2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterigii Famili : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos Gambar 1. Ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) (Anonima 2009) Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas ekspor yang dikenal dengan sebutan milkfish. Ikan ini memiliki karakteristik tubuh langsing seperti peluru dengan sirip ekor bercabang sebagai petunjuk bahwa ikan bandeng memiliki kesanggupan berenang dengan cepat. Tubuh ikan bandeng berwarna putih keperak-perakan dan dagingnya berwarna putih susu. Bentuk tubuh ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 1. Ikan bandeng di alam memiliki panjang tubuh mencapai 1 m. Namun ikan bandeng yang dibudidayakan di tambak hanya mempunyai ukuran tubuh maksimal 0,5 m. Ikan bandeng memiliki daerah penyebaran sangat luas yaitu dari Pantai Afrika Timur sampai ke Kepulauan Tuamutu sebelah timur Tahiti dan dari Jepang Selatan sampai Australia Utara (Murtidjo 2002). Ikan bandeng mempunyai sifat euryhalien (tahan terhadap perubahan yang besar dari kadar garam dalam air), yang memungkinkan mereka untuk dipelihara dalam air payau. Pada kadar garam tambak air payau tidak konstan, kehidupan ikan bandeng tidak terpengaruh (Soeseno 1983). Di tambak, ikan bandeng memakan klekap, yaitu suatu kehidupan kompleks (plant complex) yang tersusun dari berbagai jenis bakteri, alga hijau biru baik uniseluler maupun berfilamen dari familia Oscillatoria, semua jenis Diatomae dan potongan dari alga hijau. Dari kelompok hewan terdiri dari Protozoa, Entomostraca, Copepoda, cacing pipih, cacing bulat serta berbagai jenis Mollusca dan udang tingkat rendah yang bergabung dengan jenis tumbuhan dan membentuk biological complex (Purnomo dan Muchyiddin 2007). Adapun kandungan gizi ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi ikan bandeng Zat gizi Kalori Protein Lemak Air Kalsium Posfor Besi Vitamin A Vitamin B6 Vitamin B12 Jumlah 126,0 17,4 5,7 60,2 43,4 138,0 0,3 85,0 0,4 2,9 Satuan kalori gram gram gram milligram milligram milligram milligram milligram milligram Sumber: www.nutritiondata.com (2007) 2.2 Kemunduran Mutu Ikan Penanganan ikan memegang peranan penting dalam mempertahankan kesegaran ikan sebagai bahan makanan atau bahan mentah untuk pengolahan lebih lanjut . Penanganan tersebut dimulai dari cara penangkapan atau pemanenan ikan yang baik, pengolahan, sampai proses distribusi kepada konsumen (Moeljanto 1992). Menurut Standar Nasional Inonesia (SNI) 01-2346-2006, ikan yang masih segar mempunyai ciri-ciri antara lain mata cerah, bola mata menonjol dan kornea jernih. Insang berwarna merah cemerlang dan tanpa lendir. Tekstur dagingnya padat, elastis, sayatan daging sangat cemerlang. Permukaan badannya mengkilat dengan lapisan lendir jernih dan berbau sangat segar sesuai jenisnya (BSN 2006). Setelah ikan mati terjadi perubahan penampakan, tekstur, dan aktivitas kimiawi dalam tubuh ikan (Gill 2000). Perubahan mutu pada ikan disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu enzim, bakteri dan biokimia (Govindan 1985). Perubahanperubahan yang terjadi pada ikan setelah mati dapat dilihat pada Gambar 2. Ikan mati Sistem syaraf dan hormon terhenti Sirkulasi darah terhenti Suplai vitamin, antioksidan, dll terhenti Suplai oksigen terhenti Keseimbangan osmotik rusak Akumulasi bakteri Potensial redoks menurun Respirasi terhenti (glikogen-/ CO2) Glikolisis terjadi (glikogen as. laktat) Penurunan suhu Penguraian fosfat berenergi tinggi Penurunan pH Pemadatan lemak Permulaan rigor mortis Denaturasi protein Pembebasan dan pengaktifan katepsin Protein melepaskan Ca2- dan mengikat K+ Oksidasi lemak dan ketengikan Akumulasi, metabolit, pemicu flavor, dll Perubahan warna Penguraian protein Pertumbuhan bakteri Gambar 2. Perubahan yang terjadi setelah ikan mati (Eskin et al. 1990) 2.2.1 Tahapan post mortem Segera setelah ikan mati, terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan mutu ikan. Penurunan tingkat kesegaran ikan menyebabkan berbagai perubahan biokimia dan fisikokimia. Proses perubahan tersebut dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor (Eskin et al. 1990). Fase pre rigor merupakan tahap pertama dari post mortem ikan. Keadaan ini ditandai dengan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada fase ini, jaringan otot ikan menjadi lunak dan lembut dan secara biokimia dicirikan dengan mulai menurunnya jumlah ATP dan kreatin fosfat (Eskin et al. 1990). Tahap selanjutnya adalah rigor mortis. Perubahan pada fase ini merupakan akibat dari suatu rangkaian kimiawi yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun (Eskin et al. 1990). Rigor mortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak mampu lagi mempergunakan cadangan energi. Apabila ATP telah habis, maka daging akan semakin cepat mengalami rigor mortis. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan miosin saling menindih membentuk ikatan aktomiosin yang permanen sehingga otot tidak dapat diregangkan. Proses hilangnya daya regang otot sampai terbentuknya kompleks aktomiosin mula-mula berlangsung lambat, kemudian berlangsung secara cepat dan akhirnya berlangsung secara konstan dengan kecepatan rendah sampai terjadinya kekakuan. Apabila keratin fosfat sudah habis, maka lamanya perkembangan rigor mortis akan ditentukan oleh jumlah glikogen yang masih tersedia di dalam otot dan enzim-enzim glikolitik yang masih mampu bekerja (Soeparno 2005). Selain itu, proses rigor mortis juga diikuti oleh penurunan daya ikat air daging. Penurunan daya ikat air oleh protein daging ini dapat disebabkan oleh penurunan pH atau karena denaturasi protein sarkoplasmik (Lawrie 1995). Fase rigor mortis pada ikan lebih pendek daripada mamalia (Govindan 1985). Pada fase ini pH tubuh ikan turun menjadi 6,2–6,6 (Bramsnaes 1965). Waktu rigor mortis pada ikan umumnya berkisar antara 1-7 jam setelah kematian yang disebabkan oleh banyak faktor. Waktu yang diperlukan ikan untuk masuk dan melewati fase ini tergantung pada spesies ikan, kondisi fisik ikan, derajat perjuangan ikan sebelum mati, ukuran, cara penangkapan, dan suhu selama penyimpanan (Eskin et al. 1990). Fase terakhir post mortem ikan adalah fase post rigor. Tahap ini ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase ini meliputi autolisis, pembusukan oleh bakteri, dan ketengikan (Yunizal dan Wibowo 1998). Menurut penelitian Rustamaji (2009), pada fase ini enzim katepsin mengalami aktivitas yang optimum sehingga proses autolisis menjadi meningkat. Proses pembusukan ikan ditandai dengan terbentuknya senyawa-senyawa basa volatil. Komponen utama total volatile base (TVB) adalah amoniak (NH3), trimetil amin (TMA), dan dimetil amin (DMA). Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi, yaitu ATP, juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Kondisi anaerob setelah ikan mati akan menyebabkan ATP terurai dengan melepaskan energi (Yunizal dan Wibowo 1998). 2.2.2 Proses perubahan karena aktivitas enzim Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif. Namun, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi, akibatnya enzim dapat merusak organ tubuh ikan. Peristiwa ini disebut autolisis atau proteolisis karena daging ikan sebagian besar mengandung protein yang diuraikan menjadi asam-asam amino. Selain itu, aktivitas enzim juga menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen flavor dan warna pada daging (diskolorisasi) (Ilyas 1983), penampakan, tekstur, dan aktivitas kimiawi dalam tubuh ikan (Gill 2000). Menurut Sikorski dan Sun Pan (1994), proses perubahan tersebut disebabkan adanya aktivitas enzim dan mikroba yang menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Salah satu perubahan tersebut adalah terjadinya proteolisis miofibril. Selama penyimpanan pada suhu chilling, enzim dalam tubuh ikan menyebabkan hilangnya kesegaran ikan secara bertahap dengan melemahkan struktur miofibril. Aktivitas enzim tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti menurunnya pH, konsentrasi ion kalsium bebas dan adanya inhibitor dalam tubuh ikan (Ladrat et al. 2004). Aktivitas enzim digunakan sebagai indikator perubahan kualitas ikan. Enzim-enzim tersebut berasal dari dalam tubuh ikan. Perubahan pada post mortem, pengolahan, thawing, penyimpanan suhu chilling dan pembekuan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan organel seluler seperti mitokondria dan lisosom sehingga menyebabkan keluarnya enzim proteolisis (Gopakumar 2000). Ciri terjadinya perubahan autolisis ini adalah dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir yang disebabkan oleh penguraian adenosine triphosphate (ATP) oleh enzimenzim dalam jaringan tubuh ikan. Proses penguraian ATP oleh enzim dapat dilihat pada Gambar 3. Adenosin triphosphate Adenosine diphosphate (ATP) (ADP) 1 Hipoksantin (Hx) Adenosine monophosphate (AMP) 2 Inosin 5,6 (Ino) 3 Inosin monophospate 4 (IMP) 7 Santin (Xa) Asam urea 8 Gambar 3. Proses degradasi ATP oleh enzim.1) ATPase; 2) Myokinase; 3) AMP deaminase; 4) Nukleotidase; 5) Nukleoside phosphorylase; 6) Inosine nucleosidase; 7,8) Xanthine oxidase (Gill 2000) Untuk menghindari terjadinya autolisis, ikan dipanaskan pada kondisi suhu 60-80 ⁰C dalam waktu relatif singkat (5 menit) atau lebih dikenal dengan istilah blancing. Cara lain adalah dengan menurunkan suhu hingga 0 ⁰C atau lebih rendah lagi agar aktivitas enzim dapat dikurangi. Penggunaan suhu rendah lebih menguntungkan dibandingkan dengan blancing karena dengan cara ini kondisi ikan masih tetap segar (Afrianto dan Liviawaty 1989). 2.2.3 Proses perubahan karena aktivitas mikroorganisme Ikan segar dan produk perairan lainnya merupakan komoditas yang cepat mengalami kerusakan dibandingkan daging hewan lainnya. Mutu ikan menurun secara cepat disebabkan kontaminasi mikroba dari berbagai sumber terutama setelah mengalami kebusukan (Gram dan Huss 1996). Jumlah mikroba merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kelayakan ikan dikonsumsi oleh manusia. Mikroba tersebut dapat berupa virus, bakteri maupun parasit. Menurut Adawyah (2007), mikroorganisme yang dominan menyebabkan kerusakan ikan adalah bakteri karena ikan mempunyai kandungan protein dan kadar air yang tinggi serta pH daging yang mendekati netral sehingga menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi bakteri dapat terjadi ketika pemanenan, distribusi, peyimpanan maupun pengolahan (Sikorski dan Sun Pan 1994). Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau lukaluka yang terdapat pada kulit menuju jaringan daging dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam. Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan, yaitu lendir menjadi lebih pekat, bergetah, amis, mata terbenam dan pudar sinarnya, serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan bau menusuk. Adapun jenis-jenis bakteri yang biasanya mencemari produk perikanan antara lain: Salmonella, Staphylococcus aureus, Vibrio parahaemolyticus, dan Escherichia coli (Prasetyawan 2008). Dalam pengawetan ikan semua usaha dilakukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri salah satunya adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah (chilling). Penyimpanan ikan pada suhu chilling merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kemunduran mutu ikan karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzim (Clucas dan Sutcliffe 1981). Lama kemunduran ikan yang disimpan pada suhu chilling dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti cara penangkapan atau pemanenan, higienitas selama pengolahan, dan rata-rata suhu chilling yang digunakan dalam penyimpanan (Sikorski dan Sun Pan 1994). 2.3 Proses Penguraian Protein secara Enzimatis oleh Enzim Proteolitik Proteinase atau dikenal juga dengan enzim proteolitik atau protease adalah enzim yang memiliki kemampuan untuk mendekomposisi protein (Govindan 1985). Enzim ini dihasilkan oleh kelenjar pencernaan ikan. Seperti halnya proteinase dari tanaman, hewan dan mikroorganisme, proteinase dari ikan melakukan aksi hidrolisis dan memecah ikatan peptida dengan molekul air sebagai reaktan (Simpson 2000). Protein yang mengalami denaturasi akan labil terhadap serangan enzimenzim proteolitik. Selama fase post mortem, enzim-enzim memecah tenunan pengikat (protein) menjadi asam-asam amino penyusunnya. Salah satu enzim proteolitik yang berperan dalam penguraian protein adalah katepsin (B, D, H, dan L) dari lisosom yang optimum dengan pH di bawah 6. Katepsin B dan L merupakan enzim yang mampu mendegradasi protein-protein urat daging lebih baik daripada jenis katepsin yang lain (Lawrie 1995). Aktivitas enzim pada ikan tergantung dari beberapa hal seperti spesies ikan, macam produk (round fish, fillet utuh, skinless), cara dan kondisi penyimpanan. Sebagai contoh, fillet ikan yang telah dithawing dan disimpan dalam es mempunyai aktivitas enzim yang lebih tinggi daripada fillet ikan segar (Rehbein dan Cakli 2000). Tingkat proteolisis juga dipengaruhi oleh pH dan temperatur. Pada suhu 37 ⁰C, aktivitas proteolitik lebih besar daripada suhu 5 ⁰C (Lawrie 1995). Menurut caranya dalam mengkatalisis protein, enzim proteolitik pada ikan diklasifikasikan menurut 4 kategori, yaitu proteinase aspartat, proteinase serin, thiol atau cystein proteinase dan metalloproteinase. Enzim proteolitik juga diklasifikasikan berdasarkan sensifitas pH seperti asam, netral atau protease alkalin. Pada saat ini, proteinase banyak digunakan dalam industri makanan untuk meningkatkan karakteristik produk, tekstur cereal, pelunakan daging, recovery protein tulang dan hidrolisa protein darah. Akan tetapi, sejauh ini penggunaan proteinase dari hewan laut sangat terbatas. Hal ini disebabkan kurangnya informasi tentang enzim tersebut dan dihadapkan dengan masalah ketersediaan sumber bahan baku yang harus kontinyu. Spesies ikan yang berbeda dengan kondisi habitat yang berbeda (suhu, tekanan, salinitas, intensitas cahaya, aerasi) menyebabkan genetika yang berbeda sehingga dihasilkan proteinase yang unik/tertentu, berbeda dengan enzim dari hewan terestrial, tanaman dan mikroorganisme (Simpson 2000). 2.4 Enzim Enzim adalah molekul non hayati yang disekresikan oleh semua sel hidup, baik tanaman, hewan dan mikroba. Di dalam sel, enzim ini memudahkan ribuan reaksi kimia yang memungkinkan sel untuk hidup, memperbaiki dan membuang produk limbahnya, serta berkembang biak (Suhartono 1988). Karena enzim adalah protein, faktor-faktor yang dapat mengubah konformasi protein juga dengan sendirinya potensial untuk mengubah konformasi enzim. Keadaan pH, suhu, kekuatan ion, dan polaritas larutan, serta adanya logam yang bersifat destruksif harus diperhatikan apabila melakukan isolasi enzim, artinya memisahkan enzim dari lingkungan sel hidup yang ringan tersebut. Menurut Suhartono (1988) ada empat sifat khas enzim, yaitu: sangat aktif, walaupun konsentrasinya amat rendah sangat selektif bekerja pada keadaan reaksi yang ringan (tanpa suhu atau tekanan tinggi) hanya aktif pada selang suhu atau pH yang sempit. Enzim adalah katalisator sejati. Molekul ini meningkatkan dengan nyata kecepatan reaksi kimia spesifik yang tanpa enzim akan berlangsung amat lambat. Enzim memiliki tenaga katalitik luar biasa yang biasanya jauh lebih besar dari katalisator sintetik. Spesifitas enzim amat tinggi terhadap substratnya, enzim mempercepat reaksi kimiawi spesifik tanpa pembentukan produk samping, dan molekul ini berfungsi di dalam larutan encer pada keadaan suhu dan pH normal (Lehninger 1998). Jika enzim mengkatalisis reaksi suatu senyawa, senyawa tersebut dinamakan substrat bagi enzim. Substrat melekat pada enzim dengan ikatan non kovalen membentuk kompleks enzim-substrat. Pelekatan terjadi pada bagian enzim yang dinamakan sisi aktif (active site). Tapak atau sisi aktif enzim merupakan bagian dari struktur tiga dimensi enzim yang nyatanya hanya terdiri dari beberapa asam amino saja (Suhartono 1988). 2.5 Enzim Katepsin Enzim proteolitik (proteinase) diklasifikasikan dalam dua famili utama, yaitu eksopeptidase dan endopeptidase. Dalam jaringan otot, katepsin dan enzim hidrolisis lainnya ditempatkan pada organel subseluler atau lisosom. Menurut pH optimumnya, enzim proteolitik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu protease asam, netral dan basa. Protease asam atau disebut juga lysosomal cathepsin terdiri dari berbagai macam enzim katepsin, seperti katepsin A, B, C, D, E, H, dan L (Choi et al. 2005). Menurut sisi aktif dari asam aminonya, katepsin dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu sistein (katepsin B, C, H, F, K, L, O, S, V, W), aspartat (katepsin D, E), dan serine (katepsin G) (Duve 1983). Katepsin dikenal sebagai famlili endopeptidase dan atau eksopeptidase. Banyak katepsin optimal pada pH asam walaupun beberapa diantaranya paling aktif pada pH netral (Haard 1994). Macam katepsin diklasifikasikan menjadi katepsin A, B, C dan seterusnya tergantung pada aktivitas dengan substrat sintesik yang spesifik. Katepsin A termasuk jenis eksopeptidase yang mempunyai pH optimum 5-6 dan tidak aktif dalam kondisi panas dan alkali. Katepsin ini telah didapatkan dari beberapa jaringan ikan seperti bandeng yang aktif pada pH 7 dan cod pada pH 5. Katepsin B mempunyai aktivitas optimum pada pH 5,5-6 dan mulai tidak stabil pada pH diatas 7. Katepsin ini dapat mendegradasi jaringan aktin, miosin, dan troponin. Jenis katepsin ini telah ditemukan pada berbagai jenis ikan antara lain: gurame, grey mullet, tilapia dan mackerel. Aktivitas katepsin B mengalami penurunan pada saat fase post mortem dalam penyimpanan suhu dingin. Katepsin C dikenal dengan sebutan dipeptida aminopeptidase dan dipeptida transferase. Katepsin ini mempunyai aktivitas optimum pada pH 6-7. Menurut Haard (1994), aktivitas katepsin C berpengaruh terhadap flavor ikan yang difermentasi. Katepsin D mempunyai aktifitas optimal pada pH 3,5. Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa katepsin D hanya mengautolisis jaringan ikan pada spesies tertentu. Penelitian Sakai dan Matsumoto et al. (1981) diacu dalam Haard (1994) mendapatkan bahwa katepsin D berperan dalam autolisis jaringan cumi-cumi Pasifik tetapi tidak pada jaringan cumi-cumi Atlantik. Berbagai enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan lisosom ikan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan lisosom ikan Enzim Katepsin B Famili Sistein Aktivitas Endopeptidase Katepsin H Sistein Endopeptidase Katepsin J Sistein Endopeptidase Katepsin L Sistein Endopeptidase Katepsin C (Dipeptidil peptidase I) Dipeptidil peptidase II Katepsin D Sistein Endopeptidase Sistein Endopeptidase - Aspartat Endopeptidase Aspartat Endopeptidase Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan - Serin Eksopeptidase Sistein Eksopeptidase γ-glutamil karboksipeptidase Katepsin A dan I Katepsin S Proses dan asal enzim Diidentifikasi pada berbagai spesies ikan Diidentifikasi pada otot ikan salmon Diidentifikasi pada otot ikan salmon dan mackerel Diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan Dimurnikan dan diidentifikasi dari otot berbagai spesies ikan Diidentifikasi pada otot ikan mackerel Sumber: Goll et al. (1989) diacu dalam Haard (1994) 2.6 Peranan Katepsin dalam Kemunduran Mutu Setelah ikan mati, sirkulasi darah menjadi terhenti dan suplai oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga pH tubuh ikan menurun. Nilai pH yang menurun mengakibatkan enzim katepsin yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif dalam menguraikan protein (Eskin et al. 1990). Proteolisis yang disebabkan oleh katepsin dapat meningkatkan pelunakan selama fase post mortem daging. Aktivitas utama katepsin tersebut dikhususkan pada protein sarkoplasma (Bate-Smith 1948 diacu dalam Eskin et al. 1990). Enzim protease menyerang ketika protein sarkoplasma mulai terdenaturasi saat kondisi post mortem. Katepsin berperan secara umum dalam pergantian protein, pertumbuhan sel dan jaringan homeostasis (Partanen 2006). Katepsin B yang dihasilkan dari otot dorsal ikan mackerel dapat menghidrolisis berbagai peptida dan membebaskan tripeptida dan dipeptida. Jenis katepsin ini juga menyerang protein miofibril, mendegradasi miosin serta menghidrolisis aktin dan troponin T pada pH 6,0. Katepsin B yang dimurnikan dari ikan chum salmon mempunyai kemampuan menghidrolisis miosin, connectin dan nebulin. Katepsin B adalah enzim proteolitik yang paling aktif dalam fillet ikan (Jiang 2000). Katepsin D adalah protease lisosomal yang mempunyai peran penting dalam katabolisme protein (Jakimiec et al. 2004). Jenis katepsin ini termasuk dalam endopeptidase aspartat seperti halnya katepsin E, pepsin, gastrixin dan rennin yang dapat mendegradasi dan mendenaturasi sel protein (Gacko et al. 2007). Haard (1994) menyatakan bahwa katepsin D dapat menghidrolisis protein pada kondisi asam tetapi tidak pada pH netral. Katepsin disinyalir tidak bertanggung jawab pada pelunakan daging. Alasannya adalah lisosomal protease masih terdapat dalam lisosom dan tidak mempunyai akses kepada miofobril atau sitosol. Akan tetapi, turunnya pH selama glikolisis saat post mortem melemahkan dinding organel seperti lisosom yang menyebabkan terbebasnya proteinase lisosomal seperti katepsin B, H dan L yang mempunyai pH optimal antara 5,5-6,5 (Koohmaraie 1996 diacu dalam Jiang 2000). 2.7 Inhibitor Enzim Inhibitor enzim adalah substansi yang mengurangi ukuran rata-rata reaksi katalis enzim (Whitaker 1994 diacu dalam Carreno dan Cortes 2000). Hampir semua enzim dapat diracuni atau dihambat oleh senyawa kimia tertentu. Penelitian mengenai senyawa penghambat enzim memberikan informasi yang berguna tentang spesifitas substrat enzim, sifat-sifat alamiah gugus fungsional pada sisi aktif, dan mekanisme aktivitas katalitik (Lehninger 1998). Inhibitor enzim diperoleh dari berbagai macam organisme termasuk bakteri, tanaman, dan hewan. Kebanyakan inhibitor protease alami adalah protein atau peptida. Protein ini berfungsi sebagai regulator enzim proteolitik dalam tubuh sebagaimana perlindungan terhadap hal-hal penganggu. Protein tersebut dapat dikelompokkan sebagai inhibitor aspartat, sistein, serine, dan metalloprotease (Grzywnowicz dan Sobczyk 2006). Lebih dari 100 jenis inhibitor potein alami telah berhasil diidentifikasi dan lebih banyak lagi jenis yang telah berhasil disintesis. Inhibitor enzim dibagi menjadi tiga kelas, yakni pertama adalah inhibitor yang bereaksi dengan lebih dari satu kelas protein, kedua adalah inhibitor yang spesifik terhadap satu kelas proteinase, dan ketiga adalah inhibitor yang memperlihatkan selektivitas yang tinggi terhadap satu jenis proteinase (Creighton 1989). 2.7.1 Mekanisme kerja inhibitor enzim Aktivitas enzim proteolitik dikontrol oleh beberapa mekanisme termasuk penghambat enzim yaitu inhibitor protease. Penghambatan enzim dapat bersifat reversible (dapat balik) atau irreversible (tidak dapat balik). Penghambatan yang bersifat irreversible, aktifitas enzimnya tidak dapat diperoleh kembali secara fisik, sedangkan pada penghambatan yang bersifat reversible aktivitas enzimnya diregenerasi oleh pemindahan molekul inhibitor. Salah satu fungsi dari inhibitor protease yang paling penting adalah mengontrol aktivitas protease yang memainkan peranan dalam mengontrol fungsi protein dan polipeptida (Carreno dan Cortes 2000). Penghambat tak dapat balik adalah golongan yang bereaksi dengan atau merusakkan suatu gugus fungsional pada molekul enzim yang penting bagi aktivitas katalitiknya. Suatu contoh dari penghambat tak dapat balik adalah senyawa diisoprofilfluorofosfat (DFP) yang menghambat enzim asetilkolinesterase yang penting di dalam transmisi impuls syaraf. Penghambat enzim dapat balik memberikan banyak informasi penting mengenai struktur aktif berbagai enzim. Penghambatan dapat balik dapat dibedakan menjadi penghambat kompetitif dan non kompetitif. Ciri penghambat kompetitif adalah dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal sehingga “menipu” enzim untuk berikatan. Penghambat kompetitif dapat dianalisis secara kuantitatif oleh teori Michaelis-Menten. Penghambat kompetitif I hanya berikatan secara dapat balik dengan enzim membentuk suatu kompleks EI. Akan tetapi, penghambat I tidak dapat dikatalisa oleh enzim untuk menghasilkan produk yang baru (Lehninger 1998). Karakteristik penghambat (inhibitor) kompetitif dapat dilihat pada Gambar 4. inhibitor kompetitif substrat sisi aktif substrat sisi aktif diblok tidak jadi produk Gambar 4. Karakteristik inhibitor kompetitif (Anonimb 2009) Pada penghambatan non kompetitif, penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan dan mengubah bentuk tiga dimensi enzim sehingga mengurangi aktivitas katalis. Penghambat non kompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks ES, membentuk kompleks EI dan ESI (Hames dan Hooper 2005). Karakteristik penghambat (inhibitor) non kompetitif dapat dilihat pada Gambar 5. inhibitor non kompetitif substrat sisi aktif substrat sisi aktif berubah tidak bereaksi Gambar 5. Karakteristik inhibitor non kompetitif (Anonimb 2009) 2.7.2 Inhibitor katepsin Inhibitor katepsin kebanyakan termasuk dalam golongan inhibitor pada sistein proteinase (cystatin) walaupun ada juga yang termasuk dalam serine dan aspartat proteinase. Selain menghambat katepsin, inhibitor ini juga menghambat enzim yang lain seperti ficin, papain dan calpain. Inhibitor tersebut digunakan untuk mengontrol autolisis jaringan ikan. Pada surimi, inhibitor ini ditambahkan untuk menghambat aktivitas enzim katepsin yang dapat menghambat kemampuan pembentukan gel (Choi et al. 2005). Beberapa penelitian telah menghasilkan inhibitor alami enzim katepsin. Salah satunya adalah inhibitor katepsin D yang telah berhasil dihambat dengan pepstatin dan inhibitor dari benih tanaman kentang (Worowski dan Ostrowska 1980 diacu dalam Jakimiec et al. 2004). Pepstatin merupakan salah satu inhibitor yang efektif untuk menghambat pergerakan enzim katepsin (Dinu et al. 2002). Hasil uji berbagai inhibitor untuk menghambat aktivitas enzim katepsin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 . Pengaruh berbagai inhibitor terhadap enzim katepsin Inhibisi (%) Komponen Konsentrasi Katepsin I Katepsin II Idoacetic acid 10 mM 5,3 4,5 Iodoacetic amide 10 mM 4,1 4,6 Phenylmethanesulphonyl fluoride 10 mM 6,2 3,4 Diisopropyl phosphofluoridate 1 mM 2,5 3,5 Pepstatin 1 µM 98,2 97,5 Sumber: Dinu et al. (2002) Hal yang serupa juga didapatkan dari penelitian Apriyanti (2007) yang mendapatkan hasil bahwa pepstatin merupakan inhibitor kimia yang cocok untuk menghambat enzim katepsin. Pepstatin dengan konsentrasi 5 µm mampu menekan laju aktivitas enzim katepsin sebesar 92,71%. Selain berasal dari senyawa kimia, inhibitor katepsin juga dapat diperoleh dari bahan alami. An et al. (1995) telah menemukan bahwa inhibitor katepsin dapat diisolasi dari daging ikan Pacific Whiting (Merluccicus productus) dengan cara memisahkan kompleks enzim-inhibitor dengan perlakuan pengasaman.