PDF (BAB I)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain.
Mengutip istilah dari Paul Watzlawik, “we cannot-not communicate”, kita tidak
dapat tidak berkomunikasi. Dalam artian, seseorang tidak dapat hidup tanpa
komunikasi, sehingga setiap orang pasti berkomunikasi dan tidak mungkin tidak
membutuhkan komunikasi.
Setiap manusia mengharapkan kehidupan bersosial yang harmonis.
Komunikasi yang lancar dengan noise (gangguan) yang minim menjadi harapan
semua orang agar kehidupan terasa nyaman, menyenangkan dan bahagia. Namun,
tidak semua orang mendapatkan hal tersebut, termasuk penderita penyakit lupus.
Penderita lupus ini sering disebut sebagai odapus, dengan perubahan fisik
yang terlihat jelas, membuat kebanyakan odapus minder untuk tampil bersosial di
muka umum. Mereka merasa tidak percaya diri, sehingga sedikit demi sedikit
odapus cenderung menarik diri dari kehidupan bersosial. Perasaan khawatir tidak
terlihat cantik/ menarik, takut dicela, dan takut tidak diterima di pergaulan hingga
takut ditinggalkan orang-orang terdekat kerapkali menghantui perasaan odapus.
Apalagi, penyakit Lupus tersebut merupakan penyakit yang dominan
menyerang perempuan yang secara umum dipandang lebih emosional dan
berperasaan sensitif dibandingkan dengan kaum laki-laki. Berdasarkan jurnal
1
2
penelitian dari Majalah Kesehatan Pharma Medika, terdapat perbedaan yang
mencolok antara jumlah odapus perempuan dan laki-laki.
Grafik 1. Prevelensi penderita Lupus berdasarkan jenis kelamin.
Sumber : (Friska dan Mappiase, 2010: Vol 2 No 2)
Pada Odapus yang dominan perempuan tersebut, selain merasakan sakit
dan lelah yang berlebihan akibat serangan Lupus, perubahan fisik yang mencolok
menambah masalah psikologis dan beban mental tersendiri bagi mereka.
Sehingga, hal tersebut dapat memunculkan berbagai emosi yang beragam.
"... semua penyakit menahun pasti punya aspek kejiwaan, termasuk pada penyakit
lupus, karena apabila penyakit sedang muncul, maka terkadang timbul ruam
berwarna merah di wajah yang mengganggu mereka, yang bisa membuat odapus
merasa malu.” (www.okezone.com)
Rasa marah, kecewa, terkadang menutup diri, emosi, dan lebih sensitif
lebih sering dialami odapus. Juga rasa takut akan perlakuan yang berbeda dari
orang disekitar mereka pasti timbul pada odapus atau rasa takut akan kehilangan
orang terdekat. Hal tersebut mengakibatkan mereka menarik diri dari kehidupan
sosial. Mereka menjadi cenderung pendiam dan mengisolasi diri. Selain itu
mereka juga merasa stress sehingga komunikasi dan interaksi dengan orang-orang
di sekeliling menjadi berkurang.
3
Hal tersebut menurut Tiara Savitri dalam bukunya Aku & Lupus (2005)
merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi pada seseorang yang baru didiagnosis
terkena Lupus. Cemas dan emosional, marah, ketidaktahuan bagaimana
memberitahukan diagnosis kesehatan pada keluarga, teman dan kerabat, hingga
muncul perasaan takut tidak dapat hidup normal dan takut akan kematian
kerapkali menyelimuti pikiran odapus. Padahal, menurut data dari YLI yang
dikutip dari republika.co.id, menunjukkan bahwa penderita Lupus meningkat dari
tahun ke tahun. Begitu pula penderita Lupus di Indonesia, meningkat dari 12.700
jiwa pada tahun 2012 menjadi 13.300 jiwa per April 2013. Disamping itu, sekitar
lima juta orang diseluruh dunia terkena penyakit Lupus, dimana penyakit tersebut
dominan menyerang wanita usia produkti (15-45 tahun).
Grafik 2. Penderita Lupus di Indonesia
Sumber : republica.co.id
Mengingat dampak dari penyakit Lupus yang tak kalah dari dampak
kanker dan HIV/AIDS karena bisa mengganggu aktivitas dan kehidupan bersosial,
Tiara Savitri, odapus yang juga menulis buku Aku & Lupus membuat suatu
yayasan peduli odapus. Atas prakarsa dari dr. Zubairi Djoerban, dokter yang
menangani lupus, pada 17 April 1998 terbentuklah YLI (Yayasan Lupus
4
Indonesia). YLI merupakan yayasan pertama yang peduli pada odapus. Melalui
YLI ini, diharapkan dapat menjadi wadah bagi para odapus untuk sharing, dan
mensosialisasikan segala hal mengenai lupus kepada khalayak umum. Mengingat
banyak sekali penderita dan orang di sekitarnya yang bahkan tidak menyadari
keberadaan penyakit ini. Hal itu disebabkan karena gejala dari lupus terlalu umum
dan luas sehingga dianggap sebagai gejala penyakit lain. (www.koran-sindo.com)
Kurangnya pengetahuan khalayak mengenai penyakit yang juga disebut
penyakit 1000 wajah ini, menyebabkan kesalahan yang fatal apabila penderita
terlambat ditangani. Data odapus yang muncul ke permukaan hanya sedikit, juga
disinyalir karena banyak masyarakat awam yang belum mengenal lupus beserta
bahayanya. Maka, munculnya wadah peduli odapus seperti YLI akan sangat
bermanfaat. Semangat, kehangatan dan sikap kekeluargaan serta pengetahuan
sangat dibutuhkan odapus untuk menghidari dari stress dan depresi sehingga tidak
membuat
kondisi
kesehatan
odapus
semakin
menurun.
(yayasanlupusindonesia.org)
Selain YLI, beberapa waktu kemudian bermunculan komunitas-komunitas
peduli odapus di seluruh Indonesia. Diantaranya adalah Omah Kupu, yang
merupakan komunitas peduli lupus di Yogyakarta, PLSS (Persatuan Lupus
Sumatra Selatan) dan Syamsi Dhuha Foundation. Bahkan di Surakarta juga sudah
ada komunitas peduli odapus, yakni Griya Kupu Solo (GKS).
Griya Kupu Solo (GKS) tersebut merupakan wadah sekaligus pusat
informasi bagi odapus khususnya di Solo Raya yang terbentuk pada 21 September
2011. Program GKS ini tidak hanya memberikan sosialisasi di masyarakat, namun
5
juga membuka paradigma masyarakat, pemerintah dan kalangan medis untuk
berperan aktif dalam menangani penyakit lupus. Hal itu di harapkan agar para
odapus tidak merasa minder, malu, stress, bahkan depresi sehingga tidak lagi
menutup diri dan menarik diri dari kehidupan bersosial, terlambat penanganan
medis
sehingga
menyebabkan
kondisi
kesehatan
semakin
terpuruk.
(griyakupusolo.wix.com/griyakupusolo)
Berangkat dari fenomena tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti
pola komunikasi interpersonal odapus dengan masyarakat, mengingat mereka juga
merupakan bagian dari masyarakat dan makhluk sosial yang sangat membutuhkan
komunikasi dengan orang lain. Melalui komunikasi, manusia yang notabene
adalah makhluk sosial dapat bertahan hidup. Selain itu juga berfungsi untuk
memelihara hubungan melalui komunikasi antarpribadi (Mulyana, 2004: 73).
Topik ini, menurut penulis penting untuk diteliti karena keminderan dan
rasa rendah diri odapus untuk berinteraksi dengan lingkungan menyebabkan
odapus
cenderung
menutup
diri.
Sehingga,
odapus
yang
sebenarnya
membutuhkan dukungan, semangat dan motivasi untuk terus menjalani hidup
tidak bisa terpenuhi kebutuhan komunikasinya dan menyebabkan kondisi psikis
menjadi terpuruk.
Selain itu, ketika odapus terjun ke masyarakat, seperti penjelasan di atas,
banyak sekali masyarakat awam yang masih menganggap aneh, mencerca
berbagai pertanyaan yang tentu saja membuat para odapus tersebut merasa tidak
nyaman dan berbeda dari orang kebanyakan. Sehingga menyebabkan komunikasi
interpersonal dengan masyarakat terasa lebih sulit.
6
Adapun penulis juga telah membaca dan mempelajari penelitian terdahulu
yang serupa dengan penelitian ini berjudul ”Pola Komunikasi Waria (Analisis
Pola Komunikasi Waria di Pondok Pesantren Waria Senin Kamis Notoyudan,
Yogyakarta)” oleh Nugroho Fredy tahun 2012 dari Universitas Negeri Sebelas
Maret. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pola-pola
komunikasi yang ada di Pondok Pesantren Waria Senin Kamis dan juga
mengetahui peran pembimbing dan ketua yang ada di sana. Penelitian tersebut
merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Hasil dari penelitian tersebut adalah
Pondok Pesantren waria Senin Kamis memiliki beberapa pola komunikasi. Antara
lain: penerimaan santri baru, penyelesaian konflik, sampai pola komunikasi dalam
mengadakan kegiatan. Hasil lain dari penelitian ini adalah bahwa hubungan antar
santri waria yang ada di Pondok Pesantren Waria Senin Kamis mengalami
peningkatan, mulai dari kurang dekat menjadi lebih intim, selain itu juga didapat
bahwa pembimbing dan ketua Pondok Pesantren Waria Senin Kamis berperan
aktif dalam menjalankan seluruh kegiatan pondok, meskipun dengan bantuan dari
para santri waria yang ada disana.
Selain penelitian di atas, penelitian yang kedua yakni berjudul Pengalaman
Hidup Perempuan Yang Terinfeksi HIV Dalam Menjalani Kehamilan (Studi
Fenomenologi) oleh Lina Safarina, dari Universitas Padjajaran tahun 2010.
Penelitian tersebut bertujuan untuk menggali secara mendalam mengenai
pengalaman hidup perempuan yang terinfeksi HIV. Menggunakan metode
kualitatif fenomenologis dengan purposive sampling. Hasil penelitiannya yaitu
mengenai respon dinyatakan hamil dan mengalami HIV, perubahan yang terjadi,
7
upaya kesehatan yang dilakukan, system dukungan yang ada, pengalaman
melakukan pengobatan ARV, pengalaman dalam menentukan cara persalinan
bedah sesar, pengalaman menentukan pemberian susu formula dan pengalaman
mendapat pelayanan kesehatan. Perlu peningkatan dari peran perawat misalnya
dengan pemberian pengetahuan pada ibu hamil mengenai VCT, kepatuhan minum
ARV, motivasi persalinan bedah caesar, pemberian pengetahuan tentang
perencanan kehamilan, komunikasi terapeutik dari petugas kesehatan.
Kedua penelitian terdahulu tersebut di atas merupakan penelitian yang
sejenis dengan penilitian ini, yakni menyangkut tentang pola komunikasi
interpersonal dan penggunaan metode fenomenologi. Namun, selain terdapat
kesamaan dengan penelitian di atas, penelitian ini juga mempunyai perbedaan
yang signifikan dan belum ada penelitian lain yang sama persis dengan penelitian
ini. Pengambilan objek odapus, merupakan objek yang masih belum banyak
diteliti karena sesuai data yang ada, masyarakat masih sangat awam dengan
penyakit lupus dan odapus. Sehingga, penelitian ini benar-benar merupakan
penelitian baru .
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana pola komunikasi Interpersonal Orang dengan
Lupus (Odapus) dalam masyarakat?”
8
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitiannya
adalah untuk mengetahui pola komunikasi Interpersonal Orang dengan
Lupus (Odapus) dalam masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis:
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada
masyarakat luas untuk memahami tentang penyakit lupus, serta
membuka
paradigm
masyarakat
untuk
terbuka
dalam
hidup
bermasyarakat. Selain itu, diharapkan setiap orang sadar akan peran
sosial dan juga menyadari akan pentingnya kehidupan sosial yang baik
terhadap seluruh kelompok masyarakat tanpa membeda-bedakan.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan semangat dan
masukan
kepada
ODAPUS
untuk
selalu
berkomunikasi
dan
bermasyarakat dengan baik.
2. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kajian Ilmu Komunikasi,
khususnya
mengenai
kajian
komunikasi
interpersonal
dan
memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai Fenomenologi sebagai
metode penelitian Ilmu Komunikasi. Selain itu diharapkan mampu
melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya yang sejenis dan jika
9
memungkinkan, penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian
serupa di waktu yang akan datang.
E. Tinjauan Pustaka
1. Komunikasi
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat dipisahkan dari
kebutuhan berkomunikasi. Pada hakikatnya, manusia diciptakan untuk
hidup bersama melalui interaksi dengan sesamanya. Dalam proses
interaksi, komunikasi menjadi salah satu unsur penting dalam membangun
terjadinya proses komunikasi tersebut.
Dalam berkomunikasi, manusia dapat mengungkapkan pikiran
maupun perasaannya dalam wujud bercakapan dalam rangka mencapai
tujuan yang diinginkannya. Kesemua itu membutuhkan suatu proses
komunikasi yang baik agar tercipta situasi dan kondisi yang harmonis.
Seperti yang dinyatakan oleh Effendy (2003: 28), hakikatnya komunikasi
adalah proses pernyataan manusia, mengungkapkan pikiran maupun
perasaan dengan menggunakan bahasa sebagai penyalurnya.
Namun, untuk mendefinisikan dan memahami komunikasi,
sepertinya tidak cukup apabila hanya mengetahui dari satu definisi saja.
Ada banyak sekali definisi dari para pakar komunikasi yang berbeda-beda.
Dalam buku karya Deddy Mulyana yang berjudul ”Ilmu
Komunikasi”, Harold Lasswell menggambarkan definisi komunikasi
dengan cara menjawab pertanyaan ”Who Says What To Whom In Which
10
Channel With What Effect?” yang apabila dalam Bahasa Indonesia berarti
“Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran/Media apa Dengan Pengaruh
Apa”. Dilihat dari definisi tersebut, maka Laswell menurunkan menjadi
lima unsur komunikasi yang pada dasarnya saling berhubungan antara
unsure yang satu dengan yang lain. Kelima unsur tersebut yakni sumber
(source), pesan (message), saluran atau media (channel), penerima
(receiver) dan efek atau pengaruh (effect) (Mulyana, 2007: 69).
Selain Laswell, Carl I Hovland, secara terminologis menjabarkan
definisi komunikasi, yakni upaya secara sistematis untuk merumuskan
secara tegas asas-asas penyampaian informasi dan juga pembentukan
pendapat dan sikap. Hovland menyatakan bahwa objek ilmu komunikasi
tidak hanya informasi saja, tetapi juga meliputi pembentukan pendapat
umum (public oppinion), maupun sikap publik (public attitude) yang
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial (Effendy,
2009: 9-10).
Dari ketiga definisi tersebut diatas, dapat dirinci bahwasanya
komunikasi terdiri dari berbagai elemen-elemen penting, yakni:
1. Proses antar manusia, yakni komunikator dan komunikan
2. Pesan : yang berupa ungkapan pikiran dan perasaan
3. Menggunakan media / saluran / channel berupa bahasa
4. Feedback yang berarti umpan balik, yang mendorong
terjadinya pembentukan pendapat umum (public oppinion)
maupun Sikap publik (public attitude)
11
5. Terbentuk hubungan dalam kehidupan sosial
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pada kenyataannya,
komunikasi merupakan hal yang bersifat dinamis, selalu berkembang.
Melalui komunikasi, manusia diarahkan untuk tidak melupakan kodratnya
sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan selalu
berhubungan dengan sesamanya. Hingga akan tiba saatnya pada titik
saling pengertian untuk mencapai kehidupan sosial yang baik dan
harmonis.
Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa komunikasi tersebut dibagi
menjadi beberapa peringkat , yakni
1. Komunikasi Interpersonal (antarpribadi), yakni komunikasi yang
dilakukan antara seseorang dengan orang lain yang memungkinkan
terjadinya dialog. Pada umumnya, pada tingkatan ini komunikasi
bersifat akrab dan terbuka. (Pratikto, 1987 : 22)
2. Komunikasi Kelompok, menyampaikan pesan pada sekelompok orang.
Contohnya ketika kuliah, rapat, konferensi dan lain-lain. (Pratikto,
1987: 22)
3. Komunikasi Organisasi, adalah komunikasi yang terjadi di dalam
kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi. (Tubbs and
Moss, 2005:12)
4. Komunikasi massa, yakni komunikasi kepada khalayak umum melalui
media (massa). (Pratikto, 1987: 23)
12
5. Komunikasi Antar Budaya, komunikasi yang terjadi antar orang-orang
yang memiliki perbedaan kebudayaan (ras, etnis, sosial-ekonomi atau
gabungan dari semuanya). (Tubbs and Moss, 2005: 12)
Dalam penelitian ini, peringkat komunikasi yang akan diteliti
adalah komunikasi interpersonal (antarpribadi), dimana setiap pesertanya
dapat berkomunikasi lebih akrab dan terbuka sehingga terbentuk suatu
hubungan sosial.
2. Komunikasi Interpersonal
Esensi dalam komunikasi adalah untuk memperoleh kesamaan
makna antara orang yang terlibat dalam proses komunikasi hingga
terwujud rasa saling pengertian dan hubungan yang harmonis. De Vito
(1999) menyatakan bahwasanya tingkatan yang paling penting dalam
komunikasi adalah komunikasi interpersonal yang diartikan sebagai relasi
individual dengan orang lain dalam konteks sosial. Individu menyesuaikan
diri dengan orang lain melalui proses yang disebut pengiriman dan
penerimaan.
Pentingnya suatu komunikasi interpersonal ialah karena prosesnya
memungkinkan berlangsung secara dialogis. Dialog adalah bentuk
komunikasi antarpribadi yang menunjukkan terjadinya interaksi. Mereka
yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masingmasing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian.
Dalam proses komunikasi dialogis dapat terlihat adanya upaya dari
para pelaku komunikasi untuk terjadinya pergantian bersama (mutual
13
understanding) dan empati. Dari proses ini terjadi rasa saling menghormati
bukan disebabkan status sosial melainkan didasarkan pada anggapan
bahwa masing-masing adalah manusia yang berhak dan wajib, pantas dan
wajar dihargai dan dihormati sebagai sesama manusia (Pratikto, 1987: 4518)
Maka, untuk mencapai komunikasi interpersonal yang efektif dan
tercapainya
mutual
understanding
(saling
memahami),
De
Vito
mengemukakan lima karakteristik yang dibutuhkan (De Vito dalam
Pratikto, 1987: 50) :
a. Keterbukaan (openess)
b. Empati (emphaty)
c. Dukungan (supportiveness)
d. Rasa positif (positiveness)
e. Kesamaan (equality)
Komunikasi
interpersonal
dalam
tinjauan
psikologis
juga
memegang peranan penting bagi kebahagiaan hidup manusia. Johnson
menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi
interpersonal dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia,
antara lain:
1. Komunikasi interpersonal membantu perkembangan intelektual dan
sosial manusia.
2. Identitas atau jati diri manusia terbentuk dalam komunikasi dengan
orang lain.
14
3. Dalam rangka memahami realitas dan menguji kebenaran kesan dan
pengertian yang dimiliki individu tentang dunia sekitar, perlu
dibandingkan dengan kesan dengan pengertian orang lain tentang
realitas yang sama.
4. Kesehatan mental manusia sebagian besar ditentukan oleh kualitas
komunikasi dan hubungan dengan orang lain, terlebih orang yang
merupakan tokoh signifikan (significant figure) dalam hidupnya.
(Supratiknya, 1995: 53)
Dari banyaknya definisi mengenai komunikasi interpersonal,
penulis lebih mengambil definisi yang menjabarkan dari sudut pandang
hubungan. Menurut penulis, salah satu esensi dalam komunikasi
interpersonal adalah lebih menekankan kepada hubungan antar manusia,
yang notabene merupakan kebutuhan dasar manusia untuk mencapai
kebahagiaan dalam hidupnya. Begitu pula odapus, membutuhkan
hubungan yang harmonis, demi memperoleh kebahagiaan dan semangat
untuk tetap bertahan dan semangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Untuk mewujudkan komunikasi interpersonal yang baik, selain
faktor tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa diperlukan konsep diri
(self concept) yang positif bagi setiap manusia. Konsep diri adalah
pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Hal tersebut terjadi setelah
kita menanggapi perilaku orang lain yang menerangkan sifat-sifatnya dan
kemudian mengambil kesimpulan. (Rachmat, 2009: 105)
Konsep diri yang positif tersebut, meliputi:
15
1. Yakin akan kemampuan diri mengatasi masalah
2. Merasa setara dengan orang lain
3. Menerima pujian tanpa rasa malu
4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai bermacam perasaan,
keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujuai oleh
masyarakat.
5. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan
aspek kepribadian yang tidak disenangi.
Singkatnya, komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai
proses komunikasi yang menuntut hubungan simbiosis antara komunikasi
dan relasi sehingga timbul pengertian, kesenangan, dan berpengaruh
terhadap tindakan dan hubungan yang semakin baik.
Dalam konteks ini, komunikasi interpersonal dipandang sebagai
proses interaksional. Peserta komunikasinya mencakup orang-orang yang
mengembangkan potensinya melalui interaksi sosial. Artinya, melalui
konsep diri (self concept) yang telah terbentuk dalam diri seseorang,
kemudian mengambil peran (role taking) melalui orang lain (significant
others). Diri (self) kemudian berkembang melalui interaksi dengan orang
lain, dimulai dari lingkungan terdekat (keluarga) kemudian berlanjut
hingga ke lingkungan luas (masyarakat).
3. Pola Komunikasi
Komunikasi memainkan peranan penting dalam aktivitas manusia
sehari-hari. Apalagi kehidupan manusia yang modern dan sifat komunikasi
16
itu sendiri yang dinamis, mendorong setiap individu untuk setiap saat
berkomunikasi dengan orang lain.
Dari kebutuhan akan komunikasi yang terus-menerus tersebut,
maka akan tumbuh suatu pola komunikasi. Sedangkan pola, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah model, sistem atau cara kerja
(kbbi.web.id). Sehingga apabila dikaitkan dengan penelitian komunikasi,
pola komunikasi diartikan sebagai kecenderungan gejala umum yang
menggambarkan cara berkomunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok
sosial tertentu.
Tidak terbatas itu saja, dalam literatur yang lain, pola komunikasi
didefinisikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih
dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan
yang dimaksud dapat dipahami. Dimensi pola komunikasi terdiri dari dua
macam, yaitu pola yang berorientasi pada konsep dan pola yang
berorientasi pada sosial yang mempunyai arah hubungan yang berlainan
(Tubbs and Moss, 2005 : 24)
Dalam penelitian ini, yang akan diteliti adalah pola komunikasi
interpersonal odapus, bagaimana mereka berkomunikasi dalam masyarakat
hingga membentuk suatu hubungan sosial sehingga kebutuhan komunikasi
mereka terpenuhi.
17
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Fenomenologi sebagai metode penelitian dipandang
sebagai studi tentang fenomena, sifat dan makna. Penelitian ini lebih
menekanfekkan pada penggambaran (deskripsi) daripada penjelasan aas
semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas dari
hipotesis atau praduga (Fouche, 1993 dalam Sobur, 2013: xi)
Menggunakan
metode
fenomenologi,
peneliti
berusaha
memahami arti dari peristiwa dan situasi yang dialami oleh odapus.
Peneliti berusaha memahami apa dan bagaimana odapus berkomunikasi
dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kasus ini, peneliti mengenal subjek pada pertengahan
2013. Peneliti kemudian pada bulan November 2013 turut bergabung
dalam Komunitas Griya Kupu Solo dengan setatus sebagai volunteer
(sukarelawan). Intensitas pertemuan yang cukup sering pada akhir tahun
2013 memudahkan peneliti untuk semakin mengakrabkan diri dengan
subjek, sehingga pengumpulan informasi mengenai subjek lebih mudah.
Peneliti menganggap jenis penelitian ini paling sesuai karena
konsep dari fenomenologi ini cukup dekat dengan perkembangan ilmu
sosial dan perilaku. Inti dari penelitian fenomenologi adalah gagasan
mengenai ’dunia kehidupan’ (lifeworld), dalam artian bahwa realitas setiap
individu hanya bisa dipahami melalui pemahaman terhadap dunia
18
kehidupan individu, sekaligus melalui sudut pandang mereka masingmasing (Sobur, 2013: 427).
2. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Komunitas Griya Kupu Solo
(GKS), Kepatihan, Surakarta
b. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan selama 5 bulan, bulan Mei hingga
bulan September 2014.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah odapus yang tergabung dalam
Komunitas Griya Kupu Solo. Teknik penentuan subjek dalam penelitian
kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Sebagaimana dijelaskan oleh
Pawito (2007: 88), pada kualitatif lebih mendasarkan pada pertimbanganpertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (purposeful selection),
sehingga penarikan subjek dari penelitian ini adalah purposive sampling.
Dalam penelitian ini, penentuan subjek ini berdasarkan beberapa
kriteria:
1. Merupakan odapus yang berusia di atas 15 tahun, hal ini
berdasar atas fakta bahwa pada usia produktif, yakni 15-45
tahun.
19
2. Sudah tergabung dalam komunitas Griya Kupu Solo lebih dari
satu tahun
3. Sebagai anggota aktif dari Griya Kupu Solo, yakni aktif dalam
kegiatan Griya Kupu Solo, rutin menghadiri pertemuan yang
diadakan komunitas.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan
data utama dengan cara:
a. Wawancara
Penulis menggunakan teknik wawancara semi terstruktur atau
wawancara terfokus. Wawancara semi terstruktur merupakan bentuk
komunikasi yang dilakukan antara peneliti dan nara sumber untuk menggali
informasi tentang suatu topik penelitian dengan menggunakan pedoman yang
telah disusun sebelumnya. (Mulyana, 2002: 180-181)
Wawancara ini menggunakan interview guide, agar alur wawancara
tetap fokus pada tema yang akan dibahas sehingga tidak melebar dan keluar
dari topic penelitian. Pedoman tersebut dikembangkan di seputar daftar topik
yang disiapkan peneliti, namun pertanyaan tersebut dapat dirubah dalam
proses wawancara sesuai kebutuhan. Wawancara ini berguna untuk menjawab
rumusan masalah tentang bagaimana pola komunikasi interpersonal odapus.
Selain itu wawancara juga dilakukan dalam kondisi non-formal dimana
pertanyaan-pertanyaan
dilontarkan
dalam
setiap
kesempatan
yang
20
memungkinkan peneliti dan subjek untuk melakukan sesi Tanya-jawab secara
santai dan akrab.
Dalam wawancara secara formal, peneliti dibantu dengan aplikasi
voice recorder pada handphone untuk merekam hasil wawancara. Hasil
wawancara dalam bentuk rekaman kemudian di transfer ke dalam bentuk
tulisan berupa transkrip wawancara. Perekaman tersebut bertujuan agar
peneliti dapat memutar ulang untuk proses pengolahan data sehingga bisa
diteliti dan dikoreksi kembali.
b. Observasi
Pada penelitian ini, observasi dimulai pada bulan Februari 2014.
Observasi dilakukan ketika komunitas Griya Kupu Solo mengadakan
kegiatan, sehingga dapat berinteraksi dengan subjek penelitian. Observasi
disini disebut overt-participant, atau partisipan yang tampak.
Subjek yang diteliti mengetahui kehadiran peneliti, namun dalam
situasi ini peneliti seakan-akan tidak sedang mengobservasi, melainkan
sebagai partisipan. Hal ini dikarenakan peneliti telah tergabung menjadi
volunteer Komunitas Griya Kupu Solo, sehingga pertemuan yang intens dan
rutin memudahkan peneliti untuk mengamati dalam keadaan yang santai,
akrab dan tanpa dibuat-buat
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis data
fenomenologi (Moustakas, 1994: 119-153 dalam Sudarsyah, 2013):
21
1. Mendaftar ekspresi-ekspresi yang relevan dengan pengalaman,
yaitu daftar jawaban subjek penelitian (horizonalization)
2. Reduksi dan Eliminasi
Menguji setiap ekspresi yang ada dengan dua syarat, yakni:
a. Apakah ekspresi tersebut mengandung pengalaman penting
dan unsur pokok yang cukup baik untuk memahami
fenomena?
b. Apakah
ekspresi
tersebut
memungkinkan
untuk
dikelompokkan dalam kelompok besar (kategori)?
3. Membuat klaster dan menuliskan tema terhadap ekspresi yang
konsisten
dan
memperlihatkan
kesamaan.
Klaster
dan
pemberian tema merupakan tema inti pengalaman hidup
subjek.
4. Melakukan validasi terhadap ekspresi-ekspresi, dengan cara:
a. Apakah
ekspresi
tersebut
eksplisit
pada
transkrip
wawancara?
b. Jika tidak diekspresikan secara eksplisit, apakah sesuai
dengan konteks dalam transkrip?
c. Apabila tidak dinyatakan secara eksplisit dan tidak cocok,
maka dinyatakan tidak relevan dan harus dihapus (tidak
digunakan).
5. Membuat Individual Textural Description (ITD)
22
Memaparkan ekspresi-ekspresi yang tervalidasi sesuai dengan
tema dilengkapi dengan kutipan verbatim hasil wawancara.
6. Teknik Validitas Data
Van Kaam (Sobur, 2013: 426) menyatakan, teknik validitas data
yang bisa digunakan dalam penelitian fenomenlogi adalah validasi
intrasubjektif.
Menggunakan
validitas
intrasubjektif,
peneliti
menghadirkan beberapa uraian mengenai perilaku maupun pengalaman
yang sama dan muncul dalam situasi berbeda kemudian membandingkan
uraian-uraian tersebut. Apabila gambaran pada uraian-uraian tersebut
sama, maka bisa dikatakan valid.
Dalam penelitian kualitatif, tujuan dari
validitas atau disebut
dengan autentisitas adalah untuk mengoptimalkan rigor penelitian. Rigor
adalah derajat auntentisitas dari hasil temuan (Herdiansyah, 2012: 206).
Untuk mempertahankan optimalisasi rigor penelitiaan tersebut, peneliti
menggunakan trianggulasi.
Tringgulasi
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
trianggulasi metode. Pengecekan dilakukan terhadap metode pengumpulan
data, apakah ada kesamaan antara data yang didapat dalam wawancara
dengan observasi, dan apakah hasil observasi sesuai dengan informasi
yang diberikan ketika diwawancara, serta apakah sumber data ketika
diwawancara dan diobservasi akan memberikan informasi yang sama atau
berbeda (Bungin, 2011: 265)
Download