"Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu terdapat pelajaran bagimu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mUdah ditelan bagi orang-orang yang hendak meminumnya." (An-Nahl ayat 66) kupersembahkan buat: papa, mama, kakak Hukidi, uni Lydia Benny, Mumun, Arie dan Ririn serta abang Yel tercinta SI D I~ { I LATAR BELAKANG KAUSA INFEKSIOUSA SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP INFERTILITAS SAPI BETINA oleh RUDHASTIA B. 16 0891 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN eOGOR 1 9 B 5 RINGKASAN RUDHASTIA. Latar Belakang Kausa Infeksiousa serta Hubung- annya terhadap Infertilitas Sapi Betina (Di bawah bimbingan R. KURNIA ACHJADI). Populasi ternak di Indonesia khupusnya sapi cenderung mengalami penurunan. Salah satu penyebab penurunan popula- si te rnak tersebut adalah gangguan reproduksi be rupa penyakit kelamin menular. Beberapa penya1dt menular yang menye- babkan infertilitas pad a sapi antara lain Vibriosis, Brucellosis, Trichomoniasis, Leptospirosis dan beberapa penyebab lain yang tidak spesifik seperti Staphylococus aureus, Eschercia coli, Corynebacterium pyogenes, Pseudomonas aureus dan Listeria. Trichomoniasis dan Vibriosis merupakan penyakit kelamin yang ditularkan melalui coitus dari pejantan yang terinfeksi selain itu dapat juga melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi. Sedangkan kuman-kuman lain ditular- kan melalui makanan, minuman dan kontak dengan hewan yang terinfeksi. Umumnya penyakit yang menyerang alat reproduksi mempunyai gejala yang hampir bersamaan yaitu abortus dan dapat berlanjut dengan infertilitas. Walaupun penyakit ini dapat diobati sampai sembuh tapi kerugian ekonomi yang diderita peternak besar sekali seperti kerugian waktu berreproduksi, kematian anak dan penurunan produksi air susu Untuk menghindari penyakit-penyakit ini harus diperha- tikan kebersihan lingkungan, meliputi sanitasi kandang, makanan yang bersih serta vaksinasi ternak dilakukan sesuai dengan aturannya. Secara umum untuk ternak yang terinfeksi oleh penyakit ini dapat diobati dengan antibiotika secara intra muscular atau intra uterine LATAR BELAKANG KAUSA INFEKSIOUSA SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP INFERTILITAS SAPI BETINA 01eh RUDHASTIA B. 16 0891 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mempero1eh ge1ar Dokter Hewan pada Faku1tas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN 1985 BOGOR LATAR BELAKANG KAUSA INFEKSIOUSA SERTA HUBUNGANNYA TERHADAP INFERTILITAS SAPI BETINA Skripsi 01eh RUDHASTIA B. 16 0891 Te1ah Diperiksa dan Disetujui oleh: - (Drh. R. Kurnia Achiadi. MS.) Dosen I1mu Reproduksi & Kebidanan Faku1tas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor :zc, Mti ) ~., Tanggal RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1960, anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Rudolf (ayah) dan Hasniar (ibu). Pada tahun 1972 penulis lulus Sekolah Dasar Negeri 1 Kaluai Lubuk Sikaping (Sumatera Barat), tahun 1975 tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri Lubuk Sikaping dan tahun 1979 tamat Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Sikaping. Pad a tahun 1979 penulis mengikuti pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui Proyek Perintis II. Setelah lulus Tingkat Persiapan Bersama tahun 1981, penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan dan lulus Sarjana Kedokteran Hewan tanggal 1 Agustus 1984. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan, penulis membuat skripsi dengan judul " Latar Belakang Kausa Infeksiousa serta Hubungannya terhadap Infertilitas Sapi Betina" di bawah bimbingan Drh. R. Kurnia Achjadi, MS. KATll. PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, di Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Drh. R. Knrnia Achjadi, MS. yang telah membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini. Disamping i tu tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril dan materil. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian, semoga skripsi ini berman- faat bagi kita semua. Bogor, Juni 1985 Penulis DAFT.AR lSI Halaman KA'£A PENGANTAR DAFTAR lSI ii ••• • •• •• • • • • • • •• • •• ••• ••• • •• • • • iii •••••••• •• •••••••••••••••••••• iv DAFTAR GAYlBAR II. i ......... ... . ................ . .. . DAFTAR TABEL I. •• •••••••••••••••••••••••••• PENDAHULUAN ......... . . . ................ .... TINJAUAN PUSTAKA .......................... . 1. Etio1ogi 2. Jalannya Penyakit 3. Gejala Penyakit 4. Diagnosa • •••••••••••••••••••••••••••••• 1 4 4 •••••••••••••••••••••• 10 •••••.•••••••••••••••••. 17 •• • • • • • •• • • • • •• • ••••• ••• • • •• ••• 19 III. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN •••••••••••••••••• 23 IV. PEMBAHASAN DAN KE SHlPULAN • • ••• ••• • •• •• • • • • • 27 • • • •• • • • • • • • • •• •• • • • ••••••••• 30 DAFTAR PUSTAKA ii DAFTAR TABEL Homor Hal am an 1. Hasil Pemeriksaan terhadap Leptospira sp. 2. Hasil Pupukan Lendir Serviks dari Sapi yang Tersangka Majir •••• 9 ••••••••••••••••••••••••• 11 iii DAFTAR GAMBAR Halaman Nomor 1. 2. Placenta Sapi yang Terinfeksi Brucella abortus ••••••••••••••••••••••••••••••••• Elektro Mikrograf Sel Vibrio fetus Berbentuk ••••••••••••••••••••••••••••••• 5 Elektron Mikrograf dari Vibrio fetus Berben tuk "koma" ..•.••.••••••••••••.••.• 6 Trichomonas fetus 7 Huruf 3. 4 II Sit • • •••• • ••• •• ••• • • •• •••• • •••• Elektron Mikroskop dari Leptospira bovis iv ••••• 8 I. PENDAHULUAN Populasi ternak di Indonesia khususnya sapi cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selain dari jum- lab.- pemotongan ternak yang meningkat melampaui laju kelahiran, penurunan populasi ternak juga disebabkan oleh, faktorf.aktor gangguan reproduksi. Salah satu. faktor gangguan rep- roduksi adalah- penyakit kelamin menular yang disebabkan oleh serangan jasad renik seperti virus, bakteri, protozoa dan jamur pada alat reproduksi terutama pada uterus, hal ini dapat menyebablan infertilitas pada ternak. Infeksi bakteri pada organ reproduksi sangat penting artinya bagi kesuburan ternak dan akan melemahkan lapangan peternakan. Umumnya penyeharan penyakit dari pejantan ke- pada betina berlangsung melalui perkawinan, sedangkan pejantan tersebut hanya bertindak sebagai carier saja.(Laing,1970). Bakteri yang menyerang alat reproduksi kadang-kadang tanpa memperlihatkan gejala yang jelas. Gangguan-gangguan seperti ini harus mendapat perhatiffiL khusus dari semua pihak karena peternak tidak menyadari be,.. sarnya kerugian ekonomis yang mereka hadapi, sebah infertilitas tidak menyebabkan kematian pada ternak itu sendiri seperti kejadian penyakit menular lainnya. Kerugian ekono- mi yang dapat disebabkan oleh gangguan reproduksi ini antara lain: penurunan berat badan, penurunan produksi air susu dan yang terpenting adalah. kegagalan dalam menghasilkan individu baru seperti kegagalan konsepsi atau abortus. 2 Albrechtsen et 2l (1941) yang dikutip oleh Robert (1956) memper1ihatkan invasi jasad renik jahat pada uterus dan peradangan sekunder yang menyebabkan kemajiran pada sapi. Inferti1itas yang disebabkan oleh. j.asad renik ini dapat disebabkan oleh. serangan 1angsung dari kuman-kuman tersebut pada ovum, hasil konsepsi atau embrio itu sendiri dan dapat juga menyerang spermatozoa sebelum terjadi pembuahan, sehingga sapi yang baru saja dikawinkan baik secara alami maupun secara lnseminasi Buatan tidak menimbulkan hasil yang baik. Di negara lain infertilitas yang disebabkan oleh se- rangan jasad renik juga merupakan problema yang serius. Program Inseminasi Buatan yang sedang berlangsung di Indonesia, merupakan suatu cara untuk dapat menghindari infeksi jasad renik walaupun kadang-kadang terjadi kelalaian sehingga semen untuk Inseminasi Buatan terinfeksi oleh mikroorganisme. Menurut Robert (1971) penularan penyakit ke- lamin melalui Inseminasi Buatan hanya sekitar 1% sedangkan melalui kawin alam sebanyak 80%. II.. TINJAUAN PUSTAKA B.eberapa penyakit menular yang menyebabkan infertili tas pada sapi antara lain Vibriosis, Brucellosis, Trichomoniasis, Leptospirosis dan beberapa penyebab lain yang tidak spesifik seperti Staphylococus aureus, Eschercia coli, Corynebacterium pyogenes, Pseudomonas aureus, Lesteria monocytogen. 1. Etiologi Brucella abortus merupakan kuman yang sering menyerang sapi dan beberapa mamalia lain termasuk manusia. Penyakit yang ditimbulkannya disebut Brucellosis atau Kluron menular fRessang, 1984). Penyakit ini ditandai dengan abortus, infertilitas pada sapi yang rentan karena dapat menimbulkan endometritis yang kronis (Cdle,1969) Brucella abortus merupakan kuman berbentuk cocobacillus, gram negatif dengan ukuran panjang 0,6 mikron sampai 1,5 mikron, kuman ini mudah terbunuh oleh sinar matahari langsung dan pada tempat terlindung dapat tahan berbulan-bulan (Laing, 1970). Sedangkan menurut Dubos (1958) yang dikutip Kimberling (1966) kuman ini tahan selama 6 bulan di padang rumput atau di kandang yang , tidak terkena sinar matahari. Partodihardjo, dkk (1979) telah melakukan survai serologik terhadap Brucellosis pada ternak sapi'potong di Jawa Tengah, J.awa Timur dan Bali. Survai serologik terdahulu terhadap Brucellosis pada ternak potong telah menyimpulkan bahwa sapi potong di Jawa terserang peny~~it 4 ini (Partodihardjo, 1970). Basil pemeriksaan itu me- nunjukkan bahwa dari sapi potong peranakan ongole banyak ditemukan kuman gram positif sedangkan sapi FH yang sering dimandikan dan berkontak dengan air merupakan sumber infeksi kuman gram negatif. Kuman-kuman ini secara sporadik menyebabkan infeksi alat kelamin dan kemajiran pada sapi (Osebold,1977). Menurut Seddon (1965) penyakit ini telAh tersebar luas diseluruh dunia dan merupakan penyakit yang serius pada sapi di Australia. Pada gambar 1 terlihat placenta sapi yang terin- feksi oleh Brucella abortus, membran chorion terlihat menebal, sur am , berwarna kekuningan dan tertutup runtuhan granular. Kotiledon mengalami nekrose dan tertu- tup eksudat kekuningan. Gambar 1. Placenta sapi yang terinfeksi oleh Brucella abortus. Sumber: Brunner (1966) 5 Vibrio fetus merupakan bakteri gram negatif, _m~m~ punyai satu flagella, berbentuk seperti koma, walaupun kadang-kadang seperti spiral yang panjang. Kuman ini panjangnya 1,5 mikron sampai 5,0 mikron dan lebar 0,2 mikron sampai 0,3 mikron (Gibbon, 1963; Laing, 1970). Bakteri ini banyak diteml1kan pada kotoran kandang, rumput-rumput kering, tanah yang lembab dan dapat hidup pada tempat tersebut selama 3 minggu. Gambar 2. Elektro mikrograf sel Vibrio fetus berbentuk huruf "S" Sumber: Gibbon (1963) Pada tahun 1954, Rrank dan Bagner dalam Laing(1970) mengidentifikasi Vibrio fetus ini dari sapi betina abortus. Ketentuan dari Vibrio fetus ini yaitu memproduksi katalase, mereduksi N03 menjadi N02 dan tidak dapat menghasilkan IzS dan hanya tumbuh pada media semisolid. Sifat seperti ini dapat dibedakan dengan kuman Vibrio fetus yang tidak patogen, dan disebut dengan kelompok saprophytic. Kum~ ini diisolasi dari vagina sapi betina 6 dan dari sperma serta alat genital sapi jantan. Penya- kit yang disebabkan oleh Vibrio fetus ini disebut dengan Vibriosis, merupakan penyakit ke1amin menular pada sapi. Vibriosis sudah tersebar dise1uruh dunia seperti di negara Amerika, Australia, Afrika se1atan, Be1anda, Denmark, Jerman, Rusia, Brazi1ia, Inggris, India, Swedia dan jepang (Seddon, 1963). Gambar 3. Elektron Mikrograf dari Vibrio fetus tuk "koma" Sumber: berben- Gibbon (1963) Trichomonas fetus adalah kuman penyebab penyakit ke1amin menular yang disebut Trichomoniasis dengan gejala karakteristik abortus, pyometra dan sterilitas. Trichomonas_fetus berbentuk buah pir yang lonjong seperti pada gambar 4, dengan panjang 10 m~on sampai 25 mik- ron dan lebar 3,15 mikron, mempunyai 3buah flagella an.,., terior dan 1 buah flagella posterior, membran undulasi terentang dari de pan kebelakang sepanjang badan Trichomonas dan berachir menjadi satu dengan flagella yang ada di ujung belakang (Laing~ 1970). Menurut Morgan II .5l.l. (1955) Trichomonas fetus ditemukan· oleh Kunstler di Parancis tahun 1888, tetapi pada saat itu Brucellosis merupakan masalah yang sangat penting sehingga an tentang Trichomonas ini dikesampingkan. pene1iti~ Baru pada tahun 1900 Trichomonas fetus ini dite1iti dan diuraikan kembali 1ebih 1anjut ole~Mazzati dianggap sebagai pen emu pertama. dari Italia sehingga Trichomonas fetus ini cepat terbunuh dengan pengeringan, antiseptik, pemanasan yang ber1ebihan dan kondisi lingkungan 1ainnya yang tidak menguntungkan. Mylrea (1961) dikutip dari Hungerford (1970) me1akukan penelitian terhadap 70 ke1ompok ternak sapi Yang mengalami inferti1itas di New South Wales menemukan penyebab ±llfertilitas dengan persentase sebagai berikut Trichomonas ;etus 16%,Brucella sp. 27%, Vibrio fetus 27%, non spesifik abortus 16%, pejantan yang majir 4%, vaginitis ringan 1% dan yang tidak tahu penyebabnya 10%. Gambar 4. Trichomonas fetus Sumber: Morgan (1955) 8 Leptospira pomona pertama kali ditemukan di Rusia tahun 1935 yang mengakibatkan hemoglobinuria dan ikterus pada sapi yang terserang dan disebut dengan Leptospira bovis (gambar Gambar 5. 5). Elektron Mikroskop dari Leptospira bovis Sumber: Brunner (1966) Leptospira pomona merupakan spesies yang sering menyerang sapi dan menyebabkan kegagalan reproduksi. Menurut Gibbon (1963) Leptospira pomona mempunyai panjjmg 6 mikron sampai 20 mikron dan lebar 0,4 mikron sampai 0,5 mikron. Selain Leptospira pomona masih ada spesies Leptospira lain yang menyerang sapi seperti Leptospira canicola, Leptospira ichterohaemoragi.ca. Kuman-kuman ini tidak tahan terhadap pemanaso,n dan 9 disinfektan, pada temperatur 50°C mati setelah 20 menit, dalam temperatur 27°C tahan selama 9 bulan. Hasil penelitian Partodihardjo, dkk (1979) dapat dilihat pada tabel 1. Tabel ini memperlihatkan reaksi positif terhadap Leptospirosis, persentase tertinggi adaiah babf (68%), kerbau (66,6%), sapi (41,9%). Tabel 1. Hasil pemeriksaan terhadap Leptospira sp* Jenis hewan Sapi Kerbau Kambing Negatif Dubius Positif Jumlah Persentase (+ ) 18 13 31 41,9 1 2 3 66,6 14 5 19 26,3. 7 15 22 68,1 40 30 7<5 Domba Babi .l\1IDlah *dikutip dari Partodihardjo (1979) Selain dari kuman-kuman tersebut diatas masih banyak kuman lain yang menyebabkan infertilitas pada sapi. Seperti hasil penelitian Toelihere, dkk (1979) terhadap sapi-sapi yang tersangka majir, dimana material yang diambil adalah olesan servical dan dilaklJ.kanujL b;¥:ter:j.ologik terhadap sampel-sampel tersebut, ternyata dapat diisolasi bakteri-bakteri Staphylococus aureus,~. streptococus sp. , Pseudomonas aeruginosa, Serattia marcescens, bakteri-bakteri lain diduga dari famili coli, 10 Bruc e =--:::Laceae, Bacillus sp. dan Proteus vulgaris. Seca- ra k 1 =:L::lI::l.:is pada sapi-sapi tersebut terlihat gejala-gejala p e :lI!!:'"- nya.k.- c:I:::L t emukan di Magel an g (82, 6% ) dan Solo ( 69 , 2% ). Ke- adaa..=tap:L darahan pada saluran kelamin betina. Hal ini ba- :::Lui tidak mutlak menimbulkan kegagalan reproduksi, c:I C3.:pat menandakan adanya pembiakan kuman dalam sa- lura..rL .:reproduksi yang dapat menggagalkan konsepsi. rin c:::L.ra:n Pe- lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 2. :If-'1: enurut Laing (1970) Corynebacterium pyogenes, Eschl~=- c i a coli, Streptococus, Staphylococus merupakan kum.a>TiiI ;y ang menginfeksi sekunder dan dapat menyebabkan EndoZD. E3>- tritis. 5t2I :ichomoniasis merupakan penyakit kelamin yang ditulat='~.an ~~an olen t.ak: melalui coitus dari pejantan yang terinfeksi .::L <3OTl tersebut. Selain itu dapat juga melalui kon- gsung antara sapi-sapi yang terinfeksi (G:Lot::>c>Tl., 1963; Hafez, 1968; Hungerford,1970). Hal ini d:ips..J::'"1=::::.u.at oleh Robert (1971) bahwa penularan Trichomonas :fet1.::l l% == 80% terjadi pada saat kawin alam, dan kira-kira Dn~::::L. ya:n.g -it:;. ;alui Inseminasi Buatan. Penularan melalui makanan erkontaminasi jarang terjadi. CJr ganisme yang masuk saat coitus pad a tahap awal berk.~lII:lO..bang di vagina, selanjutnya menyerang uterus. Or g-=- 1'"3 :::i.- sme yang ada di uterus ini dapat menggagalkan kona.tau 'konsepsi terjadi tap~ imptantasi terhambat. :::E? a.da hewan yang bunting' muda kuman akan menyerang 12 placenta dan menimbulkan peradangan dari placenta tersebut. Hal ini bisa menyebabkan kematian anak sapi dan kemudian terjadi abortus. Menurut Clark (1974) hanya 5% dari kejadian abortus yang disebabkan Trichomonas fetus menyebabkan abortus pada kebuntingan muda yaitu 2 bulan sampai 4 bulan mas a kebuntingan (Hungerford, 1970}. Kadang-kadang fetus tersebut tidak dikeluarkan dari uterus .dan terjadilah maserasi, sehingga fetus hancur menjadi cairan yang encer disebut Pyometra. Pada cairan ini agen penyakit dapat diisolasi secara murni. Menurut Partodihardjo (1978) Pyometra terjadi karena volume dari embrio yang mati dan mengalami maserasi sangat besar sehingga pada saat resobsi, uterus tidak mampu membersihkan seluruh cairan itu. Semen tara itu corpus luteum tetap berfungsi mensekresikan hormon Progesteron, sehingga cervix tetap tertutup dan terjadilah penimbunan nanah dalam uterus. Healy et 21 (1954) yang dikutip oleh Hungerford (1970) mengatakan bahwa eksudat oleh Trichomonas karakteristiknya tidak berbau, hal ini dapat membedakannya dengan infeksi oleh agen penyakit lain. Menurut Gibbon (1963) sapi yang terinfeksi oleh Trichomonas fetus setelah 12 hari sampai 19 hari pada bagian vagina banyak ditemukan agen, kemudian infeksi akan ber1anjut ke uterus, dan kira-kira 2 bulan sampai 6 bulan terjadilah Endometritis kataralis yang permanen. 13 Keadaan ini harus segera diobati karena akan ber1anjut menjadi sterilitas. Pada kasus Vibriosis kuman masuk melalui alat kelamin. Bakteri penyebab Vibriosis ini terdapat pada tractus genitalia yaitu vagina, cervix, uterus dan mungkin sampai pada oviduct sapi betina. Sedangkan pada sa- pi jantan kuman terdapat pada preputium dan penis. Se- telah 4 hari sampai 6 hari maka saluran reproduksi yang terserang akan mengalami peradangan (Robert, 1956). Selanjutnya 5 hari sampai 12 hari kemudian kuman ini akan terus ke uterus sehingga menyebabkan peradangan. Disini kuman tersebut tinggal selama 3 bulan sampai 4 bulan (Hungerford, 1970). Beberapa sapi bisa. bebas dari kuman setelah pertus tetapi beberapa hewan tetap terinfeksi. Menurut Parto- dihardjo (1978) kematian sel telur, sperma dan kegagalan konseptus disebabkan oleh kondisi saluran reproduksi hewan betiua tidak cocok lagi untuk kehidupan sel telur, spermatozoa maupun konseptus. Sapi jantan yang terinfeksi dan tidak diobati maka kuman akan menetap untuk selamanya. Sedangkan pada sapi betiua kuman hidup dalam jangka waktu tertentu, setelah 3 bulan sampai 6 bulan penyakit tersebut akan sembuh dengan sendirinya (Laing, 1970). Kuman Brllcella abortus masuk kedalam tubuh induk semangnya me1alui makanan yang terinfeksi oleh kuman ini. Sumber kontaminasi dapat berasal dari bahan makanan yang 14 bersentuhan dengan fetus yang diabortuskan atau melalui placenta dan lochia yang terinfeksi. Selain itu infeksi dapat dipindahkan secara percobaan kedail.am tubuh induk semang melalui scarifikasi kulit, menembus selaput lendir mata atau mucosa alat pernafasan (Hartigan, 1970; Hafez, 1968). Menurut Laing (1~70) .penularan penyakit ini jarang melalui perkawinan alamo Secara biologik kuman ini bersarang pada ternak yang pergerakannya terbatas karena penularannya pada hewan melalui makanan. Ternak sapi perah memenuhi syarat untuk perkembangan penyakit ini, dan dapat menularkannya pada ternak lain. Penyakit Brucellosis ini sering ditemukan pada ne~ gara-negara yang pemeliharaannya intensif (Hafez, 1968). Menurut laporan King (1940) yang dikutip dalam Laing (1970) bahwa sapi betina yang rentan dikawinkan dengan pejantan yang nyata lesionya maka eetina tersebut tidak dapat terinfeksi. mal" ini dapat diterangkan bahwa ku- man tersebut paling banyak terdapat pada fase awal yaitu sebelum terjadinya lesio atau sebelum terbentuknya antibodi. Tetapi dalam jumlah sedikit dapat juga meng- infeksi, hal ini terbukti pada sapi b.etina yang rentan ternyata dapat juga tertular melalui inseminasi buatan. Menurut Ressang (1984), Brucella abortus masuk ke~ dalam badan secara lymfogena, melalui kelenjar getah bening kuman sampai dalam hati dan limpa dimana kedudukan kuman yang permanen yaitu dalam liphoglandula.-.supramamaria dan inguinalis. Bila kelenjar ambing tersebut dise- 15 rang maka kuman ini akan banyak di temukan dalam air suSUo lni dapat menularkan pada anak sapi yang sedang me- nyusu pada induknya yang terinfeksi. Kuman Brucella berdaya tumbuh baik dalam jaringan embrio, tetapi tidak berkembang baik dalam jaringan uterus ya;n,g tidak bunting. Daya berkembang biak dalam ja_ ringan uterus yang bunting karena disebabkan oleh adanya zat gula "erythitol" dalam placenta. Zat ini sebagai media yang cocok untuk hidup kuman ini, akibatnya terjadilah placentitis dan abortus (Ressang, 1984). Biasanya abortus diikuti oleh cairan dari uterus selama 1 sampai 2 minggu dan infertilitas dapat terjadi selama 3 sampai 12 bulan (Robert,1956). bul~ Abortus sering terjadi pada kebuntingan tua kira-kira 7 bulan sampai 8 bulan masa kebuntingan, tetapi dapat juga pada kebuntingan lebih muda. Serangan pertama pada sapi yang rentan dalam kea,daan bunting umumnya terjadi abortus dengan persentase yang tinggi (90%), sedangkan pada tahun-tahun selanjutnya lebih kecil (Partodihardjo, 1978). Selain keguguran sering juga diikuti dengan Retensio sekundinae. Retensio sekundinae ini dapat mengakibatkan infeksi sekunder sehingga terjadi endometritis purulenta. Pada kasus yang parah terjadi kerusakan pada uterus dan tuba falopii sehingga hewan menjadi majir. Anak sapi umumnya lebih resisten, dan apabila yang lahir dari in4uk yang terinfeksi kemungkinan kuman ter- 16 sebut masuk sewaktu dalam kandungan. Tapi hal ini ti- dak menimbulkan gejala klinis karena 1-2 bulan kemudian agen akan tereliminir dalam tubuhnya (Cole, 1969). Pa- da anak sapi yang terinfeksi me1alui air susu maka kuman dapat ditemukan dalam fecesnya. Penularan dari Leptospira biasanya terjadi secara kontak langsung, infeksi me1alui se1aput lendir, kulit yangterluka dan mela1ui inhalasi. Kuman biasanya terda- pat dalam urine hewan yang terinfeksi karena itu penularan dapat melalui air minum atau makanan yang terkontaminasi urine penderita. Setelah 4 -"9 hari terjadinya infeksi maka kuman dapat di temukan dalam peredaran darah pheriper sehingga pada saat itu hewan demam, panas badan bisa mencapai 39,4°C sampai 4l,6 o C. Selain itu hewan memperlihatkan gejala depresi dan anorexia. Pada saat kuman berada dalam peredaran darah pheriper terjadi lisis dari eritrosit yang dapat menyebabkan ikterus dan haemoglobinuria. Pada hewan yang sedang laktasi, produksi air susunya akan menurun dengan mendadak. Pada kejadian penyakit yang akut, air susu dapat mengandung kuman Leptospira (Laing, 1970). Menurut Cole (1969) mortalitasnya pada anak sapi sampai dengan 33%, sedang!kan pada sapi dewasa kematian jarang terjadi. Abortus dapat terjadi pada semua umur kebuntingan tetapi sering terjadi pada kebuntingan 3 bulan. Foetus yang mati dalam uterus disebabkan. oleh lisisny-a eritrO·sit 17 sedangkan saat itu corpus 1uteum sudah tidak berfangsi 1agi sehingga progesteron tidak 1agi dihasi1kan. Karena itu pada waktu abortus hewan tidak 1agi merasa kesakitan sebab cervix sudah sudah terbuka dengan hardjo, 1978). ~ebar (Partodi- Selama masa inkubasi dan fase akut dari penyakit ini agen penyakit dapat ditemukan dalamdarah. Untuk se1anjutnya agen tersebut akan ber10kalisasi di hati dan ginjal. Untuk kuman Yang lain seperti Corynebacterium Pyogenes~ Eschercia coli, Streptococus dan Staphy1ococus merupakan kuman yang menginfeksi sekunder pada kejadian Endometritis yang parah (Bruner, 1966). Menurut Laing (1970) adanya kuman Corynebacterium pyogenes erat hubungannya dengan kejadia~ Pyometra dan anestrus dimana kuman ini tidak mampU menginfeksi alat reproduksi sapi yang normal. Kuman yang sampai pada saluran reproduksi yang ter1uka akan menyebabkan peradangan pada organ yang bersangkutan. Sete1ah kuman menyerang cervix dan vagina se1anjutnya akan terus ke tubafalopii dan kandungan te.1ur. Infeksi yang terjadi dapat menutupi jalannya sper- matozoa dan sel telur sehingga konsepsi jadi terhambat. 3. Geiala PenYakit Umumnya penyakit yang menyerang alat reproduksi mempunyai gejala yang hampir bersamaan yaitu abortus dan dapat berlanjut dengan infertilitas. Pada kasus Trichomoniasisterjadi Pyometra, yaitu penimbunan nanah dalam uterus. Cairan uterus tersebut 18 dapat keluar melalui vulva, tetapi biasanya cuma sedikit dan sering dibersihkan sendiri oleh induk. Cairan ter~ sebut encer berwarna kuning keabu-abuan dan tidak berbau. Menurut Healy et ~ (1954) yang dikutip Hungerford (1970) mengatakan bahwa cairan yang tidak berbau ini merupakan ciri chas infeksi oleh Trichomonas. Volume Pyometra:·.ini kira-kira 6 liter sampai 8 liter. Selain abortus, infertilitas dan Pyometra, infeksi oleh Trichomonas foetus.ini dapat meningkatkan jumlah rata-rata perkawinan per konsepsi dan perpanjangan siklus birahi karena kematian embrio dini (Laing, 1970). Selama Pyometra berlangsung sapi akan memperlihatkan gejala anestrus. Pada Vibriosis akibat utama yang ditimbulkannya berupa abortus dan kemajiran sementara. pada kasus ini terjadi pada lan. mas~ Biasanya abortus kebuntingan 4 - 6 bu- Menurut Hungerford (1970) pada kasus Vibriosis sik- Ius birahi jadi tidak teratur, kelahiran prematur dan anak lemah serta adanya cairan v.aginal mucus yang berlebihan dan kadang-kadang terjadi vaginitis, cervisitis dan endometritis. Infeksi yang disebabkan oleh Brucella abortus su- ILt. dibedakan dengan infeksi yang disebabkan oleh kuman lain, kecuali jika sebelumnya tidak pernah terjadi kasus abortus pada kandungan muda. Biasanya abortus yang di- sebabkan oleh Brucella abortus terjadi pada 7 sampai 8 bulan masa kebuntingan. Abortus ini sering diikuti oleh 19 cairan kotor dari uterus selama 1 sampai 2 minggu (Robert, 1956; Kimberling ~ ~, 1966). Mortalitas yang disebabkan Brucellosis kecil tetapi Se- kerugian ekonomis yang disebabkannya besar sekali. lain abortus, anak yang lahirpun lemah dan mati. Gang- guan alat reproduksi seperti retensio secundinae yang dapat menyebabkan infertilitas, biasanya terjadi selama 3 bulan sampai 12 bulan (Robert, 1956). Pada pemeriksa- an patologi anatomi perubahan yang terlihat berupa placentitis, nekrose pada kotiledon, serta diantara dinding uterus dan kotiledon terlihat exudat berfibrin dan nanah. Pada Leptospirosis gejala klinis yang jelas terlihat pada fase akut berupa demam, depresi, anorexia dan dyspnoe. Suhu badan mencapai 39,4°C sampai 41,6°C. Pa- da urine dapat ditemukan haemoglobin dan albumin sehingga urine berwarna merah coklat. Pada hewan yang laktasi terjadi penurunan produksi air susu, dan air susu pada keempat kwartirnya berdarah. Endometritis akibat infeksi sekunder dari kuman Corynebacterium pyogenes. Eschercia~, Streptococus dan staphylococus akan mengeluarkan cairan yang berbau. 4. Diagnosa Untuk mendiagnosa penyakit-penyakit ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di l;.pangan dapat dengan mengetahui sejarah hewan tersebut. Gejala klinis dapat dipakai untuk mendiagnosa penyakit ini, tetapi karena gejala penyakit ini harnpir 'sarna 20 maka perlu diadakan pemeriksaan laboratorium yang lebih mendalam. Kuman dapat diambil dari usapan vagina sapi yang tersangka majir. c Vagina dibuka dengan menggunakan vagi- noskop, permukaan luar vaginoskop itu dilicinkan terlebih dahulu sengan tragacanth. Suatu gulungan kapas atau tampon steril dijepit dengan penjepit panjang steril, kemudian dimasukan kedalam vagina s8.!!lpai menyent)lh 06'- cervicalis externa sambil digerakan kekanan dan kekiri. Sampel ini dapat diperiksa dengan pewarnaan gram dan uji biokemik atau kuman tersebut diisolasi dan didiagnosa ' secara serologik (Toelihere, dkk, 1979). Pada Brucella isolasi kuman dapat dilakukan di media agar hati dan diinkubasi pada suhu 0 37 C dibawah te- kanan CO 10%. Isolasi dapat juga dilakukan melalui em2 brio tertunas umur 3hari sampai 5 hari didalam kantong kuning telur. Menurut Kuzdus dan Morte (1949) dalam Brunner et .aJ.. (1966) pemakaian media selektif dapat digunakan antibiotik polymixin, actidion, bacitracin dan circulin untuk menghambat pertumbuhan kuman lain. S~lanjutnya' ,dilaku- kan uji Aglutinasi Rose bengal dan uji aglutinasi sera. U.ji Rose bengal digunakan untuk menyeleksi sera yang berasal dari lapangan sehingga sera yang negatif dapat dikesampingkan sedangkan yang positif atau meragukan dapat diperiksa lebih lanjut dengan uji aglutinasi sera. Pa- da kasus yang sangat meragukan baik oleh uji rose bengal 21 maupun uji aglutinasi sera maka pemeriksaan sera contoh dilanjutkan dengan Complement Fixation Test (Partodihardjo, dkk, 1979). Selain itu dapat juga dilakukan Milk Ring Test yang merupakan modifikasi reaksi aglutinasi dilakukan pada sapi perah dan dapat juga dilakukan Fluorescence Antibody Technique. Uji serologik untuk Vibrio foetus dilakukan dengan uji aglutinasi sera dan Complement Fixation Test. Tetapi menurut Gibbon (1963) diagnosa secara serologik tidak dapat memberikan keterangan yang jelas. Mendiagnosa kawanan ternak terutama didasarkan atas pengulangan perkawinan per konsepsi. Jika ada kejadiaTh semacam ini harus diperkirakan kemungkinan adanya Vibriosis, walaupaun infeksi oleh.Trichomonas foetus memberikan gejala yang hampir sarna (Partodihardjo, 1978). Untuk mendiagnosa leptospira dapat berdasarkan gejala klinis seperti Haemoglobinuriam ikterus dan kelainan air susu pada keempat kwartinya. Uji serologik dapat juga dilakukan seperti uji aglutinasi susu dan Complement Fixation Test. Partodohardjo (1978) telah.melakukan pe- ngujian sena contoh terhadap antibodi Leptospira yang __ dikerjakan memakai metoda Turner. Sebagai antigen dipa- kai 10 mac am Leptospira yaitu Leptospira pomona, Leptospira ikterohaemorrhagica, Leptospira canicola, Leptospira javanica, Leptospira pyrogenes, Leptospira sent~n, Leptospira grippotyphosea, Leptospira wolfii, Leptosnira batavia dan Leptospira semarange. Semuanya 22 adalah Leptospira hidup. Tiga tetes sera contoh dari lapangan diencerkan 100 kali kemudian direaksikan dengan antigen yang telah disediakan. Campuran sera con- toh dengan antigen dibiarkan berinkubasi se1ama beberapa jam pada suhu kamar. Pembacaan hasi1 reaksi dila- kukan dibawah mikroskop ber1atar be1akang ge1ap. Se- bagai kontro1 dipakai suspensi antigen'dengan pengenceran tertentu. Untuk Trichomonas foetus diagnosa yang 1ebih meyakinkan adalah iso1asi agennya dari cairan pyometra dari sapi yang terinfeksi 7 sampai 21 hari atau sapi yang bunting 3 sampai 5 bulan (Gibbon, 1963 dan Laing, 1970). III. PENCEGAHAN D.t.N PENGOBATjll~ Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada tindakan sanitasi dan isolasi hewan tersangka. yang bersifat infeksius harus dimusnclL~an, Sisa abortus fetus dan pla- centa dibakar dan cairan vagina yang keluar harus diirigasi dengan desinfektan eeperti phenol, kresol, lisol dan biocid. Sapi yang baru dibeli harus diisolasi terlebih dahulu dan baru dicampurkan dengan sapi yang lain setelah 2 bulan kemudian. Rewan baru yang dalam keadaan bunting harus diiso- lasi dan baru boleh dicampurkan kalau sudah melahirkan dan pada pemeriksaan serologik memberikan hasil negatip. Untuk hewan yang positip Brucella sebaiknya dilakukan pemotongan (Hafez, 1968). Selanjutnya dijelaskan bahwa anak sapi yang baru lahir dari induk yang terinfeksi Brucella sebaiknya diberi air susu dari hewan lain yang bebas Brucellosis. Untlli, mengontrol Brucellosis tergantung kepada deteksi dari infeksi individu dan untuk mencegahnya perlu diketahui ketahanan sekelompok ternak. Imunisasi Brucellosis dapat dilakukan pad a anak sapi berumur 4 - 8 bulan dengan vaksin Strain 19. Vaksin ini akan memberikan kekebalan untuk jangka waktu yang lama dan dapat menahan infeksi yang masuk, (Cole, 1969). Henurut Partodihardjo (1978) vaksinasi Brucella abortus dapat dilakukan pada umur 3 - 10 bulan. Rewan betina yang sedang bunting tidak boleh divaksin karena dapat mengakibatkan abortus, sedangkan vaksinasi un tuk hewan jantan dapat mengakibatkan sterilitas, (Bruner et &. 1966). 24 Untuk kontrol Brucellosis dapat dilakuk~~ dengan metoda test and slaughter dan diiringi dengan vaksinasi pada sapi yang sehat (Seddon, 1966). obatan yang Sampai sekarang belum ada peng- efektif terhadap Brucellosis sebab itu pen- eegahan merupakan cara yang Pa.ling tepat untuk menghlindari serangan penyakit ini. Untuk penyakit yang ditularkan melalui perkawinan maka peneegahan yang paling baik adalah dengan memakai pejantan yang bebas infeksi, serta pemakaian Inseminasi Buatan yang telah dibubuhi antibiotika (Plastr.idge et ~, 1966). Menurut Robert (1971) Inseminasi Buatan yang memakai semen dari pejantan yang terinfeksi Vibriosis, maka orga~. nisme tersebut dapat dieliminir dengan cara mengeneerkan semen tersebut dengan sitrat kuning telur, dengan perbandingan 1 25, ditambah dengan 500 IU penieilin dan 500 ! mikrogram st'reptomiein per mililiter semen eneer eukup untuk mencegah penularan Vibriosis. Semen itu harus disimpan dalam lemari es minimal 6 'jam sebelum dipakai. menurut Elliot et ~ Sedangkan (1961) dalam Rafez (1968) mengatakan bahwa pada semen beku dapat ditambahkan 1000 IU polymixin sulfat ini. per mililiter semen eneer untuk menghindari kuman Selainitu pencegahan: terhadap Vibriosis dapat juga dil~J,;ukan vaksinasi. l'Jenur.ut Plastridge tl ~ (1966) sa- pi dara yang telah divaksinasi terhadap Vibrio foetus mempunyai angka siC yang lebih rendah dibandingkan dengan sa- pi yang belum divaksinasi. V~~sin yang dipakai berupa vak- sin hidup Strain 582 yang disuntikkan melalui kulit. Menu- rut Hafez (1968) pengobatan untuk Vibriosis tidaklah praktis 25 karena dapat sembuh sendiri. Sedangkan untuk sapi jantan yang terinfeksi pengobatan sangat penting dilakukan yaitu dengan memberikan campuran strept.omycin 2 gram dengan penicilin 10 000 000 IU dimasukkan ke dalam preputium selama 3 hari berturut-turut. Pencegahan terhadap Trichomoniasis harus mencakup pengetahuan tentang efisiensi reproduksi kelompok ternak asal dan pemeriksaan yang teli ti terhadap pejantan yang baru dibeli. Sapi betina yang terinfeksi Trichomonas jangan dikawinkan dulu selama 3 bulan dan jika selama periode tersebut sapi memperlihatkan estrus maka dengan demikian sapi tersebut sembuh dengan sendirinya. Menurut Siegmund (1979) pengobatan untuk Trichomoniasis dapat diberikan dimetridazol 40% dengan dosis 125 mg per kilogram berat badan,.diberikan setiap hari selama 5 hari. Pada kejadian Pyometra dapat diberikan injeksi estrogen untuk mengeluarkan cairan uterus dan injeksi prostaglandin F2 alpha untuk melisiskan corpus luteum persisten. Pengobatan Trichomonas untuk pejantan dapat diberi- kan salep Bovoflavin 1% digosokkan di dalam preputium selama 30 menit dan sebelumnya dilakukan anastesi saraf internal (Gibbon, 1963). Pencegahan untuk Leptospira tergantung pada penggunaan "Prophylactic". Prophylactic disini termasuk hasil imunisasi dan pencegahan nyata pada Leptospirosis. Vaksi- 26 nasi menghasilkan kekebalan yang baik (Laing, 1970). Pen- cegahan yang baik dari Leptospisosis yaitu ternak yang baru dibeli harus dipisahkan dari ternak yang lain. Pada lingkungan peternakan sapi harus dihindarkan dari hewanhewan yang bertindak sebagai "carier" misalnya rodentia. Sebaiknya dihindari pencampuran sapi dan babi karena babi dapat bertindak sebagai reservoir. Pengobatan untuk Lep- tospirosis ini dapat diberikan antibiotik berupa: - streptomycin dengan dosis 1 gram per 50 kilogram berat badan, dikombinasikan dengan penicillin 1 000 000 IU per 50 kilogram berat badan. Diberi- kan setiap hari. - Oxytetracyclin, chlortetracyclin atau tetra cyclin dengan dosis 1 miligram per 1 kilogram berat badan, secara intra vena selama 3 sampai 6 hari. Menurut Clark ~ ~ (1974) cara pencegahan terhadap Trichomonas foetus dapat dilakukan dengan memakai pejantan muda yang tidak terinfeksi, karena umumnya pejantan yang berumur.l sampai 3 tahun kemungkinan terinfeksi oleh Trichomonas foetus lebih kecil dari pejantan tua. IlL. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN Penyakit-penyakit yang telah diuraikan diatas merupakan penyakit yang menyerang alat reproduksi baik secara langsung maupun: tidak langsung. Serangan pada alat reproduksi terse- but dapat menyebabkan kegagalan reproduksi bagi ternak, khususnya ternak sapi. Kegagalan reproduksi yang ditimbulkan dapat berupa kegagalan.konsepsi yang disebabkan oleh kerusakan pada organ reproduksi vum karena atau kematian. spermatozoa dan.o- dikeluarkan oleh jasad renik tersebut. ra~unyang Selain itu kegagalan reproduksi juga berupa kegagalan untuk berimplan tasi. Akibat serangan penyakit ini tanyak sekali kerugian yang ditimbulkannya, terutama.· jika penyakit-penyakit ini menyerang ternak rakyat. Kerugian yang ditimbulkannya tidak terlihat nyata, karena serangan penyakit ini tidak fatal dalam arti bagi induknya sendiri. Apalagi sifat penyakit ini dapat. sembuh. dengan sendirinya setelrux beberapa bulan terjadi infeksi, dan: setelah itu hewan dapat berproduksi seperti biasa. Kejadian seperti ini membuat peternak. merasa seolah-olah hewannya tidak mendapat gangguan yang serius. Kebanyakan peternak tidak memperhitungkan kerugian waktu untuk berproduksi. Seharusnya penyakit ini dapat diobati sampai semhuh karena pad a kasus yang parah dapat menyebabkan infertilitas yang permanen, apalagi hila disertai oleh infeksi kuman lain. Masuknya kuman aspesifik dapat menyebabkan penyakit semakin parah. Bila ditinjau dari cara penularannya, maka 28 infeksi kuman ini sebagian besar disebabkan oleh kelalaian dan kecerobnhan manusia, seperti pada penanganan.gangguan reprodnksli oleh Dokter Hewan atau pada pelaksanaan inseminasi buatan yang kurang steril, sehingga memudahkan kuman ini masuk. Selain i tu pengobatan saluran reprociuksi yang dila- kukan kurang cermat dan, tidak steril akan memperhebat terjadinya infeksi ini. Oleh sebab itu perlu perhatian dari se- mua pihak terutama Dokter Hewan agar penanganan penyaki t in:L lebih· hati-hati. Untuk menghindari penyakit in2 harus diperhatikan kebersihan lingkungan meliputi sanitasi kandang, makanan yang bersih tidak kontaminasi dengan feces dan urine. Selain itu vaksinasi untuk ternak perlu dilakukan sesuai dengan nya, aturan~ mengawinkan hewan dengan inseminasi buatan. harus mema- kai semen yang tidak terinfeksi oleh penyakit. ~erutama un- tuk Brucellosis dimana pencegahan merupakan satu-satunya jaIan karena sampai saat ini belum ada pengobatan yang memuaskan untuk Brucellosis. Secara umum untuk ternak yang terinfeksi oleh penyakit ini dapat diobati dengan antibiotika secara intra muscular atau secara intra uterin. Untuk pyometra sebelum diobati dengan antibiotika,. nanah yang banYak di uterus harus dikeluarkan terlebih dahulu dan diberikan Prostaglandin F2 alpha. Untuk mengetahui penularan penyakit-penyakit ini perlu kiranya dilakukan penelitian yang menyeluruh dengan jumlah contoh yang banyak serta daerah yang tidak terbatas. 29 Agar hasil yang diperoleh dapat memberikan gambaran yang mantap dan dapat dipandang sebagai data yang benar. DAFTAR PUSTLl{A Bruner, D. W. dan J. H. Gillespie. 1966. Hagan's Infectious Diseases of Domestic Animals, 5 "tho edition. Cornell University Press, Ithaca, Kew York. Clark, B. L., I. H. Parsonson, M. B. White, J. C. Banfield, J. S. Young. 1974. Control of Trichomoniasis in a Large Herd of Beef Catle. Australia. Vet. J, 50~424-426. Cole, H. H. dan P. T. Cupps. 1969. Reproduction in Domestic Animal. 2 nd Ed. Acadimic Press neVi York and London. Gibbon, W. J. USA. 1963. Diseases of Catle. Am. Vet. Pub. Inc, Hafez, E. S. E. 1968. R~production.in Farm Animal. and Febiger. Philadelphia, USA. Lea. Hartigan, P. J. 1970. Ph. D. Thesis, University of Dublin, Ballsbridge, DublinGe. Hungerford, T. G. 1970. Diseases of Live Stock, 7 th, edition .Angus. Robertson PTY Ltd, Sidney. Hoerlein, A. B., J. W. Carrol, K. Theodore, H. B. William. 1965. Bovine Vibriotis Immunization. J. A. V. M. A., a:829. Kimberling, C. V., D. W. Luchsinger, R. K. Anderson. 1966. Three Case of Canine Brucellosis. J. A. V. M. A., ,6.:901. Laing, J. A. 1970. Fertility and Infertility in The Domestic Animals, 2 nd, edition. Bailliere Tindall and Cassell, London. Horgan, B. B. dan P. A. Hawking. 1955. Veterinary Protozoologi. Burgess Publishing Company, USA. Osebold, J. w. 1977. Infectious Diseases Influencing Reproduction in Domestic Animals. 3 rd. edition. Academic Press. NeVI York, San Franscisco, London. Partodihardjo, S. 1978. Gangguan Reproduksi yang Disebabkan oleh Jasad Renik pada Sapi di Indonesia. Lokakarya Masalah Gangguan Reproduksi dan Cara Penanggulangannya pada Ternak Sapi di Indonesia. Tidak diterbitkan. 1970. Penyebaran Brucellosis pada Ternak potong di Jawa, Departemen Reproduksi Fakultas Kedoktean Rewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 31 Plastridge, W. N.; E. J~ Kerstin¥ and L. F. Williams. 1966. Resistance of Vacc~ated He~fers to Vibriosis. J. A. V. M. A. 116: 187. Partodihardjo, S., H. Noordin, Soeroso, l'i. Darodjat, Sugijanto dan S. Djojosoedarmo. 1979. Survai Serologik terhadap Brucellosis dan Leptospirosis pada Ternak Potong di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. t1ajalah Ilmu Kedokteran Veteriner Indonesia Vol. I No.2. Fakultas Kedokteran Bewan IPB, Bogor. Ressang, A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi II. Team Leader IFAD Project Bali Catle Diseases Investigation Unit, Denpasar. Robert, S. J. 1956. Veterinary Obstertics anad Genital Diseases. Edward Broteher, Inc. Ann Arbor, Mechigan, USA. • 1971. Veterinary Obstertics and Genital Diseases. 2 nd. edition. Robert, S. J (Edit). IthaGa. New Yorl~. Siegmund, O. H. 1979. The ;,:erck Veterinary Manual. Ed. Merck & Co., Inc. USA. 5th Seddon, H. R. 1965. Bacterial Diseases of Domestic Animals in Australia. Part 4. Toelihere, M. R., R. K. Achjadi, S. Partodihardjo, S. Djojosoedarmo, S. Utam:L, T. L. Yusuf, H. Noordin, H. B. Taurin dan F. 11. Pasaribu. 1979. Faktor-faktor Penyebab Kemajiran pada Sapi di Daerah Inseminasi Buatan, Jaw~ Tengah. Hajalah Ilmu Kedokteran Veteriner Vol. I No.1, Fakultas Kedokteran HeVla.'1 IPB, Bogor.