Analisis Disparitas Inflasi antar Daerah di Indonesia Tahun 2008

advertisement
PENDAHULUAN
Inflasi merupakan fenomena moneter yang sering terjadi di semua negara. Secara sederhana
inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas
(atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Tingkat inflasi yang tinggi dapat
mengganggu stabilitas ekonomi. Inflasi merupakan variabel ekonomi yang sangat dijaga agar
tetap stabil, karena dengan inflasi yang stabil akan tercapai stabilitas perekonomian yang
akhirnya akan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Indonesia pernah mengalami sejarah inflasi yang tinggi pada tahun 1966 dan 1998. Pada tahun
1966 inflasi di Indonesia mencapai angka tiga digit yaitu sebesar 636%. Kondisi itu disebabkan
oleh instabilitas politik pada saat itu dan adanya kebijakan pemerintah mencetak uang untuk
membiaya konfrontasi dengan Malaysia. Namun demikian kondisi berangsur membaik, dimana
pada era 1980-1996 inflasi di Indonesia bisa dikatakan cukup stabil. Sampai pada terjadinya
krisis ekonomi pada tahun 1997. Pada tahun 1997/1998 Indonesia kembali menghadapi inflasi
yang tinggi yaitu mencapai 58%. Berikut data inflasi Indonesia dari tahun 1967 – 2011
Grafik 1.
Inflasi Indonesia 1967-2011
inflasi
140
120
100
80
60
inflasi
40
20
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
2011
0
2
Sumber : worlbank, diolah
Dengan pengalaman tingginya laju inflasi yang pernah di hadapi oleh Indonesia, maka Bank
Indonesia sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab mengendalikan inflasi di Indonesia,
pada tahun 2005 mulai memberlakukan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation targeting
framework/ITF) sesuai dengan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada
publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara
eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama kebijakan
moneter. Inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang, diyakini akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.(www.bi.go.id).
Dalam ITF yang menjadi target adalah inflasi nasional, namun demikian perlu diingat bahwa
inflasi nasional tidak dapat terlepas dari inflasi yang terjadi di setiap daerah di Indonesia. Hal ini
dapat terlihat dari kontribusi sumbangan inflasi daerah terhadap inflasi nasional yang mencapai
77% (Kompas,2010). Pada kenyataannya tingkat inflasi di tiap kota dalam satu negara, bahkan
dalam satu propinsi sekali pun sering kali mengalami perbedaan. Sebagai gambaran, ketika
terjadi krisis keuangan global pada tahun 2008, inflasi di Indonesia cukup bervariasi dengan ratarata inflasi 12,11%; sementara inflasi tertinggi dan terendah sebesar masing-masing 20,51% dan
6,96%. Sebaliknya ketika terjadi penurunan harga BBM pada awal tahun 2009, tercatat inflasi
rata-rata 3,33%, dengan inflasi tertinggi dan terendah masing-masing sebesar 7,52% dan 0,80%.
(Subekti, 2011). Berikut adalah data inflasi daerah pada tahun 2011 dan 2012. Pada tahun 2011
rata-rata inflasi nasional adalah 7,21 persen dengan inflasi tert inggi di Sibolga sebesar 11,87
persen dan inflasi terendah di Kendari sebesar 3,87 persen. Sedangkan pada tahun 2012 inflasi
rata-rata daerah adalah sebesar 3,92 persen dengan inflasi tertinggi di Bima yaitu sebesar 7,19
persen dan inflasi terendah di Manado sebesar 0,67 persen.
3
Tabel 2.
Inflasi Daerah 2011-2012
N0.
provinsi
2011
2012
1
Lhokseumawe
7,19
3,55
2
Banda Aceh
4,64
3,32
3
Pdg Sidempuan
7,42
4,66
4
5
Sibolga
Pmtg Siantar
11,83
9,68
3,71
4,25
6
Medan
7,65
3,54
7
8
Padang
Pekanbaru
7,84
7,00
5,37
5,09
9
Dumai
9,05
3,09
10
Batam
7,40
3,76
11
Tanjung Pinang
6,17
3,32
12
Jambi
10,52
2,76
13
Bengkulu 9.08 3.96
9,08
3,96
14
Palembang
6,02
3,78
15
Pangkal Pinang
9,36
5,00
16
17
Bandar Lampung 9.95 4.24
Jakarta 6.21 3.97
9,95
6,21
4,24
3,97
18
Serang
6,18
2,78
19
Cilegon
6,12
2,35
20
Tangerang
6,08
3,78
21
Tasikmalaya
5,56
4,17
22
Bandung 4.53 2.75
4,53
2,75
23
Cirebon
6,70
3,20
24
Bogor
6,57
2,85
25
26
Sukabumi
Bekasi
5,43
7,88
4,26
3,45
27
Depok
7,97
2,95
28
29
Purwokerto
Surakarta
6,04
6,65
3,40
1,93
30
Semarang
7,11
2,87
31
Tegal
6,73
2,58
32
Yogyakarta
7,38
3,88
33
34
Jember
Kediri
7,09
6,80
2,43
3,62
35
Malang
6,70
4,05
36
Surabaya
7,33
4,72
37
Sumenep
6,75
4,18
38
Probolinggo
6,68
3,78
39
Madiun
6,54
3,49
40
41
Pontianak
Singkawang
8,52
7,10
4,91
6,72
42
Palangkaraya
9,49
5,28
43
Sampit
9,53
3,60
44
Banjarmasin
9,06
3,98
45
Balikpapan
7,38
6,45
46
Samarinda
7,00
6,23
47
Tarakan
7,92
6,43
48
Manado
6,28
0,67
49
50
Palu
Makassar
6,40
6,82
4,47
2,87
51
Watampone
6,74
3,94
52
Parepare
5,79
1,60
53
Palopo
3,99
3,35
54
55
Kendari
Gorontalo
3,87
7,43
5,09
4,08
56
Ambon
8,78
2,85
57
Ternate
5,32
4,52
58
Jayapura
4,48
3,40
59
Manokwari
4,68
3,64
60
Sorong 8.13 0.90
8,13
0,90
61
62
Mamuju
Denpasar
5,12
8,10
4,91
3,75
63
Mataram
11,07
6,38
64
Bima
6,35
7,19
65
Kupang
9,97
4,32
66
Maumere
8,48
6,59
Rata-rata
Minimum
7,21
3,87
3,92
0,67
11,83
7,19
Maksimum
4
Sumber: Bank Indonesia
Bervariasinya inflasi pada tataran provinsi menunjukkan bahwa disparitas inflasi antar provinsi
di Indonesia masih cukup tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter.
Isu penting yang berkaitan dengan inflasi pada tingkat regional pada saat ini adalah otonomi
daerah. Sejak diberlakukanya otonomi daerah tahun 2001 yang ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian di revisi dengan Undang- Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang
kemudian juga di revisi dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat-Daerah pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur wilayahnya
sendiri. Dengan demikian kondisi perekonomian setiap daerah akan sangat beragam dan
tergantung pada potensi daerah masing – masing dan cara pengelolaanya. Selain itu penerapan
otonomi daerah juga berimplikasi pada kebijakan – kebijakan setiap daerah dalam hal ini adalah
kebijakan fiskal di tiap – tiap daerah dikarenakan pemberlakuan desentralisasi fiskal sesuai
dengan konsep otonomi daerah.
Salah satu implikasi adanya otonomi daerah tersebut adalah penetapan upah minimum regional
pada tingkat provinsi yang dikenal sebagai upah minimum provinsi (UMP). Semenjak
pemberlakuan sistem desentralisasi, upah minimum provinsi menunjukkan kenaikan yang cukup
tinggi, bahkan besarannya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (Subekti,2011).
Kenaikan upah minimum yang dituntut oleh para pekerja setiap tahunnya diduga memiliki
potensi menyebabkan inflasi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari
(2003) yang menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi pada perekonomian
di 26 propinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa upah berpengaruh signifikan terhadap inflasi
di 26 propinsi di Indonesia.
Selain menetapkan upah minimum provinsi, pemerintah daerah juga melaksanakan
kebijakan baik fiskal ekspansif maupun kontraktif salah satunya terlihat dari pengeluaran
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah. Pengeluaran pemerintah daerah bertujuan untuk
mengatasi berbagai masalah, sesuai dengan tujuan desentralisasi fiskal. Bila pemerintah
melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan belanja pemerintah
daerah, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan harga yang akan menyebabkan
terjadinya inflasi.
5
Adanya kebijakan yang berbeda – beda di setiap daerah disinyalir menjadi salah satu
faktor pendorong terjadinya perbedaan inflasi setiap daerah yang nantinya akan berkontribusi
dalam pembentukan inflasi nasional. Oleh karena itu dalam pengendalian inflasi nasional, Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter juga perlu memperhatikan pergerakan inflasi regional
mengingat sumbangan inflasi regional yang cukup tinggi bagi terbentuknya inflasi nasional.
Menurut Sukirno (2004) ada 8 faktor yang diduga berpengaruh terhadap inflasi regional
diantaranya adalah kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), Indeks Harga Konsumen (IHK), Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), Jumlah
Uang Beredar (JUB), tingkat suku bunga dan kurs dollar.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Paula (2012) yang mengkaji faktor – faktor
yang mempengaruhi volatilitas inflasi di Indonesia baik dari sisi moneter maupun dari sisi fiskal
dengan melibatkan 26 Provinsi yang ada di Indonesia. Moneter diwakili oleh JUB (sesuai teori
kuantitas uang), sedangkan sisi Fiskal diwakili oleh Utang Daerah (dari 25 Provinsi yang diteliti)
guna menutup defisit anggaran belanja daerah. Namun, bukti empirik di Indonesia menunjukkan
bahwa sisi moneter lebih dominan dalam mempengaruhi volatilitas inflasi di Indonesia tahun
1999-2009 daripada sisi fiskal.
Penelitian mengenai inflasi regional yang lain juga pernah dilakukan oleh Subekti(2011)
yang meneliti tentang dinamika inflasi pada tataran Provinsi. Penelitian tersebut memberikan
hasil bahwa selama tahun 2000 – 2009, dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh
inersia inflasi, penyesuaian BI rate, gejolak nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan penyesuaian
gaji PNS/TNI/POLRI, sementara kesenjangan output, pertumbuhan M1, penetapan UMP dan
belanja pemerintah daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Asmanto dan Soebagyo (2007) yang menganalisis
tentang pengaruh kebijakan moneter dan kebijakan fiskal regional terhadap stabilitas harga dan
pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Timur (periode 1995 - 2004). Penelitian ini memberikan
hasil bahwa variabel pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan pengeluaran rutin,
pertumbuhan dana pihak ketiga dan suku bunga riil berpengaruh signifikan terhadap inflasi
regional di Jawa Timur.
6
Selain penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia, beberapa penelitian mengenai
perilaku inflasi ditingkat regional juga dilakukan oleh Marques et al (2009) yang menganalisis
tentang faktor – faktor penentu inflasi untuk 98 komoditas di 23 kota besar di Chili, menemukan
bahwa perbedaan inflasi dapat diamati di seluruh daerah yang terpengaruh oleh jenis yang sama
yaitu terpengaruh oleh guncangan ekonomi makro. Jarak geografis memiliki peran yang penting
dalam penentuan inflasi untuk kota –kota yang berbeda. .
Aldasoro dan Zd’arek (2009) meneliti tentang diferensial inflasi di kawasan Eropa dan
determinannya. Dalam penelitianya, mereka menyimpulkan bahwa masih ada dispersi yang luar
biasa dari tingkat inflasi HICP di seluruh Negara anggota. Sebagai pendorong utama dispersi
dapat ditandai sektor Jasa (proxy untuk sektor non-tradable), yang memberikan kontribusi
terhadap penyebaran inflasi. Sebaliknya, beberapa sektor yang dapat disebut sebagai tradable
(barang-barang industri selain dari energi) memiliki kekuatan yang relatif rendah dalam
menentukan dan menjelaskan dispersi harga. Dengan mengandalkan estimasi generalized method
of moments (GMM) menunjukkan bahwa kesenjangan output dan proxy untuk konvergensi
tingkat harga signifikan dalam mempengaruhi diferensial inflasi di kawasan Eropa. Sedangkan
nilai tukar efektif nominal tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap diferensial inflasi.
Berbeda dengan penelitian - penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Indonesia yang
hanya meneliti faktor – faktor penentu inflasi pada tataran provinsi, penelitian yang penulis
lakukan ini lebih spesifik kepada faktor – faktor yang mempengaruhi disparitas inflasi antar
daerah dengan melibatkan 66 kota di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka timbul pertanyaan yang
harus dijawab dalam penelitian ini yaitu: “Faktor – faktor apa saja yang berpengaruh terhadap
disparitas inflasi antar daerah di Indonesia?”
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor – faktor yang berpengaruh terhadap
disparitas inflasi antar daerah di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai faktor - faktor yang berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di
Indonesia yang dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan pada sektor moneter maupun
fiskal
7
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang dan kajian pustaka di atas, maka hipotesis yang dirumuskan
sebagai berikut :
ο€­ Belanja daerah berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun 2008
– 2012.
ο€­ Upah Minimum Provinsi berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia
tahun 2008 – 2012.
ο€­ Biaya transportasi berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun
2008 – 2012.
ο€­ Kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun
2008 – 2012.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini dibutuhkan data untuk mendukung analisis. Adapun jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik,
Bank Indonesia. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder panel tahunan dari kota – kota di
Indonesia. Jumlah kota yang dianalisis adalah 66 kota yang tersebar diseluruh provinsi Indonesia
dengan mengambil sampel dari periode 2008 sampai dengan 2012. Adapun data – data yang
dimaksud adalah data inflasi regional 66 kota, upah minimum provinsi (UMP), belanja
pemerintah daerah 66 kota, biaya transportasi yang diproksi dengan jarak dan data pendukung,
yaitu inflasi nasional Indonesia.
Definisi operasional
Variabel – variabel yang dipakai dalam penelitian ini adalah belanja pemerintah daerah , upah,
biaya transportasi dan dummy kebijakan kenaikan harga bbm, sebagai variabel independen dan
disparitas inflasi sebagai variabel dependen. Dalam penelitian ini definisi operasional masing –
masing variabel sebagai berikut :
1. inflasi adalah perubahan indeks harga konsumen (IHK) 66 kota di Indonesia periode 2008 –
2012. Dalam penelitian ini inflasi diukur dalam persen.
8
2. Disparitas inflasi adalah kesenjangan inflasi yang terjadi antar daerah.
3. Belanja pemerintah daerah yaitu semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang
mengurangi ekuitas dana, dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan
tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.Belanja pemerintah daerah
dihitung dengan menjumlahkan seluruh belanja pemerintah daerah untuk barang dan jasa
pada tingkat kota periode 2008 – 2012 dengan satuan milyar rupiah.
4. Upah minimum provinsi adalah upah minimum yang berlaku untuk semua perusahaan dalam
setiap provinsi di Indonesia periode 2008 – 2012 dengan satuan juta rupiah.
5. Biaya transportasi di proksi dengan jarak antara ke–66 kota dengan ibukota negara Indonesia
yaitu Jakarta karena Jakarta dianggap sebagai pusat kegiatan perekonomian.
Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis seutuhya menggunakan data sekunder. Adapun data – data tersebut
diperoleh dari berbagai sumber diantaranya:
a. Badan Pusat Statistik
b. Bank Indonesia melalui web resmi www.bi.go.id
c. Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan RI melalui web resmi
www.djpk.depkeu.go.id
d. Berbagai sumber yang relevan seperti jurnal, internet, buku panduan dan sumber – sumber
lainya yang dinyatakan pantas untuk dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Teknik analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel Random Effect Model. Baltagi
(2005) menyatakan bahwa teknik analisis panel data memiliki kelebihan antara lain:
a. Dapat mengontrol heterogenitas individu
b. Panel data memberikan data yang lebih lengkap dengan kolinearitas yang rendah dan derajat
bebas yang lebih besar serta lebih efisien
c. Panel data baik digunakan untuk mengkaji mengenai penyesuaian dinamis (dynamic of
adjustment)
9
d. Panel data lebih handal dalam mengidentifikasi dan mengukur efek individu maupun efek
waktu yang tidak dapat dilakukan dalam teknik analisis deret waktu (time series) maupun
analisis antar individu (cross section)
e. Panel data dapat digunakan untuk membangun dan menguji model dengan perilaku yang
kompleks.
Ada 3 teknik pendekatan mendasar yang digunakan dalam menganalisis panel data:
1. Pooled Least Square (PLS)
Metode estimasi Pooled Least Square (PLS) merupakan teknik yang paling sederhana untuk
mengestimasi data panel, yaitu hanya dengan mengkombinasikan data time series dan cross
section. Dengan hanya menggabungkan data tersebut tanpa melihat perbedaan antar dimensi
individu dan waktu, maka kita bisa menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square)
untuk mengestimasi model data panel. Diasumsikan bahwa perilaku data antara individu
sama dalam berbagai kurun waktu.
2. Fixed Effect Model (FEM)
Yang menjadi dasar pemikiran pembentukan model FEM adalah, karena adanya variabelvariabel yang tidak semuanya masuk dalam persamaan model memungkinkan adanya
intercept yang tidak konstan. Atau dengan kata lain, intercept ini mungkin berubah untuk
setiap individu dan waktu (Nachrowi dan Usman, 2006). Model dengan fixed effect
menambahkan dummy variables untuk mengizinkan adanya perubahan intercept ini. Asumsi
pendekatan fixed effect adalah adanya perbedaan intersep sedangkan slopenya sama antar
individu.
3. Random Effect Model (REM)
Dimasukkannya variabel dummy di dalam model Fixed Effect bertujuan untuk mewakili
ketidaktahuan kita tentang model yang sebenarnya. Namun, ini memiliki konsekuensi
berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya mengurangi
efisiensi parameter. Masalah ini bisa diatasi dengan menggunakan variabel gangguan (error
terms) yang dikenal sebagai metode random effect. Di dalam model ini akan mengestimasi
data panel dimana variabel gangguan mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar
10
individu. Keuntungan Random Effect Model dibandingkan Fixed effect Model adalah dalam
hal derajat kebebasan. Tidak perlu melakukan estimasi terhadap intersep N cross-sectional
Menurut Nachrowi dalam Chadidjah dan Elfiyan (2009) untuk memilih Fixed Effect Model atau
Random Effect Model sebagai model yang sesuai ada beberapa cara untuk menentukan, yaitu :
1. Jika T (jumlah data time-series) > N (jumlah data cross-sectional), maka disarankan
menggunakan Fixed Effect Model (FEM).
2.
Jika N (jumlah data cross-sectional) > T (jumlah data time-series), maka disarankan
menggunakan Random Effect Model (REM).
3.
Jika efek cross-sectional berkorelasi dengan salah satu atau lebih variabel X, maka penaksir
FEM yang tak bias dan sesuai
Asumsi yang digunakan pada data panel adalah bahwa semua variabel bebas adalah
nonstochastic dan error term mengikuti asumsi klasik yaitu berdistribusi normal.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel Random Effect Model (REM).
Alasan pemilihan Random Effect Model (REM) adalah:
1. Mengacu kepada Nachrowi, Jika N (jumlah data cross-sectional) > T (jumlah data timeseries), maka disarankan menggunakan Random Effect Model (REM). Penelitian ini
menggunakan 66 data cross section dan 5 data time-series sehingga N (66) > T (5).
2. Berdasarkan hausman test. Hausman test ini bertujuan untuk membandingkan antara metode
fixed effect dan random effect.
H0 = Random Effect Model
Ha = Fixed Effect Model
H0 ditolak jika prob < 0.05. Nilai probabilitas hausman test adalah 0.0759 > α (0.05) sehingga
menolak Ha dan tidak dapat menolak H0. Berdasarkan hasil tersebut maka model yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Random Effect Model.
11
Model empiris dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada model yang dikembangkan
Aldasoro dan Zd’arek (2009) yang telah dimodifikasi, persamaan tersebut adalah sebagai berikut
:
𝐼𝑁𝐹𝑖,𝑑 = 𝛽0 + 𝛽1 𝐺𝑖,𝑑 + 𝛽2 π‘ˆπ‘€π‘ƒπ‘–,𝑑 + 𝛽3 𝑇𝐢𝑂𝑆𝑇𝑖,𝑑 + 𝛽4 π·π‘’π‘šπ‘šπ‘¦ + πœ€π‘–,𝑑
Dimana:
𝐼𝑁𝐹𝑖,𝑑
= Disparitas inflasi
UMP
= Upah minimum provinsi
G
= Belanja pemerintah daerah.
TCOST
= Biaya transportasi
BBM
= Dummy kenaikan harga BBM
β0 =....=βn
= Koefisien regresi
εit
= Koefisien error
Berdasarkan penelitian Aldasoro dan Zd’arek disparitas inflasi dapat dihitung dengan
menggunakan standar deviasi namun metode ini memiliki kelemahan yaitu datanya bias. Oleh
karena itu dalam penelitian ini tidak menggunakan standar deviasi dalam perhitungan disparitas
inflasi melainkan menggunakan rumus yang digunakan oleh Aldasoro dan Zd’arek dalam
penelitianya, yaitu sebagai berikut :
𝛿𝑑𝑖 = πœ‹π‘‘π‘– − πœ‹π‘‘
dimana 𝛿𝑑𝑖 adalah disparitas inflasi daerah i tahun ke-t, πœ‹π‘‘π‘– adalah inflasi daerah i tahun t dan πœ‹π‘‘
adalah inflasi nasional tahun t.
dan dispersi Δα΅’ diukur dengan akar kuadrat, dinotasikan sebagai berikut:
βˆ†α΅’ =
𝑁
𝑖2
𝑖=1 𝛿𝑑
𝑁
12
1
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Estimasi Random Effect Model
Berdasarkan hasil hausman test, maka model yang dipakai adalah Random Effect Model. Berikut
hasil dari estimasi Random Effect Model
Tabel 1
Hasil Regresi Random Effect Model Tahun 2008 – 2012
Variabel bebas
Koefisien
t-stat
prob
Konstanta
0.0083
1.553707
0.1212
G
-4.69E-07
-1.213962
0.2256
UMP
0.00297
0.443293
0.6578
TCOST
5.91E-06
3.322217
0.0010
Dummy
0.01509
5.316285
0.0000
R2 = 0.146758
F-stat = 13.975
DW = 1.65638
Sumber : Data diolah penulis
Dari hasil estimasi menunjukkan bahwa dengan derajat keyakinan 95% (α = 5%) diperoleh hasil
bahwa disparitas inflasi dipengaruhi oleh variabel biaya transportasi dan kebijakan kenaikan
harga BBM (Dummy). Nilai determinasi (R2) sebesar 0.146758 hal ini berarti bahwa variabel
belanja pemerintah daerah(G), upah minimum provinsi (UMP), biaya transportasi(TCOST) dan
kebijakan kenaikan harga BBM (Dummy) hanya mampu menjelaskan variasi pengaruh dari
disparitas inflasi sebesar 14.68%. Berdasarkan nilai probabilitas F-stat yaitu sebesar 0.00000,
13
maka secara keseluruhan variabel penjelas signifikan mempengaruhi disparitas inflasi antar
daerah di Indonesia tahun 2008 – 2012.
Pembahasan
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 1diatas, dapat diketahui bahwa biaya transportasi dan
kebijakan harga BBM positif dan signifikan mempengaruhi disparitas inflasi dengan derajat
keyakinan 1%. Semakin meningkatnya biaya transportasi akan menyebabkan disparitas inflasi
antar daerah juga semakin besar. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan maka, semakin
jauh jarak suatu daerah yang merupakan proksi dari biaya transportasi dengan ibu kota negara,
dalam kasus ini adalah Jakarta yang merupakan pusat kegiatan ekonomi akan menyebabkan
biaya angkut yang harus ditanggung oleh perusahaan semakin mahal. Selain itu biaya
transportasi juga akan meningkat dengan buruknya infrastruktur khususnya jalan raya. Hal ini
disebabkan karena rusaknya kondisi jalan raya akan membuat waktu tempuh pengiriman lebih
lama sehingga akan menaikkan biaya transportasi. Biaya transportasi merupakan salah satu biaya
produksi perusahaan. Jika biaya produksi mengalami peningkatan, maka perusahaan akan
mengambil tindakan menaikkan harga barang produksi karena tidak mau mengalami kerugian.
Selain biaya transportasi, dummy kebijakan harga BBM juga berpengaruh signifikan dan positif
terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun 2008 – 2012 dengan derajat keyakinan
1%. Setiap terjadi kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan disparitas inflasi antar
daerah di Indonesia. Harga bahan bakar minyak (BBM) ditentukan oleh pemerintah pusat
(administered price) karena mengusai hajat hidup orang banyak. Lonjakan kenaikan harga
minyak dipasar internasional menjadi beban berat bagi anggaran negara. Mengingat selama ini
pemerintah Indonesia masih memberikan subsidi untuk harga BBM. Oleh sebab itu kondisi
naiknya harga minyak dunia mengharuskan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Selama
periode penelitian ini pemerintah diketahui menaikkan harga BBM pada tahun 2008. Adanya
kenaikan harga BBM tersebut memicu terjadinya kenaikan harga barang secara umum dan
menimbulkan inflasi.
Jika dilihat lebih jauh variabel belanja pemerintah daerah dan upah minimum provinsi tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia.
Seperti terlihat pada tabel 1 bahwa nilai koefisien variabel belanja pemerintah daerah bernilai
14
negatif. Hasil temuan ini tentu saja tidak sesuai dengan hipotesis dan landasan teori yang berlaku
secara umum karena seharusnya berpengaruh positif terhadap inflasi. Hal ini diduga karena
adanya korelasi yang cukup kuat antara pengeluaran belanja pemerintah daerah dengan
penerimaan daerah yang terdiri dari pajak daerah dan retribusi. Artinya, semakin besar
pengeluaran belanja daerah, maka pemerintah daerah akan berusaha meningkatkan penerimaan
dari pajak daerah dan retribusi demi menutup pengeluarannya tersebut. Hal ini tentu saja sejalan
dengan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah
untuk mengelola keuangan daerah termasuk mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang
sah (Subekti, 2011).
Selanjutnya, berkenaan dengan dampak upah minimum provinsi yang tidak signifikan
berpengaruh terhadap disparitas inflasi di Indonesia, menurut hasil penelitian Subekti (2011)
bahwa yang terjadi di Indonesia adalah arah hubungan yang sebaliknya yaitu inflasi
mempengaruhi UMP bukan sebaliknya.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari peneltian ini adalah :
-
Biaya Transportasi dan kebijakan kenaikan harga BBM terbukti berpengaruh terhadap
disparitas Inflasi antar daerah di Indonesia.
-
Pengeluaran pemerintah daerah tidak terbukti berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar
daerah di Indonesia. Hal ini diduga karena adanya korelasi yang cukup kuat antara
pengeluaran belanja pemerintah daerah dengan penerimaan daerah yang terdiri dari pajak
daerah dan retribusi.
-
Upah Minimum Provinsi terbukti tidak berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah
di Indonesia. Hal ini diduga karena arah hubungan antara UMP dan inflasi yang terjadi di
Indonesia adalah inflasi mempengaruhi UMP tetapi tidak sebaliknya
15
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka implikasi kebijakan adalah sebagai
berikut :
-
Berdasarkan hasil peneltian bahwa kebijakan kenaikan harga BBM berpengaruh secara
signifikan terhadap disparitas Inflasi antar daerah di Indonesia, maka pada saat terjadi
koreksi terhadap harga BBM perlu disertai dengan kebijakan yang dapat meredam dampak
inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan koreksi harga BBM.
-
Selain itu dengan adanya bukti bahwa biaya transportasi berpengaruh terhadap disparitas
Inflasi antar daerah di indonesia, maka dalam rangka pengendalian inflasi nasional yang
menjadi tugas pokok Bank Indonesia, perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam hal
perbaikan infrastruktur terutama jalan raya. Mengingat rusaknya jalan raya akan berdampak
pada biaya produksi dan pada akhirnya akan mendorong inflasi.
Daftar Pustaka
Aldasoro,Juan Ignacio and Václav Žďárek.2009.Inflation Differentials in the Euro Area And
Their Determinants – an empirical view. William Davidson Institute Working Paper
Number 958 April 2009
Apriliawan, Tarno dan Yasin.2013.Pemodelan Laju Inflasi Di Provinsi Jawa Tengah
Menggunakan Regresi Data Panel.Jurnal Gaussian. Vol. 2, No. 4, Tahun 2013. 301-321
Asmanto, Priadi dan Soebagyo.2007.Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Dan Kebijakan
Fiskal Regional Terhadap Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi Regional Di Jawa
Timur (Periode 1995 – 2004). Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,April, Bank
Indonesia
Atmadja, A. S. (1999) : “Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya”,
Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, pp. 54-67
Baltagi, B. H., (2005), Econometric Analysis of Panel Data, Third Edition, John Wiley & Son,
Ltd. England.
16
Bank Indonesia.2012.Tinjauan ekonomi Regional Triwulan IV 2012. Jakarta
------------------------. Kegiatan Tim Pengendali Inflasi Daerah Triwulan II 2012. Jakarta
------------------.2013.Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV 2012. Jakarta
Blanchard, O. (2004) : “Macroeconomics”, 4th Ed. Prentice Hall. New Jersey
Chadidjah, Anna dan Elfiyan.2009.Model Regresi Data Panel untuk Menaksir Realisasi Total
Investasi Asing dan Dalam Negeri (Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat). ISBN: 978-97916353-3-2
Firdausi, Rizka,
Rahma, Fitriani dan Loekito.
Pengaruh Banyaknya Unit Cross-Sectional
Terhadap Pemilihan Model Efek Tetap Dan Model Efek Acak Pada Model Regresi Panel
Komponen Dua Arah. Universtitas Brawijaya
Gujarati, Damodar N.2006.Dasar – dasar Ekonometrika edisi ketiga jilid 1 .Jakarta:Erlangga
Lestari, Novi.2003.Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian
Regional Indonesia : Studi Kasus 26 Provinsi di Indonesia (Periode 1991 – 2001).
Perpustakaan Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Martellato, Dino.2006.Growth and Inflation Disparities in Corridor V.Working papers.Ca’
Foscari University of Venice
Marques, H., G. Pino and J.D. Tena.2009.Regional inflation dynamics using space-time models.
CRENOS Working Paper. No. 2009/15
Masri, Marius.2010.Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Inflasi Di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (Periode 2001 – 2008). Tesis Universitas Diponegoro Semarang.
Nanga,Muana.2001.makroekonomi: teori, masalah dan kebijakan edisi perdana.Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada hal 241 – 251
Prastowo, N.J., Tri Yunuarti, dan Yoni, Depari.2008.Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan
Harga Komoditas Dan Implikasinya Terhadap Inflasi. Working Paper No.WP/07/2008:
Bank Indonesia
Solikin.2007. “Karakteristik Tekanan Inflasi Di Indonesia : Pengaruh Dinamis Sisi PermintaanPenawaran dan Prospek Ke Depan. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari,
Bank Indonesia
17
Subekti, Adji.2011. Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
Wimanda, R. E. (2006). Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and
Determinants dalam Subekti, Adji.2011. Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran
Provinsi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Estimasi Random Effect Model/REM Pengaruh Belanja Pemerintah
daerah (G), Upah Minimum Provinsi (UMP), Biaya Transportasi (COST)
dan Kenaikan BBM (DBBM) Terhadap Disparitas Inflasi Antar Daerah
Tahun 2008-2012
Dependent Variable: INF?
Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)
Date: 01/28/14 Time: 17:58
Sample: 2008 2012
Included observations: 5
Cross-sections included: 66
Total pool (balanced) observations: 330
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
G?
UMP?
TCOST?
Dummy?
Random Effects (Cross)
_ACEH--C
_LOKSUMAWE--C
_SIBOLGA--C
_PEMATANGSIANTAR-C
_MEDAN--C
_PADANGSIDIMPUAN-C
_PADANG--C
_PEKANBARU--C
_DUMAI--C
_JAMBI--C
_PALEMBANG--C
0.008299
-4.69E-07
0.002974
5.91E-06
0.015093
0.005341
3.86E-07
0.006709
1.78E-06
0.002839
1.553707
-1.213962
0.443293
3.322217
5.316285
0.1212
0.2256
0.6578
0.0010
0.0000
6.23E-05
9.09E-05
0.000620
-0.000972
-0.002314
-0.002549
-0.000784
-0.000705
0.001409
0.000217
-0.001478
18
_BENGKULU--C
_BANDARLAMPUNG--C
_PANGKALPINANG--C
_TANJUNGPINANG--C
_BATAM--C
_JAKARTA--C
_BOGOR--C
_SUKABUMI--C
_BANDUNG--C
_CIREBON--C
_BEKASI--C
_DEPOK--C
_TASIKMALAYA--C
_PURWOKERTO--C
_SURAKARTA--C
_SEMARANG--C
_TEGAL--C
_YOGYAKARTA--C
_JEMBER--C
_KEDIRI--C
_MALANG--C
_PROBOLINGGO--C
_MADIUN--C
_SURABAYA--C
_SUMENEP--C
_TANGERANG--C
_CILEGON--C
_SERANG--C
_DENPASAR--C
_MATARAM--C
_BIMA--C
_MAUMERE--C
_KUPANG--C
_PONTIANAK--C
_SINGKAWANG--C
_SAMPIT--C
_PALANGKARAYA--C
_BANJARMASIN--C
_BALIKPAPAN--C
_SAMARINDA--C
_TARAKAN--C
_MANADO--C
_PALU--C
_WATAMPONE--C
_MAKASAR--C
_PAREPARE--C
_PALOPO--C
_KENDARI--C
_GORONTALO--C
_MAMUJU--C
_AMBON--C
_TERNATE--C
_JAYAPURA--C
_SORONG--C
_MONOKWARI--C
0.000489
0.001752
0.005020
-0.001448
-0.000249
0.000415
0.000575
-0.000647
0.000603
0.000138
-0.000553
-0.000682
-3.95E-05
-0.001137
0.002001
0.000293
0.000308
-0.001540
-0.001703
-0.001511
-0.001949
-0.001952
-0.000749
-0.000378
-0.001001
-0.000962
0.000402
0.000789
-0.000756
0.001530
0.001258
0.003634
3.82E-05
0.000852
0.000220
0.000323
0.000419
-0.000464
-9.18E-05
-0.000879
0.006325
-0.000871
-0.000598
0.000430
-0.002731
0.000100
0.002270
0.002023
-0.001723
-0.000992
0.000871
-0.002619
-0.003985
0.001877
0.003662
Effects Specification
19
S.D.
Cross-section random
Idiosyncratic random
0.004012
0.018425
Rho
0.0453
0.9547
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.146758
0.136257
0.018564
13.97507
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
0.017410
0.019974
0.111998
1.656383
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
Lampiran 2
0.153350
0.117151
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
0.019365
1.583538
Hasil Hausman Test
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: DISPARITAS
Test cross-section random effects
Test Summary
Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
6.877241
3
0.0759
20
Download