Masih Minim, Perkara Ekonomi Syariah yang

advertisement
www.pta-palembang.net/banding
Masih Minim, Perkara Ekonomi Syariah yang Ditangani Peradilan Agama
Kontribusi Dari aziz
Tuesday, 22 May 2012
Masih Minim, Perkara Ekonomi Syariah
yang Ditangani Peradilan Agama
Jakarta l Badilag.net Sengketa ekonomi syariah yang diselesaikan di peradilan agama masih sangat sedikit.
Berdasarkan data yang dihimpun Subdit Syariah Direktorat Pranata dan Tatalaksana Perkara Perdata Agama, selama
2011 perkara ekonomi syariah yang masuk ke peradilan agama hanya berjumlah lima. Dari lima perkara itu, dua
perkara ditangani PA di wilayah PTA Semarang dan tiga perkara ditangani PA di wilayah PTA Yogyakarta. Hingga akhir
tahun 2011, satu perkara di wilayah Jawa Tengah sudah diputus dan satu perkara masih dalam proses. Sementara itu,
di wilayah Yogyakarta, perkara yang sudah diputus baru satu dan dua lainnya masih disidangkan.
Dibandingkan dengan jumlah perkara keseluruhan yang ditangani peradilan agama, jumlah perkara ekonomi syariah
memang terbilang minim. Secara keseluruhan, selama tahun 2011, pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan
agama menerima 363.041 perkara. Dari jumlah itu, lebih dari 90 persen merupakan perkara yang berkaitan dengan
sengketa perkawinan. Selain itu, minimnya perkara ekonomi syariah itu juga berbanding terbalik dengan upaya-upaya
yang telah dan sedang dilakukan kalangan peradilan agama untuk menyongsong kewenangan baru di bidang sengketa
ekonomi syariah. Berbarengan dengan penyusunan hukum materiil dan formil mengenai sengketa ekonomi syariah,
para hakim peradilan agama juga turut meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Kini tidak sedikit hakim
peradilan agama yang menempuh studi S-2 dan S-3 dengan memfokuskan diri pada bidang ekonomi syariah. Berbagai
pelatihan pun diselenggarakan. Beberapa di antara pelatihan itu bahkan difasilitasi oleh negara Timur-Tengah seperti
Saudi Arabia dan Sudan. Meski demikian, kewenangan peradilan agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah
yang telah tertulis secara eksplisit di Pasal 49 UU 3/2006 dan pesatnya pertumbuhan perbankan serta lembaga
keuangan syariah ternyata tidak menjamin akan banyak sengketa ekonomi syariah yang dibawa ke peradilan agama.
Beragamnya opsi penyelesaian sengketa ekonomi syariah kerap disebut-sebut sebagai penyebabnya. Selain melalui
jalur litigasi di peradilan agama, sengketa ekonomi syariah memang dapat pula diselesaikan melalui jalur non-litigasi,
misalnya dengan mediasi atau arbitrase. Opsi mana yang dipilih para pihak tergantung pada kesepakatan yang
tertuang dalam akad. Jika para pihak membuat klausula arbitrase, maka penyelesaian sengketa akan dibawa ke
lembaga arbitrase. Kesepakatan pemilihan lembaga arbitrase itu bisa dilakukan sebelum timbul sengketa (pactum de
compromittendo) maupun setelah timbul sengketa (acta compromis). Di luar lembaga peradilan, lembaga penyelesaian
sengketa ekonomi syariah yang sudah cukup lama eksis di Indonesia adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas). Dibentuk oleh MUI hampir 20 tahun yang lalu, sengketa ekonomi syariah yang diselesaikan lembaga ini
juga tidak seberapa. Berdasarkan data dari hukumonline, sejak 1993 ketika masih bernama BAMUI (Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia) hingga tahun 2007, sengketa yang ditangani Basyarnas hanya berjumlah belasan. Baru-baru ini,
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) juga membentuk lembaga mediasi yang mereka namai Badan Mediasi Ekonomi
Syariah (Bames). Menurut Sekjen MES Muhammad Syakir Syula, Bames akan berperan dalam memediasi para pihak
yang bersengketa di pengadilan sebelum sidang memasuki agenda pemeriksaan pokok perkara. Kuncinya kepercayaan
Sama dengan praktik ekonomi lainnya, dalam ekonomi syariah, sengketa juga tetap ada. Menurut Direktur Bank Syariah
Mandiri Hanawijaya, sengketa antara nasabah dan pihak bank syariah selama ini lebih banyak dipicu oleh tiga hal. Yang
pertama adalah adanya perbedaan penafsiran mengenai akad yang sudah disepakati. Masalah kedua adalah adanya
perselisihan ketika transaksi sudah berjalan. Dan ketiga, adanya kerugian yang dialami salah satu pihak sehingga
melakukan wanprestasi. Dalam satu seminar di UIN Ciputat, Prof Veitzal Rivai menjelaskan bahwa pada dasarnya
perbankan dan lembaga keuangan syariah cenderung tidak ingin menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi. Cara
yang ditempuh biasanya adalah musyarawarah secara internal antara pihak bank syariah dan nasabah. “Kalau ke
pengadilan, penyelesaiannya lama. Pihak bank juga sangat menghindari perkaranya terekspose, sebab hal ini
berkaitan dengan persepsi dan kepercayaan publik,― ungkap salah satu Ketua MES itu. Soal trust ini juga disinggung
oleh Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Dr. Ahmad Kamil, tapi dalam konteks yang lain, ketika memberi sambutan
dalam acara penandatanganan MoU antara Badilag, MES dan HISSI belum lama ini. “Biarlah pihak luar yang
memberikan kepercayaan kepada kita. Kuncinya adalah moral dan profesionalitas,― tandasnya.
http://www.pta-palembang.net/banding
Menggunakan Joomla!
Generated: 27 October, 2017, 20:48
Download