PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA ANTARA SISWA YANG DIBERI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN TPS DI SMP NEGERI 5 KOTA LANGSA Oleh Fenny Anggreni1, Edy Surya2, Hasratuddin3 Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana UNIMED Email: [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS (2) perbedaan kecerdasan emosional siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS (3) ketuntasan belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TPS. Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen.Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Kota Langsa yang berakreditasi B. Instrument yang digunakan terdiri dari : (1) tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, dan (2) angket kecerdasan emosional. Analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif dengan persentase dan statistik inferensial menggunakan uji-t dan Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS. (2) terdapat perbedaan kecerdasan emosional siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS. (3) ketuntasan hasil belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik dari pada pembelajaran kooperatif tipe TPS. Kata Kunci : kooperatif tipe STAD dan TPS, pemecahan masalah, kecerdasan emosional. ABSTRACT 1 Fenny Anggreni, M.Pd adalah Alumni Pascasarjana Pendidikan Matematika UNIMED Medan Dr. Edy Surya, M.Si adalah Dosen PPs UNIMED Medan 3 Prof. Dr. Hasratuddin, M.Pd adalah Dosen PPs UNIMED Medan 2 0 The purpose of this study to determine : (1) differences mathematical problem solving ability of students who given Cooperative Learning of the type STAD with TPS, (2) differences emotional intelligence of students who given Cooperative Learning of the type STAD with TPS, (3) mastery learning of students to mathematical problem solving ability of students who given Cooperative Learning of the type STAD with TPS. This research is a quasi experiment. This study population is all of students class VIII in SMPN 5, acredited B in Langsa. The instrument used consist of: (1) test of mathematical problem solving ability of students, and (2) emotional intelligence questionnaire. The data were analyzed by descriptive statistical analysis with percentages and inferential statistics using t-test and Mann-Whitney. The result of research showed that: (1) there is difference mathematical problem solving ability of students who given Cooperative Learning of the type STAD with TPS. (2) there is a difference emotional intelligence of students who given Cooperative Learning of the type STAD with TPS. (3) mastery learning of students to mathematical problem-solving ability using cooperative learning of the type STAD is better than the cooperative learning of the type TPS. Keywords : Cooperative of the type STAD with TPS, Problem Solving, Emotional Intelligence. demokratis serta bertanggung jawab” (Dakir, 2004: 24). Salah satu indikator pendidikan yang berkualitas dapat dilihat dari perolehan nilai belajar siswa. Nilai belajar siswa dapat ditingkatkan apabila pembelajaran berlangsung secara efektif dan efisien dengan ditunjang oleh tersedianya sarana dan prasarana pendukung serta kecakapan guru dalam pengelolaan kelas dan dalam menggunakan strategi yang tepat. Perkembangan dalam pendidikan matematika beserta tuntutannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan pendidikan antara lain adalah untuk mempersiapkan manusia yang mampu hidup layak ditengah masyarakat. Tujuan pendidikan matematika bagi pendidikan dasar dan menengah adalah mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan sehari-hari dan dunia yang PENDAHULUAN Pendidikan merupakan faktor yang penting peranannya di dalam proses kehidupan dan perkembangan suatu bangsa. Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, peningkatan kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan agar menghasilkan manusia yang berpotensi yang nantinya akan berguna bagi nusa dan bangsa. Sebagaimana ditetapkannya tujuan pendidikan nasional, yang rumusannya ada pada Undang-Undang Sisdiknas Bab I pasal 3 tertulis sebagai berikut “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang 1 selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien. Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat penting. Pengetahuan matematika harus dikuasai sedini mungkin oleh para siswa. Pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan dalam hal sebagai berikut: (1) memahami konsep matematika; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat; (3) memecahkan masalah; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika (Wardhani, 2010: 1). Berdasarkan salah satu tujuan dari pelajaran matematika di atas, maka siswa diharapkan mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari menggunakan pembelajaran matematika. Pemecahan masalah menurut Suherman,dkk (2001: 83) merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Dalam pemecahan masalah siswa didorong dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berinisiatif dan berfikir sistematis dalam menghadapi suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan yang didapat sebelumnya. Fakta dilapangan memperlihatkan keadaan yang masih jauh dari harapan itu. Berdasarkan hasil analisis awal yang peneliti lakukan pada 20 siswa SMP kelas VIII di Langsa berupa pemberian tes terhadap kemampuan pemecahan masalah menunjukkan bahwa 70% dari jumlah siswa kesulitan mengerjakan soal yang berbentuk pemecahan masalah. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis tanyakan dengan beberapa guru matematika yang mengajar di kelas VIII SMP di Langsa menyatakan bahwa kebanyakan siswa lemah dalam memecahkan soal-soal yang berkaitan dengan masalah seharihari. Lemahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan wawancara dengan siswa karena siswa kurang diberikan kesempatan dan tidak dibiasakan oleh gurunya dalam pembelajaran matematika, yaitu menyelesaikan soal berdasarkan kemampuan pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan masalah pribadi yang mengubah keadaan yang sulit agar menjadi jelas. Menurut Sharei (2012: 845) kemampuan untuk memecahkan masalah tidak tergantung hanya pada kemampuan kognitif saja tetapi juga berpengaruh pada kecerdasan emosional sebagai relatif baru membangun psikologi siswa pada prestasi akademik, keterampilan sosial , karir, dan kehidupan pribadi. Kecerdasan emosional menurut (Meshkat, 2011: 201) didefinisikan sebagai konstruksi yang melibatkan kemampuan individu untuk memantau emosi mereka sendiri dan emosi orang lain, untuk membedakan antara efek positif dan negatif dari emosi dan menggunakan informasi emosi untuk memandu pikiran dan tindakan mereka. Goleman (Sunar, 2010: 50) menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya yang 80% ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut kecerdasan emosional. Studi yang dilakukan oleh Somerville 450 Massachusetts (Sunar, 2010: 142) menyatakan bahwa IQ terbukti memiliki dampak kecil pada 1 kesuksesan anak dikemudian hari, anak yang dapat menangani frustasi, emosinya terkontrol, dan dapat bergaul dengan orang lain berpengaruh untuk sukses dikemudian hari. Kemudian menurut Bharwaney (Eramus, 2013: 98) kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam kesiapan sekolah anak dan keberhasilan akademis dan keberhasilan di tempat kerja. Namun fakta dilapangan berdasarkan hasil observasi awal yang penulis lakukan memperlihatkan bahwa kebanyakan siswa di kelas masih mementingkan sifat emosionalnya dalam menyelesaikan soal dalam matematika, siswa juga sering menyerah ketika menghadapi soal-soal yang rumit padahal soal yang rumit dapat membuat siswa lebih pintar dalam menyelesaikan soal, siswa juga tidak mau bekerja sama dengan siswa yang lain terutama siswa yang pintar, sedangkan siswa yang kurang akan semakin minder dan merasa kecil hati karena kurang mampu dalam menyelesaikan soal dalam matematika. Seharusnya siswa harus cerdas dalam mengatur emosinya dan dapat bekerja sama dengan siswa yang lain sehingga siswa tidak akan pantang menyerah dalam menyelesaikan soal matematika. Melihat fenomena tersebut, maka perlu diterapkan suatu sistem pembelajaran yang melibatkan peran siswa secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar, guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan emosional siswa disetiap jenjang pendidikan. Salah satu model pembelajaran yang melibatkan peran siswa secara aktif adalah model pembelajaran kooperatif. Berdasarkan hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa pembelajaran oleh teman sebaya melalui pembelajaran kooperatif ternyata lebih efektif dari pada pembelajaran oleh pengajar (Wena, 2011: 189). Beberapa penelitian membuktikan bahwa hasil belajar pada pembelajaran kooperatif memiliki upaya yang lebih besar dalam mencapai hasil belajar yang lebih baik, hubungan yang lebih positif, dan spikologis siswa akan lebih baik (Johnson,Johnson & Holubec dalam Carlan, dkk, 2012: 2). Melalui model pembelajaran kooperatif ini siswa dapat mengemukakan pemikirannya, saling bertukar pendapat, saling bekerja sama jika ada teman dalam kelompoknya yang mengalami kesulitan dan kecerdasan emosional siswa juga lebih bisa terarahkan jika mereka bekerja secara kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung kearah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk meningkatkan pemecahan masalah matematis siswa dan kecerdasan emosional siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dan Think Pair Share (TPS). Dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat orang yang beragam kemampuan, jenis kelamin, dan sukunya. Guru memberikan suatu pelajaran dan siswa–siswa di dalam kelompok memastikan bahwa semua anggota kelompok itu bisa menguasai pelajaran tersebut (Rusman, 2010: 213). Sedangkan pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS siswa dilatih untuk bekerja sendiri dahulu dalam menyelesaikan masalah, kemudian berpasangan dengan siswa yang lain mendiskusikan jawaban masing- 2 masing dan kemudian berbagi dengan pasangan kelompok yang lain (Trianto, 2011). Model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TPS membawa konsep pemahaman inovatif dalam pemecahan masalah matematis dan menekankan pada kecerdasan emosional yang lebih baik. Siswa bekerja secara kelompok untuk menjalin kerjasama dan saling ketergantungan antaranggota kelompok dalam menyelesaikan tugas dan meningkatkan keterampilan dalam memecahkan masalah dan kecerdasan emosional. yang diajarkan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TPS. Alat ukur yang digunakan adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematis dan angket siswa.Dari hasil validasi perangkat pembelajaran oleh para ahli, diperoleh semua perangkat pembelajaran baik untuk digunakan. Kemudian dari hasil validasi terhadap butir tes kemampuan pemecahan masalah diperoleh bahwa tes dari pemecahan masalah matematis siswa dan angket kecerdasan emosional siswa dapat dipakai untuk mengukur kemampuan siswa dengan sedikit revisi. Kemudian dari hasil validasi tes didapat bahwa tes kemampuan pemecahan masalah memiliki tingkat validasi yang baik, reliabel yang sangat tinggi, tingkat kesukarannya sedang dan daya beda dapat diterima. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen (eksperimen semu) dengan dua kelompok sampel, yaitu kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe TPS. METODE Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 5 Kota Langsa Tahun Pelajaran 2013/2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Kota Langsa tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 174 orang. Jumlah sampel seluruhnya sebesar 49 orang, yaitu kelas VIII.2 yang berjumlah 23 orang sebagai kelas eksperimen I yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan kelas VIII.1 yang berjumlah 26 orang sebagai kelas eksperimen II Rancangan eksperimen penelitian ini adalah: Kelompok Pretes Treatment Postes Eksperimen I T0 X T1 Eksperimen II T0 Y T1 Keterangan : Untuk mengatasi permasalahan diterapkan pembelajaran X = Pembelajaran kooperatif tipe STAD tersebut matematika dengan pembelajaran Y = Pembelajaran kooperatif tipe TPS kooperatif tipe STAD dan TPS. T0= Pretest (tes awal) Analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif dengan T1 = Postest (tes akhir) Permasalahan yang diangkat persentase untuk melihat ketuntasan dalam penelitian ini adalah belajar siswa dan statistik inferensial kemampuan pemecahan masalah dan menggunakan uji-t dan Mann-Whitney kecerdasan emosional siswa yang untuk melihat perbedaan kemampuan rendah, serta ketuntasan belajar siswa. pemecahan masalah siswa dan 3 matematis siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS pada indikator menyusun rencana, penyelesaian masalah dan memeriksa kembali. Hasil pengujian statistik dapat dilihat pada tabel berikut: kecerdasan emosional siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TPS. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah Tabel Perhitungan Statistik Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Indikator Memahami masalah matematis Normalitas Nilai sig kelas eksperimen dan kontrol yaitu 0,000 < α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan data tidak berdistribusi normal. Menyusun Rencana Nilai sig kelas eksperimen 0,045 dan kontrol 0,025 sehingga < α = 0,05 dapat disimpulkan data tidak berdistribusi normal. Penyelesaia n Masalah Nilai sig kelas eksperimen 0,048 dan kontrol yaitu 0,02 < α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan data tidak Memeriksa kembali Nilai sig kelas eksperimen 0,030 dan kontrol yaitu 0,019 < α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan data tidak berdistribusi normal. Homogenitas Nilai signifikansi sebesar 0,704 > α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan data memiliki varians yang sama. Nilai signifikansi sebesar 0,628 > α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan data memiliki varians yang sama. Nilai signifikansi sebesar 0,49 < α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan data tidak memiliki varians yang sama. Nilai signifikansi sebesar 0,613 > α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan data memiliki varians yang sama. Kemudian kecerdasan emosional siswa hasil perhitungan dengan menggunakan uji t pada taraf signifikansi α = 0,05 diperoleh nilai t sebesar 4,145 dengan nilai signifikansi 0,000. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), sehingga H0 ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional siswa antara Uji Hipotesis Nilai Z sebesar -0,212 dengan nilai signifikansi 0,832 > 0,05, sehingga H0 diterima. Nilai Z sebesar -2,057 dengan nilai signifikansi 0,040 < 0,05, sehingga H0 ditolak. Nilai Z sebesar -2,58 dengan nilai signifikansi 0,010 < 0,05, sehingga H0 ditolak. Nilai Z sebesar -2,758 dengan nilai signifikansi 0,006 < 0,05, sehingga H0 ditolak. siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS. Ketuntasan belajar siswa pada kemampuan pemecahan masalah matematis pada materi kubus dan balok diperoleh bahwa rata-rata nilai kelas eksperimen I lebih tinggi pada kelas eksperimen II, pada kelas eksperimen I sebesar 86,96 sedangkan pada kelas eksperimen II hanya 57,69. 1 Hal tersebut menunjukkan bahwa ketuntasan belajar kelas eksperimen I (menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD) lebih tinggi dari pada ketuntasan belajar kelas eksperimen II (menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TPS) dengan selisih sebesar 29,27%. pembelajaran konvensional terhadap kemampuan berpikir kreatif matematika. Dalam pemecahan masalah siswa didorong dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berinisiatif dan berfikir sistematis dalam menghadapi suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan yang didapat sebelumnya. Setelah dilakukan pembelajaran sebanyak empat kali pertemuan pada kedua kelompok dengan pembelajaran yang berbeda, selanjutnya dilakukan postes untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah matematis mereka untuk materi kubus dan balok. Pada kelas yang memperoleh pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD terlihat rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah mereka sebesar 72,61 sedangkan pada kelas eksperimen II melalui pembelajaran kooperatif tipe TPS nilai rata-ratanya 58,46. Ini mengidentasikan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TPS. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa karakteristik pembelajaran koopertif tipe STAD memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan pemecahan masalah matematis siswa. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Suherman, dkk (2001:218) yang menyatakan bahwa “model pembelajaran cooperative learning dapat meningkatkan taraf berfikir kritis siswa serta meningkatkan kemampuan prestasi belajar siswa dalam pemecahan masalah”. Kecerdasan emosional menurut (Meshkat, 2011: 201)didefinisikan PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian dari analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS dan terdapat perbedaan kecerdasan emosional siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TPS. Hasil temuan ini diperkuat oleh penelitian Johnson & Johnson yang mengemukakan bahwa suasana belajar cooperative learning menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik dari pada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan memisahmemisah siswa”. Lebih lanjut Tanjung (2013) melakukan penelitian pada siswa SMK Percut Sei Tuan tentang kemampuan berpikir kreatif matematik dan motivasi belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD, dan hasilnya yaitu (1) kemampuan berpikir kreatif matematika yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STAD secara signifikan lebih baik dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. (2) motivasi belajar siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STAD secara signifikan lebih baik dibandingkan siswa yang mendapat 1 sebagai konstruksi yang melibatkan kemampuan individu untuk memantau mereka sendiri dan emosi orang lain , untuk membedakan antara efek positif dan negatif dari emosi dan menggunakan emosi informasi untuk memandu pikiran dan tindakan mereka. Dari hasil rekapitulasi jawaban siswa terhadap angket yang diberikan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TPS. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fertus (2012: 13) tentang the relationship between emotional intelligence and academic achievement of senior secondary school students in the federal capital territory, abuja, tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan prestasi akademik siswa dalam matematika, kemudian hasilnya bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara antara kecerdasan emosional dengan prestasi akademik siswa dalam matematika. Pembelajaran dengan pembelajaran koopertif dapat memberikan sumbangan dalam mengembangkan kecerdasan emoional siswa. Hal ini dapat diketahui dari hasil jawaban siswa melalui pemberian angket. Menurut Goleman (Sunar, 2010: 50), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). Kemudian dari hasil ketuntasan diperoleh bahwa siswa yang tuntas pada kelas eksperimen I sebanyak 20 siswa sedangkan pada kelas eksperimen II 15 siswa kemudian persentase ketuntasan belajar siswa kelas eksperimen I sebesar 86,96% sedangkan kelas eksperimen II 57,69%. Hal ini menunjukkan bahwa ketuntasan belajar siswa kelas eksperimen I lebih tinggi dari pada kelas eksperimen II yaitu dengan selisih sebesar 29,27%. Hal ini diakibatkan karena ada perbedaan pelakuan di kedua kelas. Di kelas eksperimen I menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dimana siswa belajar secara kelompok sebanyak empat sampai lima siswa, pembelajarannya berpusat pada siswa sehingga siswa tidak pasif tapi aktif dalam proses belajar mengajar sedangkan guru hanya mengontrol siswa. Sedangkan di kelas eksperimen II pembelajarannya menggunakan pembelajaran tipe TPS dimana siswanya belajar secara sendiri kemudian berpasangan dan baru secara bersama di kelas. Pembelajaran berpusat di siswa, ketika siswa bekerja secara sendiri banyak mengalami kesulitan, siswa yang kurang bisa akan merasa minder dan malu serta dia tidak menjawab soal, sedangkan pada pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa bekerja secara bersama-sama secara langsung tidak ada tahapantahapan yang berbeda-beda seperti pada pembelajaran kooperatif tipe TPS dimana siswa harus bekerja sendiri dahulu kemudian berpasangan dan baru bersama dengan kawan yang lain. Ini yang mengakibatkan ketuntasan pada kelas eksperimen I lebih baik dari pada kelas eksperimen II. KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS pada indikator 2 menyusun rencana, penyelesaian masalah dan memeriksa kembali, terdapat perbedaan kecerdasan emosional siswa antara siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan TPS, Ketuntasan hasil belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik dari pada pembelajaran kooperatif tipe TPS, hal ini terlihat dari persentase kertuntasan kelas yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD sebesar 86,96% sedangkan pada kelas yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TPS hanya 57,69% dengan selisih sebesar 29,27%. Bertolak dari hasil penelitian diatas, maka bagi guru mata pelajaran matematika untuk dapat memperbaharui model pembelajaran pada materi kubus dan balok dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD karena dari hasil penelitian telah diketahui terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. In Maths And Maths Achievement Of Middle Adolescent Boys And Girls, Proceeding of the Global Summit on Education (GSE2013) (Online) (http://worldconferences.net/pr oceedings/gse2013/papers_gse 2013/041%20Petro%20Erasmu s.pdfdiakses 3 Oktober 2013) Festus, Azuka Benard. 2012. The Relationship between Emotional Intelligence and Academic Achievement of Senior Secondary School Students in the FederalCapital Territory, Abuja,Journal of Education and Practice (Online) Vol 3, No 10, (www.iiste.orgdiakses 3 Oktober 2013) Meshkat, Maryam. 2011. The Relationship Between Emotional Intelligence and Academic Success, Journal of Technology & Education, (Online) Vol. 5, No.3,(http://jte.srttu.edu/brows e.php?a_id=284&slc_lang=fa& sid=1&ftxt=1diakses 3 Oktober 2013) Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sharei, Majeed. 2012. Investigation the effect of motional intelligence skills and metacognitive capabilities on student's mathematical problem solving. Educational Research, (Online) Vol. 3 No. 11, (http://interesjournals.org/fullarticles/-investigation-theeffect-of-emotionalintelligence-skills-andmetacognitive-capabilities-on- DAFTAR PUSTAKA Carlan, Veronica Galvan, Renée Rubin, and Bobbette M. Morgan. 2012. Cooperative Learning, Mathematical Problem Solving, and Latinos. The University of Texas at Brownsville and Texas Southmost College . (Online) (http://www.cimt.plymouth.ac. uk/morgan.pdf diakses 3 Oktober 2013) Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta Eramus, Petro. 2013. Relationship Between Emotional Intelligence, Study Orientation 3 studentsmathematical-problemsolving.pdf?view=inlinediakses 3 Oktober 2013) Suherman, Erman, Turmudi, Didi Suryadi, Tatang herman, Suhendra, Sufyani Prabawanto, Nurjanah, dan Ade Rohayati. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: JICAUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI) Sunar, Dwi. 2010. IQ, EQ & SQ. Jogjakarta:FlashBooks Tanjung, Roslina. 2013. Kemampuan berpikir Kreatif Matematik dan Motivasi Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD pada SMK Percut Sei Tuan. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Program Pascasarjana Pendidikan Matematika UNIMED Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran InovatifProgresif: Konsep, Landasan dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Wardhani, Sri. 2010. Implikasi Karakteristik Matematikadalam Penacapaian TujuanMata Pelajaran MatematikaDi SMP/MTs. (Online) (http://mgmpmatsatapmalang.fi les.wordpress.com/2011/11/kar akteristik-mat-smp.pdf, diakses 20 Juni 2013) Wena, Made. 2011. Strategi Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara. 4