BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasar modal

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pasar modal merupakan media yang sangat efektif untuk menyalurkan dan
menginvestasikan dana yang menghasilkan keuntungan untuk investor. Melalui pasar
modal perusahaan dapat memperoleh dana untuk membiayai aktivitas bisnis dan
ekspansi perusahaan. Sumber dana dapat diperoleh dari internal perusahaan atau
eksternal perusahaan. Pendanaan internal diperoleh dari laba ditahan sedangkan
eksternal diperoleh dari pinjaman atau utang dan menerbitkan saham baru. Keputusan
pendanaan berhubungan dengan kebijakan perusahaan mengenai struktur modal.
Struktur modal menunjukkan proporsi atas penggunaan utang untuk
membiayai investasi sehingga dengan mengetahui struktur modal, investor dapat
mengetahui antara risiko dan tingkat pengembalian investasinya. Investor pada
perusahaan dengan rasio utang yang tinggi akan menuntut return yang juga tinggi
karena semakin bertambahnya risiko financial yang harus ditanggung investor.
Telah banyak riset struktur modal yang dilakukan lebih dari setengah abad.
Banyak penulis mendefinisikan struktur modal, beberapa diantaranya, Awat (1999)
menyatakan struktur modal adalah proporsi antara utang jangka panjang dan modal
sendiri. Sedangkan menurut Husnan (2000) struktur modal adalah perbandingan
1
antara sumber jangka panjang yang bersifat pinjaman dan modal sendiri. Hal yang
sama juga dinyatakan oleh Riyanto (2001) bahwa struktur modal adalah perimbangan
antara utang jangka panjang dengan modal sendiri. Struktur modal dapat diartikan
sebagai paduan sumber dana jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan
(Keown et al., 2000).
Dalam literatur struktur modal memaparkan dua teori besar yang sering
menjadi dasar penelitian yaitu trade off theory dan pecking order theory. Menurut
trade off theory struktur modal yang optimal akan tercapai bila manfaat nilai tambah
dari penggunaan utang berupa penghematan pajak dapat menutupi peningkatan biaya
financial distress sehubungan dengan penggunaan utang (Bradley et.al, 1984 dalam
Muhardi, 2011). Perusahaan yang mengadopsi teori ini seharusnya menetapkan target
debt to value dan secara bertahap berusaha untuk mencapainya (Myers, 1984).
Berdasarkan hal ini perusahaan akan selalu berusaha untuk menyesuaikan leverage
kearah yang optimal sehingga akan terus bergerak dari waktu ke waktu kearah target
yang ingin dicapai.
Pecking order theory, mengacu pada Myers (1984) dan Myers dan Majluf
(1984) menyatakan dalam urutan pendanaan, perusahaan akan memilih menggunakan
dana internal terlebih dahulu. Teori ini didasarkan pada asimetri informasi, sehingga
akan mempengaruhi struktur modal perusahaan dengan membatasi akses pada sumber
pendanaan dari luar, sebab dengan adanya asimetri informasi, investor biasanya akan
menginterpretasikan sebagai berita buruk (bad news) apabila perusahaan membuat
2
keputusan pendaaan dengan menerbitkan ekuitas sehingga jika terjadi kekurangan kas
perusahaan (financing deficit) maka perusahan akan memilih menerbitkan sekuritas
yang paling aman terlebih dahulu dalam hal ini adalah utang dan jika masih
memerlukan biaya maka menerbitkan ekuitas sebagai pilihan yang terakhir.
Pengujian empiris terhadap trade off dan pecking order theory telah banyak
dilakukan dan menjelaskan bahwa kedua teori tersebut terdukung. Temuan
menunjukkan dukungan yang lebih kuat terhadap pecking order theory dibanding
trade off. Seperti yang dikemukakan Myers (1984) dalam Oetama
et.al (2008)
argumentasi mengenai adanya kecenderungan suatu perusahaan untuk menetukan
pemilihan sumber pendanaan berdasarkan pecking order theory. Baskin (1989)
mengemukakan bahwa dari hasil pengamatan menunjukkan pecking order theory
nampak bisa menggambarkan praktek perusahaan. Hal yang sama juga dinyatakan
oleh Frank dan Goyal (2003) bahwa financing deficit mempengaruhi pertambahan
utang dan sekaligus mendukung pecking order theory.
Lalu di Indonesia, hasil serupa terkait dukungan yang kuat terhadap pecking
order theory, diungkapkan oleh Hamidi (2003) hasilnya mendukung pecking order
theory dimana ketergantungan pada aliran kas internal untuk membiayai pengeluaran
modal yang merupakan konsekuensi dari adanya asimetri informasi antara manajer
dan pemegang saham baru yang potensial. Wijaya (2004) menemukan leverage
perusahaan-perusahaan di BEJ selama tahun 1998-2000 konsisten dengan pecking
order theory. Begitu juga temuan dari harjanti dan Tandelilin (2007) dukungan
3
terhadap pecking order theory. Selanjutnya, Nurlailia (2007) menggunkan pooling
data, tahun 2001, 2003 dan 2005 menemukan pecking order theory memberikan
penjelasan kuantitatif yang lebih memuaskan dibandingkan dengan target adjustment
model.
Berdasarkan hasil temuan empiris diatas, penelitian ini mencoba menguji
pecking order theory terhadap perusahaan yang berada dalam tahapan siklus hidup
Growth dan Mature yang didasarkan pada Bulan dan Yan (2009) menemukan bahwa
pola pembiayaan pecking order theory terfokus pada dua tahapan siklus hidup yaitu
growth dan mature. Focus penelitian terhadap pecking order theory juga didasarkan
pada temuan Myers (1984) dan Myers dan Majluf (1984) mengemukakan bahwa
hanya pecking order theory secara khusus mampu menjelaskan pilihan pendanaan
secara spesifik perusahaan yang berada dalam tahapan siklus hidup.
Diharapkan pengujian pecking order theory akan lebih kuat pada perusahaan
dalam siklus hidup growth. Hal ini karena perusahaan yang dalam tahap bertumbuh
memerlukan banyak tambahan dana dari luar untuk kegiatan bisnis mereka, disisi lain
perusahaan dalam tahap ini juga memiliki peluang pertumbuhan yang tinggi di masa
mendatang dibandingkan perusahaan dalam tahap mature. Namun kendala yang
mungkin dihadapi adalah akses untuk mendapatkan pendanaan eksternal yang
disebabkan kondisi perusahaan saat ini tidak dapat menanggung utang yang terlalu
besar karena dapat mengakibatkan risiko kebangkrutan yang tinggi. Tidak seperti
perusahaan mature yang telah berada lama diindustri sehingga lebih transparan
4
dikenal oleh para analis dan juga investor yang memudahkan akses ke pasar,
perusahaan growth berada pada posisi sebaliknya oleh karena itu penggunaan utang
mungkin akan dibatasi.
Alasan lain, dalam konteks siklus hidup perusahaan, diduga asimetri
informasi lebih sering terjadi pada perusahaan growth dibandingkan pada perusahaan
mature. Oleh sebab itu, prediksi teori mengatakan bahwa perusahaan dengan tingkat
pertumbuhan yang tinggi (growth firm) cenderung mengikuti pecking order
theory.hal ini sejalan dengan temuan empiris yang diungkapkan oleh (Holmes dan
Kent, 1991; Chittenden et.al,1996; Michaelas et.al, 1999) yang menemukan bahwa
pecking order theory lebih relevan pada perusahaan small-medium sized.
Selain itu, motivasi penelitian ini lebih mengarah pada temuan terkini oleh
Utami dan Inanga (2012) yang menguji bagaimana perusahaan di Indonesia
meningkatkan investasi mereka pada tahapan siklus hidup growth dan mature.
Dengan berasumsi bahwa sesuai dengan pecking order theory asimetri informasi
lebih sering terjadi pada perusahaan growth dimana, perusahaan growth berada pada
posisi dengan tingginya kebutuhan pendanaan internal untuk investasi. Namun, dana
internal yang dihasilkan belum mampu memenuhi kebutuhan perusahaan sehingga
diperlukan pendanaan eksternal untuk mencukupi kekurangan kas perushaaan
tersebut.
5
Konsekuensinya, dari kekurangan dana internal maka
perusahaan growth
akan menggunakan dana eksternal berupa utang terlebih dahulu untuk menutupi
kekurangan kas, kemudian diikuti dengan menerbitkan ekuitas.
Hasilnya, di Indonesia perusahaan dalam tahap growth cenderung lebih kuat
mengikuti pecking order theory yang ditunjukkan dengan kapasitas utang yang sangat
besar ketika terjadi kekurangan kas. Akhirnya sesuai dengan pecking order theory,
bahwa perusahaan akan lebih menyukai pendanaan internal dan jika pendanaan
internal tidak lagi mencukupi maka perusahaan akan menggunakan dan eksternal
dengan menerbitkan utang terlebih dahulu diikuti dengan ekuitas.
perusahaan yang memiliki profitabilitas yang tinggi memiliki rasio utang yang
rendah dalam hal ini adalah perusahaan mature dan perusahaan growth berada pada
posisi sebaliknya sehingga diharapkan penelitian ini mampu menjelaskan dukungan
pecking order theory yang kuat pada perusahaan growth dibanding perusahaan
mature.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan utama yang akan
diteliti mengenai struktur modal perusahaan di Indonesia pada tahapan siklus hidup
growth dan maturedifokuskan pada pengujianpecking order theory. Berdasarkan
argumen Pecking order theory bahwa perusahaan dengan tingkat pertumbuhan tinggi
(Growth) cenderung lebih banyak menggunakan utang dengan tujuan untuk
6
mengurangi terjadinya masalah asimetri informasi, Sehingga rumusan masalah
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Apakah dalam konteks siklus hidup, kedua kelompok perusahaan mengikuti
pecking order theory ?
2. Apakah dalam konteks siklus hidup, perusahaan growthcenderung lebih kuat
mengikuti pecking order theory dibandingkan perusahaan mature ?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menguji secara empiris apakah perusahaan growth dan mature mengikuti
pecking order theory.
2. Menguji secara empiris apakah perusahaan growth cenderung lebih kuat
mengikuti pecking order theory dibanding mature.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak- pihak terkait :
1.
Kontribusi empiris. Memberikan bukti empiris mengenai pengujian pecking
order theory yang dilakukan pada dua tahapan siklus hidup perusahaan yaitu
growth dan mature. Diharapkan dapat membantu untuk pihak akademisi dan
peneliti sebagai tambahan wawasan dan referensi untuk penelitian terkait
dimasa mendatang.
7
2.
Kontribusi praktisi. Memberikan tambahan pengetahuan dan informasi untuk
pihak praktisi dan juga kepada pihak investor mengenai struktur modal
perusahaan pada tahapan siklus hidup growth dan mature sehingga dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi di
masa mendatang.
8
Download