BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. SEPSIS 1.a. Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. SEPSIS
1.a. Definisi
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk
ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan
jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul
proses inflamasi. Inflamasi dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas
sampai menyebabkan tanda dan gejala sistemik. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu
reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas. Inflamasi akut
merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang
berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan
pelepasan berbagai macam mediator kimia . meskipun jenis jaringan yang mengalami
inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama (Harmse dan Hew, 2000).
Manifestasi
klinik
yang
berupa
inflamasi
sistemik
disebut
Systemic
Inflammatory Response Syndrom ( SIRS ).
SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah pasien yang memiliki
dua atau lebih kriteria sebagai berikut: (Guntur A,H, 2006; Chamberlain dan Neeal,
2004; Hotchkiss, et al. 2003).
a.
Suhu > 38 0C atau < 36 0C
b.
Denyut jantung > 90 kali / menit
c.
Respirasi > 20 kali / menit atau Pa CO2 < 32 mmHg
d.
Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10 % sel immature
5
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Untuk Sepsis, Sepsis Berat dan Syok Septik (Dellinger et al,
2013) Infeksi (dugaan atau terdokumentasi), dengan diikuti ≥ 1 atau beberapa kondisi dari :
VARIABEL UMUM
Demam (> 38.3°C)
Hipotermia (suhu inti < 36°C)
Nadi > 90 kali / menit atau lebih dari 2SD diatas nilai normal sesuai
umur
Takipnea
Perubahan status mental
Edema signifikan / balans cairan positif (> 20 mL/kg dalam 24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 6.7 mmol/L) tanpa
diabetes
VARIABEL INFLAMASI
Leukositosis ( > 12,000/μL)
Leukopenia ( < 4000/μL)
Angka leukosit normal dengan sel imatur lebih dari 10%
Plasma C-reactive protein lebih dari 2 SD diatas nilai normal
Plasma prokalsitonin lebih dari 2 SD diatas nilai normal
VARIABEL HEMODINAMIK
Hipotensi arterial (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP
menurun > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 SD dibawah
nilai normal sesuai umur
VARIABEL DISFUNGSI ORGAN
Hipoksemia arterial (Pao2/Fio2 < 300)
Oliguria akut (produksi urin < 0.5 mL/kg/jam atau 45 ml / jam
selama setidaknya 2 jam walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan
yang adekuat)
Kreatinin meningkat > 0.5 mg/dL atau 44 μmol/L
Abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau APTT > 60 detik)
Ileus (tidak adanya bunyi peristaltik usus)
Trombositopenia (platelet < 100,000/μL)
Hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg/dL atau 68
μmol/L)
VARIABEL PERFUSI JARINGAN
Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
Menurunnya capillary refill atau adanya bercak-bercak (mottling)
Sepsis berat adalah Sepsis disertai adanya disfungsi organ
Syok septik adalah Sepsis plus either hypotension ( hipotensi refrakter
yang memerlukan vasopresor setelah diberikan cairan intravena ) atau
hyperlactatemia
6
1.b. Etiologi
Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif (60-70%) yang
menghasilkan berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan
terpacu mengeluarkan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks
merupakan kompleks utama membran terluar dari bakteri gram negatif (Guntur A, H,
2011).
Selain disebabkan oleh endotoksin dapat pula disebabkan oleh eksotoksin,
jamur, virus, dan parasit yang berperan sebagai superantigen (Guntur A, H, 2011).
1.c. Patogenesis
Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara produk bakteri
yang berupa toksin (Guntur A, H, 2011).
Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh menghilangkan dan eradikasi
organisme penyebab, aktifasi respon inflamasi sistemik
pada sepsis dibutuhkan
tubuh sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi, berbagai jalur inflamasi diaktifkan
dengan tujuan untuk invasi bakteri. Mekanisme ini termasuk pengeluaran sitokin,
aktifasi netrofil, monosit, makrofag dan perubahan sel endotel serta aktifasi sistem
komplemen, koagulasi, fibrinolysis, dan sistem kontak. Pengeluaran tissue damaging
proteinase, radikal eikosanoid, oksigen dan nitrogen juga merupakan mekanisme
pertahanan tubuh (Cinel dan Dellinger, 2007).
Untuk menghalangi masuknya mikroorganisme infeksius, sistem imun alamiah
mengembangkan berbagai reseptor yang disebut Pathogen Associated Moleculear
Pattern / PAMPs sehingga mampu membedakan struktur molekul sel dan non self
(Cinel dan Dellinger, 2007).
Toll Like Receptor dilibatkan dalam pertahanan pejamu terhadap infeksi patogen
berfungsi sebagai sensor utama dari produk mikroba dan mengaktifkan jalur sinyal
yang akan mengeluarkan ekspresi gen imun proinflamasi (Rudiger, 2008).
Sitokin yang paling menonjol adalah tumor necrosis factor alpha (TNF-α),
interleukin-1(IL-1), dan IL-6. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dalam
menanggapi sepsis, sistem kekebalan tubuh memulai kaskade sitokin yang ditandai
dengan produksi berurutanTNFα, IL-1, IL-6 ( Pinsky, 2004 ).
7
Endotoksin gram negatif dapat secara langsung dengan LPS dan bersama sama
dengan antibodi dalam serum darah membentuk LBP, kemudian akan bereaksi
dengan makrofag melalui TLR-4 dengan perantaraan CD 14 selanjutnya melalui
sinyal transmembran
makrofag akan mengekspresikan berbagai imunomodulator
(Guntur A, H, 2011).
Eksotoksin gram positif akan bertindak sebagai superantigen bakteri yang akan
menstimulasi limfosit T tanpa melalui makrofag ataupun monosit sebagai antigen
presenting cell (APC) terlebih dahulu, superantigen akan mengaktifkan hingga 20%
limfosit tubuh dan dapat menstimulasi berbagai jenis mediator pro inflamasi
termasuk IL-2, IFN, coloni stimulating factor (CFS) yang akan menstimulasi
makrofag yang akan mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-α dan juga beberapa enzim
termasuk
kolagenase dan
elastase yang dapat merusak jaringan ikat, molekul
prokoagulan yang dapat menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur ekstrinsik dan
aktifator plasminogen dan GM-CSM akan mengaktifkan netrofil dan komponen
C3,C3a dan C5a. Netrofil akan beradhesi dengan sel sasaran yaitu endotel pembuluh
darah, disertai gumpalan darah akibat endapan fibrin maka fungsi pembuluh darah
akan terganggu. (Guntur A, H, 2011).
1.d. Jalur sinyal transduksi TLR
Meskipun protein TLR dapat mengenali baik gram positif dan negatif, LPS lebih
sering digunakan untuk menstimuli ketika melakukan uji jalur sinyal trasduksi
untuk TLR 2 dan TLR 4, ikatan antara TLR dengan produk mikroba mengawali
aktifasi jalur sinyal transduksi intraselluler yang multiple. Diantara jalur yang telah
terkarakterisasi adalah aktifasi NF-Kβ, TLRs seperti kebanyakan bentuk homodimer
yang akan mengawali perubahan konformasi dalam modul Toll/IL-1R sitoplasma
dengan perekrutan adapter yang lebih dikenal dengan MyDD88. MyDD88 berisi
domain ujung C yang berikatan dengan dengan TLR melalui modul Toll/IL-IR
sitoplasma dan bagian ujung N yang disebut modul death domain. modul death
domain dari MyDD88 merekrut
receptor associated kinase IL-1 pada komplek
reseptor. Receptor
kinase IL-1 pada komplek reseptor, Receptor
associated
associated kinase IL-1 kemudian akan mengalami auto fosforilasi dan disosiasi dari
komplek reseptor dan merekrut reseptor TNF-α yang dihubungkan dengan faktor 6
yang pada akhirnya akan mengaktifkan kearah muara kinase, NF-Kβ yang
8
menginduksi kinase akhirnya mengaktifasi komplek kinase penghambat kb yang
secara langsung mengawali fosforilasi Ikβ pada traslokasi nukleus dari NF-Kβ dan
memulai transkripsi gen, aktifasi disregulasi dari NF-Kβ oleh bakteri atupun produk
bakteri akan mengawali terjadinya produksi mediator pro inflamasi yang berlebihan
yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan, kegagalan organ dan kematian yang
bisa terlihat pada sepsis akibat bakteri yang berlebihan (Guntur A, H, 2011).
1.e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda- tanda
nonspesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise,
gelisah, atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat
dijumpai pada banyak kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling
sering: paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf
pusat. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut,
penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia
yang sering diikuti gejala Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai
dengan terjadinya syok septik (Guntur A, H, 2006).
Tanda- tanda MODS dengan terjadinya komplikasi: (Guntur A, H, 2006)
1. Sindrom distres pernapasan pada dewasa
2. Koagulasi intravaskuler
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Disfungsi sistem saraf pusat
6. Gagal jantung
7. Kematian
Tanda klinis syok septik: (Guntur A, H, 2006)
1.
Fase dini : terjadi deplesi volume,selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
2.
Post resusitasi cairan : gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardi, nadi keras
dengan tekanan nadi
melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi dan
ekstremitas hangat.
3.
Disertai tanda-tanda sepsis dan tanda hipoperfusi : takipnea, oliguri, sianosis,
mottling, iskemia jari, perubahan status mental.
9
2. TROPONIN I
2.a. Definisi
Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen tipis
aparatus kontraktil otot bergaris.Terdiri dari 3 subunit, yaitu Troponin T (39 kDa),
Troponin I (26 kDa), dan Troponin C (18 kDa) (Maynard, 2000).Tiap-tiap komponen
troponin memainkan fungsi yang khusus. Troponin C mengikat Ca²+ , Troponin I
menghambat aktivitas ATPase aktomiosin dan Troponin T mengatur ikatan troponin
pada tropomiosin (Murphy, 1999). Setiap subunit troponin mempunyai berbagai
isoform tergantung pada tipe otot dan dikode oleh sebuah gen yang berbeda. Isoform
yang spesifik kardiak dan otot bergaris diekspresikan pada otot jantung dan otot
bergaris pada dewasa (Maynard, 2000).Struktur asam amino Troponin T dan I yang
ditemukan pada otot jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot skeletal,
sedangkan struktur troponin C pada otot jantung dan skeletal identik (Murphy, 1999).
Troponin I hanya petanda (marker) terhadap cedera miokard, tidak ditemukan
pada otot skeletal selama pertumbuhan janin, setelah trauma atau regenerasi otot
skeletal.Troponin I sangat spesifik terhadap jaringan miokard, tidak terdeteksi dalam
darah orang sehat dan menunjukkan peningkatan yang tinggi di atas batas atas pada
pasien dengan IMA.Troponin I lebih banyak didapatkan pada otot jantung daripada
CKMB dan sangat akurat dalam mendeteksi kerusakan jantung. Troponin I meningkat
pada kondisi-kondisi seperti miokarditis, kontusio kardiak dan setelah pembedahan
jantung.Adanya cTnI dalam serum menunjukkan telah terjadi kerusakan miokard
(Gavaghan, 1999). Troponin I mulai meningkat 3 sampai 5 jam setelah cedera miokard,
mencapai puncak pada 14 sampai 18 jam dan tetap meningkat selama 5 sampai 7 hari.
Troponin I mempunyai sensitivitas 100% pada 6 jam setelah IMA. Troponin I adalah
petanda biokimia IMA yang ideal oleh karena sensitivitas dan spesifisitasnya serta
mempunyai nilai prognostik pada IMA (Ischemic Miokard Acut).Petanda biokimia ini
tidak dipengaruhi oleh penyakit otot skeletal, trauma otot skeletal, penyakit ginjal atau
pembedahan Kekurangan cTnI adalah lama dalam serum, sehingga dapat menyulitkan
adanya re-infark (Gavaghan, 1999).
10
Gambar 2.1 Struktur filamen tipis (Braunwald, 1998)
Tabel 2.1 Petanda Molekuler Nekrosis Miokard (Donnelly, 1998)
11
Gambar 2.2 Grafik waktu pelepasan cardiac markers (McClatchey, 2001)
2.b. Metoda Pemeriksaan Troponin I
Metoda pemeriksaan Troponin baik I kuantitatif dengan Enzyme Linked
Flourescent Assay (ELFA) pada alat VIDAS (Samsu N & Sargowo D, 2007).
3. PARACETAMOL
Pada tahun 1971, John Vane meneliti enzim siklooksigenase-1 (COX-1) sebagai
target molekul kerja Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAINS. Hambatan pada COX-1
dan penurunan prostaglandin dan tromboksan menjelaskan aktivitas farmakologi
analgesi, antiinflamasi, dan antipiretik. Pada tahun 2002, enzim siklooksigenase-3
(COX-3) mulai diteliti, sebagai enzim yang mengatur regulasi nyeri dan suhu di otak.
Hambatan COX-3 oleh paracetamol bersifat lemah dan tidak spesifik. COX-3 bukan
merupakan target kerja utama dari paracetamol, namun demikian paracetamol
menghambat “canine” COX-3, dimana diperlukan indeks konsentrasi obat yang tinggi,
dan penggunaan dosis 0,5-1 g per oral sulit untuk mendapatkan efek ini (Katzung 2011).
Paracetamol merupakan golongan “aniline” analgesik, merupakan satu-satunya
golongan obat ini yang masih digunakan sampai sekarang. Paracetamol merupakan 1
dari 3 obat teratas yang paling banyak diresepkan di Amerika. Mekanisme kerja
12
paracetamol masih belum diketahui dengan jelas, namun kerja utamanya melalui
penghambatan enzim siklooksigenase. Penelitian terakhir menyebutkan paracetamol
bekerja secara selektif terhadap enzim COX-2 (Wu and Chen, 2012).
Paracetamol atau acetaminofen merupakan derivat para amino fenol. Paracetamol
juga merupakan metabolit aktif fenasetin, sering disebut juga analgesik coal tar.
Paracetamol merupakan obat lain pengganti aspirin yang efektif sebagai obat analgesikantipiretik. Namun, seperti yang telah dikemukakan, senyawa ini hanya mempunyai
efek antiradang yang lemah. Ketidakmampuan paracetamol memberikan efek
antiradang itu sendiri mungkin berkaitan dengan fakta bahwa paracetamol hanya
merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi
tinggi yang ditemukan pada lesi radang. Sebaliknya menurut Marshall et.al, 1987 serta
Hanel and Lands, 1982 efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuan
menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah (Haydar, 2015).
Paracetamol memiliki efek yang hampir sama dengan OAINS. Beberapa ahli
menyebutkan paracetamol memiliki efektifitas yang sama, namun lebih aman (Jordan
dan White, 2001).
Paracetamol dimetabolisme di hepar, sehingga efek samping yang muncul
terutama hepatotoksik, yang dapat terjadi pada pemberian dosis besar 2-3 kali dosis
terapi. Gangguan lambung, perdarahan, rush, methemoglobinemia jarang terjadi (Jordan
dan White, 2001).
Overdosis paracetamol tidak bisa dianggap hal yang wajar karena dapat
menyebabkan kerusakan hati yang fatal (Haydar, 2015).
Gambar 3.1 Rumus bangun Paracetamol
Paracetamol bekerja melalui 3 mekanisme: menghambat sintesis prostaglandin
di sel, menghambat enzim siklooksigenase di pusat, dan bekerja di kemoreseptor nyeri
di perifer. Paracetamol dengan cepat dan lengkap di absorbsi di usus halus. Memiliki
13
efek terapi dalam 30-60 menit dan waktu paruh 2 jam. Diekskresi melalui urin dalam 24
jam 90-100% (Summers, 2007).
OAINS menghambat pelepasan prostaglandin yang berperan dalam inflamasi,
nyeri, dan demam. OAINS merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk terapi
cedera jaringan lunak (Paoloni dan Orchard, 2005). OAINS bekerja dengan mencegah
produksi mediator-mediator inflamasi, daripada menghambat aksi mediator-mediator
yang menjadi penyebab nyeri. Sehingga pemberiannya digunakan untuk mencegah
nyeri, sebelum nyeri tersebut timbul/ sebagai preemptive analgesi. Ketorolak merupakan
OAINS non selektif. Bekerja melalui penghambatan enzim COX 1 dan 2. COX-1
bersifat selalu aktif, mensintesis prostaglandin untuk menjaga organ (protektif).
Sedangkan COX-2 bersifat aktif bila terdapat inflamasi. Terdapat 3 kerja utama OAINS:
antipiretik, pada keadaan demam hambatan prostaglandin mengembalikan pusat
termoregulasi di hipotalamus ke titik normal; analgesi, efektif mengurangi nyeri yang
disertai inflamasi; dan antiinflamasi, menurunkan tanda-tanda klasik inflamasi seperti
tumor, rubor, kalor, dolor, dan functiolaesa (Jordan dan White, 2001).
3.a. Farmakodinamik
Clissold pada tahun 1986 telah meninjau sifat farmakologis paracetamol dan
berpendapat bahwa paracetamol mempunyai efek analgesik dan antipiretik. Namun,
seperti yang telah dikemukakan, senyawa ini hanya mempunyai efek antiradang yang
lemah. Ketidakmampuan paracetamol memberikan efek antiradang itu sendiri mungkin
berkaitan dengan fakta bahwa paracetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase
yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan pada lesi
radang. Sebaliknya menurut Marshall et.al, 1987 serta Hanel and Lands, 1982 efek
antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuan menghambat siklooksigenase di
otak, yang tonus peroksidanya rendah (Haydar, 2015).
Paracetamol merupakan penghambat biosintesis enzim prostaglandin yang lemah,
sehingga efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat, demikan juga halnya
dengan gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Katzung, 2011)
Paracetamol bekerja melalui 3 mekanisme: menghambat sintesis prostaglandin
di sel, menghambat enzim siklooksigenase di pusat, dan bekerja di kemoreseptor nyeri
di perifer. (Summers, 2007).
14
OAINS menghambat pelepasan prostaglandin yang berperan dalam inflamasi,
nyeri, dan demam. OAINS bekerja dengan mencegah produksi mediator-mediator
inflamasi, serta menghambat mediator-mediator yang menjadi penyebab nyeri.
Sehingga pemberiannya digunakan untuk mencegah nyeri, sebelum nyeri tersebut
timbul / sebagai preemptive analgesi. Ketorolak merupakan OAINS non selektif.
Bekerja melalui penghambatan enzim COX 1 dan 2. COX-1 bersifat selalu aktif,
mensintesis prostaglandin untuk menjaga organ (protektif). Sedangkan COX-2 bersifat
aktif bila terdapat inflamasi. Terdapat 3 kerja utama OAINS: antipiretik, pada keadaan
demam hambatan prostaglandin mengembalikan pusat termoregulasi di hipotalamus ke
titik normal; analgesi, efektif mengurangi nyeri yang disertai inflamasi; dan
antiinflamasi, menurunkan tanda-tanda klasik inflamasi seperti tumor, rubor, kalor,
dolor, dan functiolaesa (Jordan dan White, 2001).
3.b. Farmakokinetik
Paracetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna melalui saluran
cerna. Absorpsi tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar puncak di
dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Waktu paruh dalam plasma
antara 1-3 jam setelah dosis terapeutik. Pada jumlah toksik atau adanya penyakit hati,
waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau bahkan lebih (Gunawan dan Gan
Sulistia, 2009).
Paracetamol terdistribusi relatif seragam hampir diseluruh cairan tubuh. Obat ini
terikat pada protein plasma , namun hanya sekitar 20%-50% yang mungkin terikat pada
konsentrasi plasma yang ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik,
90%-100% obat ini ditemukan dalam urin selama hari pertama, terutama setelah
konjugasi hepatik dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam sulfat (sekitar 35%),
atau sistein (sekitar 3%), sejumlah kecil metabolit hasil hidroksilasi dan deaseilasi juga
telah terdeteksi. Sebagian kecil paracetamol mengalami proses N-hidroksilasi yang
diperantarai sitokrom P450 yang membentuk N-asetil-benzokuinoneimin, yang
merupakan suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini bereaksi dengan
gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah kita mengkonsumsi paracetamol dosis
besar, maka metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup untuk menghilangkan
glutation hepatic (Katzung, 2011).
15
Tabel 3.1 Rekomendasi Medicine and Healthcare Products Regulatory Agency
(MHRA) untuk dosis pemberian parasetamol IV.
Dosis
pemberian
Dosis
maksimum
Bayi
baru
lahir,
bayi,
balita
dan
anak-anak
(<10 kg)
Sekali
infus
7,5
mg/kg
(0,75 ml/kg)
30 mg/kg
Anak-anak
AnakRemaja
(>10 kg dan < anak,remaja
dewasa
33 kg)
dewasa (>33 kg kg)
dan <50 kg)
Sekali infus 15
mg/kg
(1,5
ml/kg)
60 mg/kg (6
ml/kg)
tidak
melebihi 2 g
(200 ml)
Sekali infus 15
mg/kg
(1,5
ml/kg)
60 mg/kg (6
ml/kg) dan tidak
melebihi 3 g
(300 ml)
dan
(>50
Sekali infus 1
g (100 ml)
Tidak
lebih
dari 4 g (400
ml)
3.c. Indikasi
Paracetamol memiliki efek analgesik dan antipiretik setara dengan aspirin,
sehingga obat ini merupakan pengganti yang cocok untuk aspirin, walaupun perlu
diingat bahwa paracetamol tidak memiliki efek anti radang. Obat ini sangat bermanfaat
bagi pasien yang kedapatan dikontraindikasikan menggunakan aspirin, misalkan pada
pasien ulser lambung atau jika perpanjangan waktu perdarahan akibat aspirin akan
merugikan. Paracetamol sendiri tidak adekuat untuk terapi peradangan seperti artritis
rematoid, walaupun dapat difungsikan sebagai analgesik tambahan untuk terapi
antiradang. Untuk analgesia ringan, paracetamol merupakan obat yang lebih disukai
pada penderita yang alergi dengan aspirin (Gunawan dan Gan Sulistia, 2009).
Dosis oral paracetamol sebesar 325-1000 mg (secara rectal 650 mg), dosis total
harian tidak boleh melebihi 4000 mg. Untuk anak-anak, dosis tunggal sebesar 40-480
mg, begantung pada usia dan berat badan. Tidak boleh melebihi dari lima dosis yang
diberikan dalam 24 jam (Haydar, 2015).
3.d. Efek Samping
Pada dosis yang dianjurkan, paracetamol dapat ditolerir dengan baik. Kadang
terjadi ruam kulit dan reaksi alergi berupa eritema atau urtikaria, terkadang akan lebih
parah mungkin disertai demam obat dan lesi mukosa. Pada beberapa kasus tertentu,
penggunaan paracetamol menyebabkan neutropenia, trombositopenia, dan pansitopenia
(Katzung, 2011).
16
Menurut Thomas, 1993 efek merugikan yang paling serius akibat overdosis
asetaminofen akut berupa nekrosis hati yang fatal. Nekrosis tubulus ginjal dan koma
hipoglikemik mungkin juga terjadi. Apabila toksisitas terjadi dapat diberikan
antimuntah dan antidotum N-asetilsistein (Haydar, 2015).
B. Penelitian Yang Relevan.
Penelitian mengenai karakteristik paracetamol intravena terhadap penghambatan
aktifitas agregasi trombosit telah dilakukan oleh Musterhjelm E pada tahun 2006.
Hasilnya secara signifikan pemberian paracetamol intravena menghambat aktifitas
agregasi trombosit melalui penghambatan asam arachidonat dan Tromboxan A2.
(Musterhjelm, 2006). Resiko mikrovaskuler trombosis meningkat akibat peningkatan
agregasi trombosit pada sepsis dengan adanya peningkatan prostanoid seperti
tromboxan dan prostasiklin sehingga mengakibatkan gangguan suplay darah ke otot
jantung (Maeder, 2006).
Neviere, 2006 telah melaporkan melalui studi klinis dan eksperimental bahwa
plasma tingkat troponin jantung meningkat pada sepsis dan dapat menunjukan disfungsi
miokard dan hasil yang buruk.
John, 2010 dalam jurnal pasien kritis menjelaskan bahwa Troponin I menjadi
prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat, akibat disfungsi miokard yang di perburuk
oleh adanya sepsis tersebut.
Hussain , 2013 meneliti bahwa adanya peningkatan kadar troponin I pada pasien
SIRS, Sepsis dan Syok septik. literatur jurnal tersebut menjelaskan bahwa respon
inflamasi akibat sepsis menunjukan gangguan pada jantung, sehinnga jantung terdepresi
yang akibatnya menjadi disfungsi miokard dan berakhir kematian.
17
C. Kerangka Pikir
Gambar 2.4
18
D. Hipotesis
Ada perbedaan pengaruh pemberian paracetamol intravena antara 10 dan 20
mg/kgBB terhadap kadar troponin I pada pasien sepsis.
19
Download