HAM dan Perempuan

advertisement
3. HAM dan Perempuan
3.1. Gender dan Kekerasan
terhadap Perempuan
• Gender adalah konstruksi sosial/masyarakat
tentang harapan atas sifat, peran dan posisi
yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Konstruksi ini meletakkan nilai lebih pada sifat,
peran dan posisi laki-laki di dalam keluarga dan
masyarakat.
• Akibat konstruksi ini,
perempuan menempati posisi subordinat – lebih
lemah berhadapan dengan laki-laki.
Konstruksi ini dikukuhkan
lewat praktik-praktik sosial, agama,
budaya dan politik
serta tak jarang pula lewat hukum
dan kebijakan negara.
• Kekerasan terhadap perempuan adalah
setiap perbuatan berdasarkan pembedaan
berbasis gender yang berakibat kesengsaraan
atau penderitaan perempuan secara fisik,
seksual, psikologis, termasuk ancaman
terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau
perampasan kebebasan
secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di ruang publik
maupun di dalam kehidupan pribadi
(Deklarasi Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan Psl 1).
• Ada macam-macam jenis kekerasan terhadap perempuan.
– Pertama, kekerasan fisik.
– Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, luka, memar
atau cacat pada tubuh atau anggota tubuh, atau bahkan
kehilangan nyawa,
contohnya adalah menendang, meninju, memukul,
menikam, menampar, membunuh dan juga eksploitasi
tenaga kerja.
– Kedua, kekerasan psikologis atau emosional.
– Perbuatan yang mengakibatkan rasa takut, malu,
hilangnya rasa percaya diri, rasa tak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang,
misalnya caci maki dengan sebutan ‘bodoh, idiot,
tolol, binatang’, tindakan ancaman, penyekapan
atau pengucilan, dan larangan untuk beraktivitas
sosial.
• Ketiga, kekerasan seksual. Perbuatan yang menyasar pada alat
atau fungsi reproduksi, alat kelamin, dan seksualitas atau
tindakan yang mengandung unsure seksual, termasuk lewat
kata-kata atau mempertontonkan alat kelamin yang
menimbulkan rasa malu atau takut pada korban.
Tindak kekerasan seksual antara lain perkosaan, perbudakan
seksual, perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual,
pelecehan seksual, sterilisasi dan aborsi paksa, penghamilan
paksa dan prostitusi paksa.
• Keempat, kekerasan ekonomi. Sejumlah organisasi perempuan
memaknai “kekerasan ekonomi” sebagai perbuatan yang
mengakibatkan penelantaran atau akses seseorang terhadap
perekonomian menjadi terbatas atau hilang,
termasuk juga tindakan yang membuat orang tergantung
secara ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang
orang untuk bekerja.
Pendapat ini diadopsi dalam Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004), yang
disebut sebagai “penelantaran rumah tangga”.
• Sejumlah lainnya melihat penelantaran bukan sebagai bentuk
kekerasan, tapi jenis kasus kekerasan.
Di dalamnya, dapat saja mengandung bentuk kekerasan fisik
(tidak memperoleh nafkah sehingga kelaparan),
psikologis (cerai gantung sehingga korban merasa disiasiakan)
dan seksual (cerai gantung sehingga korban tidak dapat
menikah dengan orang lain).
• Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap
pembedaan, pengucilan atau pengabaian, atau
pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin
antara laki-laki dan perempuan,
yang berpengaruh atau menyebabkan perempuan
tidak menikmati secara utuh pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya.
• Posisi perempuan dalam keluarga dan status
perkawinan seringkali dijadikan alasan untuk
tindakan-tindakan tersebut,
di samping juga usia dan atribut sosial lain
yang dimiliki oleh perempuan tersebut.
• Kekerasan terhadap perempuan terjadi pada tiga ranah, yakni:
• Pertama, ranah domestik/ privat.
• Perbuatan kekerasan atau diskriminasi terhadap
perempuan yang dilakukan oleh pelaku yang
mempunyai hubungan personal dengan korban, baik itu
karena perkawinan, karena merupakan anggota keluarga
yang tinggal satu rumah dan juga karena pacaran.
• Kasus kekerasan terhadap istri, anak perempuan,
sepupu/cucu/keponakan perempuan yang tinggal
serumah dengan pelaku atau terhadap pacar.
• Kedua, ranah publik.
– Perbuatan kekerasan atau diskriminasi terhadap
perempuan yang dilakukan oleh pelaku yang
bukan aparat negara dan tidak mempunyai
hubungan personal dengan korban, misalnya
orang yang tidak dikenal, oleh majikan,
teman/kolega dan tetangga.
• Ketiga, ranah negara. Perbuatan kekerasan atau
diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan
langsung atau atas pengetahuan atau persetujuan
oleh aparat negara dalam kapasitasnya sebagai
pejabat publik
atau penegak hukum, atau karena diberlakukannya
hukum atau kebijakan yang diskriminatif atau
membuka peluang kekerasan terhadap perempuan.
3.2. Hak Asasi Manusia dar Perspektif Perempuan
• Kendatipun HAM didefinisikan sebagai hak-hak
kodrati yang dimiliki oleh manusia karena
kemanusiaannya dan bukan karena jenis kelaminnya,
konsep HAM mendapat kritikan dari kaum feminis
karena belum sepenuhnya mampu mengakomodasi
pengalaman kaum perempuan.
Perspektif HAM tradisional dalam membidik
pelanggaran hak-hak asasi manusia adalah perspektif
masyarakat patriarki.
• Hal ini antara lain tampak dalam pemahaman
HAM secara tradisional yang memberikan
penekanan berlebihan pada hak sipil dan
politik semata.
Sementara dalam kenyataannya, penindasan
terhadap perempuan lebih banyak terjadi pada
sektor ekonomi, sosial,
dan budaya yang tidak terlalu populer dalam
sistem HAM karena kesulitan dalam
implementasinya.
• Selain itu, terdapat sejumlah hak yang
berpotensi menindas perempuan.
Contohnya, hak kebebasan beragama. Hak
atas kebebasan menjalankan ritual keagamaan
tidak selamanya mendatangkan manfaat bagi
perempuan.
Cukup banyak penafsiran agama yang
diskriminatif terhadap perempuan.
• Diskriminasi terhadap perempuan nampak juga dalam struktur
organisasi hukum internasional yang melibatkan dua macam
institusi yakni negara dan organisasi internasional.
Negara adalah institusi yang patriarki karena selain sistem yang
dijalankan membatasi perempuan dari posisi-posisi pengambil
kebijakan, tapi juga karena ia dibangun atas logika pemusatan
kekuasaan dan dikontrol oleh segelintir elit.
Demikianpun organisasi internasional kerena organisasi
internasional tidak lebih dari perluasan fungsi-fungsi negara
anggota.
Bahkan PBB pun dianggap berwajah patriarki, khususnya
sebelum berlakunya penerapan kuota pegawai perempuan.
• Persoalan mendasar lainnya ialah bahwa hukum nasional dan
internasional bersandar pada dikotomi privat-publik. Dikotomi
privat-publik merupakan isu gender.
Wilayah publik seperti tempat kerja, ruang publik, persaingan
politik, hukum, ekonomi, menjadi area laki-laki. Wialayah
domestik seperti rumah dan pengasuhan anak menjadi domain
perempuan.
• Dikotomi publik-privat inilah yang kemudian dibakukan dalam
sistem hukum.
Hukum hanya mengatur masalah-masalah di wilayah publik
seperti urusan ketenagakerjaan,
susunan dan kedudukan di badan pemerintah, pertahanan dan
keamanan negara, dan lain-lain.
• Sebaliknya, wilayah privat dianggap bukan ranah
hukum.
Kekerasan dalam rumah tangga hampir selalu
dianggap sebagai masalah domestik belaka, bukan
sebagai tindakan kriminal.
Hilangnya kemampuan hukum mengintervensi dunia
privat ini mengakibatkan perempuan dan anak
potensial mengalami diskriminasi, kekerasan dan
represi.
• Perjuangan para feminis akhirnya memberikan
paradigma baru dalam HAM.
Kelahiran CEDAW (Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Against Women-1979)
berhasil mengubah paradigma HAM yang cenderung
patriarkis.
CEDAW mengakhiri dikotomi hak sipil dan politik dan
hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sebelumnya
terjadi.
Dengan adanya CEDAW tidak ada lagi dikotomi
privat-publik dalam sistem HAM.
• Pemusatan perhatian pada soal-soal strategis
mengandalkan bahwa hukum dan HAM dapat
digunakan dalam perjuangan feminis untuk
perubahan sosial.
Tetapi persoalan apakah HAM dapat menjadi
alat yang berguna dalam mewujudkan
perubahan sosial tetap menjadi isu kritis
dalam teori hukum feminis.
• Untuk perjuangan hak-hak perempuan,
strategi yang hanya berorientasi pada advokasi
hukum tidak akan berhasil.
Strategi yang hanya mengandalkan perubahan
hukum semata
tidak akan berhasil merubah sistem hukum
yang memang sejak awalnya bersifat patriarkis.
• Ideologi patriarki sebagai akar penindasan harus
dieliminasi, bukan hukum itu sendiri. Untuk
meruntuhkan ideologi patriarki ini, yang harus
dilakukan adalah
• agenda-agenda perubahan, tidak hanya perubahan
hukum,
namun juga mencakup perubahan ekonomi, sosial,
politik,
dan budaya secara menyeluruh.
Download