2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall)
Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterigii
Famili
: Chanidae
Genus
: Chanos
Spesies
: Chanos chanos
Gambar 1. Ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) (Anonima 2009)
Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas ekspor yang dikenal dengan
sebutan milkfish. Ikan ini memiliki karakteristik tubuh langsing seperti peluru
dengan sirip ekor bercabang sebagai petunjuk bahwa ikan bandeng memiliki
kesanggupan berenang dengan cepat. Tubuh ikan bandeng berwarna putih
keperak-perakan dan dagingnya berwarna putih susu. Bentuk tubuh ikan bandeng
dapat dilihat pada Gambar 1. Ikan bandeng di alam memiliki panjang tubuh
mencapai 1 m. Namun ikan bandeng yang dibudidayakan di tambak hanya
mempunyai ukuran tubuh maksimal 0,5 m. Ikan bandeng memiliki daerah
penyebaran sangat luas yaitu dari Pantai Afrika Timur sampai ke Kepulauan
Tuamutu sebelah timur Tahiti dan dari Jepang Selatan sampai Australia Utara
(Murtidjo 2002).
Ikan bandeng mempunyai sifat euryhalien (tahan terhadap perubahan yang
besar dari kadar garam dalam air), yang memungkinkan mereka untuk dipelihara
dalam air payau. Pada kadar garam tambak air payau tidak konstan, kehidupan
ikan bandeng tidak terpengaruh (Soeseno 1983). Di tambak, ikan bandeng
memakan klekap, yaitu suatu kehidupan kompleks (plant complex) yang tersusun
dari berbagai jenis bakteri, alga hijau biru baik uniseluler maupun berfilamen dari
familia Oscillatoria, semua jenis Diatomae dan potongan dari alga hijau. Dari
kelompok hewan terdiri dari Protozoa, Entomostraca, Copepoda, cacing pipih,
cacing bulat serta berbagai jenis Mollusca dan udang tingkat rendah yang
bergabung dengan jenis tumbuhan dan membentuk biological complex (Purnomo
dan Muchyiddin 2007). Adapun kandungan gizi ikan bandeng dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan bandeng
Zat gizi
Kalori
Protein
Lemak
Air
Kalsium
Posfor
Besi
Vitamin A
Vitamin B6
Vitamin B12
Jumlah
126,0
17,4
5,7
60,2
43,4
138,0
0,3
85,0
0,4
2,9
Satuan
kalori
gram
gram
gram
milligram
milligram
milligram
milligram
milligram
milligram
Sumber: www.nutritiondata.com (2007)
2.2 Kemunduran Mutu Ikan
Penanganan ikan memegang peranan penting dalam mempertahankan
kesegaran ikan sebagai bahan makanan atau bahan mentah untuk pengolahan
lebih lanjut . Penanganan tersebut dimulai dari cara penangkapan atau pemanenan
ikan yang baik, pengolahan, sampai proses distribusi kepada konsumen
(Moeljanto 1992). Menurut Standar Nasional Inonesia (SNI) 01-2346-2006, ikan
yang masih segar mempunyai ciri-ciri antara lain mata cerah, bola mata menonjol
dan kornea jernih. Insang berwarna merah cemerlang dan tanpa lendir. Tekstur
dagingnya padat, elastis, sayatan daging sangat cemerlang. Permukaan badannya
mengkilat dengan lapisan lendir jernih dan berbau sangat segar sesuai jenisnya
(BSN 2006).
Setelah ikan mati terjadi perubahan penampakan, tekstur, dan aktivitas
kimiawi dalam tubuh ikan (Gill 2000). Perubahan mutu pada ikan disebabkan oleh
tiga hal utama, yaitu enzim, bakteri dan biokimia (Govindan 1985). Perubahanperubahan yang terjadi pada ikan setelah mati dapat dilihat pada Gambar 2.
Ikan mati
Sistem syaraf
dan
hormon terhenti
Sirkulasi darah terhenti
Suplai vitamin,
antioksidan, dll
terhenti
Suplai
oksigen
terhenti
Keseimbangan
osmotik
rusak
Akumulasi
bakteri
Potensial redoks
menurun
Respirasi terhenti
(glikogen-/ CO2)
Glikolisis terjadi
(glikogen as. laktat)
Penurunan
suhu
Penguraian fosfat
berenergi tinggi
Penurunan
pH
Pemadatan
lemak
Permulaan
rigor mortis
Denaturasi
protein
Pembebasan dan
pengaktifan katepsin
Protein
melepaskan
Ca2- dan
mengikat K+
Oksidasi lemak
dan
ketengikan
Akumulasi,
metabolit, pemicu
flavor, dll
Perubahan
warna
Penguraian
protein
Pertumbuhan
bakteri
Gambar 2. Perubahan yang terjadi setelah ikan mati (Eskin et al. 1990)
2.2.1 Tahapan post mortem
Segera setelah ikan mati, terjadi perubahan-perubahan yang dapat
mengakibatkan penurunan mutu ikan. Penurunan tingkat kesegaran ikan
menyebabkan berbagai perubahan biokimia dan fisikokimia. Proses perubahan
tersebut dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor
(Eskin et al. 1990).
Fase pre rigor merupakan tahap pertama dari post mortem ikan. Keadaan ini
ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan
mudah dilenturkan (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada fase ini, jaringan otot ikan
menjadi lunak dan lembut dan secara biokimia dicirikan dengan mulai
menurunnya jumlah ATP dan kreatin fosfat (Eskin et al. 1990).
Tahap selanjutnya adalah rigor mortis. Perubahan pada fase ini merupakan
akibat dari suatu rangkaian kimiawi yang kompleks di dalam otot ikan sesudah
kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen
berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan
ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun (Eskin et al. 1990). Rigor mortis terjadi
setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak mampu lagi
mempergunakan cadangan energi. Apabila ATP telah habis, maka daging akan
semakin cepat mengalami rigor mortis. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin
dan miosin saling menindih membentuk ikatan aktomiosin yang permanen
sehingga otot tidak dapat diregangkan. Proses hilangnya daya regang otot sampai
terbentuknya kompleks aktomiosin mula-mula berlangsung lambat, kemudian
berlangsung secara cepat dan akhirnya berlangsung secara konstan dengan
kecepatan rendah sampai terjadinya kekakuan. Apabila keratin fosfat sudah habis,
maka lamanya perkembangan rigor mortis akan ditentukan oleh jumlah glikogen
yang masih tersedia di dalam otot dan enzim-enzim glikolitik yang masih mampu
bekerja (Soeparno 2005). Selain itu, proses rigor mortis juga diikuti oleh
penurunan daya ikat air daging. Penurunan daya ikat air oleh protein daging ini
dapat disebabkan oleh penurunan pH atau karena denaturasi protein sarkoplasmik
(Lawrie 1995).
Fase rigor mortis pada ikan lebih pendek daripada mamalia (Govindan
1985). Pada fase ini pH tubuh ikan turun menjadi 6,2–6,6 (Bramsnaes 1965).
Waktu rigor mortis pada ikan umumnya berkisar antara 1-7 jam setelah kematian
yang disebabkan oleh banyak faktor. Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk
dan melewati fase ini tergantung pada spesies ikan, kondisi fisik ikan, derajat
perjuangan ikan sebelum mati, ukuran, cara penangkapan, dan suhu selama
penyimpanan (Eskin et al. 1990).
Fase terakhir post mortem ikan adalah fase post rigor. Tahap ini ditandai
dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase ini meliputi autolisis,
pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan (Yunizal dan Wibowo 1998). Menurut
penelitian Rustamaji (2009), pada fase ini enzim katepsin mengalami aktivitas
yang optimum sehingga proses autolisis menjadi meningkat.
Proses pembusukan ikan ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa
basa volatil. Komponen utama total volatile base (TVB) adalah amoniak (NH3),
trimetil amin (TMA), dan dimetil amin (DMA). Nukleotida utama yang berperan
dalam mentransfer energi, yaitu ATP, juga berperan dalam penambahan jumlah
amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa
utama pembawa energi kimia dalam sel. Kondisi anaerob setelah ikan mati akan
menyebabkan ATP terurai dengan melepaskan energi (Yunizal dan Wibowo
1998).
2.2.2 Proses perubahan karena aktivitas enzim
Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja
secara aktif. Namun, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ
pengontrol tidak berfungsi lagi, akibatnya enzim dapat merusak organ tubuh ikan.
Peristiwa ini disebut autolisis atau proteolisis karena daging ikan sebagian besar
mengandung protein yang diuraikan menjadi asam-asam amino. Selain itu,
aktivitas enzim juga menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen flavor
dan warna pada daging (diskolorisasi) (Ilyas 1983), penampakan, tekstur, dan
aktivitas kimiawi dalam tubuh ikan (Gill 2000). Menurut Sikorski dan Sun Pan
(1994), proses perubahan tersebut disebabkan adanya aktivitas enzim dan mikroba
yang menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Salah satu perubahan
tersebut adalah terjadinya proteolisis miofibril. Selama penyimpanan pada suhu
chilling, enzim dalam tubuh ikan menyebabkan hilangnya kesegaran ikan secara
bertahap dengan melemahkan struktur miofibril. Aktivitas enzim tersebut
disebabkan beberapa faktor, seperti menurunnya pH, konsentrasi ion kalsium
bebas dan adanya inhibitor dalam tubuh ikan (Ladrat et al. 2004).
Aktivitas enzim digunakan sebagai indikator perubahan kualitas ikan.
Enzim-enzim tersebut berasal dari dalam tubuh ikan. Perubahan pada post
mortem, pengolahan, thawing, penyimpanan suhu chilling dan pembekuan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan organel seluler seperti mitokondria dan
lisosom sehingga menyebabkan keluarnya enzim proteolisis (Gopakumar 2000).
Ciri terjadinya perubahan autolisis ini adalah dihasilkannya amoniak sebagai hasil
akhir yang disebabkan oleh penguraian adenosine triphosphate (ATP) oleh enzimenzim dalam jaringan tubuh ikan. Proses penguraian ATP oleh enzim dapat dilihat
pada Gambar 3.
Adenosin triphosphate
Adenosine diphosphate
(ATP)
(ADP)
1
Hipoksantin
(Hx)
Adenosine monophosphate
(AMP)
2
Inosin
5,6
(Ino)
3
Inosin monophospate
4
(IMP)
7
Santin (Xa)
Asam urea
8
Gambar 3. Proses degradasi ATP oleh enzim.1) ATPase; 2) Myokinase; 3) AMP
deaminase; 4) Nukleotidase; 5) Nukleoside phosphorylase; 6) Inosine
nucleosidase; 7,8) Xanthine oxidase (Gill 2000)
Untuk menghindari terjadinya autolisis, ikan dipanaskan pada kondisi suhu
60-80 ⁰C dalam waktu relatif singkat (5 menit) atau lebih dikenal dengan istilah
blancing. Cara lain adalah dengan menurunkan suhu hingga 0 ⁰C atau lebih rendah
lagi agar aktivitas enzim dapat dikurangi. Penggunaan suhu rendah lebih
menguntungkan dibandingkan dengan blancing karena dengan cara ini kondisi
ikan masih tetap segar (Afrianto dan Liviawaty 1989).
2.2.3 Proses perubahan karena aktivitas mikroorganisme
Ikan segar dan produk perairan lainnya merupakan komoditas yang cepat
mengalami kerusakan dibandingkan daging hewan lainnya. Mutu ikan menurun
secara cepat disebabkan kontaminasi mikroba dari berbagai sumber terutama
setelah mengalami kebusukan (Gram dan Huss 1996). Jumlah mikroba merupakan
salah satu faktor utama yang menentukan kelayakan ikan dikonsumsi oleh
manusia. Mikroba tersebut dapat berupa virus, bakteri maupun parasit. Menurut
Adawyah (2007), mikroorganisme yang dominan menyebabkan kerusakan ikan
adalah bakteri karena ikan mempunyai kandungan protein dan kadar air yang
tinggi serta pH daging yang mendekati netral sehingga menjadi media yang cocok
untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi bakteri dapat terjadi ketika pemanenan,
distribusi, peyimpanan maupun pengolahan (Sikorski dan Sun Pan 1994).
Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau lukaluka yang terdapat pada kulit menuju jaringan daging dari permukaan kulit
menuju ke jaringan tubuh bagian dalam. Akibat serangan bakteri, ikan mengalami
berbagai perubahan, yaitu lendir menjadi lebih pekat, bergetah, amis, mata
terbenam dan pudar sinarnya, serta insang berubah warna dengan susunan tidak
teratur dan bau menusuk. Adapun jenis-jenis bakteri yang biasanya mencemari
produk perikanan antara lain: Salmonella, Staphylococcus aureus, Vibrio
parahaemolyticus, dan Escherichia coli (Prasetyawan 2008).
Dalam pengawetan ikan semua usaha dilakukan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri salah satunya adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah
(chilling). Penyimpanan ikan pada suhu chilling merupakan salah satu cara untuk
mengurangi laju kemunduran mutu ikan karena dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dan aktivitas enzim (Clucas dan Sutcliffe 1981). Lama kemunduran ikan
yang disimpan pada suhu chilling dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti cara
penangkapan atau pemanenan, higienitas selama pengolahan, dan rata-rata suhu
chilling yang digunakan dalam penyimpanan (Sikorski dan Sun Pan 1994).
2.3 Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik
Proteinase atau dikenal juga dengan enzim proteolitik atau protease adalah
enzim yang memiliki kemampuan untuk mendekomposisi protein (Govindan
1985). Enzim ini dihasilkan oleh kelenjar pencernaan ikan. Seperti halnya
proteinase dari tanaman, hewan dan mikroorganisme, proteinase dari ikan
melakukan aksi hidrolisis dan memecah ikatan peptida dengan molekul air
sebagai reaktan (Simpson 2000).
Protein yang mengalami denaturasi akan labil terhadap serangan enzimenzim proteolitik. Selama fase post mortem, enzim-enzim memecah tenunan
pengikat (protein) menjadi asam-asam amino penyusunnya. Salah satu enzim
proteolitik yang berperan dalam penguraian protein adalah katepsin (B, D, H, dan
L) dari lisosom yang optimum dengan pH di bawah 6. Katepsin B dan L
merupakan enzim yang mampu mendegradasi protein-protein urat daging lebih
baik daripada jenis katepsin yang lain (Lawrie 1995).
Aktivitas enzim pada ikan tergantung dari beberapa hal seperti spesies ikan,
macam produk (round fish, fillet utuh, skinless), cara dan kondisi penyimpanan.
Sebagai contoh, fillet ikan yang telah dithawing dan disimpan dalam es
mempunyai aktivitas enzim yang lebih tinggi daripada fillet ikan segar (Rehbein
dan Cakli 2000). Tingkat proteolisis juga dipengaruhi oleh pH dan temperatur.
Pada suhu 37 ⁰C, aktivitas proteolitik lebih besar daripada suhu 5 ⁰C (Lawrie
1995).
Menurut caranya dalam mengkatalisis protein, enzim proteolitik pada ikan
diklasifikasikan menurut 4 kategori, yaitu proteinase aspartat, proteinase serin,
thiol atau cystein proteinase dan metalloproteinase. Enzim proteolitik juga
diklasifikasikan berdasarkan sensifitas pH seperti asam, netral atau protease
alkalin. Pada saat ini, proteinase banyak digunakan dalam industri makanan untuk
meningkatkan karakteristik produk, tekstur cereal, pelunakan daging, recovery
protein tulang dan hidrolisa protein darah. Akan tetapi, sejauh ini penggunaan
proteinase dari hewan laut sangat terbatas. Hal ini disebabkan kurangnya
informasi tentang enzim tersebut dan dihadapkan dengan masalah ketersediaan
sumber bahan baku yang harus kontinyu. Spesies ikan yang berbeda dengan
kondisi habitat yang berbeda (suhu, tekanan, salinitas, intensitas cahaya, aerasi)
menyebabkan genetika yang berbeda sehingga dihasilkan proteinase yang
unik/tertentu, berbeda dengan enzim dari hewan terestrial, tanaman dan
mikroorganisme (Simpson 2000).
2.4 Enzim
Enzim adalah molekul non hayati yang disekresikan oleh semua sel hidup,
baik tanaman, hewan dan mikroba. Di dalam sel, enzim ini memudahkan ribuan
reaksi kimia yang memungkinkan sel untuk hidup, memperbaiki dan membuang
produk limbahnya, serta berkembang biak (Suhartono 1988).
Karena enzim adalah protein, faktor-faktor yang dapat mengubah
konformasi protein juga dengan sendirinya potensial untuk mengubah konformasi
enzim. Keadaan pH, suhu, kekuatan ion, dan polaritas larutan, serta adanya logam
yang bersifat destruksif harus diperhatikan apabila melakukan isolasi enzim,
artinya memisahkan enzim dari lingkungan sel hidup yang ringan tersebut.
Menurut Suhartono (1988) ada empat sifat khas enzim, yaitu:
sangat aktif, walaupun konsentrasinya amat rendah
sangat selektif
bekerja pada keadaan reaksi yang ringan (tanpa suhu atau tekanan tinggi)
hanya aktif pada selang suhu atau pH yang sempit.
Enzim adalah katalisator sejati. Molekul ini meningkatkan dengan nyata
kecepatan reaksi kimia spesifik yang tanpa enzim akan berlangsung amat lambat.
Enzim memiliki tenaga katalitik luar biasa yang biasanya jauh lebih besar dari
katalisator sintetik. Spesifitas enzim amat tinggi terhadap substratnya, enzim
mempercepat reaksi kimiawi spesifik tanpa pembentukan produk samping, dan
molekul ini berfungsi di dalam larutan encer pada keadaan suhu dan pH normal
(Lehninger 1998).
Jika enzim mengkatalisis reaksi suatu senyawa, senyawa tersebut
dinamakan substrat bagi enzim. Substrat melekat pada enzim dengan ikatan non
kovalen membentuk kompleks enzim-substrat. Pelekatan terjadi pada bagian
enzim yang dinamakan sisi aktif (active site). Tapak atau sisi aktif enzim
merupakan bagian dari struktur tiga dimensi enzim yang nyatanya hanya terdiri
dari beberapa asam amino saja (Suhartono 1988).
2.5 Enzim Katepsin
Enzim proteolitik (proteinase) diklasifikasikan dalam dua famili utama,
yaitu eksopeptidase dan endopeptidase. Dalam jaringan otot, katepsin dan enzim
hidrolisis lainnya ditempatkan pada organel subseluler atau lisosom. Menurut pH
optimumnya, enzim proteolitik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu protease
asam, netral dan basa. Protease asam atau disebut juga lysosomal cathepsin terdiri
dari berbagai macam enzim katepsin, seperti katepsin A, B, C, D, E, H, dan L
(Choi et al. 2005). Menurut sisi aktif dari asam aminonya, katepsin dibedakan
menjadi tiga kelompok, yaitu sistein (katepsin B, C, H, F, K, L, O, S, V, W),
aspartat (katepsin D, E), dan serine (katepsin G) (Duve 1983). Katepsin dikenal
sebagai famlili endopeptidase dan atau eksopeptidase. Banyak katepsin optimal
pada pH asam walaupun beberapa diantaranya paling aktif pada pH netral (Haard
1994).
Macam katepsin diklasifikasikan menjadi katepsin A, B, C dan seterusnya
tergantung pada aktivitas dengan substrat sintesik yang spesifik. Katepsin A
termasuk jenis eksopeptidase yang mempunyai pH optimum 5-6 dan tidak aktif
dalam kondisi panas dan alkali. Katepsin ini telah didapatkan dari beberapa
jaringan ikan seperti bandeng yang aktif pada pH 7 dan cod pada pH 5. Katepsin
B mempunyai aktivitas optimum pada pH 5,5-6 dan mulai tidak stabil pada pH
diatas 7. Katepsin ini dapat mendegradasi jaringan aktin, miosin, dan troponin.
Jenis katepsin ini telah ditemukan pada berbagai jenis ikan antara lain: gurame,
grey mullet, tilapia dan mackerel. Aktivitas katepsin B mengalami penurunan
pada saat fase post mortem dalam penyimpanan suhu dingin. Katepsin C dikenal
dengan sebutan dipeptida aminopeptidase dan dipeptida transferase. Katepsin ini
mempunyai aktivitas optimum pada pH 6-7. Menurut Haard (1994), aktivitas
katepsin C berpengaruh terhadap flavor ikan yang difermentasi. Katepsin D
mempunyai aktifitas optimal pada pH 3,5. Berbagai penelitian mengindikasikan
bahwa katepsin D hanya mengautolisis jaringan ikan pada spesies tertentu.
Penelitian Sakai dan Matsumoto et al. (1981) diacu dalam Haard (1994)
mendapatkan bahwa katepsin D berperan dalam autolisis jaringan cumi-cumi
Pasifik tetapi tidak pada jaringan cumi-cumi Atlantik. Berbagai enzim proteolitik
yang terdapat pada jaringan lisosom ikan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan lisosom ikan
Enzim
Katepsin B
Famili
Sistein
Aktivitas
Endopeptidase
Katepsin H
Sistein
Endopeptidase
Katepsin J
Sistein
Endopeptidase
Katepsin L
Sistein
Endopeptidase
Katepsin C
(Dipeptidil
peptidase I)
Dipeptidil
peptidase II
Katepsin D
Sistein
Endopeptidase
Sistein
Endopeptidase
-
Aspartat
Endopeptidase
Aspartat
Endopeptidase
Dimurnikan dan diidentifikasi
dari otot berbagai spesies ikan
-
Serin
Eksopeptidase
Sistein
Eksopeptidase
γ-glutamil
karboksipeptidase
Katepsin A dan I
Katepsin S
Proses dan asal enzim
Diidentifikasi pada berbagai
spesies ikan
Diidentifikasi pada otot ikan
salmon
Diidentifikasi pada otot ikan
salmon dan mackerel
Diidentifikasi dari otot
berbagai spesies ikan
Dimurnikan dan diidentifikasi
dari otot berbagai spesies ikan
Diidentifikasi pada otot ikan
mackerel
Sumber: Goll et al. (1989) diacu dalam Haard (1994)
2.6 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu
Setelah ikan mati, sirkulasi darah menjadi terhenti dan suplai oksigen
berkurang. Hal ini menyebabkan perubahan glikogen menjadi asam laktat
sehingga pH tubuh ikan menurun. Nilai pH yang menurun mengakibatkan enzim
katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif dalam menguraikan
protein (Eskin et al. 1990).
Proteolisis yang disebabkan oleh katepsin dapat meningkatkan pelunakan
selama fase post mortem daging. Aktivitas utama katepsin tersebut dikhususkan
pada protein sarkoplasma (Bate-Smith 1948 diacu dalam Eskin et al. 1990).
Enzim protease menyerang ketika protein sarkoplasma mulai terdenaturasi saat
kondisi post mortem. Katepsin berperan secara umum dalam pergantian protein,
pertumbuhan sel dan jaringan homeostasis (Partanen 2006).
Katepsin B yang dihasilkan dari otot dorsal ikan mackerel dapat
menghidrolisis berbagai peptida dan membebaskan tripeptida dan dipeptida. Jenis
katepsin ini juga menyerang protein miofibril, mendegradasi miosin serta
menghidrolisis aktin dan troponin T pada pH 6,0. Katepsin B yang dimurnikan
dari ikan chum salmon mempunyai kemampuan menghidrolisis miosin, connectin
dan nebulin. Katepsin B adalah enzim proteolitik yang paling aktif dalam fillet
ikan (Jiang 2000).
Katepsin D adalah protease lisosomal yang mempunyai peran penting dalam
katabolisme protein (Jakimiec et al. 2004). Jenis katepsin ini termasuk dalam
endopeptidase aspartat seperti halnya katepsin E, pepsin, gastrixin dan rennin
yang dapat mendegradasi dan mendenaturasi sel protein (Gacko et al. 2007).
Haard (1994) menyatakan bahwa katepsin D dapat menghidrolisis protein pada
kondisi asam tetapi tidak pada pH netral.
Katepsin disinyalir tidak bertanggung jawab pada pelunakan daging.
Alasannya adalah lisosomal protease masih terdapat dalam lisosom dan tidak
mempunyai akses kepada miofobril atau sitosol. Akan tetapi, turunnya pH selama
glikolisis saat post mortem melemahkan dinding organel seperti lisosom yang
menyebabkan terbebasnya proteinase lisosomal seperti katepsin B, H dan L yang
mempunyai pH optimal antara 5,5-6,5 (Koohmaraie 1996 diacu dalam Jiang
2000).
2.7 Inhibitor Enzim
Inhibitor enzim adalah substansi yang mengurangi ukuran rata-rata reaksi
katalis enzim (Whitaker 1994 diacu dalam Carreno dan Cortes 2000). Hampir
semua enzim dapat diracuni atau dihambat oleh senyawa kimia tertentu. Penelitian
mengenai senyawa penghambat enzim memberikan informasi yang berguna
tentang spesifitas substrat enzim, sifat-sifat alamiah gugus fungsional pada sisi
aktif, dan mekanisme aktivitas katalitik (Lehninger 1998).
Inhibitor enzim diperoleh dari berbagai macam organisme termasuk bakteri,
tanaman, dan hewan. Kebanyakan inhibitor protease alami adalah protein atau
peptida. Protein ini berfungsi sebagai regulator enzim proteolitik dalam tubuh
sebagaimana perlindungan terhadap hal-hal penganggu. Protein tersebut dapat
dikelompokkan sebagai inhibitor aspartat, sistein, serine, dan metalloprotease
(Grzywnowicz dan Sobczyk 2006). Lebih dari 100 jenis inhibitor potein alami
telah berhasil diidentifikasi dan lebih banyak lagi jenis yang telah berhasil
disintesis. Inhibitor enzim dibagi menjadi tiga kelas, yakni pertama adalah
inhibitor yang bereaksi dengan lebih dari satu kelas protein, kedua adalah
inhibitor yang spesifik terhadap satu kelas proteinase, dan ketiga adalah inhibitor
yang memperlihatkan selektivitas yang tinggi terhadap satu jenis proteinase
(Creighton 1989).
2.7.1 Mekanisme kerja inhibitor enzim
Aktivitas enzim proteolitik dikontrol oleh beberapa mekanisme termasuk
penghambat enzim yaitu inhibitor protease. Penghambatan enzim dapat bersifat
reversible (dapat balik) atau irreversible (tidak dapat balik). Penghambatan yang
bersifat irreversible, aktifitas enzimnya tidak dapat diperoleh kembali secara fisik,
sedangkan pada penghambatan yang bersifat reversible aktivitas enzimnya
diregenerasi oleh pemindahan molekul inhibitor. Salah satu fungsi dari inhibitor
protease yang paling penting adalah mengontrol aktivitas protease yang
memainkan peranan dalam mengontrol fungsi protein dan polipeptida (Carreno
dan Cortes 2000).
Penghambat tak dapat balik adalah golongan yang bereaksi dengan atau
merusakkan suatu gugus fungsional pada molekul enzim yang penting bagi
aktivitas katalitiknya. Suatu contoh dari penghambat tak dapat balik adalah
senyawa
diisoprofilfluorofosfat
(DFP)
yang
menghambat
enzim
asetilkolinesterase yang penting di dalam transmisi impuls syaraf. Penghambat
enzim dapat balik memberikan banyak informasi penting mengenai struktur aktif
berbagai enzim. Penghambatan dapat balik dapat dibedakan menjadi penghambat
kompetitif dan non kompetitif. Ciri penghambat kompetitif adalah dapat
dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat.
Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal sehingga “menipu”
enzim untuk berikatan. Penghambat kompetitif dapat dianalisis secara kuantitatif
oleh teori Michaelis-Menten. Penghambat kompetitif I hanya berikatan secara
dapat balik dengan enzim membentuk suatu kompleks EI. Akan tetapi,
penghambat I tidak dapat dikatalisa oleh enzim untuk menghasilkan produk yang
baru (Lehninger 1998). Karakteristik penghambat (inhibitor) kompetitif dapat
dilihat pada Gambar 4.
inhibitor kompetitif
substrat
sisi aktif
substrat
sisi aktif diblok
tidak jadi produk
Gambar 4. Karakteristik inhibitor kompetitif (Anonimb 2009)
Pada penghambatan non kompetitif, penghambat berikatan pada sisi enzim
selain sisi tempat substrat berikatan dan mengubah bentuk tiga dimensi enzim
sehingga mengurangi aktivitas katalis. Penghambat non kompetitif berikatan
secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks ES,
membentuk kompleks EI dan ESI (Hames dan Hooper 2005). Karakteristik
penghambat (inhibitor) non kompetitif dapat dilihat pada Gambar 5.
inhibitor non kompetitif substrat
sisi aktif
substrat
sisi aktif berubah
tidak bereaksi
Gambar 5. Karakteristik inhibitor non kompetitif (Anonimb 2009)
2.7.2 Inhibitor katepsin
Inhibitor katepsin kebanyakan termasuk dalam golongan inhibitor pada
sistein proteinase (cystatin) walaupun ada juga yang termasuk dalam serine dan
aspartat proteinase. Selain menghambat katepsin, inhibitor ini juga menghambat
enzim yang lain seperti ficin, papain dan calpain. Inhibitor tersebut digunakan
untuk mengontrol autolisis jaringan ikan. Pada surimi, inhibitor ini ditambahkan
untuk menghambat aktivitas enzim katepsin yang dapat menghambat kemampuan
pembentukan gel (Choi et al. 2005).
Beberapa penelitian telah menghasilkan inhibitor alami enzim katepsin.
Salah satunya adalah inhibitor katepsin D yang telah berhasil dihambat dengan
pepstatin dan inhibitor dari benih tanaman kentang (Worowski dan Ostrowska
1980 diacu dalam Jakimiec et al. 2004). Pepstatin merupakan salah satu inhibitor
yang efektif untuk menghambat pergerakan enzim katepsin (Dinu et al. 2002).
Hasil uji berbagai inhibitor untuk menghambat aktivitas enzim katepsin disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3 . Pengaruh berbagai inhibitor terhadap enzim katepsin
Inhibisi (%)
Komponen
Konsentrasi
Katepsin I
Katepsin II
Idoacetic acid
10 mM
5,3
4,5
Iodoacetic amide
10 mM
4,1
4,6
Phenylmethanesulphonyl fluoride
10 mM
6,2
3,4
Diisopropyl phosphofluoridate
1 mM
2,5
3,5
Pepstatin
1 µM
98,2
97,5
Sumber: Dinu et al. (2002)
Hal yang serupa juga didapatkan dari penelitian Apriyanti (2007) yang
mendapatkan hasil bahwa pepstatin merupakan inhibitor kimia yang cocok untuk
menghambat enzim katepsin. Pepstatin dengan konsentrasi 5 µm mampu menekan
laju aktivitas enzim katepsin sebesar 92,71%.
Selain berasal dari senyawa kimia, inhibitor katepsin juga dapat diperoleh
dari bahan alami. An et al. (1995) telah menemukan bahwa inhibitor katepsin
dapat diisolasi dari daging ikan Pacific Whiting (Merluccicus productus) dengan
cara memisahkan kompleks enzim-inhibitor dengan perlakuan pengasaman.
Download