Pengayaan Arti Tradisi Mungkin pembaca pernah mendengar iklan

advertisement
Pengayaan Arti Tradisi
Uzair Suhaimi
Uzairsuhaimi.wordpress.com
Mungkin pembaca pernah mendengar iklan suatu merk biskuit yang
mengandalkan dua kata dalam master nasinya: “Sudah Tradisi!”
Hemat penulis iklan itu hebat karena melalui kemasan dua kata itu
pamirsa memperoleh pesan kuat yang kira-kira berarti, ‘Ini lho yang
namanya biskuit’, atau ‘Ini lho biskuit asli’ (‘yang lain tidak asli’), atau
‘Biskuit ini sudah lama lho merupakan bagian tradisi keluarga kami’.
Pesan itu tak-pelak lagi berhasil secara efektif menetralisir konotasi
negatif kata tradisi dan pada keberhasilan itulah terletak kehebatan
iklan itu.
Lalu apa relevansinya dengan artikel ini? Serupa dengan iklan itu,
artikel ini diupayakan dapat menetralisir kesan negatif kata tradisi
dengan mencermati arti kata itu dalam artian umum maupun dalam
artian khusus. Pengertian tradisi dalam arti khusus ---sebagaimana
akan dijelaskan nanti--- diharapkan dapat memperluas cakrawala
wawasan keagamaan kita masing-masing; semoga saja.
Arti Umum dan Arti Khusus
Dalam
percakapan
sehari-hari
kata
tradisi
mengesankan
ketertinggalan, kebodohan, kesederhanaan, statis dan konotasi negatif
lainnya. Kata itu biasa ‘dilawankan’ dengan kata modern yang
mengesankan kemajuan, kecerdasan, kecanggihan, dinamis dan
konotasi positif lainnya. Kesan positif-negatif ini sebenarnya berlebihan
dan sampai taraf tertentu bahkan menyesatkan. Penulis baru
menyadari bahwa kata tradisi ternyata kaya-makna dan, lebih penting
lagi, memiliki signifikasi keberagamaan. Inilah tema yang dibahas
dalam artikel ini.
Pembahasan dapat dimulai dengan mencermati arti dasar kata itu
sesuai kamus yang kredibel. Kamus Webster’s Pocketi, misalnya,
mendefinsikan tradisi sebagai kata benda “the body of knowledge,
custom,
etc.
transmitted
down
1
through
generations”---
“pengetahuan, kebiasaan, dan sebagainya yang ditransmisikan antar
generasi”. Termasuk ‘dan sebagainya’ adalah unsur-unsur budaya
immaterial seperti mode berfikir, kepercayaan, gaya (style) atau
filsafat. Kata tradisi konon berasal dari bahasa Latin trãdere yang
antara lain berarti menyerahkan (hand over) dan mengirimkan (to
deliver)ii. Jadi, penekananya terletak bukan pada ‘antar generasi
‘tetapi pada ‘transmisi’.
Sesuai definsi ini tradisi (dengan huruf kecil “t”) dalam arti umum --yang berbeda secara fundamental dengan arti khusus Tradisi (dengan
huruf besar ‘T”)--- merujuk pada tiga hal sebagaimana dirumuskan
oleh Lakhani sebagai berikut:
(1) etiket,
kebiasaan
(costom,
habit),
atau
suatu
cara
konvensional melakukan atau melihat sesuatu; sementara dalam
arti khusus, Tradisi adalah pandang-dunia (a worldview) dan
cara keberadaan (a way of being);
(2) pandangan masa lalu; sementra Tradisi nir-waktu (timelss);
dan
(3) sesuatu yang bersifat konvensional atau cara umum yang dapat
diterima; sementara Tradisi merujuk pada Kebenaran (dengan
huruf besar ‘K”)iii.
Perbedaan antra tradisi dalam arti umum dengan Tradisi dalam arti
khusus tampak dalam rumusan dua tokoh tradisionalis sebagaimana
dikutip oleh Lakhaniiv berikut:
Tradition has nothing to do with “ages”, whether
“dark”,
“primaeval”,
or
otherwise.
Tradition
represents doctrine about first principles, which do
not change. (Ananda K. Coomaraswamy, Correspondence,
1946).
…
there
is
nothing
and
can
be
nothing
truly
traditional that does not contain some element or
super-human order. This indeed is the essential point,
containing as it were the very definition of tradition
2
and all that appertains to it. (René Guénon, The Reign
of Quantity.)
Dari kutipan di atas tampak Guénon yang dianggap sebagai pionir
mazhab tradisional itu mengkaitkan tradisi dengan unsur atau tatanan
‘manusia super’ (super-human order) tanpa menjelaskan secara
eksplisit apa yang dimaksd dengan istilah itu. Para ‘pengikutnya’ di
kemudian
hari
mengungkapkannya
secara
lebih
eksplit
dan
mengkaitkan tradisi dengan akar atau sumber ilahiah (divine
source). Ini berbeda dengan Coomaraswamy yang mengkaitkan
tradisi dengan ‘prinsip-prinsip pertama yang tidak berubah’, first
principles, which do not change.
Ungkapan Para Tokoh Tradisionalis
Upaya untuk memahami arti Tradisi dalam arti khusus secara tepat
dapat dilakukan dengan mengkaji secara cermat ungkapan-ungkapan
relevan dari para tokoh tradsionalis. Bagian ini hanya menyajikan dua
tokoh yang dimaksud.
Nasr: Penting Redefinisi Tradisi
Nasr dalam berbagai bukunya menekankan perlunya redefinisi kata
tradisi antara lain karena dikacaukan dengan kostum, kebiasaan dan
sebagainya. Redefinisi atau penemuan kembali tradisi sangat penting
karena seperti diungkapkannyav,
“ …. menggambarkan semacam kompensasi kosmik, karunia
dari Tahta Ilahi yang merahmati, yang memungkinkan pada
peristiwa ketika semua terlihat telah lenyap, menyatakan
kembali Kebenaran yang menggambarkan setiap pusat dan
esensi tradisi. Formulasi titik pandang tradisional adalah
sebuah respon Kesucian, yang merupakan awal dan akhir
kehidupan manusia, terhadap rentan malapetaka kelalaian
manusia modern dari kesucian… (Nasr, 1997:74).
Kutipan di atas jelas sekali mengandung krtitikan terhadap ‘kelalaian
manusia modern’. Pada bagian lain tulisannya Nasr mengungkapkan
formulasi titik pandang tradisional ‘seperti rekapitulasi semua
3
kebenaran yang dimanifestasikan dalam peredaran sejarah manusia
yang ada…’ (Nasr, 75).
Schuon: Kritik terhadap Peradaban Modern
Kritik terhadap manusia modern juga diungkapkan oleh Schuon
dalam berbagai tulisannyavi. Dalam konteks ini, satu tulisannya yang
patut dirujuk adalah The Play of Masks (1991)vii yang sebagian
dikutip oleh Valodia berikut ini (terjemahan bebas penulis):viii
Tradisi berbicara kepada setiap orang menggunakan bahasa
yang dia bisa mengerti asalkan mau mendengarkan; jaminan
ini sangat penting, karena tradisi, kita ulangi, tidak bisa
bangkrut, yang bangkrut adalah manusia karena telah
kehilangan intuisi dari supranatural dan perasaan kudus.
Kutipan di atas menegaskan ‘daya tahan’ Tradisi dan ‘kebangkrutan’
manusia karena kehilangan intuisi terhadap supernatural dan rasakudus, intuisi yang dibutuhkan untuk memahami Tradisi secara
proporsional. Yang terakhir ini jelas merupakan kritik tajam terhadap
pandang-dunia dari peradaban ‘modern’ masa kini. Kritik ini lebih
jelas dalam lanjutan kutipan berikut:
Manusia telah membiarkan dirinya tergoda oleh penemuan
dan invensi suatu pengetahuan totaliter yang tidak valid,
yaitu ilmu yang tidak mengakui batas-batas sendiri dan
karenanya tidak menyadari apa yang ada di belakang mereka.
Terpesona dengan fenomena ilmiah serta kesimpulan yang
salah yang diambil dari pengetahuan itu [otoriter dan tidak
valid-], manusia akhirnya tenggelam dalam kreasi sendiri
sehingga tidak siap untuk menyadari bahwa pesan tradisional
ini terletak di tingkat yang sama sekali berbeda; dan betapa
banyaknya tingkat (yang berbeda) ini.
Dalam lanjutan kutipannya Schuon mengkritik sainatisme sebagai
pemicu pandang-dunia yang cenderung menghindari yang Absolut.
Manusia membiarkan dirinya secara lebih mudah terpesona
sepenuhnya [oleh temuan ilmu pengetahuan totaliter dan tidak
valid] karena saintisme memberi mereka semua alasan yang
4
ingin dicari pembenaran keterikatan terhadap dunia tampilan
dan dengan demikian menjauh dari kehadiran Mutlak dalam
bentuk apapun.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami jika Shuon, sebagaimana
dikutip Valodia mendefisinikan Tradional (dengan huruf besar ‘T’):
“That is ‘“traditional” which is transmitted from a divine
source”--- Yakni tradisional yang ditransmisikan dari suatu sumber
ilahiah”. Jika kita setuju dengan definisi ini maka ISLAM (dengan
huruf besar semua) dapat dikatakan sebagai agama Tradisional.
Islam sebagai Agama Tradisonal
Kenapa Tradisional? Karena ISLAM bersumber wahyu yang pasti
bersifat ilahiah. ISLAM bersifat Tradisional karena bukan buatan
manusia (atau produk budaya), melainkan berbasis wahyu yang
diturunkan dari atas (Arab: unzila). Wahyu itu diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw dari Sumber yang sama dengan dengan Sumber
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Nuh a.s, Nabi Ibrahim a.s, Nabi
Musa a.s dan Isa a.s:
Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa… (42:13).
Yang mungkin perlu dicatat dari ayat ini adalah penggunaan kata
Syara’a. Penulis memahami ini sebagai penegasan adanya kesamaan
ajaran agama-agama samawi sampai pada tingkat syari’at (walaupun
jelas tidak sampai pada tingkat kaifiat-teknis bentuk ritual). Catatan
ini mungkin penting karena yang dipahami secara umum, sejauh
pengetahuan penulis, kesamaan berlaku hanya pada tingkat ajaran
pokok, tauhid atau ushuluddin, bukan syari’at. (Mungkin soalnya
terletak dalam memaknai kata Syari’at--- wallâhu ‘alam.)
Salat, sebagai salah satu pilar ISLAM yang utama, juga bersifat
Tradisional karena ‘pengarangnya’ adalah Allah swt sebagaimana
dicontohkan Jibril a.s kepada Nabi Muhammad saw. Demikian juga
dengan gerakan salat (aspek koregorafisnya) sehingga salat tanpa
5
sujud, misalnya, pasti salat ‘modern’ atau bid’ah. Demikian juga
dengan bahasa yang digunakan sehingga penggunaan Bahasa Jawa
dalam salat, misalnya, pasti juga ‘modern’.
Hemat penulis ---ini masih besifat spekulatif--- agama umat terdahulu
juga ISLAM karena memiliki sumber ilahiah yang sama, atau karena
sama-sama berbasis ‘prinsip-prinsip pertama yang tidak berubah’
(first principles, which do not change (meminjam istilah yang
digunakan
Coomaraswamy).
Hemat
penulis
---ini
juga
masih
spekulatif--- prinsip-prinsip itu yang juga dimaksudkan oleh, atau
semangat yang dikandung dalam, sejumlah istilah qur’ani termasuk
dînul qayyim (30: 30,43) dan addîn hanîfâ (30,30). Spekulasi
ini didadasarkan pada pemahaman penulis mengenai teks suci berikut:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan
manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengerti (30:30).
Wallâhu ‘alam bimurâdih …..@
i The New International Webster’s Dictionary of the English Language, New
Revised Edition, 2002.
ii
http://www.answers.com/topic/tradition.
iii
M. Ali Lakhani; http://www.sacredweb.com\conference_remarks.html.
M. Ali Lakhani; http://www.sacredweb.com\online_articles\sw9_editorial.html.
Terjemahan dalam kurung kurawal tambahan penulis, sekedar untuk memperjelas.
iv
Sayyed Hossein Nasr, 1997, Pengetahuan dan Kesucian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset.
v
vi
Azevedo membandingkan tokoh ini dengan Guénon: “Guénon was the pioneer
and Schuon the consummation; Guénon was like a river ans Scuon like an
ocean--- so profound and diversified are metaphysical doctrines which he
expounded…”; Soares de Azevedo, “Frithjof Scuon and Sri Ramana
Maharshi: A survey of the spiritual masters of the 20th century”, www.sacred
web\online_articels\sw10_azevedo.html.
vii
Terbitan Bloomington, World Wisom Book.
viii
Denon Valodia (ed.), “Glossary of Terms Used by Frihjof Schuon”.
6
Download