untuk mendorong perubahan dalam mengkonsumsi
suatu merek, terutama apabila pergantian ke merek lainnya memerlukan
suatu biaya tambahan.
25
3) Satisfied buyer. Pada tingkatan ini terdapat konsumen yang puas namun
menanggung biaya peralihan baik itu waktu, uang atau resiko sehubungan
dengan upaya untuk melakukan pergantian ke merek yang lainnya.
4) Likes the brand. Konsumen memiliki perasaan emosional dalam menyukasi
suatu merek. Rasa suka ini didasari oleh asosiasi seperti simbol, pengalaman
dalam menggunakan atau kesan kualitas yang tinggi.
5) Commited buyer. Terdapat konsumen yang memang setia terhadap suatu
merek. Konsumen merasa bangga dalam memakainya karena dapat
menunjukkn identitas dirinya.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Guna mendukung penelitian ini, perlu dikaji beberapa penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan ekuitas merek, sebagai berikut.
1) Penelitian yang dilakukan oleh Darwing dan Sugiono Wijoyo (2004)
dengan judul “Analisis Komparasi Ekuitas Merek Ades dan Merek Aqua
di Kalangan Mahasiswa di Surabaya”. Temuan dari penelitian ini terdapat
perbedaan ekuitas merek Ades dengan Aqua bagi mahasiswa di Surabaya.
Secara keseluruhan air minum dalam kemasan merek Aqua mempunyai
ekuitas merek yang lebih kuat daripada air minum dalam kemasan merek
Ades.
2) Penelitian yang dilakukan oleh Farida Ariani Daulay (2006) dengan judul
“Analisis
Perbandingan
Elemen-Elemen
Ekuitas
Merek
Pada
Supermarket Macan dan Maju Bersama di Kota Medan Sebagai Salah
26
Satu Strategi Dalam Menentukan Keputusan Pemasaran”. Dari penelitian
tersebut disimpulkan bahwa ekuitas merek supermarket Macan lebih kuat
dari Maju Bersama. Selain itu diperoleh strategi pemasaran yang
sebaiknya dilakukan oleh kedua supermarket yaitu meningkatkan promosi
terutama dengan menggunakan asosiasi barang berkualitas (kemasan dan
masa pakai produk) pada Supermarket Macan serta asosiasi bersih dan
luas yang memberikan kenyamanan dan keamanan (penggunaan AC,
pencahayaan, tangga jalan/lift, keamanan/alarm) yang lebih baik pada
Supermarket Maju Bersama.
3) Penelitian yang dilakukan oleh Robertus Sola Asisi (2007) dengan judul
“Analisis Perbandingan Brand Equity Indomie dengan Mie Sedaap (Studi
Kasus Pada Mahasiswa Universitas Negeri Semarang)”, kesimpulannya
terdapat perbedaan brand equity Indomie dengan Mie Sedaap bagi
mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Secara keseluruhan ekuitas
merek Indomie lebih tinggi dibandingkan dengan ekuitas merek Mie
Sedaap.
4) Penelitian yang dilakukan oleh Kartono (2007) dengan judul “Analisis
Elemen-Elemen Ekuitas Merek Produk Minyak Pelumas Motor Merek
Enduro
4T
(Studi
Kasus
Pada
Mahasiswa
Universitas
Negeri
Semarang)”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekuitas merek
pelumas Enduro 4T masih lemah. Hal ini karena elemen-ekemen ekuitas
27
nerek yang terdiri dari brand awareness, brand association, perceived
quality dan brand loyalty masih rendah.
5) Penelitian yang dilakukan oleh Yussy Santoso dan Ronnie Resdianto
(2007) dengan judul “Brand Sebagai Kekuatan Perusahaan Dalam
Persaingan Global”. Diperoleh hasil bahwa cara untuk tetap bertahan
dalam persaingan global ini adalah merek, dalam jurnal ini yang dijelaskan
mengenai positiong-differentiate-brand theory, brand communication,
brand equity, dan strategi brand management.
6) Penelitian yang dilakukan oleh Mike dan Ima Kususmawati (2007) dengan
judul “Analisa Pengaruh Brand Equity Terhadap Loyalitas Konsumen
Breadtalk Pakuwon Trade Center Surabaya Ditinjau Dari Product,
Image, dan Visual”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa image memiliki
pengaruh yang paling besar disbanding product dan visual. Tingkat
loyalitas yang terbentuk adalah pada level 4 yaitu advantage yang berarti
bahwa tingkatan loyalitas cukup kuat.
7) Penelitian yang dilakukan oleh Franz Adytia Lesmana Ginting (2008)
dengan judul “Pengaruh Ekuitas Merek (Brand Equity) Terhadap
Kepuasan dan Loyalitas Konsumen Sony Ericsson Pada Mahasiswa
Fakultas Sastra Universitas Sumetera Utara”. Diperoleh hasil dari uji
serempak terdapat pengaruh yang signifikan antara ekuitas merek yang
terdiri dari ; kesadaran merek, kesan kualitas merek dan asosiasi merek
terhadap kepuasan mahasiswa, sedangkan pada uji parsial terdapat
28
pengaruh yang signifikan antara kesan kualitas merek dan asosiasi merek
terhadap kepuasan. Selain itu diketahui juga bahwa variable kesadaran
merek tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan mahasiswa.
8) Penelitian yang dilakukan oleh Ida Ayu Agung Makerti (2010) dengan
judul “Analisis Perbandingan Brand Equity Produk Penyedap Rasa
Royco Dengan Produk Penyedap Rasa Masako (Studi Kasus Pada Ibu
Rumah Tangga di Kota Denpasar”. Diperoleh hasil bahwa brand equity
merek produk penyedap rasa Masako lebih tinggi jika dibandingkan
dengan merek penyedap rasa Royco. Ini berarti konsumen merek produk
penyedap rasa Masako lebih merasa puas, lebih merasa rugi bila berganti
merek (brand switching), lebih menghargai merek itu dan lebih merasa
terikat kepada merek itu dibandingkan dengan konsumen penyedap rasa
merek Royco.
9) Penelitian yang dilakukan oleh Muchni Medyana (2010) dengan judul
“Analisa Perbandingan Brand Equity Indomie Dengan Mie Sedaap (Studi
Kasus Pada Mahasiswa Universitas Andalas)” Diperoleh hasil terdapat
perbedaan antara brand equity Indomie dengan Mie Sedaap secara
signifikan.
10) Penelitian yang dilakukan oleh Intan Eugenia (2011) dengan judul “The
Power of Top Brand”, diperoleh hasil bahwa logo Top Brand yang
terpasang di kemasan pengaruh yang besar kepada konsumen untuk
memilih produk tersebut. Sehingga peluang merek suatu perusahaan untuk
29
dipilih konsumen akan semakin besar seiring keyakinan konsumen
terhadap merek tersebut.
11) Penelitian yang dilakukan oleh Susan Schwartz McDonald (2004) dengan
judul “Brand Equity: Working Toward A Diciplined Methodology for
Measurement”. Diperoleh hasil bahwa ada dua cara untuk mengukur
brand equity yaitu dengan brand transfer analysis (mengetahui atribut
yang diposisikan perusahaan terhadap merek, mengetahui atribut yang
paling dipentingkan oleh target pasar dan mengetahui kinerja atribut
dibandingkan dengan atribut pesaing pada dimensi tersebut) serta brand
premium analysis (mengetahui kemungkinan berbagai alternatif posisi
harga produk di pasar).
12) Penelitian yang dilakukan oleh Kevin Lane Keller (2005) dengan judul
“Measuring Brand Equity”. Diperoleh hasil bahwa cara yang digunakan
untuk mengetahui tingkat ekuitas merek sebuah produk adalah dengan
mengukur tingkatan elemen-elemen ekuitas merek dan membuatnya ke
dalam laporan ekuitas merek. Elemen ekuitas merek tersebut yaitu
kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association),
persepsi kualitas merek (brand perceived quality) dan loyalitas merek
(brand loyalty).
13) Penelitian yang dilakukan oleh David J.Smith (2007) dengan judul “An
Analysis of Brand Equity Determinants: Gross Profit, Advertising,
Research, And Development”. Diperoleh hasil bahwa laba kotor memiliki
30
korelasi terbesar dengan euitas merek. Ekuitas merek yang lebih tinggi
dalam sebuah perusahaan dapat menyebabkan sebuah perusahaan berani
menetapkan harga yang lebih tinggi dimana nantinya akan berpengaruh
pula kepada laba kotor perusahaan tersebut. Selain itu biaya jangka pendek
dalam iklan serta penelitian dan pengembangan yang dikeluarkan untuk
membangun sebuah merek dapat memberikan hasil jangka panjang. Dalam
mengukur keberhasilan sebuah merek perusahaan harus menggunakan
persepsi jangka panjang karena untuk membangun sebuah merek sama
halnya dengan investasi.
14) Penelitian yang dilakukan oleh Jung Jaehee dan Sung Eun-Young (2008)
dengan judul “Consumer-Based Brand Equity: Comparisons Among
Americans and South Koreans in the USA and South Koreans in Korea”.
Diperoleh hasil bahwa diantara elemen-elemen ekuitas merek yang ada,
persepsi kualitas merek dan asosiasi merek yang lebih tinggi ada pada
siswa Amerika dibandingkan siswa Korea Selatan yang ada di Amerika
maupun di Korea Selatan. Bagi siswa Korea Selatan, loyalitas merek
adalah elemen ekuitas merek yang terpenting sebab terdapat hubungan
positif antara loyalitas merek dengan pembelian ulang pada siswa Korea
Selatan.
15) Penelitian yang dilakukan oleh Nimesh Gupta dan Pulkit Verma (2008)
dengan judul “Comparative Brand Equity of Hutch and Airtel Cell Phone
31
(Delhi)”. Diperoleh hasil bahwa secara keseluruhan ekuitas merek Airtel
Cellphone lebih tinggi dibandingkan dengan ekuitas Hutch Cellphone.
2.3
Rumusan Hipotesis
Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang
dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
H1 : Terdapat perbedaan persepsi konsumen terhadap brand equity produk
minuman teh dalam kemasan merek teh botol sosro dilihat dari jenis klamin
konsumen.
H2
: Terdapat perbedaan persepsi konsumen terhadap brand equity produk
minuman teh dalam kemasan merek teh botol sosro dilihat dari pendapatan
konsumen.
H3 : Terdapat perbedaan persepsi konsumen terhadap brand equity produk
minuman teh dalam kemasan merek teh botol sosro dilihat dari usia
konsumen.
H4 : Terdapat perbedaan persepsi konsumen terhadap brand equity produk
minuman teh dalam kemasan merek teh botol sosro dilihat dari tingkat
pendidikan konsumen.
32
Download