METODE PEMBELAJARAN YANG MENDUKUNG KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI PADA FAKULTAS HUKUM UMTS1 Iman Jauhari2 ABSTRAK Metode pembelajaran dalam Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum harus dilihat dari tuntutan Program Studi Ilmu Hukum tersebut, agar hasil yang diharapkan betul-betul Sarjana Hukum yang dapat memiliki kemahiran hukum (legal skills), yaitu kemampuan menemukan dan menangani bahan hukum dalam tawaran penyelesaian masalah hukum dan penyelesaian yuridikal terhadap kemasyarakatan.Untuk itu dituntut kepada Dosen dalam memberikan pembelajaran kepada mahasiswa Fakultas Hukum harus mampu mengapresiasikan ilmu hukum yang dimilikinya kepada mahasiswa. Sehingga mahasiswa dalam memperoleh pembelajaran dari Dosen tidak hanya pengetahuan belaka (kognitif) tapi juga mahasiswa dapat menerapkan ilmu hukum yang diperolehnya dalam kehidupan masyarakat (psikomotorik). Kata kunci: Metode Pembelajaran dan KBK pada Fakultas Hukum. A. Pendekatan Mengajar terhadap Pendidikan Tinggi Hukum Pendidikan tinggi hukum diarahkan untuk menghasilkan sarjana hukum yang: 1. memiliki kemahiran hukum (legal skills): kemampuan menemukan dan menangani (interpretasi dan kritik) bahan hukum untuk menawarkan penyelesaian masalah hukum dan penyelesaian yuridikal terhadap masalah kemasyarakatan; 1 Tulisan ini disampaikan pada acara “Pelatihan Metode Pembelajaran yang Berbasis KBK” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan di Padangsidempuan, hari Sabtu 25 Juli 2009. Mengingat pentingya tulisan ini, kami masukkan kembali dalam edisi ini. 2 Dr.Iman Jauhari, SH,M.Hum adalah Dosen Tetap S-1 dan S-2 Fakultas Hukum Unsyiah Darussalam Banda Aceh, Dosen S-2 Magister Hukum Bisnis PPs-UMA Medan, Dosen S-2 Magister Ilmu Hukum PPs-UMSU Medan, Ketua Program Studi S-2 Ilmu Hukum PPs UMPAB Medan, dan Staf Peneliti Ahli pada Kantor Litbang Pemko Binjai. 1 2. berwawasan kebangsaan dan menghayati serta menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan yang fundamental; 3. memiliki intelektualitas yang berbudaya dan berakhlak tinggi serta bertaqwa; 4. memiliki komitmen pada keadilan, cita-cita luhur perjuangan bangsa, kepekaan terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, serta keprihatinan dan kepedulian kepada “orang kecil”; 5. menghayati nilai-nilai kultural pengemban profesi hukum; 6. memiliki kemampuan berfikir kreatif-imajinatif; 7. memahami dan menguasai sistem hukum positif. Untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi hukum yang digambarkan di atas, maka menyelenggarakan pendidikan tinggi hukum harus ditujukan untuk: 1. secara rasional-sistematis mentransfer pengetahuan ilmiah tentang Sistem Hukum Nasional yang berlaku, yakni sistem hukum positif sebagai suatu keseluruhan dan komponen-komponen utamanya (subsistem pokoknya); menstransfer Ilmu Hukum Nasional secara sistematis-logikal; 2. menumbuhkan kemampuan berfikir yuridik, yaitu kemampuan berfikir dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku secara kontekstual untuk menemukan dan menawarkan penyelesaian yuridikal terhadap masalah kemasyarakatan berdasarkan kaidah hukum positif serta mengacu keadilan dan penghormatan atas martabat manusiawi yang fundamental, jadi dengan selalu mengacu cita-cita hukum (untuk Indonesia: CitaHukum Pancasila) 3. Mentransmisi nilai-nilai kultural yang vital dan nilai-nilai kultural pengembanan profesi hukum. Beberapa contoh dari “kejadian instruksional” (instructional events) adalah: 1. Memberitahukan tujuan instruksional khusus (TIK) yang akan menjadi indikator bagi peserta didik bila mereka telah mencapai apa yang akan dipelajarinya. Caranya di sini adalah dengan menggambarkan atau 2 mendemontrasikan kegiatan dimana konsep, peraturan atau suatu prosedur itu diterapkan. 2. Memberikan rangsangan yang membantu peserta didik untuk menarik kembali (recal) pengetahuan yang telah dimilikinya. Maka, pengetahuan yang diminta untuk “ditarik” kembali ini harus berhubungan dengan pengetahuan yang akan diajarkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memanggil konsep atau peraturan yang akan diajarkan. 3. Pemberian bimbingan belajar. Seringkali dalam mengajarkan suatu peraturan (rule) atau prosedur misalnya, peserta didik harus dapat mengetahui hubungan yang ada antar peraturan-peraturan. Untuk itu, dapat saja diajarkan sejumlah peraturan atau prosedur lalu mengharapkan peserta didik akan melihat sendiri hubungan-hubungan yang ada (discovery learning). Bila melihat sendiri hubungan-hubungan yang terjadi itu hubungan- hubungan yang terjadi itu merupakan tujuan instruksional khususnya (TIK) maka cara penyajian yang demikian itu tepat. Akan tetapi bila tujuannya adalah peserta didik dapat meng-aplikasikan keterampilan berdasar pada peraturan atau prosedur yang tetah ditetapkan, maka peserta didik perlu mendapat bimbingan. Bimbingan di sini dapat berupa pemberian “hits” atau pertanyaan-pertanyaan di sini tidak bersifat pemberian jawaban. Ia lebih merupakan pemberian (suatu bimbingan berfikir) yang mengarah pada penggabungan beberapa sub keterampilan atau peraturan yang akan membawa ke arah pemahaman peraturan yang baru. 4. Pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk mengaplikasikan apa yang baru dipelajarinya dalam bentuk latihan (practice). Caranya adalah dengan meminta peserta didik, misalnya menunjukkan dalam bentuk tingkah laku atau mengatakan secara verbal beberapa konsep atau peraturan yang baru dipelajarinya itu. 5. Pemberian umpan balik (feedback). Di sini peserta didik diberi umpan balik (feedback) mengenai tingkat ketepatan atau kebenaran dari tingkah laku yang ditampilkan. Adapun pengertian tersebut adalah: 3 1. Keterampilan intelektual penggunaan konsep, peraturan (rules), atau dalam memecahkan suatu masalah (problem solving). Contoh: keterampilan mengubah musik atau menyusun karangan. 2. Strategi kognitif; penggunaan beberapa macam cara dalam mengontrol proses berfikir. Contoh : strategi dalam memecahkan masalah. 3. Informasi verbal; menyebutkan informasi. Contoh : nama-nama bulan, hari, kota dan lain-lain. 4. Keterampilan motorik; menampilkan gerakan-gerakan tubuh (motorik) dalam urutan-urutan yang tertentu. Contoh: mengetik, mengendarai sepeda dan lain-lain. 5. Sikap (atitude); memilih untuk bersikap atau mempunyai sikap tertentu. Contoh; patuh pada undang-undang lalu lintas. Keterampilan intelektual (intellectual skill) dapat dibagi lagi atas lima sub kelompok: 1. Diskriminasi (discrimination): dapat membedakan beberapa stimulus/ rangsang yang memang berbeda secara fisik satu sama lainnya. 2. Konsep kongkrit (concrete concept) : dapat mengidentifikasikan contohcontoh suatu konsep. 3. Mengidentifikasi konsep (defined concept) : dapat mengklasifikasikan benda, kejadian atau situasi dengan memberikan definisinya. 4. Peraturan (rules) : dapat mengaplikasikan peraturan (rule) yang ia ketahui. 5. Pemecahan masalah (problem solving): dapat membuat peraturan baru dari beberapa peraturan yang telah diketahuinya guna memecahkan suatu masalah. B. Karakteristik Peserta Didik Mahasiswa Hukum Malcolm Knowless (1970, 1973) menunjuk pada adanya perbedaan dasar dari sifat-sifat yang dibawa peserta didik anak dengan peserta didik dewasa dalam belajar. 4 1. Peserta didik anak cenderung menunjukkan sikap ketergantungan dalam proses belajar (tergantung pada dorongan dari luar/dosen, tergantung pada tersedianya materi bacaan/buku, dll), sedangkan peserta didik dewasa melihat dirinya sebagai orang yang mampu mengarahkan diri sendiri dalam belajar (self-directing). 2. Peserta didik mengharapkan sebagian besar dari pertanyaan yang ada dalam dirinya dapat diperoleh jawabannya dari orang lain atau suatu sumber di luar dirinya. Peserta didik dewasa, dalam ini mengharap dapat memperoleh jawabannya dari pengalaman-pengalaman yang lalu. 3. Peserta didik anak mengharapkan dapat selalu memperoleh tuntutan dalam menentukan apa yang dibutuhkan, sedangkan peserta didik dewasa sebaliknya. Jadi di sini “pelajaran” (instructing) bagi orang dewasa, harus memperhatikan faktor kedewasaan (maturity) dari peserta didik. Pelajaran (instruction) untuk peserta didik dewasa hendaknya: 1. Berorientasi pada masalah (problem centered), bukan materi (content centered). Di sini dilihat peserta didik lebih pada bagaimana dapat menerapkan ilmu/keterampilan (immedicy application), yang dipelajarinya secara segera bukan “future application”. 2. Memungkinkan dan mendorong partisipasi aktif dari peserta didik. 3. Mendorong peserta didik untuk menggunakan pengalaman-pengalaman yang ada (telah lalu) dalam memproses informasi baru dengan tujuan untuk melihat informasi tersebut dari susut pengalaman yang pernah dialaminya. Bagi peserta didik pengalaman yang pernah dialaminya membantu membentuk identitas diri, sehingga mempunyai nilai yang tinggi. 4. Memiliki situasi belajar yang bersifat “kerjasama” (colaborative); pengajar; peserta didik, dan peserta didik-peserta didik; tidak otoriter. 5. Mengajak peserta didik untuk bersama pengajar merencanakan pelajaran yang akan diberikan (bila dimungkinkan). 5 6. Mengajak peserta didik dalam mengevaluasi pelajaran. Dalam hal ini, misalnya peserta didik dapat diminta untuk menilai seberapa jauh bahan yang dipelajarinya itu membantu menerangkan pengalaman-pengalaman yang ada atau menjawab masalah-masalah yang dialaminya. Singkatnya, pendidikan bagi orang dewasa harus disusun sehingga dapat: 1. Membantu agar mereka bermotivasi untuk berubah 2. Membantu dalam mencerna informasi dan pengalaman secara efektif 3. Membantu mengembangkan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap atau ide-ide kreatif 4. Membantu mentransfer hal-hal yang dipelajarinya agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Motivasi merupakan kunci utama dalam proses belajar karena ia merupakan tenaga dorong untuk : 1. Mencari dan menemukan informasi yang dibutuhkan untuk dipelajari. 2. Menangkap dan mengolah informasi tersebut. 3. Menerapkan hasil pengolahan informasi tadi dalam kehidupan seharihari. C. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Mengajar 1. Mengutarakan tujuan dari pelajaran 2. Memberi umpan-balik (feed-back) 3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kecil 4. Mendapatkan perhatian versus ikut terlibat dalam kegiatan 5. Menampilkan diri (dalam bentuk tingkah laku) di hadapan peserta didik 6. Melakukan pendekatan dengan peserta didik 6. bahasa 7. Humor. D. Macam-macam Metode Mengajar 1. Metode Kuliah 6 Metode kuliah hukum lahir pada abad ke 12 “schoolarship” bersama lahirnya universitas di Eropa yaitu di Paris dan Irnerius setelah Yunani dan Romawi, dengan mengembangkan studi hukum di Boloqna yang diberi nama Stadium Generale (belum dinamakan universitas) yang dibagi 2 (dua) bagian, bagian pertama trivium yang terdiri dari gramatika, retorika dan logika. Bagian kedua quadrivium yang terdiri dari aritmatika, geometrika, astronomi dan musika. Stadium Generale di Boloqna yang menonjol adalah ”Law school” nya, karena kehadiran Irnerius. Kemudian ditemukan dalam manuskrip kuno di perpustakaan Italia, tentang “legal materials“ yang disebut “corpus iuris civilis” yaitu codex yaitu aturan-aturan dan putusan-putusan para kaisar Romawi. Novellae yaitu undang-undang. Institutiones Digestum atau yaitu buku teks ringkas tentang hukum. pandectae yaitu pendapat para yuris Romawi tentang berbagai masalah hukum. Para profesor di Boloqna memilih teks dari pandectae dan membacakan di hadapan mahasiswa. Karena teksnya itu sukar, maka dijelaskan (glos) orangnya glosaror, kata demi kata, baris demi baris. Gloss atau glossa dikembangkan menjadi 2 (dua) macam yaitu: Notabilia adalah ringkasan isi kalimat yang di-gloss, dan kedua brocardica adalah pernyataan aturan umum yang luas (maxims = proposisi universal) berdasarkan bagian dari teks yang di-glos. Kemudian dosen membuat anotasi terhadap teks dengan membuat klasifikasi disebut “distinctions,” baru “question” dan “disputatio” dalam berbagai kasus. Cara mengajar dan mengkaji “legal materials” yang terdapat dalam pandectae disebut dengan metode skolastik yaitu metode dialektika yakni metode analisis dan sintesis. Macam–macam Metode mengajar 1. Metode kuliah Kuliah bila diartikan secara umum adalah semua ucapan pengajar. Jadi ia merupakan suatu media dari simbol-simbol yang diucapkan secara verbal. 7 Kuliah di sini secara relatif dapat dikatakan hanya menuntut sikap pasif dari peserta didik, tidak terlalu menstimulir mereka untuk menjalani proses belajar, terkecuali bila pengajar memiliki suara yang bagus dan menyenangkan serta “bakat” bercerita di depan umum (rethorical talent). Di balik kelemahan yang diberikan di atas, berikut ini ada beberapa saran agar metode kuliah ini dapat lebih bermanfaat. a. Bicaralah dengan suara yang cukup keras dan jelas. Pengeras suara dibutuhkan bila kelas berisi lebih dari 25 orang. b. Aturlah sedemikian rupa sehingga satu kuliah itu bergerak pada satu tema (thesis) saja. c. Masukkan di dalamnya suatu area yang dapat didiskusikan bersama sehingga dapat mengembangkan tema tadi d. Dalam diskusi tersebut persiapkan berbagai bukti konkret yang dapat menunjang teori yang diberikan, seperti hasil analisa, contoh-contoh kejadian konkret, berbagai ilustrasi, kutipan-kutipan dan bila mungkin benda-benda konkret yang dapat dipertunjukkan. e. Selain itu metode ini sebenarnya tidak melarang digunakannya alat bantu mengajar (visual aids) seperti “overhead projector”. Juga tidak menutup kemungkinan adanya “interupsi” dari peserta didik, mungkin dalam bentuk pertanyaan ataupun komentar. Sehubungan dengan “interupsi” ini seseorang ahli justru menganjurkan diberikan apa yang disebut “swiss cheese lecture”: yaitu presentasi yang berisikan banyak “lubang” sehingga semacam memancing peserta didik untuk bertanya. 2. Tugas Membaca (Reading Assignaments) Tugas membaca (bab, buku atau artikel) tidak banyak merangsang aktivitas indra di selain indra penglihatan. Dalam menjalankan tugas ini sebagian besar dari usaha pembaca hanya memusatkan perhatian pada apa yang dibaca. Oleh karena itu tugas membaca ini, seperti halnya kuliah, harus disertai dengan aktivitas lain yang dapat mengukur dan membantu proses menginga 8 3. Demonstrasi Demonstrasi paling tepat digunakan untuk mengajarkan keterampilan motorik (psikomotor skills) seperti mengetik atau bermain tenis. Akan tetapi ia juga dapat digunakan untuk keterampilan lain seperti (teknik) mewawancara, berkomunikasi atau (membering) konseling. 4. Kunjungan di Lapangan Kunjungan lapangan tidak selalu merupakan kegiatan dimana peserta didik akan aktif mengambil bagian dalam pengalam belajar yang diberikan. Ini tergantung pada persiapkan pengajar terhadap penentuan macam/jenis belajar yang akan diberikan yang mendukung tujuan pelajaran. Sebagai contoh, bila ada peserta didik diberikan sejumlah pertanyaan yang harus dicari jawabannya selama kunjungan mengikuti proses pengadilan misalnya, maka ini dapat membantu peserta didik dalam mengarahkan apa yang penting untuk diperhatikan. Hasil jawaban yang diberikan peserta didik itu kemudian dapat didiskusikan di ruang kelas. 5. Diskusi Panel Diskusi panel atau kadangkala dikenal pula dengan nama kolokium (collogium) atau simposium pada umumnya terdiri dari beberapa kuliahkuliah “kecil” yang diberikan oleh beberapa orang dengan masing-masing mempunyai isi yang berbeda akan tetapi satu sama lain mendukung suatu tujuan umum yang ingin dicapai dari diskusi tersebut. 6. Diskusi Berstruktur Diskusi berstruktur merupakan suatu bentuk percakapan antar peserta diskusi yang diarahkan pada suatu tema dan tujuan tertentu. Tujuan yang akan dicapai dari diskusi. 7. Cognet “Cognet” adalah singkatan dari “cognitive networks”. Dilihat dari namanya: “cognet” maka ia digunakan bila tujuan akhir dari pelajaran adalah keterampilan intelektual (intellectual skills) atau strategi kognitif. Salah satu 9 contoh tujuan yang sering menggunakan metode ini adalah “strategy planning”, macam-macam kepemimpinan atau bentuk hubungan interpersonal. 8. Behaviour Modeling “Behaviour modeling” dengan mendemonstrasikan tidak banyak berbeda. Hanya “behaviour modeling” ini umumnya digunakan bila tujuannya adalah mensejajarkan keterampilan intelektual atau kognitif, sedangkan demonstrasi hanya untuk tujuan yang bersifat keterampilan motorik. 9. Brainstorming “Brainstorming” umumnya digunakan dalam situasi yang memerlukan pencarian macam-macam cara pemecahan dari suatu masalah. Di sini setiap peserta didik diminta untuk memberikan sebanyak mungkin saran mengenai cara pemecahan. Terhadap setiap saran yang masuk tidak dilakukan penilaian ketepatannya (benar/salah). Baru setelah semua saran tertampung dibicarakan ketepatan saran tersebut dalam menyelesaikan masalah. Jadi di sini peserta didik dilatih untuk menjadi pendengar yang baik. Tidak memberi komentar apapun yang dapat mematahkan kreatifitas peserta didik. Metode “brainstorming” ini mempunyai tiga tahapan : pengumpulan, analisa dan perencanaan tindakan, yaitu: a. Pengumpulan. Di sini tidak ada penilaian terhadap ide yang sebanyak mungkin (kuantitasnya). b. Analisa. Dalam tahap kedua ini para pemberi ide diminta untuk menjelaskan idenya, khususnya bagi istilah-istilah asing. Selanjutnya, di sini disusun kriteria untuk memilih ide-ide yang terbaik. Dengan adanya kriteria ini maka setiap ide yang sudah terkumpul akan dinilai kedudukannya, apakah akan dipilih menjadi salah satu alternatif yang akan dipakai atau dibuang. Pada akhir tahap kedua, akan terkumpul sejumlah ide yang dianggap paling tepat untuk menjawab masalah. 10 c. Perencanaan tindakan. Dalam tahap ini disusun langkah-langkah operasional dari ide yang terpilih di atas. 10. Studi Kasus Studi kasus merupakan salah satu cara yang banyak digunakan orang untuk mengerahkan diskusi ke dalam dunia relaitas (dunia nyata), bukan secara teoritis. Umumnya dalam studi kasus ini para peserta mendapat deskripsi tertulis mengenai suatu situasi (yang terjadi di dunia pekerjaan/riil) yang membutuhkan pemecahan masalah. Deskripsi situasi ini harus cukup rinci dan lengkap sehingga peserta dapat memberikan jalan keluar penyelesaiannya. 11. Incident Proces “Incident Proces” ini merupakan suatu studi kasus akan tetapi menggkhusus sifatnya. Beberapa dengan studi kasus, dalam metode “incident proces” ini data yang diberikan sangat terbatas yaitu tidak cukup untuk peserta didik mengambil suatu keputusan. Walaupun demikian, pengajar memiliki data yang diperlukan dan baru akan diberikan pada peserta didik mengajukan bila mereka pertanyaan meminta yang tepat untuk mengetahui (sehingga bagaimana data/informasi yang diinginkan keluar), bagaimana merumuskan pertanyaan tersebut dengan kata-kata yang tepat dan bagaimana membuat suatu kesimpulan dari data yang diperoleg. Dengan perkataan lain, metode ini sebenarnya mengajarkan keterampilan meng-interogasi, analisis dan sisntesis. 12.Simulasi Dalam simulasi peserta diminta untuk bermain peran (role play), apakah sebagai hakim dari suatu proses pengadilan, jaksa atau penasehat. Pada mereka diberikan data-data mengenai kondisi eksternal dan internal dari masalah serta keputusan-keputusan penting yang harus diambil. 11 E. Persiapan Ruang Belajar dan Alat bantu Mengajar a. Tempat/ruang di mana proses belajar-mengajar akan berlangsung harus bersifat fleksibel dapat segera disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. b. Selain ruang, dalam proses belajar mengajar juga hendaknya diperhatikan jenis alat bantu mengajar ketepatan pemilihan jenis alat bantu mengajar seringkali dilupakan. Secara umum, kurang lebih terdapat tujuh macam alat-alat bantu mengajar, dimulai dari layar, proyektor, video, audio-tape, papan tulis, model dan simulasi (biasanya menggunakan laptop). c. Ada hal-hal umum yang selalu harus diperhatikan dalam pemilihan ruangan, yaitu fleksibilitas, isolasi, penerangan, sirkulasi udara (ventilasi) dan fasilitas untuk mengakomodasikan perlengkapan seperti papan tulis, layar dan lain-lain. F. Evaluasi Hasil Belajar Pengukuran inilah yang disebut sebagai evaluasi. Evaluasi dapat terjadi selama proses belajar-mengajar itu berlangsung yang disebut sebagai evaluasi formatif dan setelah pelajaran berlangsung yang dikenal dengan evaluasi sumatif. 1. Evaluasi Formatif Mengingat kegunaan dari evaluasi formatif ini adalah untuk menemukan kelemahan dan kekuatan pelaksanaan pelajaran, dilihat dari persepsi peserta didik maupun ahli pembuat instruksional, maka pertanyaan yang diajukan harus cukup luas dan mencakup beberapa aspek. 2. Evaluasi Sumatif Berbeda dengan evaluasi formatif, evaluasi sumatif ini dilakukan pada saat menjelang peserta didik selesai mengikuti program belajar/pelatihan. Untuk dapat melihat kemajuan dari setiap peserta didik, sebelum penilaian diakhir pelajaran dilakukan (post-test), hendaknya juga dilakukan penilaian 12 pada permulaan program (pre-test). Perbedaan antara pre-test dan post-test ini akan menggambarkan kemajuan pengetahuan/keterampilan dari setiap peserta didik. G. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada Bagian Hukum Perdata Beban program studi bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum dihitung dengan menggunakan Satuan Kredit Semester (SKS) sekurang- kurangnya 144 SKS dan sebanyak-banyaknya 160 SKS. Rektor menetapkan kurikulum utuh sebagai pengembangan kurikulum yang berlaku secara nasional atas usul dekan berdasarkan pertimbangan senat fakultas atau dewan departemen. Materi kurikulum yang ditetapkan oleh masing-masing kurikulum institusional, yang terdiri atas mata kuliah wajib universitas, mata kuliah wajib fakultas dan mata kuliah wajib pilihan. Tujuan perkuliahan di sini adalah agar mahasiswa memahami pengetian, latar belakang, ruang lingkup Hukum Perdata yang berlaku dulu maupun sekarang. Materi perkuliahannya yaitu : tinjauan umum Hukum Perdata, pengetian, lingkup, sejarah BW, berlakunya BW di Indonesia dan sistematika BW. Hukum Perorangan, subjek hukum, kecakapan berbuat, perwalian dan pengampunan, pendewasaan, keadaan tak hadir, domisili. Hukum pengertian, kekeluargaan, macam benda, hak kebendaan, penyerahan/levering. Hukum kewarisan, pengertian pengaturannya dalam BW, asas dan unsur waris, pewarisan menurut undang-undang, pewarisan menurut statement. Hukum perikatan, pengertian, pengertian dalam buku III BW, sumber-sumber perikatan, syarat sahnya perjanjian, personalia perjanjian, pelaksanaan wanprestasi, berakhirnya perikatan, dan macammacam alat bukti. Selanjutnya yang menjadi mata kuliah pada bagian dan departemen hukum perdata yaitu: hukum perdata, hukum dagang, hukum pembiayaan/perbankan, hukum kontrak dagang, perbandingan hukum perdata, hukum perdata internasional, hukum konsumen, hukum 13 pengangkutan, hukum asuransi, hukum perjanjian, hukum tanah, hukum adat, hukum zakat/wakaf, hukum Islam, perbandingan hukum Islam, hukum waris Islam, kaidah-kaidah hukum Islam dan filsafat agama Islam. Daftar Pustaka Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Bandung, Alumni, 1986. L. J. Van Apeldroon, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramita. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. SK Mendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Perguruan Tinggi Dan Hasil Penilaian Belajar. SK Mendiknas Nomor 045/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. SK Dirjen Dikti Nomor 43/Dikti/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Di Perguruan Tinggi. SK Dirjen Dikti Nomor 08/DJ/Kep/1983 Tentang Beban Tugas Tenaga Pengajar Pada Perguruan Tinggi Negeri Dirjen Dikti. 14