Judu : AGRIBISNIS INDONESIA MENYONGSONG ABAD KE

advertisement
Kategori : Article
Judu : AGRIBISNIS INDONESIA MENYONGSONG ABAD KE-21
Tanggal Posting : 12 Februari 2010
AGRIBISNIS INDONESIA MENYONGSONG ABAD KE-21:
From Subsistence to Supermarket
Oleh:
Dr.Ir. Agus Pakpahan
Direktur Jendral Perkebunan1
Peserta Seminar dan Munas I Alumni MMA-IPB yang saya hormati,
Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh,
Salam Sejahtera bagi kita semua,
I. PENDAHULUAN
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T. yang telah menganugerahkan karunia-Nya sehingga pada hari yang berbahagia ini
kita dapat berkumpul dalam seminar dan Munas I Alumni MMA-IPB ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada
panitia yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi salah seorang pembicara pada seminar ini, yang memilih tema:
Agribisnis Indonesia Menyongsong Abad ke-21.
Sebagai salah satu Negara agraris berpenduduk nomor empat terbesar di dunia, agribisnis di Indonesia berpeluang dan terbukti dapat
dijadikan andalan perekonomian Negara kita. Agribisnis juga berperan sangat besar di dalam upaya kita untuk meningkatkan kesejateraan
masyarakat luas. Salah satu kelebihan system agribisnis dibanding dengan system usaha lainnya adalah bahwa agribisnis meliputi sistem
yang terdiri atas hampir seluruh komponen masyarakat mulai dari lingkungan perdesaan hingga perkotaan, lokal regional maupun
internasional. Di sisi lain kita juga menyadari bahwa distribusi manfaat dari usaha bidang argo bagi setiap pelakunya secara relatif masih
belum berimbang, yaitu pelaku pada sub sistem hilir serta sub sistem penunjang terkesan memiliki bargaining position relatif lebih tinggi
daripada pelaku pada sub sistem hulu (budidaya).
Kondisi itu tentu saja dapat mengurangi daya saing dan mengganggu keberlanjutan sistem agribisnis yang ada.
Sehubung dengan hal tersebut di atas, pada bagian awal uraian ini akan digambarkan secara ringkas lingkungan strategi yang akan kita
hadapi pada abad ke-21 dimana agribisnis berada pada sebagian bagian dari system usaha dunia. Berikutnya disajikan kondisi agribisnis kita
dewasa ini. Khususnya pada sub sistem budidaya yang akan menjadi tumpuan hidup jutaan manusia Indonesia di pedesaan. Selanjutnya akan
di uraikan paradigma, visi dan misi pembangunan usaha agro, yang diikuti dengan strategi untuk mewujudkan agribisnis masa depan yang
kami gambarkan sebagai from subsistence to supermarket.
II. LINGKUNGAN STRATEGIS ABAD XXI
Kita sepakat bahwa kehidupan pada era mendatang sangat jauh berbeda dengan kehidupan masa lalu atau masa kini. Tuntutan akan efisiensi
dan produktifitas menjadi demikian tinggi mengingat kedua hal tersebut merupakan faktor penentu daya saing komoditas pertanian kita di
page 1 / 7
pasar internasional. Kelangkaan akan lahan menjadi semakin terasa mengingat populasi penduduk akan jauh lebih tinggi dibandingkan
populasi penduduk pada awal abad ini.
Sebagai ilustrasi penduduk dunia yang saat ini mencapai 5,84 milyar jiwa , pada tahun 2025 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,04
miliar jiwa dengan komposisi 15,3% berada dinegara maju dan 84,7% berada di negara berkembang2. Sementara itu, penduduk di Indonesia
diperkirakan mencapai 260 juta atau lebih pada tahun 2018, atau 4,3 kali lebih besar dari jumlah penduduk telah berubah dari jumlah
penduduk tahun 1930, yang menurut “Volkstelling 1930”3. Dengan menggunakan luas daratan Indonesia 1,94 juta km2 (194 juta ha) sebagai
dasar perhitungan, maka ratio daratan dengan jumlah penduduk telah berubah dari 3,2 ha/jiwa pada tahun 1930 menjadi 0,7 ha/jiwa pada
tahun 2018. Dewasa ini saja sudah sangat terasa tendensi terjadinya konflik sosial yang bersumber dari perbedaan kepentingan akan lahan.
berjumlah 60,7 juta jiwa
Di samping tekanan penduduk terhadap fungsi ekonomi dari lahan, juga makin tinggi tuntutan akan fungsi lingkungan hidup. Hal ini berarti
kita harus mampu menjaga keseimbangan antara fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup agar kualitas hidup dapat dipertahankan atau
bahkan ditingkatkan. Ini menjadi sangat penting bagi Indonesia yang memiliki struktur geografis kepulauan yang ciri utamanya adalah luas
daratan yang kurang dari perairan (laut). Oleh karena itu, penggunaan lahan harus lebih dihemat dan dikendalikan agar tidak terjadi
kerusakan ekosistem. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ruang kehidupan kita menjadi lebih sesak lebih sempit dan lebih terbatas. Hal ini
akan makin cepat terjadinya apabila kita tidak menemukan cara-cara baru untuk mengatasinya.
Sebagai konsekuensi dari perkembangan pesat pada bidang transportasi, telekomunikasi, dan turisme ( triple T revolution), kita menghadapi
lingkungan baru yang menyebabkan perubahan dalam tatanan nilai, politik, dan perekonomian dunia. Era ini sering dinamakan era informasi.
Dalam era infomasi ini dunia menjadi satu dan komunikasi dapat berjalan dengan cepat. Akibatnya lingkungan kita menjadi global sifatnya
yaitu sumber daya alam, iptek, modal, tenaga kerja, serta barang dan jasa, bergerak secara global. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat
manusia segala hal dapat di buat dimana saja dan di jual dimana saja, sementara ikatan sentimental terhadap lokasi atau daerah geografis
tertentu menjadi relatif jauh berkurang. Artinya, perdagangan dunia akan bersifat semakin liberal, makin bebas dan institusi-institusi
ekonomi memiliki jangkauan yang tidak terhalangi batas-batas yuridis suatu negara. Bagi negara berkembang hal ini merupakan peluang dan
sekaligus tantangan yang berat mengingat pada kenyataannya medan persaingan yang dihadapi tidaklah berimbang.
Disamping kita bersaing dalam bidang ekonomi, kita juga harus menghadapi kenyataan diberlakukannya kebijakan batasan non-tarif seperti
standar kesehatan yang semakin ketat, persyaratan yang terkait dengan hak asasi manusia serta persyaratan lingkungan hidup. Perkembangan
pasar komoditas primer pertanian juga memberikan tantangan tersendiri yaitu adanya kecenderungan harga riil komoditas pertanian di pasar
internasional yang terus menurun, yang menandakan bahwa supply komoditas pertanian di pasar global, termasuk subtitusinya, melebihi
permintaan akan komoditas dimaksud. Hal ini hanya mungkin terjadi akibat dari adanya peningkatan produktifitas yang cukup nyata,
khususnya yang terjadi di negara maju.
Apabila yang menyebabkan kecenderungan di atas adalah kesenjangan yang cukup nyata dalam hal penguasaan, pengembangan dan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) antara negara maju dan berkembang. Kemajuan dalam bidang bioteknologi, misalnya,
telah membuat negara maju mampu meningkatan produktifitas atau menciptakan komoditas subtitusi yang selama ini yang dihasilkan oleh
negara berkembang. Selama ini dan juga pada beberapa dekade mendatang negara berkembang di perkirakan akan masih tergantung pada
supply iptek yang berkembang di negara maju. Hal ini tentu membuat situsi persaingan dalam pasar internasional yang makin berat bagi
produk-produk yang berasal dari negara berkembang seperti Indonesia.
Di samping ketergantungan negara berkembang akan teknologi, tidak kalah pentingnya adalah kekuatan sumber permodalan di negara maju.
Hutang luar negeri Indonesia yang menuntut pembayaran segera mengkondisikan pilihan-pilihan yang tentu saja membatasi ruang gerak
Indonesia. Di satu pihak Indonesia harus meningkatkan produktifitas serta menjalankan proses transformasi ekonominya, yang memelukan
investasi yang besar. Tetapi di pihak lain Indonesia harus segera melunasi hutangnya agar tidak terlalu lama membebani neraca pembayaran
dan membuka peluang yang lebih besar dari percepatan pengembangan perekonomian generasi yang akan datang.
Pulihnya krisis ekonomi yang terjadi di Asia diharapkan akan menjadi potensi besar bagi pasar komoditas pertanian yang dihasilkan
Indonesia. Republik Rakyat Cina (RRC) dan India serta Jepang dan Korea akan menjadi pasar yang sangat penting. Demikian pula negaranegara di Timur Tengah dan Asia Tengah, terutama sejalan dengan perkembangan perekonomian di kawasan ini. Pasar Eropa dan Amerika
Serikat tentu akan tetap penting, terutama bagi produk-produk pertanian tradisional yang makin di tingkatkan mutunya.
Perkembangan perekonomian dunia yang terjadi pada masa mendatang juga memiliki konsekuensi akan terjadinya perubahan konstelasi
politik internasional. Yang menjadi persoalan di sini adalah sampai sejauh mana hubungan Utara-Selatan dapat menjadi lebih berimbang,
sehingga pola perdangan antara keduanya akan semakin berimbang pula. Tanpa adanya peningkatan keseimbangan politik perdagangan di
antara negara-negara yang terdapat di kedua belahan bumi ini, maka pola perdagangan antara kedua pihak tersebut tidak akan banyak
berubah dalam beberapa dekade mendatang. Situasi seperti ini tentu kurang menguntungkan bagi negara berkembang.
Salah satu hasil negara berkembang yang akan makin penting perannya dan akan menjadi komoditas baru dalam perdagangan internasional
page 2 / 7
adalah jasa lingkungan hidup. Jasa lingkungan hidup dapat berupa kontribusi negara berkembang terhadap permasalahan lingkungan global
seperti penyerapan gas-gas rumah kaca atau jasa lingkungan lainnya seperti konservasi biodiversity atau eko-wisata. Dengan
diberlakukannya kompensasi dari masyarakat dunia, maka potensi negara berkembang untuk memperoleh pendapatan sebagai insentif untuk
menjaga lingkungan hidup akan meningkat.
Secara ringkas dapat kita katakan bahwa lingkungan strategis yang akan dihadapi pada era mendatang pada prinsipnya merupakan
lingkungan yang semakin konpetitif, terbuka dan dinamik. Negara-negara maju masih tetap masih tetap merupakan pusat kekuatan baik
secara ekonomi, politik maupun kebudayaan. Namun pulihnya krisis ekonomi di Asia dan besarnya bangsa pasardikawasan ini tentu
membuka peluang-peluang baru, khususnya RRC, India dan Timur Tengah.
Dalam lingkungan seperti itu, siapa yang akan dapat memperoleh manfaat? Tentu saja jawabannya adalah hanya masyarakat atau bangsa
yang memiliki kemajuan memanfaatkan situasi tersebut, yang salah satu kuncinya adalah masyarakat atau bangsa yang memiliki kemampuan
melakukan penyesuaian- penyesuaian atau yang mampu menciptakan masa depan melalui pemanfaatan, pembangunan dan penguasaan iptek.
Masyarakat tersebut tentunya memiliki tradisi baru yaitu tradisi yang sering dinamakan sebagai acquisitive and knowledge base society.
III. KONDISI AGRIBISNIS DEWASA INI
Secara sederhana system agribisnis dapat dibedakan menjadi sub system agribisnis hulu, tengah dan hilir. Secara lebih rinci beberapa pakar
pada bidang ini memilah system agribisnis menjadi empat sub sistem4 yaitu : (a) sub sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yang
mencakup industri yang menghasilkan sarana produksi seperti : industri pembibitan , industri agromika, industri agro-otomotif dan
sebagainya, (b) sub sistem agribisnis usahatani (on-farm agribisnis) yang mencakup berbagai kegiatan budidaya pertanian termasuk budidaya
kehutanan dan perkebunan, (c) sub sistem agribisnis hilir (down stream agribusiness) yang mencakup berbagai kegiatan pengolahan produk
primer menjadi produk antara (intermediate product) maupun produk akhir (finished product), dan (d) sub sistem jasa penunjang yang
mendukung usaha agribisnis secara keseluruhan , seperti industri keuangan , perdagangan, transportasi penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan pelatih, kebijakan pemerintah dan sebagainya.
Sebagai suatu sistem yang terkait satu dengan lainnya, kita dapat mengatakan bahwa kelemahan pada satu sub sistem akan mempengaruhi
kinerja sistem agribisnis kita secara keseluruhan. Dari berbagai pengamatan dan kajian, kita memperoleh kesimpulan bahwa sub sistem
agribisnis usahatani merupakan sub sistem yang paling lemah, khususnya dalam hal posisi rebut tawar (bargaining position) menghadapi
pelaku pada sub sistem lainnya. Hal ini bukan berarti bahwa sub sistem lainnya telah dijalankan dengan efisien. Kita merasakan adanya
inefisiensi didalam subsistem yang lebih hilir, antara lain misalnya, telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Uraian ini menggambarkan
bahwa rendahnya efisiensi pada setiap subsistem akan berdampak kepada tidak optimalnya pendapatan para pelaku ekonomi agribisnis, dan
bahkan dapat mengganggu keberlanjutan sistem agribisnis itu sendiri.
Mari kita tinjau kondisi agribisnis kita dewasa ini. Dari posisi ekspor-impor, kita menyaksikan bahwa secara umum Indonesia mengalami
defisit dalam perdagangan komoditas pertanian, sebagaimana diperlihatkan data berikut :
a. Nilai impor daging sapi meningkat dari US$ 6,13 juta pada tahun 1993 menjadi US$ 36,52 juta pada tahun 1997;
b. Nilai impor beras meningkat dari US$ 1,3 juta pada tahun 1993 menjadi US$.5,3 juta pada tahun 1997;
c. Nilai impor susu meningkat dari US$ 96,5 juta pada tahun 1993 menjadi US$. 114,8 juta pada tahun 1996, dan kemudian menurun menjadi
US$.94,4 juta pada tahun 1997 sebagai dampak krisis moneter;
d. Nilai impor mentega meningkat dari US$. 19,0 juta pada tahun 1993 menjadi US$.42,2 juta pada tahun 1997;
e. Nilai impor keju meningkat dari US$. 7,8 juta pada tahun 1993 menjadi US$. 11,2 juta pada tahun 1997;
f.
Nilai impor kacang tanah kupas meningkat dari US$ .58,9 juta pada tahun 1993 menjadi US$. 101,1 juta pada tahun 1997;
g. Nilai impor bawang putih segar meningkat dari US$. 20,6 juta pada tahun 1993 menjadi US$. 44,6 juta pada tahun 1997;
h. Nilai impor gula meningkat dari US$. 7,2 juta pada tahun 1993 menjadi US$ 340,69 juta pada tahun 1997;
page 3 / 7
i.
Nilai impor kapas meningkat dari US$. 557,0 juta pada tahun 1993 menjadi US$ 817,0 juta pada tahun 1997.
Sementara itu, dari sisi ekspor kita menyaksikan bahwa nilai ekspor komoditas pertanian secara umum meningkat dari US$ 3,27 juta pada
tahun 1997 menjadi US$ 3,65 juta pada tahun 1998, namun nilai totalnya masih jauh di bawah nilai impor bidang pertanian.
Kita masih bersyukur bahwa defisit tersebut dapat ditutupi dari nilai ekspor bidang kehutanan dan perkebunan walaupun nilai nominal
ekspornya menurun, yaitu:
j.
Nilai ekspor komoditas perkebunan menurun dari US$ 5,23 milyar pada tahun 1997 menjadi US$ 4,13 milyar pada tahun 1998.
k. Nilai ekspor komoditas kehutanan (kayu olahan) menurun dari US$ 5,30 milyar pada tahun1997 menjadi US$ 3,22 milyar pada tahun 1998.
Berbagai informasi menunjukkan bahwa produk pertanian kita belum mampu bersaing dengan produk pertanian di negara lain.
Dalam hal produktivitas per satuan luas usahatani yang menunjukkan nilai yang dapat di peroleh dari sumber daya lahan yang tersedia, kita
memperoleh gambaran bahwa telah terjadi peningkatan, namun pada beberapa komoditas masih berada di bawah produktivitas di negara
pesaing.
Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa secara umum perkembangan produktivitas/hektar komoditas pertanian di Indonesia dalam 40
tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup berarti. Pada beberapa komoditas perkebunan, seperti misalnya karet, kelapa dan kopi,
yang sebagian besar menerapkan system ekstensifikasi, produktifitas per hektar masih berada di bawah potensinya. Produktivitas negaranegara pesaing relatif lebih tinggi, misalnya produktivitas karet di Thailand yang dapat mencapai 1,5-2 ton/hektar atau produktivitas kelapa
sawit di Malaysia yang rata-rata mencapai 18-21 ton TBS/hektar/tahun.
Dalam hal pengembangan produk (product development), kita memperoleh gambaran bahwa dari sekian
banyak produk primer yang kita hasilkan, ternyata baru sedikit saja yang kita olah. Data yang ada
menunjukkan bahwa sebagian besar produk kita masih diekspor dalam bentuk produk primer, seperti
misalnya ubi kayu dalam bentuk gaplek, udang dan ikan segar, kopi biji, kakao biji, karet remah (crumb
rubber), minyak sawit kasar (crude palm oil), mete glondong dan sebagainya. Padahal kita tahu bahwa
kita dapat memperoleh nilai tambah dari produk yang kita olah. Di samping itu, sebagimana telah
diungkapkan, harga riil produk olahan relatif lebih stabil dan bahkan cenderung meningkat. Oleh karena
itu, product developmet adalah hal yang sangat penting guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pertanian.
Secara lebih nyata berbagai hal yang baru saja dikemukakan dapat dilihat dari masih relatif rendahnya
kesejahteraan petani dan keluarganya. Telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa pendapatan
sebagian besar petani dan nelayan kita masih belum cukup untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Kenyataan ini berhubungan dengan menurunnya harga riil dari komoditas primer pertanian selama
hampir 100 tahun, sedangkan harga riil produk olahannya, seperti misalnya minuman penyegar,
cenderung meningkat ( Grilli dan Yang, 1988 )5. Data perkembangan nilai tukar petani ( NTP )
menunjukan gambaran serupa, dimana NTP hanya sedikit diatas 100, bahkan beberapa propinsi seringkali
berada dibawah 100. Kondisi ini secara implisit menggambarkan bahwa sebagian besar produk petani kita
masih merupakan produk primer.
IV. AGRIBISNIS MASA DEPAN : From Subsistence to Supermarket
Uraian sebelumnya membawa kita kepada suatu pemikiran bahwa tanpa perubahan mendasar di dalam
system agribisnis kita, sudah dapat dipastikan daya saing produk kita akan semakin tergantung pada
page 4 / 7
negara produsen lain.
Disamping keberadaan sumber daya alam, permodalan, teknologi dan sumber daya manusia,
kelembagaan memainkan peranan yang penting dalam pengembangan agribisnis.
Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa pada akhirnya semua jenis faktor penentu kemajuan
agribisnis dikondisikan oleh kelembagaan.
Dengan perkataan lain, kinerja apa yang akan dicapai seperti produktifitas, efisiensi dan distribusi
pendapatan adalah ditentukan oleh kelembagaan yang mendasari usaha pertanian dalam suatu
masyarakat. Dapat dikatakan demikian karena kelembagaanlah yang mengendalikan, mengontrol, atau
mengatur interdependensi antar pelaku ekonomi terhadap keseluruhan sumber daya alam. Artinya pula
kelembagaan itulah yang mengatur siapa memperoleh apa dan berapa banyak.
Kelembagaan selalu berada dalam konteks sosial. Dalam ekonomi dimana unitnya adalah transaksi,
kelembagaan memiliki peran ganda.
Pertama, kelembagaan mendefinisikan nilai, baik dalam artian baik atau buruk, maupun dalam artian
salah atau benar. Produktivitas, misalnya, merupakan nilai yang dipandang baik untuk dicapai bahkan
harus terus ditingkatkan. Demikian pula halnya dengan efisiensi. Apabila masyarakat memberikan nilai
yang rendah terhadap efisiensi atau dengan perkataan lain memberikan nilai yang tinggi terhadap
kemubaziran, maka masyarakat tersebut akan menghasilkan alokasi sumber daya yang tinggi tingkat
kemubazirannya. Contoh lainnya adalah yang menyangkut arti kemajuan atau kemandirian, misalnya,
petani yang tidak menggantungkan dirinya kepada pihak lain adalah baik.
Dalam hal salah atau benar, kelembagaan dapat dijumpai dalam bentuk tradisi, atau peraturan
perundangan. Dalam konteks ini, suatu kegiatan dikatakan salah, yang diukur oleh penyimpangannya dari
tradisi atau aturan main yang ada. Apabila masyarakat menerima bahwa saling curi-mencuri itu sesuatu
hal yang benar, maka dapat dipastikan masyarakat tersebut akan sulit maju mengingat akan sangat mahal
bagi masyarakat tersebut untuk menghasilkan barang dan jasa. Hubungan dimensi salah atau benar ini
dengan dimensi baik atau buruk akan berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan
pengetahuan dan teknologi di dalam suatu masyarakat.
Kedua, kelembagaan dalam artian organisasi. Dalam artian ini yang dimaksud kelembagaan bukan hanya
terdiri atas nilai dan aturan main, tetapi juga struktur, partisipan, teknologi, dan lingkungan yang mampu
mentransformasikan input menjadi suatu output masyarakat. Dalam pengertian ini, organisasi bukan
hanya terdiri atas organisasi pemerintahan, misalnya, tetapi juga termasuk pasar.
Bila kita memperhatikan struktur usaha pertanian yang didominasi pertanian rakyat yang diusahakan di
atas lahan sempit dan dikelola secara subsistence, maka akan sulit bagi kita mengembangkan suatu sistem
agribisnis yang berdaya saing tinggi. Dari uraian sebelumnya kita dapat menyaksikan bahwa selama ini
para petani belum memiliki organisasi. Berbeda dengan pedagang, pabrikan dan eksportir yang memiliki
perkumpulan atau asosiasi yang mampu mendukung kebutuhan para anggotanya.
Menghadapi Millenium ketiga dimana sistem pasar akan mendominasi dan persaingan menjadi semakin
ketat, kita harus mencari bentuk organisasi yang tepat bagi produsen produk-produk pertanian kita, agar
tidak terhimpit di dalam tekanan pelaku ekonomi lainnya. Kita dapat belajar dari sejarah perkembangan
agribisnis di negara-negara maju. Kita mengetahui bahwa usaha pertanian di negara-negara maju ditopang
oleh kelembagaan Koperasi yang kuatdan besar. Koperasi yang tumbuh dari masyarakat kecil telah
page 5 / 7
tumbuh menjadi raksasa sehingga memiliki bargaining position yang kuat, bukan saja pada bidang
ekonomi, tetapi juga sosial dan politik.
Dengan berkoperasi pelaku agribisnis kita akan berkembang kemampuanya di dalam menangani aspek
economies of scale dan economies of scope dalam system produksi, pengolahan dan pemasaran secara
keseluruhan. Misalnya, koperasi dapat mengkoordinasikan suplai input secara lebih baik dan lebih murah.
Demikian juga dengan bargaining position pada saat mereka akan menjual hasil produknya.
Kita membayangkan pada abad 21 nanti kita dapat memiliki suatu sistem agribisnis yang basisnya adalah
petani yang membentuk koperasi yang berkembang sehingga membawa kehidupan petani dan
keluarganya : from subsistence to supermarket. Kegiatan koperasi petani yang dimaksud bukan hanya
pada tahapan budidaya, tetapi juga keberbagai sub sistem agribisnis, mulai dari hulu hingga hilir. Guna
memasarkan produknya, koperasi petani ini selanjutnya mengembangkan supermarket. Supermarket
milik koperasi petani ini berkembang mulai dari pedesaan hingga perkotaan dan mengisi pasar bagi
penduduk Indonesia yang pada tahun 2018 diperkirakan mencapai 260 juta jiwa, serta pasar internasional
guna memenuhi kebutuhan penduduk dunia yang pada tahu tersebut diperkirakan mencapai hampir 8
milyar jiwa.
Pemerintah selaku fasilitator diharapkan dapat menumbukan kondisi yang mampu mendorong
berkembangnya koperasi agribisnis ini agar potensi besar yang mereka miliki dapat tumbuh menjadi
kekuatan raksasa sehingga kondisi harmonis baik secara sosial, ekonomi maupun ekologi dapat kita
capai. Untuk mewujudkan sistem agribisnis yang berbasis pada koperasi petani tersebut maka diperlukan
upaya untuk meningkatkan akses bagi petani khususnya dan para pelaku ekonomi lainnya terhadap
pendidikan, pelatihan, dan upaya lainnya dalam meningkatkan kualitas SDM pertanian secara
berkesinambungan. Upaya pengembangan Land Grant dan Levy and Grant sebagaimana yang saat ini
sedang dirintis, perlu terus dioptimalkan dan dilanjutkan. Artinya, diperlukan dukungan kuat dan terus
menerus dari berbagai institusi, mulai dari bidang pendidikan, hingga penelitian dan pengembangan.
a)
Menjaga terwujudnya persaingan yang sehat dan mencegah terjadinya kecurangan-kecurangan diantara
pelaku ekonomi dibidang pertanian.
b) Melakukan redistribusi aset produktif khususnya dalam rangka mengoptimalkan nilai tambah sumber
daya lahan dan permodalan bagi petani atau koperasi pertanian.
c) Merumuskan dan menetapkan serta melaksanakannya secara konsisten suatu politik industrialisasi
yang berlandaskan atas kebutuhan untuk membangun agroindustri dan agribisnis di tanah air.
Dengan memainkan peran-peran di atas, maka dapat diharapkan agribisnis kita akan berkembang kearah
terwujudnya suatu sistem yang berkembang from subsistence to supermarket dan kita akan mampu
menempatkan petani pada posisi yang relatif sejajar dengan para pelaku ekonomi bidang lainnya.
V. PENUTUP
Demikian harapan yang ingin kita wujudkan dalam membangun sistem agribisnis yang mampu bersaing
pada abad ke-21 dimana manfaatnya dapat terdistribusi secara adil bagi setiap pelaku ekonomi bidang
pertanian. Dengan terwujudnya sistem yang efisien, produktif, dan berkeadilan ini maka keberlanjutan
usaha bidang agro akan terjamin baik dari sisi sosial, ekonomi maupun ekologi.
page 6 / 7
Bogor, 25 September 1999
1
Disampaikan pada Seminar MMA-IPB tanggal 25 September 1999, di bogor
2
World Population Data Sheet , Population Review Beureu, USA
3
Rusli , Said 1983. Pengantar Ilmu Kependidikan LP3ES. Jakarta Tab 11,p.23
4
Pemilahan seperti ini dilakukan pula oleh Prof. Dr. Bungaran Saragih. Lihat Saragih, B. 1999.
Kebutuhan Kebijakan dan Pengelolaan Pembangunan Agribisnis Nasional (Pengantar Diskusi). Diskusi
Kebijakan dan Strategi Nasional Pembangunan Agribisnis Indonesia, diselenggarakan oleh Kantor
Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Republik Indonesia. Pusat Studi
Pembangunan, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
5
Grilli, E.R. and M.C. Yang. 1988. Primary Commodity Prices, Manufacture Goods Prices, and the
Terms of Trade of Developing Countries : What the Longrun Shows. The World Bank Economic Review,
Vol. 2 (1), January 1988: 1-48.
page 7 / 7
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Download