ETALASE PHYTAGORAS Oleh MUHDI Phytagoras, tokoh mistik kondang dari Yunani yang lebih dikenal sebagai pakar matematika, berdalil: Usai berbuat salah, kecam diri sendiri dengan kejujuran dan kesungguhan hati, membiasakan kebersihan spiritual, berhenti melemparkan kesalahan atas kekeliruan dan kekurangan kita. Jujurlah kepada diri sendiri dan bersiaplah untuk memikul tanggungjawab dan menerima akibat-akibatnya. ALAM bukunya yang indah berjuluk Ten Golden Rules Ancient Wisdom from the Greek Philosophers on Living the Good Life, M.A Soupios, Ph.D dan D Panos Mourdoukoutas, PhD mengupas, kecenderungan umum manusia adalah menolaktanggungjawab atas perbuatan-perbuatan salah. Sebagai ganti, mereka cenderung menimpakannya kepada orang lain, dengan dalih hal-hal yang "di luar kendalinya". Tentu saja, terkadang ada situasi yang tidak menyediakan pilihan bagi kita. Atau kalaupun ada hanya sedikit. Namun yangjauh lebih sering, kita masuk ke dalam dilema yang telah kita ciptakan sendiri yang umumnya tidak kita terima sebagai tanggungjawab kita. Betapa sering orang mengatakan, "Itu bukan kesalahan saya. Jika saja Bambang atau Tuti melakukan sesuatuyang berbeda, tentu saya tidak akan bereaksi seperti itu". Dalih semacam itu terbilang reaksi baku bagi banyak orang. Fenomena itu mencerminkan tidak terbatasnya kemampuan manusia untuk melakukan rasionalisasi, menuding orang lain, dan menyangkal tanggungjawab. Sayangnya, kecenderungan membuat dalih dan mengecualikan diri sendiri memiliki akibat-akibat negatif. Phytagoras yang tidak begitu dikenal untuk doktrin tentangjiwa yang berhubungan langsung dengan watak manusia percaya bahwajiwa adalah bagian paling tinggi dan paling baik pada manusia. Karenanya, prioritas paling tinggi dalam hidup ini adalah merawat komponen spiritual itu sebaik-baiknya. Oleh alasan itulah ia menerapkan aturan perilaku yang ketat kepada para pengikutnya, diantaranya adalah tuntutan untuk menunjukkan perilaku keteladanan. Mengecam diri sendiri denganjujur dan tulus atas kesalahan adalah bagian dari disiplin pribadi yang ia ajarkan kepada para muridnya. Ia percaya, dengan berbuat demikian seseorang mampu memelihara kebersihan spiritual. Sebaliknya, mereka yang terus-menerus melemparkan kesalahan, menyangkal peran mereka dalam kesalahan dan perilaku-perilaku tercel a, beresiko menurunkan kesehatanjiwa mereka. Yang menyedihkan, 12 kemampuan manusia untuk "menciptakan" kebenaran agaknya tidak terbatas, tetapi ada satu bentuk perilaku keliru yang secara khusus sangat mematikan bagi kebahagiaan manusia yakni kebohongan yang mengkhianati diri sendiri. Inilah ketidakjujuran "akbar" yang menyimpangkan dan menimpangkan setiap kesempatan, hubungan, dan harapan untuk meraih kehidupan bermakna. Obat untuk penyakit ini adalah kejujuran dan kesediaan mengakui kesalahan secara rinci, kesediaan yang tulus untuk mengakui tanggung jawab dan tidak melemparkan kepada orang lain kesalahan yang paling pantas dikenakan kepada diri sendiri. Yangjuga tersirat dalam pengamatan Phytagoras, demikian M.A Soupios, PhD dan Panos Mourdoukoutas, PhD, adalah pandangan tentang akibat. Penerimaan yang utuh dan terbuka atas tanggungjawabjuga harus meliputi kesediaan untuk memikul akibat-akibat. Tanpa kesediaan seperti itu, semua isyarat yang menunjukkan pengakuan kesalahan menjadi tidak bermakna. Kita melihat banyak contoh tentang hal ini dalam masyarakat terkini. Banyak politikus, eksekutif, dan pengacara berdiri di depan kamera, dan secara dramatis mengumumkan kesediaan mereka untuk memikul "seluruh tanggungjawab", namun pada akhirnya tidak ada pengunduran diri, pelaksanaan hukuman, dan akibat nyata dalam bentuk yang signifikan. Pertunjukan publik seperti ini lebih bersifat teater ketimbang pernyataan penyesalan yang murni. Hasil akhirnya adalah mereka melakukan semacam ketidakjujuran ganda. Individu seperti itu melewatkan manfaat wawasan Phytagoras, bahwa kejujuran terhadap diri sendiri adalah salah satu kewajiban besar dalam hidup, yang tanpa kepribadian yang sehat dan matang tidak dapat diraih. (sb) Dr. H. Muhdi. S.H. M.Hum. Sekretaris Umum PGRI Provinsi Jawa Tengah DERAP GURU, No. 194 Th. XVI - Maret 2016