penyelesaian sengketa investasi asing di sektor pertambangan

advertisement
1
PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING
DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA DI INDONESIA
DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL
Istiadiningdyah, Lita Arijati, Mutiara Hikmah
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok
[email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas penyelesaian sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia dalam
kaitannya dengan hukum perdata internasional. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan metode
yuridis empiris. Hasil penelitian menyarankan agar Majelis Arbitrase Internasional dan para pihak dalam KK dan
PKP2B untuk lebih memperhatikan penerapan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK dan
PKP2B (governing law), sekaligus sebagai hukum materiil (substantive law) dalam proses arbitrase internasional
untuk menyelesaikan perkara-perkara utama HPI di dalamnya.
The Settlement of Foreign Investment Dispute in Mineral and Coal Mining Sector in
Indonesia in Relation to Private International Law
Abstract
The focus of this study is the settlement of foreign investment dispute in mineral and coal mining sector in
Indonesia in relation to private international law. This study uses a juridical normative and empirical methods.
The results suggest that the International Arbitration Tribunal and the parties in KK and PKP2B to pay more
attention to the implementation of Indonesian law as the governing law in KK and PKP2B, as well as the
substantive law in the process of international arbitration to resolve major matters of HPI in it.
Keywords: foreign investment, mineral and coal mining, international arbitration
Pendahuluan
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, batas nonfisik antarnegara semakin sulit
untuk dibedakan dan bahkan cenderung tanpa batas (borderless state). Hal ini berdampak
pada peluang investasi yang terbuka luas, salah satunya dalam penanaman modal asing.
Indonesia dengan tingkat perekonomian yang melaju pesat hingga mencapai posisi 16 besar
dari seluruh negara di dunia tentu mampu menarik masuknya investasi pihak asing yang
sebagian besar masih tertuju pada sektor-sektor tradisional, seperti sektor bahan mentah
(resources), domestik, dan infrastruktur. Sektor bahan mentah berupa pertambangan mineral
dan batubara (untuk selanjutnya disebut “minerba”) memerlukan biaya yang cukup tinggi dan
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
2
teknologi yang canggih dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, dalam rangka
memaksimalkan potensi minerba, Pemerintah Indonesia membuka pintu bagi masuknya
modal asing dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
Pemerintah Indonesia memerlukan modal asing demi peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan ilmu pengetahuan, salah satunya dalam hal perwujudan alih
teknologi yang akan sangat mempengaruhi proses transformasi dari agraris menuju
industrialisasi. Hal ini penting di dalam pelaksanaan proyek-proyek pertambangan minerba,
khususnya dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta kegiatan pengolahan dan
pemurnian bahan galian. Di sisi lain, para investor asing memiliki motif tertentu di dalam
pengelolaan pertambangan minerba di Indonesia, yaitu memperoleh keuntungan yang
maksimal. Pertambangan batubara yang semakin hari semakin meningkat karena banyaknya
permintaan dari dalam negeri dan luar negeri mempengaruhi perusahaan-perusahaan
pertambangan dengan modal asing di dalamnya untuk memaksimalkan produksinya. Situasi
seperti ini memunculkan perbedaan cara pandang antara Pemerintah Indonesia dengan para
investor asing. Investor asing memikirkan apa yang bisa mereka dapatkan sebesar mungkin
dalam waktu yang singkat, sedangkan pemerintah lebih memikirkan pemanfaatan secara
maksimal dan selama mungkin dari sumber daya alam ini. Diharapkan tidak terjadi kondisi
pada suatu saat rakyat Indonesia membutuhkan batubara, tetapi sudah tidak tersedia lagi di
negeri ini atau terpaksa harus mengimpor batubara yang tentunya akan menjadi beban bagi
masyarakat pengguna energi. Dengan adanya tantangan situasi yang seperti ini maka
Pemerintah Indonesia melakukan berbagai perubahan kebijakan di sektor pertambangan
minerba.
Kebijakan Pertambangan Minerba dan Investasi Asing di Indonesia
Kebijakan yang mengatur kegiatan usaha pertambangan minerba di Indonesia
dimulai sejak Pemerintah Hindia Belanda mengundangkan Indische Mijnwet (Staatblad 1899214) pada tahun 1899. Indische Mijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan
galian dan pengusahaan pertambangan. Semasa Hindia Belanda ini, usaha pertambangan
dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh swasta dengan menggunakan berbagai bentuk
kerja sama, tetapi yang berperan dalam penanaman modal asing adalah sistem Konsesi
Pertambangan dan Kontrak 5a. Selanjutnya, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke
Indonesia, pada tahun 1960, Pemerintah Indonesia menerbitkan suatu Peraturan Pemerintah
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
3
Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi UU No. 37 Prp Tahun 1960 tentang
Pertambangan, yang mengakhiri berlakunya Indische Mijnwet 1899 yang tidak selaras dengan
cita-cita kepentingan nasional. Undang-undang pertambangan nasional yang pertama ini
mengizinkan Pemerintah menarik modal asing untuk mengembangkan eksplorasi dan
eksploitasi pertambangan berdasarkan pola Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing
Contract). Undang-undang ini kemudian digantikan dengan UU No.11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, yang dianggap lebih sesuai dengan kenyataan
yang ada dalam rangka mengembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesia dimasa itu dan
dikemudian hari.
Pada UU No. 11 Tahun 1967, kegiatan penanaman modal asing di sektor
pertambangan minerba diatur dalam dua jenis kontrak yang merupakan framework untuk
pemilik modal asing, yaitu “Kontrak Karya” (KK) untuk pertambangan mineral dan
“Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara” (PKP2B) untuk pertambangan
batubara, serta adanya "Kuasa Pertambangan" (KP) yang merupakan framework untuk
pemilik modal dalam negeri. Ketiganya merupakan faktor yang menentukan perkembangan
signifikan industri pertambangan di Indonesia selama hampir tiga puluh tahun ini, namun
tidak dapat dipungkiri bahwa UU No. 11 Tahun 1967 juga memiliki kelemahan, yaitu memuat
kebijakan mengenai pola penguasaan dan pengusahaan bahan galian pertambangan minerba
yang tidak selalu harus diusahakan oleh negara, tetapi dapat diusahakan juga oleh pelaku
ekonomi di luar sektor negara, yakni salah satunya adalah swasta asing. Pemerintah Indonesia
menginginkan adanya peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan minerba yang
dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri untuk
menjamin pembangunan nasional berkelanjutan. Hal ini menjadi salah satu penyebab
diwacanakan adanya Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara yang
baru.
Pada tanggal 16 Desember 2008, setelah melalui 9 tahun negosiasi alot, akhirnya
sidang paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan
Batubara menjadi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang
menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Menyadari bahwa minerba sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
merupakan salah satu sumber daya alam yang tak terbarukan (unrenewable) dimana
menempati posisi yang penting dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
4
maka pemerintah melakukan kebijakan atas penguasaan dan pengusahaan untuk mencapai
tujuan tersebut. Dalam undang-undang ini bentuk kerja sama penanaman modal asing
diterapkan melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK).
Ketika UU No. 4 Tahun 2009 mulai diberlakukan, muncul berbagai persoalan,
diantaranya keinginan mengubah KK ataupun PKP2B yang sudah ada, sistem IUP kurang
memberikan jaminan hukum, wilayah untuk eksplorasi yang terlampau kecil, dan kewajiban
pemurnian (smelter) yang tidak dapat diterapkan untuk semua lini. Secara garis besar, UU No.
4 Tahun 2009 mengubah konsep pengelolaan industri pertambangan di Indonesia sehingga
memunculkan terjadinya overlapping regulation. Pada saat yang bersamaan muncul undangundang lain yang berpotensi menambah beban industri sehingga industri pertambangan
terhambat perkembangannya. Hal ini menjadikan jaminan investasi asing pada sektor
pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dinilai semakin memburuk terutama
disebabkan masalah kepastian hukum dan pelayanan birokrasi.
Kepastian hukum di sektor pertambangan minerba pasca disahkannya UU No. 4
Tahun 2009 menjadi persoalan utama yang diperbincangkan oleh berbagai pihak. UU No. 4
Tahun 2009 memunculkan suatu perubahan yang amat drastis meskipun berbagai hal dalam
UU No. 11 Tahun 1967 masih diatur secara berkesinambungan. Kelemahan dari pembentukan
undang-undang yang baru adalah tidak mengingat bahwa sistem tersebut telah berjalan.
Rezim yang ada sekarang berubah dari sistem kontrak menjadi sistem perizinan. Hal ini tentu
menimbulkan dampak terkait forum yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa investasi
asing. Apakah arbitrase internasional, arbitrase nasional, atau pengadilan Indonesia yang
menjadi kompetensi relatif dalam menyelesaikan sengketa.
Investasi asing di sektor pertambangan dimulai sejak diundangkannya UU No. 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan. Perkembangan tersebut ditandai dengan ditandatanganinya
kontrak pertambangan pertama pada bulan April 1967 antara Pemerintah Indonesia dengan
Freeport McMoran dari Amerika yang dikenal sebagai Kontrak Karya Generasi I.
Berdasarkan data Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, per 29
Agustus 2012, kontrak tambang besar tercatat sebanyak 111 yang terdiri dari 37 KK dan 74
PKP2B.
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
5
Penanaman modal asing pada UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
yang menggantikan ketentuan sebelumnya, yakni UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing, diartikan sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang
menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal
dalam negeri. Prosedur penanaman modal asing di sektor pertambangan minerba oleh investor
asing pada dasarnya sama dengan prosedur ketika diberlakukan UU No. 1 Tahun 1967, yakni
harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas (PT) dan berkedudukan di
Indonesia.
2. Pengajuan izin ke BKPM untuk mendirikan Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing
(PT PMA).
3. Investor asing wajib memperhatikan ketentuan divestasi saham di sektor pertambangan
minerba. Divestasi saham wajib dilakukan setelah lima tahun sejak berproduksi sehingga
pada tahun kesepuluh saham yang dimiliki peserta Indonesia minimal 51%. Peraturan
terbaru mengenai divestasi saham tercantum dalam Permen ESDM No. 27 Tahun 2013
tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham, serta Perubahan Penanaman
Modal di Bidang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia pada tanggal 13 September 2013.
Sengketa Investasi Asing di Sektor Pertambangan Minerba di Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
hingga digantikan oleh UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tentunya telah
muncul berbagai macam sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah Indonesia,
investor dalam negeri, dan investor asing yang berhasil diselesaikan. Salah satu alasan
terjadinya sengketa karena kerja sama dalam kontrak yang tidak relevan dengan kenyataan di
dalam penerapannya. Hal yang penting untuk diperhatikan dari proses penyelesaian sengketa
investasi asing di sektor pertambangan minerba adalah hukum yang berlaku dalam kontrak
yang akan menjadi landasan bagi hukum acara atas forum yang telah disepakati oleh para
pihak di dalam kontrak dan pentingnya peranan Pemerintah Indonesia dalam memberlakukan
hasil keputusan forum yang berwenang menyelesaikan sengketa demi tercapainya keadilan
dan kepastian hukum bagi para pihak. Klausula arbitrase internasional yang tercantum di
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
6
dalam kontrak menunjukkan pentingnya peranan lembaga arbitrase internasional untuk
memutus sengketa dan lembaga pengadilan di Indonesia untuk memberlakukan hasil putusan
arbitrase internasional itu di teritorialnya. Adanya keterlibatan badan hukum asing di dalam
investasi asing pada kontrak bisnis internasional yang berdimensi publik, dan arbitrase
internasional sebagai pilihan penyelesaian sengketa dalam perjanjian mengakibatkan sengketa
yang timbul mengandung unsur asing (foreign element), yang menjadikan hubunganhubungan tersebut menjadi internasional.
Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Asing di
Sektor Pertambangan Minerba di Indonesia Berdasarkan Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
A. Status Personal Para Pihak dalam KK dan PKP2B sebagai Badan Hukum
Yurisprudensi di Indonesia belum memberikan ketegasan mengenai persoalan status
personal badan hukum ini, namun pada praktiknya, Indonesia dengan civil law system
menganut gabungan dari Prinsip Inkorporasi dan Prinsip Tempat Kedudukan Manajemen
Efektif untuk menentukan status personal suatu badan hukum. Subjek hukum dalam bentuk
kerja sama penanaman modal asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia berupa KK
dan PKP2B terdiri atas:
1. Negara Indonesia
KK dan PKP2B bukanlah kuasa dari negara kepada kontraktor, melainkan kontrak
kerja sama antara negara dengan kontraktor dalam pengelolaan pertambangan minerba. Hal
ini karena Negara Indonesia merupakan badan hukum Indonesia yang melakukan perbuatan
perdata. Status personal Negara Indonesia tunduk pada hukum Indonesia. Posisi negara dalam
hubungan kontraktual ini kapasitasnya sebagai pemilik pertambangan minerba, sedangkan
lawannya yaitu kontraktor berkapasitas sebagai pelaksana dalam pengelolaan pertambangan
minerba di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, kedudukan negara atau Pemerintah Indonesia
setara dengan kontraktor. Dalam sistem kontrak, kesetaraan di antara para pihak, termasuk
negara, merupakan sebuah prasyarat mengingat kontrak membutuhkan kesepakatan. Posisi
yang demikian dalam perspektif hukum perdata mengakibatkan negara kesulitan dan tidak
terlindungi bila nantinya muncul sengketa berdasarkan kontrak kerja sama.
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
7
2. Kontraktor
Kontraktor adalah perusahaan swasta yang melakukan pengusahaan pertambangan.
Kontraktor KK dan kontraktor PKP2B yang dibentuk dalam rangka PMA
tidak bisa
disamakan dengan perusahaan modal asing biasa di Indonesia. Kontraktor berupa PT PMA
ini termasuk salah satu kategori MNE (Multinational Enterprise), yaitu joint venture yang
menggunakan keahlian, modal, fasilitas, dan tenaga asing berdasarkan kontrak. Hal ini
berdampak dalam kenyataannya berbagai pengambilan keputusan yang menyangkut
pengelolaan perusahaan yang bersangkutan tidak terlepas dari keinginan perusahaan di luar
negeri yang memberikan bantuan, keahlian, pinjaman modal, dan lain-lain keperluan
perusahaan di Indonesia, sekalipun menurut hukum seluruh modalnya ada di tangan orang
Indonesia. Dengan demikian, untuk mengetahui status personal dari kontraktor yang dibentuk
dalam rangka PMA pengusahaan pertambangan minerba di Indonesia maka perlu
diperhatikan juga status personal dari perusahaan induknya yang berupa MNE dengan
merujuk pada salah satu prinsip yang digunakan sebagai pedoman untuk menentukan status
personal badan hukum. Status personal kontraktor dalam KK dan PKP2B yang dibentuk
dalam rangka PMA (PT PMA) inilah yang merupakan salah satu unsur asing dalam hubungan
HPI.
3. Perusahaan Swasta Asing
Perusahaan Swasta Asing merupakan penanam modal asing dalam kegiatan
pengelolaan pertambangan minerba di Indonesia. Sebagian besar perusahaan swasta asing
dalam pengusahaan pertambangan minerba di Indonesia merupakan sebuah perusahaan MNE.
Hal ini disebabkan investasi dalam pengelolaan pertambangan minerba membutuhkan modal
sangat besar yang kebanyakan hanya dimiliki oleh MNE yang telah berpengalaman bertahuntahun dari segi bisnis dan teknik pertambangan. Oleh karena itu, untuk mengetahui status
personal perusahaan swasta asing maka perlu dianalisis bagaimana penerapan prinsip status
personal badan hukum pada masing-masing MNE tersebut.
4. Perusahaan Nasional
Perusahaan nasional merupakan pihak yang melakukan perjanjian patungan (joint
venture agreement) dengan perusahaan asing dalam membentuk kontraktor berupa PT PMA.
Perusahaan nasional dalam pengusahaan penanaman modal asing di sektor pertambangan
minerba di Indonesia berstatus sebagai Perseroan Terbatas (PT) yang berbadan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Meskipun belum ada ketentuan khusus yang
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
8
mengatur mengenai hal tersebut, Penjelasan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri menyebutkan bahwa dalam hal kerja sama penanaman
modal seyogyanya dijalankan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Dengan demikian,
status personal perusahaan nasional tunduk pada hukum Indonesia.
B. Hukum Indonesia sebagai Hukum yang Berlaku dalam KK dan PKP2B
KK dan PKP2B adalah bentuk kontrak kerja sama PMA di sektor pertambangan
minerba yang masih tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak tersebut,
sembari dilakukan tahapan renegosiasi kontrak. Hukum yang berlaku dalam KK dan PKP2B
adalah “Hukum Indonesia”. Ketentuan mengenai hukum yang berlaku dapat dilihat pada pasal
mengenai Governing Law di dalam KK dan PKP2B. Berdasarkan titik pertalian obyektif,
terdapat hubungan erat antara KK dan PKP2B dengan hukum Indonesia. Pada umumnya
hukum yang berlaku atas kontrak yang dibuat antara suatu negara dengan pribadi perdata
adalah hukum nasional dimana kontrak tersebut dibuat dan dilaksanakan. Disamping itu,
tempat dilaksanakannya perjanjian merupakan suatu faktor yang penting bagi perjanjian. Hal
ini karena hakekat dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan.
Penetapan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK dan PKP2B
telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Hukum Indonesia sebagai hukum
yang berlaku dapat disimpulkan dari dasar hukum keberlakuan KK dan PKP2B sebagai
berikut: (a) Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, (b) Pasal 10 UU No. 11 Tahun 1967, (c)
Pasal 8 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat
diketahui bahwa pertambangan minerba merupakan cabang produksi sekaligus sumber daya
alam yang berperan penting bagi kehidupan ekonomi Indonesia demi mencapai kemakmuran
rakyat Indonesia. Setiap sumber daya alam harus mampu menjadi sumber ekonomi baru bagi
negara. Dengan mempertimbangkan pentingnya peranan pertambangan minerba tersebut di
Indonesia maka diperlukan pengaturan khusus mengenai sektor pertambangan, yaitu UU No.
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing, serta berbagai peraturan pelaksananya. Dengan demikian,
pengaturan di sektor pertambangan minerba di Indonesia termasuk ke dalam kaidah super
memaksa yang mensyaratkan untuk selalu menggunakan hukum Indonesia dalam KK dan
PKP2B.
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
9
C. Arbitrase Internasional sebagai Forum yang Berwenang Menyelesaikan Sengketa
Investasi Asing dalam KK dan PKP2B
Salah satu elemen yang esensial dalam perlindungan investasi asing adalah adanya
tata cara penyelesaian sengketa. Meskipun semua pihak dalam KK dan PKP2B menginginkan
kegiatan pertambangan minerba di Indonesia berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan
permasalahan, tetap saja undang-undang harus mencatumkan aturan dan mekanisme
penyelesaian sengketa. Ketentuan ini bersifat melekat (inherent) yang harus terdapat dalam
legislasi investasi. Pilihan penyelesaian sengketa investasi asing pada era UU No. 11 Tahun
1967 jo. UU No. 1 Tahun 1967 adalah melalui arbitrase. Hal ini tercantum dalam Pasal 22
ayat (2) dan (3) UU No. 1 Tahun 1967 yang memuat cara penyelesaian sengketa melalui
arbitrase atas “sengketa mengenai tindakan suatu negara”, yakni tindakan Pemerintah
Indonesia melakukan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaanperusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau
mengurus perusahaan yang bersangkutan. Selain ketentuan tersebut, kedua belah pihak yang
bersengketa tunduk pada pasal tentang penyelesaian sengketa yang tertuang di dalam KK
maupun PKP2B yang telah disepakati. Pasal-pasal dalam KK dan PKP2B ini sama-sama
memuat klausula penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Pengaturan penyelesaian sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba di
Indonesia lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 169 a UU No. 4 Tahun 2009 jo. Pasal 32 ayat
(1), (2), dan (4) UU No. 25 Tahun 2007. KK dan PKP2B yang telah ada sebelum UU No. 4
Tahun 2009 disahkan tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian
sehingga perlu disimak mekanisme penyelesaian sengketa yang tertuang di dalam KK dan
PKP2B. Selanjutnya, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut
melalui jalur musyawarah dan mufakat, tetapi apabila tidak tercapai kesepakatan maka akan
diselesaikan dengan menempuh jalur arbitrase internasional yang telah disepakati oleh para
pihak. Ketentuan penyelesaian sengketa tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah tidak dapat
melakukan tindakan sepihak, tetapi atas dasar kesepakatan atau berdasarkan putusan pihak
ketiga baik secara yustisial maupun non yustisial. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
para pihak yang bersengketa akan memilih forum arbitrase internasional sebagaimana yang
telah disepakati dalam KK ataupun PKP2B yang berlaku.
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
10
Arbitrase internasional merupakan forum yang hingga saat ini paling sering dipilih
oleh para pihak di dalam KK maupun PKP2B untuk menyelesaikan sengketa investasi asing
di sektor pertambangan minerba yang melibatkan banyak unsur asing di dalamnya.
Keterlibatan banyak unsur asing ini mengakibatkan tidak dapat dikesampingkannya
pentingnya penerapan Hukum Perdata Internasional untuk menganalisa kasus-kasus yang ada.
Disamping itu juga, dengan adanya pertimbangan bahwa Pemerintah Indonesia telah
melakukan ratifikasi Konvensi ICSID 1965 dan ikut menandatangani resolusi PBB pada
tanggal 15 Desember 1976 yang melahirkan UNCITRAL Arbitration Rules 1976 , maka atas
dasar kesepakatan kedua belah pihak, sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase
internasional. Ratifikasi terhadap instrumen internasional yang berkaitan dengan investasi ini
juga merupakan bentuk lain dari perlindungan investasi.
Sesuai yang lazim berlaku, berbagai langkah dan tahapan yang dilakukan dalam
kategori penyelesaian sengketa yang pertama adalah: (a) melalui negosiasi, (b) konsultasi, (c)
pengadilan nasional yang berkompeten dari negara penerima penanaman modal, (d) melalui
arbitrase ICSID, (e) badan pengadilan arbitrase ad hoc di bawah UNCITRAL, atau (f)
pengadilan arbitrase ad hoc lain yang disetujui oleh kedua pihak. KK dan PKP2B merupakan
perjanjian penanaman modal yang menggunakan penyelesaian sengketa antara negara pihak
dalam perjanjian (contracting party) sebagai tuan rumah (host country) dengan penanam
modal (investor) dari negara pihak yang lain (other contracting party) dalam perjanjian. Hal
ini dapat diketahui dari klausula penyelesaian sengketa di dalam KK dan PKP2B.
Kemungkinan hukum yang berlaku ketika para pihak menyepakati arbitrase
internasional sebagai pilihan forum antara lain:
1. Hukum materiil (substantive law), adalah hukum yang digunakan untuk memutus perkara
oleh Majelis Arbitrase dengan mempertimbangkan adanya batas-batas pada pilihan
hukum. Hukum materiil ini bisa ditentukan oleh para pihak yang bersengketa dalam
kontrak yang dikenal dengan istilah governing law, atau apabila tidak disepakati oleh para
pihak maka ditentukan oleh Majelis Arbitrase.
2. Hukum formil atau hukum acara (procedural law), adalah hukum yang mengikat Majelis
Arbitrase dan para pihak dalam proses pemeriksaan hingga adanya putusan. Hukum acara
arbitrase ini sering juga disebut sebagai curial law.
3. Lex arbitri, adalah hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa
melalui arbitrase atau hukum dimana putusan arbitrase dijatuhkan.
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
11
D. Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Pada kontrak penanaman modal asing yang dibuat oleh para pihak dalam melakukan
kerja sama di sektor pertambangan mineral maupun batubara di Indonesia telah disepakati
arbitrase internasional sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa. Meskipun para pihak
memiliki kebebasan melakukan pilihan forum, tetapi para pihak tidak memiliki kewenangan
untuk menentukan hukum formil yang berlaku. Hal ini karena hukum formil dalam arbitrase
ditentukan dari apakah para pihak akan menggunakan arbitrase ad hoc atau arbitrase
institusional. Hukum formil atau procedural law yang berlaku dalam kedua jenis arbitrase
internasional tersebut adalah hukum acara perdata internasional.
Hukum
acara
perdata
internasional
bersumber
dari
perjanjian-perjanjian
internasional, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Disamping hukum materiil,
hukum formil juga menjadi landasan untuk menentukan sistem hukum yang dapat diterapkan
dalam putusan atau sistem hukum untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian, putusan
arbitrase internasional tunduk pada aturan hukum acara perdata internasional yang berlaku
pada saat jalannya proses persidangan arbitrase.
Persoalan HPI muncul ketika pihak yang dimenangkan dalam putusan arbitrase
internasional akan mengajukan permohonan eksekusi atau pelaksanaan terhadap putusan itu
di Indonesia, dimana putusan arbitrase internasional yang tunduk pada hukum acara perdata
internasional merupakan unsur asing berdasarkan hukum Indonesia. Oleh karena itu, sebelum
suatu putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan maka penting untuk
diperhatikan apakah hukum negara Indonesia telah memberikan pengaturannya atau tidak.
Kesimpulan
1. Pada awal tahun 2000, Pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwa mineral dan
batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan salah satu
sumber daya alam yang tak terbarukan (unrenewable) dan berperan penting dalam usaha
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sejak saat itu muncul perbedaan cara
pandang antara Pemerintah Indonesia dengan para investor asing. Investor asing
memikirkan apa yang bisa mereka dapatkan sebesar mungkin dalam waktu yang singkat,
sedangkan pemerintah lebih memikirkan pemanfaatan secara maksimal dan selama
mungkin dari sumber daya alam ini. Dengan adanya tantangan situasi yang seperti ini
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
12
maka Pemerintah Indonesia melakukan berbagai perubahan kebijakan di sektor
pertambangan minerba, salah satunya melalui UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
perubahan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia berdampak pada
munculnya sengketa investasi asing dengan pihak investor asing.
2. KK dan PKP2B merupakan kontrak bisnis internasional yang dibuat antara Negara
Indonesia, Kontraktor, Perusahaan Swasta Asing, dan Perusahaan Nasional. Di dalamnya
terdapat unsur-unsur asing (foreign elements) yang berkaitan erat dengan kaidah-kaidah
HPI. Hal ini menjadikan sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba
merupakan sengketa HPI. Aspek-aspek HPI dalam penyelesaian sengketa investasi asing
di sektor pertambangan minerba di Indonesia berdasarkan KK dan PKP2B antara lain:
perbedaan status personal para pihak dalam KK dan PKP2B sebagai badan hukum, hukum
Indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK dan PKP2B merupakan hal baku yang
tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak meskipun mereka tunduk pada hukum negara
yang berbeda-beda, arbitrase Internasional sebagai forum yang berwenang menyelesaikan
sengketa investasi asing dalam KK dan PKP2B, dan permohonan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional di Indonesia. Aspek-aspek tersebut merupakan faktor yang
menunjukkan adanya hubungan HPI dalam kegiatan investasi asing di sektor
pertambangan minerba di Indonesia, termasuk dalam proses penyelesaian sengketa antara
para pihak.
3. HPI Indonesia adalah hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa.
Sebagaimana dikatakan oleh Sudargo Gautama bahwa sumber dari HPI adalah hukum
nasional suatu negara sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa “Hukum Indonesia”
adalah hukum yang berlaku untuk menyelesaikan sengketa investasi asing di sektor
pertambangan minerba di Indonesia. Hal ini dapat ditinjau dari: penerapan hukum
indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK maupun PKP2B, hukum Indonesia
adalah hukum yang digunakan sebagai hukum materiil (substantive law) dalam proses
arbitrase internasional, dan hukum Indonesia sebagai hukum negara tempat pelaksanaan
putusan arbitrase internasional.
Saran
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
13
Berdasarkan pada hasil pembahasan yang telah dilakukan dalam bab-bab
sebelumnya maka saran yang diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut: hal penting untuk
diperhatikan pada perubahan kebijakan pertambangan minerba di Indonesia melalui UU No.
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan menjadi UU No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah perubahan rezim kontrak ke rezim
perizinan. Hendaknya KK dan PKP2B sebagai kontrak bisnis internasional antara pemerintah
dengan penanam modal tetap dihormati keberlakuannya oleh Pemerintah Indonesia dengan
cara melakukan prosedur renegosiasi kontrak dengan tidak mengurangi nilai komersial dari
hal-hal yang diperjanjikan sebelumnya. Negosiasi dalam hal ini akan membantu mengurangi
munculnya sengketa antara kedua belah pihak ke jalur arbitrase internasional. Posisi Negara
Indonesia sebagai pihak dalam KK dan PKP2B yang setara dengan penanam modal (investor
asing dan investor lokal) sangat tidak menguntungkan karena tanggung jawab negara dalam
posisi ini adalah tidak terbatas. Aset negara akan terekspos untuk membayar ganti rugi apabila
mengalami kekalahan dalam arbitrase internasional.
Daftar Referensi
Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
__________. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002.
__________. Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal. Bandung: Keni Media, 2011.
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I, Buku ke 7. Bandung: Alumni,
2010.
______________.Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid III Bagian 2 Buku ke-8. Bandung: Alumni, 2007.
______________.Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1996.
______________.Kontrak Dagang Internasional: Himpunan Ceramah dan Prasaran. Bandung: Alumni, 1976).
Hikmah, Mutiara. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia. Jurnal Hukum
Internasional, Vol.5, No. 2, Januari 2008.
Salim HS. Hukum Pertambangan di Indonesia. Edisi Revisi, cet. III. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007.
Sutrisno, Budi dan Salim HS. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.
Juwana, Hikmahanto. Kontrak Bisnis Berdimensi Publik. Dalam Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum
Internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Universitas Indonesia
Penyelesaian sengketa.…, Istiadiningdyah, FH UI, 2014
Download