BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. SEPSIS 1.a. Definisi Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul proses inflamasi. Inflamasi dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas sampai menyebabkan tanda dan gejala sistemik. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia . meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama (Harmse dan Hew, 2000). Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik disebut Systemic Inflammatory Response Syndrom ( SIRS ). SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut: (Guntur A,H, 2006; Chamberlain dan Neeal, 2004; Hotchkiss, et al. 2003). a. Suhu > 38 0C atau < 36 0C b. Denyut jantung > 90 kali / menit c. Respirasi > 20 kali / menit atau Pa CO2 < 32 mmHg d. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10 % sel immature 5 Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Untuk Sepsis, Sepsis Berat dan Syok Septik (Dellinger et al, 2013) Infeksi (dugaan atau terdokumentasi), dengan diikuti ≥ 1 atau beberapa kondisi dari : VARIABEL UMUM Demam (> 38.3°C) Hipotermia (suhu inti < 36°C) Nadi > 90 kali / menit atau lebih dari 2SD diatas nilai normal sesuai umur Takipnea Perubahan status mental Edema signifikan / balans cairan positif (> 20 mL/kg dalam 24 jam) Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 6.7 mmol/L) tanpa diabetes VARIABEL INFLAMASI Leukositosis ( > 12,000/μL) Leukopenia ( < 4000/μL) Angka leukosit normal dengan sel imatur lebih dari 10% Plasma C-reactive protein lebih dari 2 SD diatas nilai normal Plasma prokalsitonin lebih dari 2 SD diatas nilai normal VARIABEL HEMODINAMIK Hipotensi arterial (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP menurun > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 SD dibawah nilai normal sesuai umur VARIABEL DISFUNGSI ORGAN Hipoksemia arterial (Pao2/Fio2 < 300) Oliguria akut (produksi urin < 0.5 mL/kg/jam atau 45 ml / jam selama setidaknya 2 jam walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat) Kreatinin meningkat > 0.5 mg/dL atau 44 μmol/L Abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau APTT > 60 detik) Ileus (tidak adanya bunyi peristaltik usus) Trombositopenia (platelet < 100,000/μL) Hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg/dL atau 68 μmol/L) VARIABEL PERFUSI JARINGAN Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L) Menurunnya capillary refill atau adanya bercak-bercak (mottling) Sepsis berat adalah Sepsis disertai adanya disfungsi organ Syok septik adalah Sepsis plus either hypotension ( hipotensi refrakter yang memerlukan vasopresor setelah diberikan cairan intravena ) atau hyperlactatemia 6 1.b. Etiologi Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif (60-70%) yang menghasilkan berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan kompleks utama membran terluar dari bakteri gram negatif (Guntur A, H, 2011). Selain disebabkan oleh endotoksin dapat pula disebabkan oleh eksotoksin, jamur, virus, dan parasit yang berperan sebagai superantigen (Guntur A, H, 2011). 1.c. Patogenesis Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara produk bakteri yang berupa toksin (Guntur A, H, 2011). Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab, aktifasi respon inflamasi sistemik pada sepsis dibutuhkan tubuh sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi, berbagai jalur inflamasi diaktifkan dengan tujuan untuk invasi bakteri. Mekanisme ini termasuk pengeluaran sitokin, aktifasi netrofil, monosit, makrofag dan perubahan sel endotel serta aktifasi sistem komplemen, koagulasi, fibrinolysis, dan sistem kontak. Pengeluaran tissue damaging proteinase, radikal eikosanoid, oksigen dan nitrogen juga merupakan mekanisme pertahanan tubuh (Cinel dan Dellinger, 2007). Untuk menghalangi masuknya mikroorganisme infeksius, sistem imun alamiah mengembangkan berbagai reseptor yang disebut Pathogen Associated Moleculear Pattern / PAMPs sehingga mampu membedakan struktur molekul sel dan non self (Cinel dan Dellinger, 2007). Toll Like Receptor dilibatkan dalam pertahanan pejamu terhadap infeksi patogen berfungsi sebagai sensor utama dari produk mikroba dan mengaktifkan jalur sinyal yang akan mengeluarkan ekspresi gen imun proinflamasi (Rudiger, 2008). Sitokin yang paling menonjol adalah tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin-1(IL-1), dan IL-6. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dalam menanggapi sepsis, sistem kekebalan tubuh memulai kaskade sitokin yang ditandai dengan produksi berurutanTNFα, IL-1, IL-6 ( Pinsky, 2004 ). 7 Endotoksin gram negatif dapat secara langsung dengan LPS dan bersama sama dengan antibodi dalam serum darah membentuk LBP, kemudian akan bereaksi dengan makrofag melalui TLR-4 dengan perantaraan CD 14 selanjutnya melalui sinyal transmembran makrofag akan mengekspresikan berbagai imunomodulator (Guntur A, H, 2011). Eksotoksin gram positif akan bertindak sebagai superantigen bakteri yang akan menstimulasi limfosit T tanpa melalui makrofag ataupun monosit sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih dahulu, superantigen akan mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh dan dapat menstimulasi berbagai jenis mediator pro inflamasi termasuk IL-2, IFN, coloni stimulating factor (CFS) yang akan menstimulasi makrofag yang akan mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-α dan juga beberapa enzim termasuk kolagenase dan elastase yang dapat merusak jaringan ikat, molekul prokoagulan yang dapat menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur ekstrinsik dan aktifator plasminogen dan GM-CSM akan mengaktifkan netrofil dan komponen C3,C3a dan C5a. Netrofil akan beradhesi dengan sel sasaran yaitu endotel pembuluh darah, disertai gumpalan darah akibat endapan fibrin maka fungsi pembuluh darah akan terganggu. (Guntur A, H, 2011). 1.d. Jalur sinyal transduksi TLR Meskipun protein TLR dapat mengenali baik gram positif dan negatif, LPS lebih sering digunakan untuk menstimuli ketika melakukan uji jalur sinyal trasduksi untuk TLR 2 dan TLR 4, ikatan antara TLR dengan produk mikroba mengawali aktifasi jalur sinyal transduksi intraselluler yang multiple. Diantara jalur yang telah terkarakterisasi adalah aktifasi NF-Kβ, TLRs seperti kebanyakan bentuk homodimer yang akan mengawali perubahan konformasi dalam modul Toll/IL-1R sitoplasma dengan perekrutan adapter yang lebih dikenal dengan MyDD88. MyDD88 berisi domain ujung C yang berikatan dengan dengan TLR melalui modul Toll/IL-IR sitoplasma dan bagian ujung N yang disebut modul death domain. modul death domain dari MyDD88 merekrut receptor associated kinase IL-1 pada komplek reseptor. Receptor kinase IL-1 pada komplek reseptor, Receptor associated associated kinase IL-1 kemudian akan mengalami auto fosforilasi dan disosiasi dari komplek reseptor dan merekrut reseptor TNF-α yang dihubungkan dengan faktor 6 yang pada akhirnya akan mengaktifkan kearah muara kinase, NF-Kβ yang 8 menginduksi kinase akhirnya mengaktifasi komplek kinase penghambat kb yang secara langsung mengawali fosforilasi Ikβ pada traslokasi nukleus dari NF-Kβ dan memulai transkripsi gen, aktifasi disregulasi dari NF-Kβ oleh bakteri atupun produk bakteri akan mengawali terjadinya produksi mediator pro inflamasi yang berlebihan yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan, kegagalan organ dan kematian yang bisa terlihat pada sepsis akibat bakteri yang berlebihan (Guntur A, H, 2011). 1.e. Manifestasi Klinis Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda- tanda nonspesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering: paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia yang sering diikuti gejala Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai dengan terjadinya syok septik (Guntur A, H, 2006). Tanda- tanda MODS dengan terjadinya komplikasi: (Guntur A, H, 2006) 1. Sindrom distres pernapasan pada dewasa 2. Koagulasi intravaskuler 3. Gagal ginjal akut 4. Perdarahan usus 5. Disfungsi sistem saraf pusat 6. Gagal jantung 7. Kematian Tanda klinis syok septik: (Guntur A, H, 2006) 1. Fase dini : terjadi deplesi volume,selaput lendir kering, kulit lembab dan kering. 2. Post resusitasi cairan : gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardi, nadi keras dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi dan ekstremitas hangat. 3. Disertai tanda-tanda sepsis dan tanda hipoperfusi : takipnea, oliguri, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status mental. 9 2. TROPONIN I 2.a. Definisi Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen tipis aparatus kontraktil otot bergaris.Terdiri dari 3 subunit, yaitu Troponin T (39 kDa), Troponin I (26 kDa), dan Troponin C (18 kDa) (Maynard, 2000).Tiap-tiap komponen troponin memainkan fungsi yang khusus. Troponin C mengikat Ca²+ , Troponin I menghambat aktivitas ATPase aktomiosin dan Troponin T mengatur ikatan troponin pada tropomiosin (Murphy, 1999). Setiap subunit troponin mempunyai berbagai isoform tergantung pada tipe otot dan dikode oleh sebuah gen yang berbeda. Isoform yang spesifik kardiak dan otot bergaris diekspresikan pada otot jantung dan otot bergaris pada dewasa (Maynard, 2000).Struktur asam amino Troponin T dan I yang ditemukan pada otot jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot skeletal, sedangkan struktur troponin C pada otot jantung dan skeletal identik (Murphy, 1999). Troponin I hanya petanda (marker) terhadap cedera miokard, tidak ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin, setelah trauma atau regenerasi otot skeletal.Troponin I sangat spesifik terhadap jaringan miokard, tidak terdeteksi dalam darah orang sehat dan menunjukkan peningkatan yang tinggi di atas batas atas pada pasien dengan IMA.Troponin I lebih banyak didapatkan pada otot jantung daripada CKMB dan sangat akurat dalam mendeteksi kerusakan jantung. Troponin I meningkat pada kondisi-kondisi seperti miokarditis, kontusio kardiak dan setelah pembedahan jantung.Adanya cTnI dalam serum menunjukkan telah terjadi kerusakan miokard (Gavaghan, 1999). Troponin I mulai meningkat 3 sampai 5 jam setelah cedera miokard, mencapai puncak pada 14 sampai 18 jam dan tetap meningkat selama 5 sampai 7 hari. Troponin I mempunyai sensitivitas 100% pada 6 jam setelah IMA. Troponin I adalah petanda biokimia IMA yang ideal oleh karena sensitivitas dan spesifisitasnya serta mempunyai nilai prognostik pada IMA (Ischemic Miokard Acut).Petanda biokimia ini tidak dipengaruhi oleh penyakit otot skeletal, trauma otot skeletal, penyakit ginjal atau pembedahan Kekurangan cTnI adalah lama dalam serum, sehingga dapat menyulitkan adanya re-infark (Gavaghan, 1999). 10 Gambar 2.1 Struktur filamen tipis (Braunwald, 1998) Tabel 2.1 Petanda Molekuler Nekrosis Miokard (Donnelly, 1998) 11 Gambar 2.2 Grafik waktu pelepasan cardiac markers (McClatchey, 2001) 2.b. Metoda Pemeriksaan Troponin I Metoda pemeriksaan Troponin baik I kuantitatif dengan Enzyme Linked Flourescent Assay (ELFA) pada alat VIDAS (Samsu N & Sargowo D, 2007). 3. PARACETAMOL Pada tahun 1971, John Vane meneliti enzim siklooksigenase-1 (COX-1) sebagai target molekul kerja Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAINS. Hambatan pada COX-1 dan penurunan prostaglandin dan tromboksan menjelaskan aktivitas farmakologi analgesi, antiinflamasi, dan antipiretik. Pada tahun 2002, enzim siklooksigenase-3 (COX-3) mulai diteliti, sebagai enzim yang mengatur regulasi nyeri dan suhu di otak. Hambatan COX-3 oleh paracetamol bersifat lemah dan tidak spesifik. COX-3 bukan merupakan target kerja utama dari paracetamol, namun demikian paracetamol menghambat “canine” COX-3, dimana diperlukan indeks konsentrasi obat yang tinggi, dan penggunaan dosis 0,5-1 g per oral sulit untuk mendapatkan efek ini (Katzung 2011). Paracetamol merupakan golongan “aniline” analgesik, merupakan satu-satunya golongan obat ini yang masih digunakan sampai sekarang. Paracetamol merupakan 1 dari 3 obat teratas yang paling banyak diresepkan di Amerika. Mekanisme kerja 12 paracetamol masih belum diketahui dengan jelas, namun kerja utamanya melalui penghambatan enzim siklooksigenase. Penelitian terakhir menyebutkan paracetamol bekerja secara selektif terhadap enzim COX-2 (Wu and Chen, 2012). Paracetamol atau acetaminofen merupakan derivat para amino fenol. Paracetamol juga merupakan metabolit aktif fenasetin, sering disebut juga analgesik coal tar. Paracetamol merupakan obat lain pengganti aspirin yang efektif sebagai obat analgesikantipiretik. Namun, seperti yang telah dikemukakan, senyawa ini hanya mempunyai efek antiradang yang lemah. Ketidakmampuan paracetamol memberikan efek antiradang itu sendiri mungkin berkaitan dengan fakta bahwa paracetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan pada lesi radang. Sebaliknya menurut Marshall et.al, 1987 serta Hanel and Lands, 1982 efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuan menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah (Haydar, 2015). Paracetamol memiliki efek yang hampir sama dengan OAINS. Beberapa ahli menyebutkan paracetamol memiliki efektifitas yang sama, namun lebih aman (Jordan dan White, 2001). Paracetamol dimetabolisme di hepar, sehingga efek samping yang muncul terutama hepatotoksik, yang dapat terjadi pada pemberian dosis besar 2-3 kali dosis terapi. Gangguan lambung, perdarahan, rush, methemoglobinemia jarang terjadi (Jordan dan White, 2001). Overdosis paracetamol tidak bisa dianggap hal yang wajar karena dapat menyebabkan kerusakan hati yang fatal (Haydar, 2015). Gambar 3.1 Rumus bangun Paracetamol Paracetamol bekerja melalui 3 mekanisme: menghambat sintesis prostaglandin di sel, menghambat enzim siklooksigenase di pusat, dan bekerja di kemoreseptor nyeri di perifer. Paracetamol dengan cepat dan lengkap di absorbsi di usus halus. Memiliki 13 efek terapi dalam 30-60 menit dan waktu paruh 2 jam. Diekskresi melalui urin dalam 24 jam 90-100% (Summers, 2007). OAINS menghambat pelepasan prostaglandin yang berperan dalam inflamasi, nyeri, dan demam. OAINS merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk terapi cedera jaringan lunak (Paoloni dan Orchard, 2005). OAINS bekerja dengan mencegah produksi mediator-mediator inflamasi, daripada menghambat aksi mediator-mediator yang menjadi penyebab nyeri. Sehingga pemberiannya digunakan untuk mencegah nyeri, sebelum nyeri tersebut timbul/ sebagai preemptive analgesi. Ketorolak merupakan OAINS non selektif. Bekerja melalui penghambatan enzim COX 1 dan 2. COX-1 bersifat selalu aktif, mensintesis prostaglandin untuk menjaga organ (protektif). Sedangkan COX-2 bersifat aktif bila terdapat inflamasi. Terdapat 3 kerja utama OAINS: antipiretik, pada keadaan demam hambatan prostaglandin mengembalikan pusat termoregulasi di hipotalamus ke titik normal; analgesi, efektif mengurangi nyeri yang disertai inflamasi; dan antiinflamasi, menurunkan tanda-tanda klasik inflamasi seperti tumor, rubor, kalor, dolor, dan functiolaesa (Jordan dan White, 2001). 3.a. Farmakodinamik Clissold pada tahun 1986 telah meninjau sifat farmakologis paracetamol dan berpendapat bahwa paracetamol mempunyai efek analgesik dan antipiretik. Namun, seperti yang telah dikemukakan, senyawa ini hanya mempunyai efek antiradang yang lemah. Ketidakmampuan paracetamol memberikan efek antiradang itu sendiri mungkin berkaitan dengan fakta bahwa paracetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan pada lesi radang. Sebaliknya menurut Marshall et.al, 1987 serta Hanel and Lands, 1982 efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuan menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah (Haydar, 2015). Paracetamol merupakan penghambat biosintesis enzim prostaglandin yang lemah, sehingga efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat, demikan juga halnya dengan gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Katzung, 2011) Paracetamol bekerja melalui 3 mekanisme: menghambat sintesis prostaglandin di sel, menghambat enzim siklooksigenase di pusat, dan bekerja di kemoreseptor nyeri di perifer. (Summers, 2007). 14 OAINS menghambat pelepasan prostaglandin yang berperan dalam inflamasi, nyeri, dan demam. OAINS bekerja dengan mencegah produksi mediator-mediator inflamasi, serta menghambat mediator-mediator yang menjadi penyebab nyeri. Sehingga pemberiannya digunakan untuk mencegah nyeri, sebelum nyeri tersebut timbul / sebagai preemptive analgesi. Ketorolak merupakan OAINS non selektif. Bekerja melalui penghambatan enzim COX 1 dan 2. COX-1 bersifat selalu aktif, mensintesis prostaglandin untuk menjaga organ (protektif). Sedangkan COX-2 bersifat aktif bila terdapat inflamasi. Terdapat 3 kerja utama OAINS: antipiretik, pada keadaan demam hambatan prostaglandin mengembalikan pusat termoregulasi di hipotalamus ke titik normal; analgesi, efektif mengurangi nyeri yang disertai inflamasi; dan antiinflamasi, menurunkan tanda-tanda klasik inflamasi seperti tumor, rubor, kalor, dolor, dan functiolaesa (Jordan dan White, 2001). 3.b. Farmakokinetik Paracetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna melalui saluran cerna. Absorpsi tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar puncak di dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Waktu paruh dalam plasma antara 1-3 jam setelah dosis terapeutik. Pada jumlah toksik atau adanya penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau bahkan lebih (Gunawan dan Gan Sulistia, 2009). Paracetamol terdistribusi relatif seragam hampir diseluruh cairan tubuh. Obat ini terikat pada protein plasma , namun hanya sekitar 20%-50% yang mungkin terikat pada konsentrasi plasma yang ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90%-100% obat ini ditemukan dalam urin selama hari pertama, terutama setelah konjugasi hepatik dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam sulfat (sekitar 35%), atau sistein (sekitar 3%), sejumlah kecil metabolit hasil hidroksilasi dan deaseilasi juga telah terdeteksi. Sebagian kecil paracetamol mengalami proses N-hidroksilasi yang diperantarai sitokrom P450 yang membentuk N-asetil-benzokuinoneimin, yang merupakan suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini bereaksi dengan gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah kita mengkonsumsi paracetamol dosis besar, maka metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup untuk menghilangkan glutation hepatic (Katzung, 2011). 15 Tabel 3.1 Rekomendasi Medicine and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA) untuk dosis pemberian parasetamol IV. Dosis pemberian Dosis maksimum Bayi baru lahir, bayi, balita dan anak-anak (<10 kg) Sekali infus 7,5 mg/kg (0,75 ml/kg) 30 mg/kg Anak-anak AnakRemaja (>10 kg dan < anak,remaja dewasa 33 kg) dewasa (>33 kg kg) dan <50 kg) Sekali infus 15 mg/kg (1,5 ml/kg) 60 mg/kg (6 ml/kg) tidak melebihi 2 g (200 ml) Sekali infus 15 mg/kg (1,5 ml/kg) 60 mg/kg (6 ml/kg) dan tidak melebihi 3 g (300 ml) dan (>50 Sekali infus 1 g (100 ml) Tidak lebih dari 4 g (400 ml) 3.c. Indikasi Paracetamol memiliki efek analgesik dan antipiretik setara dengan aspirin, sehingga obat ini merupakan pengganti yang cocok untuk aspirin, walaupun perlu diingat bahwa paracetamol tidak memiliki efek anti radang. Obat ini sangat bermanfaat bagi pasien yang kedapatan dikontraindikasikan menggunakan aspirin, misalkan pada pasien ulser lambung atau jika perpanjangan waktu perdarahan akibat aspirin akan merugikan. Paracetamol sendiri tidak adekuat untuk terapi peradangan seperti artritis rematoid, walaupun dapat difungsikan sebagai analgesik tambahan untuk terapi antiradang. Untuk analgesia ringan, paracetamol merupakan obat yang lebih disukai pada penderita yang alergi dengan aspirin (Gunawan dan Gan Sulistia, 2009). Dosis oral paracetamol sebesar 325-1000 mg (secara rectal 650 mg), dosis total harian tidak boleh melebihi 4000 mg. Untuk anak-anak, dosis tunggal sebesar 40-480 mg, begantung pada usia dan berat badan. Tidak boleh melebihi dari lima dosis yang diberikan dalam 24 jam (Haydar, 2015). 3.d. Efek Samping Pada dosis yang dianjurkan, paracetamol dapat ditolerir dengan baik. Kadang terjadi ruam kulit dan reaksi alergi berupa eritema atau urtikaria, terkadang akan lebih parah mungkin disertai demam obat dan lesi mukosa. Pada beberapa kasus tertentu, penggunaan paracetamol menyebabkan neutropenia, trombositopenia, dan pansitopenia (Katzung, 2011). 16 Menurut Thomas, 1993 efek merugikan yang paling serius akibat overdosis asetaminofen akut berupa nekrosis hati yang fatal. Nekrosis tubulus ginjal dan koma hipoglikemik mungkin juga terjadi. Apabila toksisitas terjadi dapat diberikan antimuntah dan antidotum N-asetilsistein (Haydar, 2015). B. Penelitian Yang Relevan. Penelitian mengenai karakteristik paracetamol intravena terhadap penghambatan aktifitas agregasi trombosit telah dilakukan oleh Musterhjelm E pada tahun 2006. Hasilnya secara signifikan pemberian paracetamol intravena menghambat aktifitas agregasi trombosit melalui penghambatan asam arachidonat dan Tromboxan A2. (Musterhjelm, 2006). Resiko mikrovaskuler trombosis meningkat akibat peningkatan agregasi trombosit pada sepsis dengan adanya peningkatan prostanoid seperti tromboxan dan prostasiklin sehingga mengakibatkan gangguan suplay darah ke otot jantung (Maeder, 2006). Neviere, 2006 telah melaporkan melalui studi klinis dan eksperimental bahwa plasma tingkat troponin jantung meningkat pada sepsis dan dapat menunjukan disfungsi miokard dan hasil yang buruk. John, 2010 dalam jurnal pasien kritis menjelaskan bahwa Troponin I menjadi prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat, akibat disfungsi miokard yang di perburuk oleh adanya sepsis tersebut. Hussain , 2013 meneliti bahwa adanya peningkatan kadar troponin I pada pasien SIRS, Sepsis dan Syok septik. literatur jurnal tersebut menjelaskan bahwa respon inflamasi akibat sepsis menunjukan gangguan pada jantung, sehinnga jantung terdepresi yang akibatnya menjadi disfungsi miokard dan berakhir kematian. 17 C. Kerangka Pikir Gambar 2.4 18 D. Hipotesis Ada perbedaan pengaruh pemberian paracetamol intravena antara 10 dan 20 mg/kgBB terhadap kadar troponin I pada pasien sepsis. 19