BAB 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Setiap tahun ada 8.000-10.000 cedera tulang belakang baru di Amerika Serikat .Spinal Cord Injury (SCI) biasa terjadi di usia dewasa muda 16-30, dan sebagian besar adalah laki-laki (82% laki-laki versus 18% wanita) . Sebgaian 35% dari SCI hasil dari kecelakaan kendaraan menyumbang sekitar 20%, tindakan kekerasan 30%, dan 8% olahraga. Etiologi bervariasi dalam kelompok yang berbeda tergantung pada usia onset, seks, dan latar belakang .Kecelakaan motor banyak terjadi di usia 15 sampai 30 tahun , tetapi mereka yang lebih tua dari 60 tahun memiliki resiko cedera tulang belakang lebih karena jatuh. Kekerasan sebagai penyebab SCI meningkat pada kelompok tua 16- 30 tahun . Sedikit lebih dari satu setengah dari semua cedera baru melibatkan tulang belakang leher.Cedera tulang belakang dada terhitung selama lebih dari sepertiga dari semua cedera baru, dan lumbal dan cedera sakral untuk sisanya. Kecelakaan kendaraan bermotor menyebabkan jumlah yang sama tetraplagias dan paraplegias. Hasil tetraplegia sebagian besar dari cedera olahraga, kecelakaan terutama menyelam dan olahraga kontak.Paraplegia hasil sebagian besar dari luka tembus, seperti dari pisau atau peluru. Statistik dikompilasi pada SCI selama beberapa dekade terakhir dengan Spinal Cord Injury database Nasional terletak di Birmingham, Alabama, telah membantu untuk mengembangkan profil yang menggambarkan demografi cedera tulang belakang. The profil khas adalah muda, laki-laki tunggal berusia antara 16 dan 30 tahun dengan pendidikan sekolah tinggi, yang cedera terjadi pada Juli. Cedera tulang belakang (SCI) biasanya terjadi karena trauma.Penyebab utama dari SCI adalah memar, laserasi, transeksi, pendarahan, dan kerusakan pembuluh darah yang menyuplai saraf tulang belakang.Jika tulang belakang terjadi retak dan ligamen yang robek, maka fragmen tulang dapat merusak saraf dan membuat tulang belakang tidak stabil.Cedera pembuluh darah yang 1 menyumplai saraf dapat menyebabkan kerusakan permanen.Cedera teridentifikasi oleh tingkat vertebra.contohnya,C6 adalah cedera tulang belakang di vertebra serviks keenam Penyakit ini dapat menyebabkan hal yang fatal apabila dalam perawatannya tidak dilakukan dengan baik. Sebagai seorang perawat kita harus dapat memahami dan mengerti bagaiaman acara penatalaksanaan dan perawatan pada klien dengan menderita SCI. Asuhan keoerawatan ini juga sangat berpengeruh pada kondisis dari klien tersebut, jadi diharapkan dengan ini mahasiswa dapat semakin belajar dan memahaminya asuhan keperawatan pada klien SCI. Peripheal nerve injury atau cedera saraf perifer adalah kerusakan saraf diluar otak atau sumsum tulang belakang. Jika saraf perifer mengalami kerusakan terutama pada selubung mielin, maka perjalanan impuls dari sistem saraf pusat akan terputus dan tidak ada respon yang ditimbulkan oleh organ efektor. Sehingga organ yang dipersarafi oleh saraf perifer akan lemah dan lumpuh. Kerusakan saraf perifer akan menimbulkan mati rasa,kesemutan dan nyeri yang disebabkan karena otot tidak menerima suplai saraf dari otak. Klasifikasi cedera saraf tepi meliputi cedera tingkat pertama yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada serabut myelin, cedera tingkat kedua yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada mielin dan akson, cedera tingkat ketiga yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada myelin, akson, endoneurium, perineurium, cedera tingkat keempat yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada semua neural dan elemen, cedera tingkat kelima 2 yang menyebabkan terjadinya kerusakan pemisahan saraf secara lengkap. Rumusan Masalah 1 Apakah definisi dari Spinal Cord Injury 2 Bagaimana etiologi dan faktor resiko dari Spinal Cord Injury 3 Bagaiman patofisiologi dari Spinal Cord Injury 4 Apa saja yang menjadi manifestasi dari Spinal Cord Injury 5 Bagaiman penatalaksanaan dar Spinal Cord Injury 6 Bagaiman asuhan keperawtan ada klien penderita Spinal Cord Injury 7 Apa yang dimaksud dengan cedera saraf perifer? 8 Apa klasifikasi dari cedera saraf perifer ? 9 Bagaimana proses terjadinya cedera saraf perifer? 10 Bagaimana proses keperawata pada pasien dengan cedera saraf perifer ? 2 3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mahasiswa dapat memahami dasar dari penyakit Spinal Cord Injury dan pheripheral Nerve Injury ini sehingga mahasiswa dapat melakukan asuhan kepearwatan dengan baik dan benar 1.3.2 Tujuan Khusus 1 Mahasiswa mampu memahamai pengerian Spinal Cord Injury 2 Mahasiswa mampu mengetahui etiologi dan faktor resiko dari Spinal 3 4 5 6 Cord Injury Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari Spinal Cord Injury Mahasiswa mampu memahami manifestasi dari Spinal Cord Injury Mahasiswa mampu memahami penatalakasanaan dari Spinal Cord Injury Mahasiswa memahami dan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien Spinal Cord Injury. 7 Mahasiswa memahami Cedera perifer 8 Mahasiswa memahami klasifikasi cedera saraf perifer 9 Mahasiswa memahami proses keperawatan cedera saraf perifer 10 Mahasiswa memahami dan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien Cedera Saraf Perifer BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Spinal Cord Medula spinalis tersusun dalam kanalis spinalis dan diselubungi oleh sebuah lapisan jaringan konektif, dura mater. Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm 3 (seukuran kelingking).Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis.Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan. Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral, dan 1 pasang saraf koksigeal. Gambar 2.1 Anatomi Vertebrae Dilihat dari Samping dan Belakang (Sumber: www.kidport.com, 2012) Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada medulla spinalis.Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai.Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai.Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai.Berkas tebal akar-akar saraf yang 4 memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina (”ekor kuda”) karena penampakannya. Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus ( jaras ), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang ) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis.Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang disampaikannya. Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi.Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis ( posterior ), kornu ventralis ( anterior ), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka.Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis. Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan akar ventral.Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan medulla melalui akar ventral.Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam 5 ganglion akar dorsal.Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral. Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis.Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama. Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu : a informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa b nyeri, suhu, dan raba, dan informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi. Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: 1 Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian 2 distal anggota gerak. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior 6 dan karena itu, kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan 3 volunter atau aktivitas refleks. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural 4 sebagai respon terhadap stimulus verbal. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas 5 otot-otot ekstensor atau otot-otot antigravitasi. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas 6 postural yang berhubungan dengan keseimbangan. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: 1 Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, 2 proprioseptif, dan berperan dalam diskriminasi lokasi. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan 3 tekanan ringan. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan 4 suhu. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam 5 menentukan posisi dan perpindahan. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama. 2.2 Definisi Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma sumsum tulang belakang atau tekanan pada sumsum tulang belakang karena kecelakaan yang dapat mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi baik sementara atau permanen di motorik normal, indera, atau fungsi otonom serta berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi). 7 Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang, disk, atau benda asing) masuk atau mengenai spinal dan merusakkan spinal cord atau suplai darah. Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997).Chairuddin rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit harus diperlakukan secara hati-hati. 2.3 Etiologi Sebagian besar cedera tulang belakang akibat dari kecepatan kecelakaan kendaraan bermotor. Jatuh dan bekerja - cedera yang berhubungan dengan kontributor penting lainnya . Cedera tulang belakang adalah karena kekerasan yang ada di kenaikan dramatis sekunder untuk Peningkatan insiden serangan . Ulasan Cedera ini mencakup baik tumpul dan cederatajam , seperti pistol dan pisau luka . Sport- cedera terkait, yang meliputi sepak bola, menunggang kuda dan hoki cedera , yang relatif jarang tapi telah menerima perhatian media barubaru ini . Akhirnya , luka rekreasi dari jet ski , mobil salju , ski salju , snowboarding , dan parachutting , untuk nama tapi beberapa , Tampak meningkat sebagai " olahraga ekstrim " menjadi lebih umum . Menurut Jones & Fix (2009) dan Brunner &Suddart (2000) ada beberapa penyebab dari spinal cord injury (SCI), antara lain: 1. Trauma tumpul 2. Trauma tusuk 3. Spondilitis ankilosa 4. Artritis rheumatoid 5. Abses spinal dan tumor, khususnya limfoma dan mieloma multipel. 6. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya. 7. Injuri atau jatuh dari ketinggian. 8 2.4 Klasifikasi A) Menurut Holdsworth Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut: 1) Cedera fleksi Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebrata.Vertebrata mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan atau tanpa keruskan ligament posterior.Apabila terdapat kerusakan ligament posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi. 2) Fleksi dan rotasi Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi. Terdapat strain ligament dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke depan/dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil. 3) Kompresi vertical (aksial) Suatu trauma vertical yang secara langsung mengenai vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nucleus pulposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertical. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi pecah. Pada trauma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil. 4) Hiperekstensi atau retrofleksi Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi.Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra torako-lumbal.Ligament anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis.Fraktur ini biasanya bersifat stabil. 5) Fleksi lateral Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral yaitu pedikel, foramen vertebra, dan sendi faset. B) Klasifikasi berdasarkan lokasi cedera 1 Cedera servikal a Lesi C1-C4 Pada lesi C1-C4 otot trapezius, sternomastoideus, dan otot plasma masih berfungsi.Otot diafragma dan intercostal mengaami paralisis 9 dan tidak ada gerakan involunter (baik secara fisik maupun fungsional).Dibawah transeksi spinal tersebut kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.Pasien pada quadriplegia C1, C2, dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis.Pasien ini juga ketergantungan semua kebutuhan sehariharinya.Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator b meknais tetapi data dilepas, penggunaannya secara intermitten. Lesi C5 Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap pascatrauma akut.Paralisis intertinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan.Quriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur c tetapo pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang baik. Lesi 6 Pada lesi segmen C6 distres pernapasan dapat terjadi karena paralysis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis.Biasanya terjadi gangguan pada otot bisep, trisep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan.Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas higene secara mandiri, bahkan masih dapat d memakai dan melepaskan baju. Lesi 7 Lesi medulla pada tingkat 7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan intercostal.Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika kerja reflex kembali.Quadriplegia C7 mempuyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan erhatian khusus, pemindahan mandiri, seprti berpakian dan melepas pakian melalui ekstremitas atas dan bawah, makan, e mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak. Lesi 8 Hipotensi postural bisa terjadi apabila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan control vasomotor.Hipotensi postural dapat 10 diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi dudukk.Jari tangan pasien biasanya mencengkeram.Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil merawat 2 rumah, dan perawatan diri. Cedera Thorakal a Lesi T1-T5 Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernapasan dengan difragmatik.Fungsi inspirasi aru meningkat sesuai tingkat penurunaan lesi pada toraks.Hipotensi postural biasnya muncul.Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseusm dan otot lumrikal b tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri. Lesi T6-T12 Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua reflex abdomen.Dari tingkat T6 ke bawah segmen-segmen individual berfungsi pada tingkat 12, semua reflex abdominal ada.Ada paralisis spastik pada tubuh 3 bagian bawah, pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus mandiri. Batas kehilangan sensori pada lesi thorakal adalah: 1 T2 : seluruh tubuh sapai sisi dalam dari lengan atas. 2 T3 : aksilla. 3 T5 : putting susu. 4 T6 : procesus xifoid. 5 T7, T8 : margin kostal ke bawah. 6 T10 : umbilicus. 7 T12 : lipat paha Cedera Lumbal Kehilangan sensori lesi pada lumbal, anatara lain: a Lesi L1 Semua area ekstremitas ke bawah, menyebar ke lipat paha dan bagian b c d e belakang dari bokong. Lesi L2 Ekstremitas bagian bawah kecuali sepertia atas aspek anterior paha. Lesi L3 Ekstremitas bagian bawah dan daerah sadel. Lesi L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha. Lesi L5 11 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki sera ekstremitas bawah dan area sadel 4 Cedera Sakral Pada lesi yang mengenai S1-S6, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, danglans penis, perineum, area anal, dan sepertia aspek posterior paha. C) Klasifikasi berdasarkan keparahan 1 Garde A : motoris (-), sensoris (-) 2 Grade B : motoris (-), sensoris (+) 3 Grade C : mottoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+) 4 Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+) 5 Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+) D) Klasifikasi berdasarkan ASIA (America Spinal Injury Association) dalam Schreiber (2011) 1 Grade A (komplit): tidak ada fungsi motoric dan sensorik di segmen 2 sacral S4-S5. Grade B 3 terganggu sampi segmen S4-S5. Grade C (Inkomplit): fungsi motorik terganggu dibawah level 4 neurologis, tapi otot motoric utama mempunyai kekuatan < 3 Grade D (komplit): fungsi motorik terganggu dibawah level 5 neurologis, tapi otot motoric utama mempunyai kekuatan > 3 Grade E (normal): fungsi motorik dan sensorik normal (Inkomplit): fungsi sensorik baik tetapi fungsi motorik E) Klasifikasi menurut The International Standards for Neurological and Functional Classification of Spinal Cord Inury (ISNCSCI) dalam Schreiber (2011) meliputi: 1 Tetraplegia (kuadriplegia) merupakan cedera medulla spinalis di bagian servikal yang menyebabkan hilangnya kekuatan otot pada 2 keempat ekstremitas. Paraplegia merupakan dcedera medulla spinalis, segmen torakolumbal atau sacral termask cauda equine dan conus medullaris. 2.5 Patofisiologi 12 Paling sering SCI terjadi sebagai akibat dari cedera tulang belakang. Sisi yang paling umum dari cedera berada di C1-2, C4-6, dan T11-12 vertebra. Segmen ini dari tulang belakang yang paling mobile dan karena itu paling mudah terluka. Saraf terluka akibat percepatan, perlambatan, atau kekuatan lain (misalnya, dampak) diterapkan pada tulang belakang.Tekanan melukai tulang belakang dengan mengompresi, menarik, atau merobek jaringan. Perdarahan mikroskopis terjadi segera setelah cedera. Dalam satu jam pertama, edema mengembang dan sering menyebar di sepanjang segmen dari sumsum tulang belakang. Asam arakidonat dan metabolitnya (prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien) menyebabkan edema. Puncak saraf edema dalam waktu 2 sampai 3 hari dan disubsidi dalam hari pertama setelah cedera. Meskipun sisi dari cedera awal memiliki paling edema dan perdarahan, beberapa edema dan perdarahan memperpanjang setidaknya untuk dua segmen saraf di kedua sisi cedera. Edema saraf mengarah ke kerugian sementara sensasi dan fungsi. Cedera jaringan sumsum tulang belakang terkait dengan perubahan biokimia, dan ketidakstabilan hemodinamik. Oleh karena itu setelah cedera, tidak mudah untuk menentukan tingkat akhir dari kerusakan permanen. Perubahan lebih lanjut termasuk fragmentasi penutup aksonal dan hilangnya myelin. Sel fagosit dapat melukai hidup akson karena mereka melukai selular debris. Kemotaktik dan mediator inflamasi memperpanjang nekrosis jaringan. Makrofag menelan jaringan sumsum tulang belakang dan dapat menyebabkan rongga sentral (disebut syringomyelia pasca trauma) untuk mengembang 9 hari setelah cedera. Selain itu, sel-sel oligodendroglial yang mendukung saraf yang hilang. Cedera saraf menyebabkan hilangnya cepat konduksi aksonal dari perubahan ion, seperti kenaikan yang sangat pesat dalam ekstraseluler kalium dan masuknya kalsium ke dalam sel. Akhirnya, radikal bebas yang diproduksi. Radikal bebas biasanya ditemukan di dalam tubuh, namun dengan cepat dikendalikan oleh sistem enzim antioksidan. Ketika sistem antioksidan kewalahan, radikal bebas merusak jaringan.Respon fisiologis untuk SCI 13 melampaui perubahan dalam sumsum tulang belakang. Sebagai contoh, hasil sistem saraf respon stres simpatis perfusi berkurang dari saluran pencernaan dan mengurangi produksi lendir lambung untuk melindungi lapisan. Ulserasi dan perdarahan dapat berkembang. Spastisitas adalah peningkatan tonus atau kontraksi otot, menghasilkan gerakan kaku. Berbagai cedera SSP atau penyakit seperti SCI, stroke, dan cerebral palsy dapat mengakibatkan gerakan refleks melalui tulang belakang. Akhirnya bagian bawah saraf, menggunakan lengkunga reflextulang belakang mulai bekerja secara otomatis. Kegiatan refleks tulang belakang meliputi penarikan fleksor refleks pengosongan kandung kemih dan usus. Mekanisme tulang belakang primitif, biasanya disimpan aktif oleh pusat yang lebih tinggi, yang "dirilis" ketika hambatan normal dari pusat yang lebih tinggi hancur. Sebagai pemulihan berlangsung, respon fleksor diselingi dengan kejang ekstensor. Gerakan-gerakan ini akhirnya berkembang menjadi aktivitas dominan ekstensor. Anggota badan klien kejang dalam ekstensi dengan gerakan. Spastisitas dapat tetap tanpa batas waktu atau secara bertahap menurun dari waktu ke waktu. 2.6 Manifestasi Klinis 1. Tingkat cedera Manifestasi klinis awal akut SCI tergantung pada tingkat dan luasnya cedera sarafnya. Di bawah tingkat cedera atau lesi, pada fungsi-fungsi berikut hilang: a. Gerakan volunter b. Sensasi nyeri, suhu, tekanan, dan proprioception (kemampuan untuk tahu di mana tubuh dalam ruang) c. Usus dan kandung kemih fungsi d. Tulang belakang dan otonom refleks. Tingkat cedera dapat dijelaskan dalam hal cedera rangka dan tingkat neurologis cedera. Cedera tulang mengacu pada kerusakan tulang belakang ditunjukkan oleh studi x-ray. Kriteria dari American Association Spinal Cedera (ASIA) berguna dalam menggambarkan tingkat keterlibatan sumsum 14 tulang belakang: tingkat neurologis cedera adalah segmen terendah dari sumsum tulang belakang dengan bilateral utuh sensorik dan motorik fungsi. Fungsi sensorik dinilai sesuai dengan dermatom untuk mengidentifikasi daerah kulit dengan sensasi normal. Fungsi motorik diukur dengan menguji miotom untuk mengidentifikasi otot dengan gerakan aktif dan berbagai gerak (ROM) melawan gravitasi. Skala penurunan ASIA adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. Normal dengan sensorik dan motorik fungsi diawetkan Lengkap dengan mayoritas fungsi motorik diawetkan Lengkap dengan fungsi motorik nonfungsional diawetkan Lengkap dengan hanya sensasi diawetkan Lengkap dengan hilangnya sensasi dan motor fungsi Cedera pada serviks dan saraf menghasilkan quadriplegia. Cedera di atas level C4 mungkin karena janin kehilangan persarafan ke diafragma dan interkostal otot. Tanpa bernapas penyelamatan segera setelah kecelakaan itu, orang yang terluka akan mati sesak napas. Hari ini, dengan pengetahuan masyarakat umum tentang resusitasi cardiopulmonary, banyak orang bertahan cedera pada tulang belakang leher. Luka pada sisa tulang belakang leher membuat pola spesifik kehilanga motorik. Perhatikan bahwa orang dengan cedera C7 mampu mengangkat bahu, siku, dan pergelangan tangan dan memiliki beberapa fungsi tangan, tetapi di bawah C7 tidak ada fungsi motorik atau sensasi tetap. Luka pada dada atau tulang belakang lumbar segmen menghasilkan paraplegia. Orang dengan cedera tersebut memiliki fungsi dalam ekstremitas atas mereka dan bisa mobile di kursi roda atau dengan kruk dan kawat gigi. Orang dengan 1,5 cedera dapat memperpanjang ibu jari dan dorsiflex pergelangan kaki. Mereka tidak memiliki sensasi di daerah perianal, betis, tumit atau jari kaki kecil. 15 2. Perubahan refleks Refleks, yang biasanya menyeberangi sumsum tulang belakang dan kembali ke tungkai dirangsang, yang absen pada awal SCI karena syok spinal. Tekanan darah dan suhu di denervasi (tanpa fungsi saraf atau persarafan) daerah jatuh nyata dan menanggapi buruk terhadap rangsangan refleks. Setelah syok spinal reda, beberapa fungsi tubuh dapat kembali oleh refleks (misalnya, kontrol kandung kemih), tetapi mereka tidak memiliki integrasi dengan kegiatan visceral lainnya. Kegiatan visceral dapat diprakarsai oleh rangsangan atipikal. Misalnya, menggaruk kulit dapat menyebabkan vasodilatasi, berkeringat, dan buang air kecil. Lesi sistem saraf dapat menghasilkan jenis fungsi kandung kemih yang rusak yang dikenal sebagai kandung kemih neurogenik. Misalnya, stimulasi kulit pada perut bagian bawah atau paha, dapat menyebabkan refleks buang air kecil. Bentuk kandung kemih kabel disebut kandung kemih refleks. Stimulasi tersebut juga dapat menyebabkan ejakulasi refleks dan priapism (ereksi terus-menerus penis abnormal tanpa gairah seksual) pada pria lumpuh. 3. Kejang otot Kejang otot intens dan menyakitkan ekstremitas bawah terjadi setelah lesi sumsum traumatis lengkap melintang tulang belakang. Dalam membantu klien dan anggota keluarga untuk memahami gerakan-gerakan ini, harus menjelaskan bahwa kejang otot ini disengaja dan tidak berarti bahwa gerakan sukarela kembali. Informasi ini, meskipun mengecewakan, sangat penting. Kejang otot berkisar dalam intensitas dari berkedut otot ringan sampai kuat reflexogenik massa. Ekstrim, kejang otot tak sadar benar-benar dapat membuang klien dari tempat tidur atau kursi roda. Sisi tempat tidur yang terus dan tali menahan yang nyaman dijamin selama klien berbaring di tandu. Kejang otot, sering diperburuk oleh cuaca dingin, periode lama duduk, infeksi, atau emosional, mungkin menjadi tak tertahankan. Kejang refleks mungkin dipicu oleh ekstrinsik atau visceral rangsangan, seperti kandung kemih distensi. Emosi (misalnya, kecemasan, menangis, marah, tertawa) atau stimulasi kulit (misalnya, menggelitik, membelai, mencubit) dapat memulai gerakan kejang. 16 Dengan belajar untuk mengenali peristiwa yang memicu kejang refleks seperti itu, klien dapat menggunakan gerakan-gerakan ini berpotensi mengganggu untuk mencapai kegiatan fungsional seperti buang air kecil. 4. Otonom disrefleksia Disrefleksia otonom, juga dikenal sebagai hyperreflexia otonom, adalah sindrom yang mengancam jiwa. Ini adalah sekelompok manifestasi klinis yang terjadi ketika beberapa tanggapan otonom sumsum tulang belakang debit secara bersamaan. Sindrom ini, diamati dalam sebanyak 85% dari klien dengan cedera tulang di atas tingkat T6, dapat terjadi kapan saja setelah syok spinal telah diselesaikan. Disrefleksia sering mengurangi sebagai ikatansetelah cedera berlalu, tetapi bisa kambuh. Manifestasi dari disrefleksia otonom hasil dari respon simpatik berlebihan terhadap stimulus berbahaya di bawah tingkat lesi saraf. Rangsangan umum adalah kandung kemih dan usus distensi tetapi mungkin juga termasuk luka tekanan, kejang, nyeri, tekanan pada penis, stimulasi dubur berlebihan, batu kandung kemih, kuku tumbuh ke dalam kelainan perut, atau kontraksi rahim. Tanggapan simpatik berlebihan menyebabkan pembuluh darah di bawah tingkat cedera mengerut. Akibatnya, klien mengembangkan hipertensi (pembacaan dari 20 mmHg di atas dasar dianggap hipertensi), sakit kepala berdebar, pembilasan atas tingkat lesi, hidung tersumbat, diaphoresis, piloereksi ("merinding"), dilatasi pupil dengan penglihatan kabur, bradikardia (30 sampai 40 denyut / menit), gelisah, dan mual. Manifestasi adalah hasil dari upaya kompensasi untuk mengatasi hipertensi berat. Awalnya baroreseptor merasakan rangsangan hipertensi dan merangsang sistem saraf parasimpatis, yang menyebabkan vasodilatasi di atas tingkat cedera tulang (sakit kepala, flushing) dan bradikardia. Masalahnya adalah bahwa visceral dan perifer tidak membesar karena impuls eferen tidak dapat melewati saraf yang rusak. Sehingga efek keseluruhan adalah salah satu hipertensi ekstrem (dengan tekanan mungkin setinggi 300 mmHg). Kejang dan pendarahan otak terjadi pada sekitar 10% sampai 15% kasus. 5. Sindrom klinis menyebabkan kelumpuhan parsial 17 Lima sindrom sumsum tulang belakang menyebabkan kelumpuhan parsial: sindrom saraf pusat, sindrom saraf anterior, sindrom Brown-Sequard, sindrom konus medullaris, dan sindrom cauda equine. Masing-masing memiliki fitur neurologis khas. a. Sindrom saraf pusat Sindrom saraf pusat (yang paling umum dengan cedera hiperekstensihiperfleksi) menghasilkan kelemahan lebih dalam ekstremitas atas daripada di ekstremitas bawah. Jenis cedera terjadi paling sering pada orang dewasa yang lebih tua yang memiliki stenosis tulang belakang yang sudah ada. Cedera ini juga dapat terjadi pada orang yang mendarat di kepala seperti ketika menyelam ke dalam air dangkal dan memukul bagian bawah. Mekanisme umum dari cedera adalah jatuh ke depan. Kelemahan ini disebabkan oleh edema dan perdarahan di daerah pusat saraf, yang sebagian besar ditempati oleh saluran saraf ke tangan dan lengan. b. Sindrom saraf anterior Sebuah lesi di tulang belakang anterior menyebabkan sindrom saraf anterior, dengan lengkap hilangnya fungsi motorik dan penurunan sensasi nyeri. Tekanan yang dalam, posisi rasa, dan diskriminasi dua titik sensasi tetap utuh. Seringkali arteri spinalis anterior dipengaruhi, menyebabkan infark jaringan sumsum tulang belakang. Gegar otak saraf serviks dapat menghasilkan berbagai derajat motor dan defisit sensorik, yang benarbenar menyelesaikan dalam beberapa jam. Kadang-kadang trauma saraf serviks hanya menghasilkan luka akar, yang dapat melumpuhkan otot terisolasi atau kelompok otot di lengan dan bahu.Defisit ini biasanya permanen. c. Brown-Sequard sindrom Sindrom Brown-sequad disebabkan oleh hemiseksi lateral saraf (yaitu, ketika setengah sarafnya dipotong atau rusak, seperti pada peluru atau pisau luka). Ini hasil cedera di ipsilateral (sisi yang sama) bermotor kelumpuhan, hilangnya rasa getaran dan posisi, dan kontralateral (berlawanan sisi) terendah nyeri dan sensasi suhu. 18 d. Sindrom konus medullaris Sindrom konus medullaris berikut kerusakan pada akar saraf lumbar dan medullaris konus di sumsum tulang belakang. Klien biasanya memiliki usus dan kandung kemih arefleksia dan ekstremitas bawah lembek. The bulbocavarnosus penis (ereksi) dan refleks berkemih dapat dipertahankan bila kerusakan terbatas pada segmen sakral atas dari sumsum tulang belakang. e. Sindrom cauda equine Cedera pada akar saraf lumbosakral bawah medullaris konus mengakibatkan sindrom cauda equine. Klien mengalami arefleksia dari usus, kandung kemih, dan ekstremitas bawah. 2.7 Komplikasi Komplikasi dari SCI melibatkan b anyak sistem tubuh yang berbeda dan mengakibatkan sering cacat tetap dan kehilangan status kesehatan fungsional. Komplikasi tidak terbatas pada defisit atas dan bawah neuron motorik, paraplegia dan quadriplegia, dan disrefleksia otonom. Komplikasi lain, tergantung pada tingkat dan keparahan cedera, adalah pernapasan tidak efektif; diubah integritas kulit; peningkatan risiko trombosis; dan perubahan dalam eliminasi usus, eliminasi urin, dan pola seksual. 1. Atas dan bawah defisit motor neuron Cedera sumsum tulang belakang sering diklasifikasikan sebagai lesi neuron motorik atas atau bawah motorik lesi neuron. Neuron motorik adalah unit fungsional yang membawa impuls motorik. Neuron motorik atas (terletak di korteks serebral, thalamus, batang otak, dan kortikospinalis dan saluran kortikobulbar) yang bertanggung jawab untuk gerakan volunter. Ketika jalur motorik ini terganggu, klien mengalami paralisis spastik dan hyperreflexia dan mungkin tidak dapat melaksanakan gerakanterampil. 19 Neuron motorik bawah (terletak di ujung anterior dari sumsum tulang belakang, inti motor batang otak, dan akson yang mencapai ujung motorik otot rangka) bertanggung jawab untuk persarafan dan kontraksi otot rangka. Gangguan motorik bawah hasil neuron di keadaan normal otot dan atrofi otot yang luas, dengan hilangnya kedua gerakan volunter dan involunter. Jika hanya beberapa motor neuron memasok otot yang terkena, klien mengalami kelumpuhan parsial. Hiporefleksia. 2. Paraplegia dan quadriplegia Dua defisit neurologis umum yang dihasilkan dari SCI adalah paraplegia dan quadriplegia. Paraplegia adalah kelumpuhan dari bagian bawah tubuh, kadang-kadang melibatkan batang bawah. Paraplegia terjadi ketika dada, pinggang, dan bagian sakral dari sumsum tulang belakang terluka, merusak fungsi dari lengan, batang, kaki, dan organ panggul. 3. Otonom disrefleksia Disrefleksia otonom (juga disebut hyperreflexia otonom) adalah respon simpatik berlebihan yang terjadi pada klien dengan SCI pada atau di atas tingkat T6. Tanggapan ini, yang terlihat hanya setelah pemulihan dari shock spinal, terjadi sebagai akibat dari kurangnya kontrol dari sistem saraf otonom oleh pusat-pusat yang lebih tinggi. Ketika rangsangan tidak dapat untuk naik ke saraf, stimulasi refleks massa saraf simpatik di bawah tingkat daerah sarafnya cedera terjadi, memicu vasokonstriksi besar. Sebagai tanggapan, saraf vagus menyebabkan bradikardia dan vasodilatasi di atas tingkat cedera. Jika tidak diobati, disrefleksia otonom dapat menyebabkan kejang, stroke, atau infark miokard dan berpotensi fatal. (Hickey, 2003) Disrefleksia otonom dipicu oleh rangsangan yang biasanya akan menyebabkan ketidaknyamanan perut (kandung kemih penuh adalah penyebab paling umum), oleh stimulasi reseptor nyeri, dan oleh kontraksi visceral (Porth, 2005). Penyebab termasuk impaksi fekal, infeksi kandung kemih atau batu, kontraksi intrauterine, ejakulasi, peritonitis, dan stimulasi dari ulkus tekanan atau kateter kemih tumbuh ke dalam. Manifestasi dari kondisi ini termasuk sakit kepala berdebar; bradikardia; 20 hipertensi (dengan pembacaan setinggi 300/160); memerah, kulit hangat dengan berkeringat banyak di atas lesi dan pucat, dingin, dan kulit kering di bawahnya; kecemasan (Porth, 2005). Disrefleksia adalah darurat neurologis dan membutuhkan perawatan segera. 2.8 Pemeriksaan diagnostik 1. MRI Mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal.MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula spinalis dalam sekali pemeriksaan 2. CT-Scan Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial.CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang. Gambar 2.2 Hasil CT Scan pada Medula Spinalis 2.9 Prognosis Tingkat cedera akan menentukan tingkat kecacatan pada pasien. Cedera tinggkat tinggi, seperti cedera servikal, hasil akan cenderung di quadriplegia (paralisis di keempat ekstremitas) dan terjadi kompromi pada drive respirasi. Spinal cord injury yang parah akan menyebabkan kecacatan yang lebih besar dari pada spinal cord injury yang tidak parah. Jaringan sumsum tulang belakang tidak bisa regenerasi setelah terjadi cedera. Pembengkakan yang terjadi setelah cedera dapat dikendalikan dengan obat obatan dan beberapa tindakan klinis, tetapi kerusakan pada saraf tidakakan dapat diperbaiki. 21 2.10 Penatalaksanaan 1. Mobilisasi daerah spinal cord yang terjadi cedera untuk mengurangi kemungkinan iritasi lebih lanjut 2. Tempatkan pasien dalam posisi datar untuk menghindari fleksi atau misalignment tulang belakang 3. Pantau traksi atau collar untuk mencegah iritasi kulit 4. Berikan kortikosteroid untuk mengurangi peradangan pada titik cedera: a. methylprednisolone b. prednisone c. deksametason 5. Berikan dekstran, memperluas plasma, untuk meningkatkan aliran darah di sumsum tulang belakan, meningkatkan oksigenasi ke jaringan 6. Berikan alat bantu pernafasan jika diperlukan 7. Berikan H2 reseptor antagonis untuk melindungi perut dari pembentukan stress ulcer. H2 reseptor antagonis seperti cimetidine, ranitidine, famotidin, dan nizatidin 8. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang bisa diubah posisinya untuk mereposisi pasien untuk mencegah tekanan pada kulit 9. Pembedahan utuk memperbaiki tulang belakang yang fraktur atau dekompresi mungkin diperlukan. BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA MEDULA SPINALIS 3.1 Pengkajian Pengumpulan data ketika pengkajian digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien.Pengkajian harus dilakukan secara pribadi karena setiap orang memiliki keutuhan yang berbeda.Dalam menelaah status pernapasan klien, perawat melakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memaksimalkan data yang dikumpulkan tanpa harus menambah distres pernapasan klien.Setelah pengkajian berupa wawancara, perawat harus bisa 22 menentukan pemeriksaan fisik yang dibutuhkan untuk mengetahui keadaan klien lebih lanjut. Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi : 1. Identitas pasien Meliputi nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan. 2. Riwayat penyakit sekarang Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat dari kecelakaan lalu lintas,kecelakaan olahraga,kecelakaan industri dan kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan,luka tusuk,luka tembak,trauma karena tali pengaman,dan kejatuhan benda keras. 3. Keluhan utama Kelemahan dan kelumpuhan ekstrermitas,inkontinensia defekasi dan berkemih,nyeri tekan otot,dan mengalami deformitas pada daerah trauma. 4. Riwayat penyakit dahulu Pengkajian yang hipertensi,riwayat melitus,penyakit perlu cidera ditanyakan tulang meliputi belakang adanya riwayat sebelumnya,diabetes jantung,anemia,penggunaan obat-obat antikoagulan,aspirin,vasodilator, obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol yang berlebihan. 5. Riwayat penyakit keluarga Mengkaji adanya anggota keluarga yang menderita hipertensi dan diabetes mellitus 6. Pengkajian psikososiospiritual Perawat mengkaji tentang perasaan, status emosional, dan perilaku klien. Misalnya, klien sering merasa cemas dan ketakutan akan kecacatan. 7. Pemeriksaan fisik B1 (Breathing) : Gangguan pernafasan, menurunnya kapasitas vital, klien bernafas dengan otot-otot tambahan pernafasan (aksesoris). 23 B2 (Blood) : Penurunan tekanan darah (hipotensi), bradikardi ekstremitas dingin atu pucat, disritmia. B3 (Brain) : Penurunan tingkat kesadaran, kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motoric dibawah garis kerusakan, adanya quadriplegia dan paraplegia, hilangnya sensasi sebagian atau seluruhnya di bawah garis kerusakan, hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoregulator. B4 (Bladder) : Retensi urine, inkontinensia. B5 (Bowel) : Terjadi pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, hilangnya bising usus, kembung, stress ulcer, dan defekasi keras dan terkadang tidak ada. B6 (Bone) : Atrofi, kontraktur, kelemahan dan kelumpuhan pada seluruh ekstremitas bawah, adanya spinal shock seperti hilangnya reflex di bawah garis kerusakan. 8. Pemeriksaan diagnostik : Pemeriksaan rontgen Pemeriksaan CT scan terutama untuk melihat fragmentasi,pergeseran fraktur dalam kanal spinal. Pemeriksaan CT scan dengan mielografi. Analisis data No 1. Symptom DS: Etiologi Trauma mengenai tulang Problem Tidak efektifnya Tidak bisa batuk belakang torako-lumbal bersihan jalan pernafasan cepat ↓ nafas b.d tidak cedera kolumna vertebra,torako-lumbal efektifnya reflex batuk, 24 ↓ DO: RR >20x/menit imobilisasi. kerusakan jalur sipatetik desending ↓ terputus jaringan saraf medula spinalis ↓ paralisis dan paraplegi ↓ hambatan mobilitas fisik ↓ kelemahan fisik umum ↓ Refleks batuk terganggu ↓ Retensi sekret di saluran napas ↓ Timbul ronchi ↓ Tidak efektifnya bersihan jalan 2. DS: Tidak mampu melakukan aktivitas nafas trauma mengenai tulang belakang ↓ Intoleransi aktivitas b.d Immobilitas cedera kolumna DO: paraplegia tonus otot kurang atrofi kontraktur vertebra,cedera medula spinalis ↓ kerusakan jalur simpatetik desending 25 trauma medulla spinalis ↓ terputus jaringan saraf medula spinalis ↓ paralisis dan paraplegi ↓ Immobilitas ↓ 3. DS: Nyeri Pasien menyatakan Intoleransi Aktivitas trauma mengenai tulang Nyeri kronis b.d belakang kerusakan system ↓ susah untuk cedera kolumna beraktivitas vertebra,cedera medula saraf spinalis ↓ DO: Trauma medulla spinalis Kesadaran menurun perdarahan mikroskopik ↓ reaksi peradangan ↓ syok spinal ↓ nyeri kronis 4. DS: Pasien sering BAK nyeri trauma mengenai tulang Perubahan pola belakang eliminasi urine ↓ b.d kelumpuhan cedera kolumna saraf perkemihan vertebra,cedera medula DO: spinalis 26 Trauma medulla spinalis Pasien BAK > 10 x/hari ↓ perdarahan mikroskopik ↓ reaksi peradangan ↓ reaksi anestetik ↓ ilkus paralitik,gangguan fungsi rektum dan kandung kemih ↓ gangguan pola eliminasi urin 5. DS: Pasien mengeluhkan tidak mampu melakukan aktivitas trauma mengenai tulang belakang ↓ cedera kolumna vertebra,cedera medula spinalis DO: Aktivitas pasien butuh bantuan ↓ Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskular,m enurunnya kemampuan dan kesadaran,kehilan kerusakan jalur sipatetik gan kontrol otot desending dan koordinasi Kelemahan otot ↓ Hygiene kurang terputus jaringan saraf medula spinalis ↓ paralisis dan paraplegi ↓ hambatan mobilitas fisik 27 1. Diagnosis Keperawatan 1) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d tidak efektifnya reflek batuk, imobilisasi. Tujuan : mampu mengeluarkan sekret dan pernafasan normal Kriteria Hasil : bunyi nafas normal, jalan nafas bersih, mampu mengeluarkan sekret, RR normal (16-24x/menit) Intervensi Auskultasi bunyi nafas pasien Rasional digunakan Auskultasi untuk menentukan lokasi sekret dalam Aktivitas kolaborasi: saluran pernafasan. Nebulizing adalah Berikan nebulizing dengan obat memberikan yang diadviskan dokter. saluran tekhnik penguapan napas mengencerkan pada pasien untuk sputum dalam saluran pernafasan pasien. Lakukan fisioterapi napas, namun Pada pasien dengan trauma/cedera hanya vibrating yang dianjurkan. medulla spinalis tidak dianjurkan untuk postural drainage dan clapping, hanya diperbolehkan vibrating untuk memindahkan Aktivitas kolaborasi: sekret. Suction Lakukan suction pengeluaran Lakukan latian nafas dalam menghindari aspirasi. Latian nafas dalam digunakan sekret untuk dan dapat membantu pengembangan alveoli dan penurunan produksi sekret. Monitor TTV setiap 2 jam sekali Dengan monitoring dapat dan monitor status neurologi mendeteksi adanya infeksi pada saluran pernafasan lebih dini. 28 2) Intoleransi aktivitas b.d Immobilitas Tujuan : dalam 3x24 jam klien terkondisi dan mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan kemampuannya. Kriteria Hasil : klien dapat ikut serta dalam program latihan,tidak terjadi kontraktur sendi,bertambahnya kekuatan otot,dan klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas. Intervensi 1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan Rasional Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas kerusakan,kaji secara teratur fungsi motorik 2. Posisikan klien tiap 2 jam Menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan 3. Ajarkan klien untuk melakukan Gerakan aktif memberikan latihan gerak aktif pada massa,tonus dan kekuatan otot ekstremitas yang tidak sakit serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan 4. Lakukan gerak pasif pada ekstremitas yang sakit Otot volunter akan kehilangan tonusdan kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan 5. Kolaborasi dengan ahli Peningkatan kemampuan dalam fisioterapi untuk latihan fisik mobilisasi ekstremitas dapat klien ditingkatkan dengan latihan fisik dari ahli fisioterapi 29 3) Nyeri kronis b.d kerusakan system saraf Tujuan : dalam 3x24 jam nyeri berkurang Kriteria Hasil : klien mampu berpartisipasi dalam pengurangan nyeri Intervensi 1. Pertahankan tirah baring dan Rasional Meminimalkan rangsang nyeri imobilisasi sesuai indikasi akibat gesekan antara fragmen tulang dengan jaringan lunak di sekitarnya 2. Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak dibawah Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol daerah daerah yang menonjol 3. Bila terpasang bebat, sokong Mencegah perubahan posisi fraktur dengan bantal atas dengan tetap mempertahankan gulungan selimut untuk kenyamanan dan keamanan mempertahankan posisi yang netral 4) Perubahan pola eliminasi urine b.d kelumpuhan saraf perkemihan Tujuan: dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai kondisi klien Kriteria Hasil : produksi urin 50cc/jam,klien dapat melakukan eliminasi urine dengan atau tanpa pemasangan kateter Intervensi 1. Kaji pola berkemih,dan catat Rasional Mengetahui fungsi ginjal produksi urin tiap 6 jam 2. Palpasi kemungkinan adanya Menilai perubahan akibat distensi kandung kemih 3. Anjurkan klien untuk minum inkontinensia urin Membantu mempertahankan fungsi 2000cc/hari 4. Pasang well kateter ginjal Membantu proses pengeluaran urin 30 5) Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskular,menurunnya kemampuan dan kesadaran,kehilangan kontrol otot dan koordinasi Tujuan : klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri Kriteria Hasil : klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan Intervensi 1. Kaji kemampuan dan tingkat Rasional Membantu dalam mengantisipasi penurunan dalam melakukan dan merencanakan pertemuan ADL kebutuhan individual 2. Hindari apa yang tidak dapat Klien dalam keadaan cemas dan dilakukan klien dan bantu bila tergantung hal ini dilakukan untuk perlu mencegah frustasi dan harga diri 3. Pertahankan dukungan pola klien Klien memerlukan empati tetapi pikir izinkan klien melakukan perlu mengetahui perawatan yang tugas dan beri umpan balik konsisten dalam menangani klien positif untuk usahanya sekaligus meningkatkan harga diri,memandirikan klien dan menganjurkan klien untuk terus 4. Rencanakan tindakan untuk mencoba. Klien akan dapat mampu melihat defisit penglihatan seperti dan memakan makanan dan akan tempatkan makanan dan mampu melihat keluar masuknya peralatan dalam suatu orang ke ruangan tempat,dekatkan tempat tidur ke dinding 5. Beri kesempatan untuk Mengurangi ketergantungan 31 menolong diri seperti menggunakan pisau garpu,sikat dengan pegangan panjang,ekstensi untuk berpijak pada lantai atau ke toilet dan kursi untuk mandi BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS SPINAL CORD INJURY 32 4.1 Kasus Tn. G, usia 28 tahun dibawa oleh polisi ke IRD RSUD Dr. Soetomo setelah mengalami kecelakaan kerja, Tn. G jatuh dari ketinggian 10 m. Selama perjalanan menuju rumah sakit Tn. G mengeluh tidak bisa menggerakkan tangan serta tungkainya, Tn. G terlihat sulit bernapas, napas pendek . RR 29 x/menit, TD 90/60mmHg, Nadi 60x/ menit, GCS: 2-4-1, skala nyeri 9. Dari hasil pemeriksaan nadi lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, urine keluar menetes, kandung kemih terisi penuh. Dari hasil CT Scan terjadi dislokasi C 4. 4.2 Pengkajian Nama : Tn.G Jenis Kelamin : Laki - laki Umur : 28 tahun 1) Riwayat Penyakit Sekarang Mengalami kecelakaan kerja, jatuh dari ketinggian 10 m. Selama perjalanan menuju rumah sakit mengeluh tidak bisa menggerakkan tangan serta tungkainya.Terlihat sulit bernapas, napas pendek. 2) Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada 3) Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada 4.3 Pemeriksaan Fisik 1) B1(Sistem pernapasan) RR : 29 x/menit, napas pendek, kesulitan bernapas, dan terdapat kelemahan otot pernafasan 2) B2 (sistem kardiovaskuler) Brakikardi ( N: 60x/menit), TD 90/60 mmHg 3) B3 (sistem peersyarafan) GCS 2-4-1 4) B4 (sistem perkemihan) Palpasi kandung kemih penuh, urine keluar menetes 5) B5 (sistem pencernaan) 6) B6 (sistem musculoskeletal) Terdapat jejas dibagian leher, dan kelumpuhan pada seluruh badan 33 4.4 Analisa Data N Data Etiologi o Masalah Keperawatan . 1 . DS: pasien Kecelakaan mengataka kerja Pola nafas tidak efektif n kesulitan bernapas. DO: RR Dislokasi C 4 29 x/mnt, napas pendek, Disfungsi C4 cepat Gangguan pada otot diafragma Pola nafas tidak efektif 2 . DS: paien Hambatan mengataka mobilitas n tangan fisik dan tungkai tidak bisa digerakkan 34 Kecelakaan DO: kerja tungkai dan tangan tidak bisa Dislokasi C4 digerakkan Disfungsi C 4 Kerusakan fungsi motorik Hambatan mobilitas fisik 35 3 . DS: pasien mengeluh Kecelakaan nyeri pada kerja belakang leher Dislokasi C DO: 4 pasien terlihat kesakitan , Kompresi skala nyeri saraf 8 Respon nyeri Nyeri akut 36 4 . DS: Px mengataka Kecelakaan kerja Perubahan pola n urine eliminasi keluar urin menetes Kelumpuhan saraf DO: nyeri perkemihan tekan pada abdomen bawah dan Kandung keinginan kemih terasa kencing penuh saat palpasi. Otot detrusor tidak bereaksi Perubahan pola eliminasi urin 37 4.5 Intervensi Keperawatan 1) Ketidakefektifan Pola Nafas b.d gangguan persarafan pada kontrol gerak diafragma, kehilangan fungsi otot interkosta komplit/sebagian. Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam pasien akan menunjukkan pola nafas efektif yang ditandai dengan: RR dalam rentang normal Kriteria hasil : Pemeliharaan ventilasi yang memadai yang dibuktikan dengan tidak adanya gangguan pernapasan dan hasil dari BGA dalam batas yang dapat normal. Menunjukkan perilaku yang sesuai untuk mendukung upaya pernafasan Intervensi Rasional 38 Kelola oksigen dengan metode yang Metode ditentukan oleh tingkat sesuai, misal ventilator, masker, nasal cedera, kanul, intubasi. Berikan oksigen masker 3lpm tingkat insufisiensi respirasi, dan jumlah pemulihan fungsi otot pernapasan setelah fase syok spinal. Memelihara kepatenan jalan nafas: Pasien dengan cedera leher rahim menjaga kepala dalam posisi yang tepat tinggi dan gangguan muntah / yaitu mempertahankan posisi normal batuk refleks akanmemerlukan vertebra (‖Spinal Alignment‖). Memeriksa serangan tiba-tiba bantuan dalam mencegah dari aspirasi / mempertahankan jalan dispnea, sianosis dan/atau tanda lain yang napas pate mengarah pada distress pernafasan. Perkembangan emboli paru dapat Auskultasi bunyi nafas. Catat area dimana ―silent‖ karena persepsi nyeri terjadi perubahan suara nafas mengalami perubahan dan/atau Kaji warna kulit dari sianosi, kehitamthrombosis vena dalam tidak hitaman Latih otot pernafasan pasien, mudah dikenali. Hiperventilasi secara umum dapat menyebabkan akumulasi sekret, atelektasis dan pneumonia (komplikasi yang sering terjadi) Dapat menunjukkan kegagalan pernafasan, membutuhkan segera evaluasi pengobatan dan mengoptimalkan fungsi intervensi. Untuk pernafasan pasien, 2) Nyeri akut b.d kompresi saraf Tujuan: dalam waktu 1x24 jam pasien memperlihatkan penurunan rasa nyeri Kriteria hasil : pasien melaporkan penurunan rasa nyeri, mengidentifikasi 39 cara-cara mengatasi nyeri, pasien bisa mendemontrasikan teknik relaksasi. Intervensi Rasional Jelaskan dan bantu klien dengan Pendekatan dengan menggunakan tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi dan non invasif. lainnya telah Seperti pereda nyeri golongan 1 yaitu keefektifan morphinatau petidhin nyeri Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik Akan nonfarmakologi menunjukkan dalam melancarkan mengurangi peredaran untuk menurunkan ketegangan otot darah, sehingga kebutuhan O2 rangka, yang dapat menurunkan oleh jaringan intensitas nyeri dan juga tingkatkan sehingga akan akan terpenuhi, mengurangi relaksasi masase. nyerinya. Ajarkan metode distraksi selama Mengalihkan perhatian nyerinya nyeri akut. Kolaborasi ke hal-hal yang menyenangkan dokter, Analgetik memblok lintasan nyeri, denmgan pemberian analgetik. sehingga nyeri akan berkurang. Observasi tingkat nyeri, dan respon Pengkajian yang optimal akan motorik klien, 30 menit setelah memberikan perawat data yang pemberian obat analgetik untuk obyektif mengkaji efektivitasnya. Serta setiap kemungkinan untuk mencegah komplikasi dan 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan melakukan intervensi yang tepat. selama 1 - 2 hari. 3) Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan otot perkemihan Tujuan: dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai keadaan normal Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, klien dapat melakukan eliminasi urin dengan atau tanpa pemasangan urine. Intervensi Rasional Kaji pola berkemih, dan catat setiap 6 Untuk mengetahui fungsi ginjal jam sekali Palpasi adanya distensi kandung Menilai perubahan akibat dari kemih, dan observasi pengeluaran inkontinensia urine 40 urine Anjurkan klien minum 2000 cc/hari Membantu Pasang well kateter fungsi ginjal Membantu proses Lakukan bladder training urine Membantu mempertahankan pengeluaran meningkatkan kemampuan pola eliminasi urin. 4) Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan fungsi motoric Tujuan: gangguan mobilitas dapat diminimalkan Kriteria hasil: mempertahankan posisi fungsi yang dibuktikn dengan tidak adanya kontraktur, footdrop. Meningkatkan kekuatan tidak terpengaruh/kompensasi bagian tubuh. Menunjukkan teknik/perilaku yang memungkinkan dimulainya kembali kegiatan. Intervensi Kaji fungsi motorik secara berkala Rasional Evaluasi status situasi individu (gangguan sensorik-motorik) untuk tingkatan spesifik cedera Menjaga dengan pergelangan papan kaki. kaki dan memilih intervensi. 90o Mencegah footdrop dan rotasi Gunakan eksternal pangkal paha. trochanter rolls sepanjang paha saat di ranjang. Ukur dan pantau tekanan darah pada Hipotensi orthostatic dapat terjadi fase akut atau hingga stabil. Ubah sebagai hasil dari penyatuan vena posisi secara perlahan. Inspeksi kulit setiap (sekunder untuk kehilangan tonus hari. pembuluh darah). Kaji Perubahan sirkulasi, kehilangan terhadap area yang tertekan, dan sensai, dan memberikan perawatan kulit secara memungkinkan teliti. Membantu/mendorong tekanan sakit. paralisis pembentukan Ini merupakan pertimbangan seumur hidup pulmonary Imobilisasi/bedrest meningkatkan 41 hygiene seperti nafas dalam, batuk, resiko suction BAB 5 42 TINJAUAN PUSTAKA 5.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf PNS terdiri dari saraf yang cabang keluar dari otak dan sumsum tulang belakang. Saraf ini membentuk jaringan komunikasi antara SSP dan sisa tubuh. PNS dibagi lagi menjadi sistem saraf somatik dan sistem saraf otonom. Sistem saraf somatik terdiri dari saraf yang pergi ke kulit dan otot dan terlibat dalam kegiatan sadar. Sistem saraf otonom terdiri dari saraf yang menghubungkan SSP ke organ visceral seperti jantung, lambung, dan usus. A. Saraf kranial Dua belas pasang saraf kranial: 1) I (Olfaktori). Jenis: sensorik. Fungsi: indra penciuman. 2) II (Optikus). Jenis: sensorik. Fungsi: penglihatan. 3) III (Okulomotorius). Jenis: terutama motorik. Fungsi: gerakan mata dan kelopak mata. 4) IV (Trochlearis). Jenis: terutama motorik. Fungsi: gerakan mata. 5) V (Trigeminal). Jenis: campuran. Fungsi: cabang ophthalmic untuk serat sensorik dari kornea, kulit hidung, dahi, kulit kepala; cabang maksilaris untuk serat sensorik dari pipi, hidung, bibir atas, dan gigi; cabang mandibular untuk serat motor untuk otot, pengunyahan. 43 6) VI (Abducens). Jenis: terutama motorik. Fungsi: gerakan mata. 7) VII (Facial). Jenis: campuran. Fungsi: serat sensorik dari reseptor rasa pada anterior dua pertiga dari lidah; serabut motorik otot ekspresi wajah, kelenjar lakrimal, dan kelenjar ludah. 8) VIII (vestibulocochlear). Jenis: sensorik. Fungsi: pendengaran dan keseimbangan. 9) IX (Glossopharyngeal). Jenis: campuran. Fungsi: serat sensorik dari reseptor rasa pada posterior sepertiga dari lidah; serabut motorik ke otot yang digunakan dalam menelan dan kelenjar ludah. 10) X (Vagus). Jenis: campuran. Fungsi: serat sensorik dari faring, laring, esofagus, dan organ visceral; serabut motorik somatik dari faring dan laring; serabut motorik somatik ke otot-otot faring dan laring. 11) XI (Aksesori). Jenis: terutama motorik. Fungsi: kontraksi trapezius dan otot sternokleidomastoid. 12) XII (hipoglosus). Jenis: terutama motorik. Fungsi: kontraksi otot di lidah. Semua saraf ini, kecuali saraf vagus, melewati foramen tengkorak untuk innervate struktur di kepala, leher, dan daerah wajah. Saraf vagus, saraf kranial X, memiliki banyak cabang yang memasok jeroan di dalam tubuh. Ketika serat sensorik yang hadir dalam saraf kranial, badan sel neuron ini terletak di kelompok, yang disebut ganglia, di luar otak. Badan sel neuron motorik biasanya terletak di materi abu-abu otak. B. Saraf Spinal 44 31 pasang saraf tulang belakang yang dinamai oleh lokasi mereka: a) saraf serviks: 8 pasang (C1 – C8) b) saraf Thoracic: 12 pasang (T1 – T12) c) Saraf lumbar: 5 pasang (L1 – L5) d) Saraf sacral: 5 pasang (S1 – S5) e) Saraf coccygeal: 1 pasang (C0) Setiap saraf tulang belakang terhubung ke sumsum tulang belakang oleh akar dorsal dan ventral root. Dorsal root dapat diakui oleh pembesaran, ganglion akar dorsal. Akar dorsal hanya memiliki serat sensorik, dan akar ventral hanya memiliki serabut motorik. Badan sel dari neuron sensorik berada di ganglion akar dorsal, tetapi badan sel neuron motorik berada di gray matter. Kedua akar bergabung untuk membentuk saraf tulang belakang sebelum saraf meninggalkan tulang belakang. Karena semua saraf tulang belakang memiliki kedua komponen sensorik dan motorik, mereka semua saraf campuran. C. Sistem Saraf Otonom 45 Sistem saraf otonom (ANS) adalah sistem eferen viseral, yang berarti ia akan mengirimkan impuls motorik ke organ visceral. Ini berfungsi secara otomatis dan terus menerus, tanpa upaya sadar, untuk menginervasi otot polos, otot jantung, dan kelenjar. Hal ini berkaitan dengan denyut jantung, tingkat pernapasan, tekanan darah, suhu tubuh, dan kegiatan visceral lainnya yang bekerja sama untuk mempertahankan homeostasis. Di jalur motorik somatik, biasanya ada satu neuron yang memanjang dari otak atau sumsum tulang belakang ke efektor yang dipersarafi. Jalur otonom memiliki dua neuron antara SSP dan efektor visceral. Sel tubuh yang pertama neuron adalah di otak atau sumsum tulang belakang. Akson ini, serat praganglionik, meninggalkan SSP dan sinapsis dengan neuron kedua yang berada di ganglion otonom. Akson dari neuron kedua terletak di ganglion otonom. Akson dari neuron kedua, serat postganglionik, daun ganglion dan pergi ke organ efektor. ANS memiliki dua bagian 1) Divisi simpatik Divisi simpatik terutama berhubungan dengan mempersiapkan tubuh untuk situasi stres atau darurat. Kadang-kadang disebut melawan, itu adalah sistem energi pengeluaran. Ini merangsang respon yang diperlukan untuk memenuhi darurat dan menghambat 46 kegiatan visceral yang bisa ditunda sejenak. Sebagai contoh, dalam keadaan darurat, sistem simpatis meningkatkan tingkat pernapasan, detak jantung, dan aliran darah ke otot rangka. Pada saat yang sama, menurunkan aktivitas penginapan saluran pencernaan karena itu tidak diperlukan untuk memenuhi darurat. Serat preganglionik parasimpatis timbul dari toraks dan lumbar daerah sumsum tulang belakang, sehingga divisi simpatik kadangkadang disebut divisi torakolumbalis. Serat ini segera berakhir di salah satu paravertebral ganglia. Sebuah rantai ganglia ini, rantai simpatis, memanjang membujur di sepanjang setiap sisi tulang belakang. Beberapa serat sinaps di agunan ganglia luar rantai simpatik tapi masih dekat dengan tulang belakang. Dengan demikian di divisi simpatik, serat preganglionik pendek, tapi serat postganglionik yang membuat kontak dengan organ efektor panjang. Sebuah serat preganglionik simpatis biasanya sinapsis dengan banyak serat postganglionik di ganglion. Serat postganglionik kemudian pergi ke berbagai organ untuk memberikan luas, efek menyebar. Pada sinapsis dalam ganglia, serat preganglionik melepaskan neurotransmitter asetilkolin. Untuk alasan ini disebut serat kolinergik. Sebagian besar serat postganglionik melepaskan norepinefrin (noradrenalin) dan disebut serat adrenergik. Karena norepinefrin adalah tidak aktif agak lambat, serat ini memberikan efek tahan lama. 2) Divisi parasimpatik Pembagian parasimpatis yang paling aktif di bawah biasa, kondisi santai. Hal ini juga membawa sistem tubuh kembali ke keadaan normal setelah keadaan darurat dengan memperlambat denyut jantung dan laju pernapasan, penurunan tekanan darah, mengurangi aliran darah ke otot rangka, dan meningkatkan aktivitas saluran pencernaan. Kadang-kadang disebut sistem istirahat. Serat preganglionik parasimpatis muncul dari batang otak dan daerah sakral dari sumsum 47 tulang belakang, sehingga kadang-kadang disebut divisi craniosacral. Ganglia, yang disebut ganglia terminal, yang terletak di dekat atau di dalam organ visceral. Hal ini membuat serat preganglionik panjang dan serat pendek pascaganglionik. Biasanya, serat preganglionik parasimpatis sinapsis dengan hanya beberapa serabut postganglionik, sehingga efeknya terlokalisir. Baik praganglionik dan serat postganglionik yang kolinergik, yang berarti mereka mengeluarkan asetilkolin pada sinapsis. Karena acetylcholine yang mudah dinonaktifkan, efek parasimpatis adalah jangka pendek. 5.2 Definisi Cedera Saraf Perifer Peripheral Nerve Injury atau cedera saraf perifer adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kerusakan saraf di luar otak atau sumsum tulang belakang. Cedera saraf perifer biasanya disebabkan oleh trauma. Sebuah cedera saraf perifer terjadi ketika setiap saraf di tubuh yang tidak di otak atau sumsum tulang belakang rusak. Jika saraf perifer rusak kemudian otot disuplai oleh saraf yang tidak menerima informasi dari otak, maka organ yang hanya dipersarafi oleh saraf perifer menjadi lemah atau lumpuh. Kerusakan saraf juga berarti bahwa otak tidak menerima informasi dari tubuh. Hal ini menimbulkan bebrapa sensasi pada tubuh seperti mati rasa, kesemutan dan nyeri. Tidak seperti tulang belakang, saraf perifer memiliki kemampuan untuk disembuhkan. Menurut WHO, technical report series 645, 1980 : batasan neuropati saraf tepi atau kematian saraf perifer adalah kelainan menetap (lebih dari beberapa jam) dari neuron sumsum tulang, neuron motorik batang otak bagian bawah, sensorimotor primer, neuron susunan saraf autonom perifer dengan kelainan klinis, elektroneurografik dan morfologik. Salah satu contoh dari cedera saraf perifer adalah polineuropati. Polineuropati adalah neuropati dengan lesi utama pada neuron. Pada umumnya polineuropati 48 dapat menyebabkan kelainan simetris dan bilateral pada sistem saraf tepi. Kelainan ini dapat berbentuk motorik, sensorik, sensorimotor atau autonomik. Distribusinya dapat proksimal, distal atau umum. Polineuropati mengakibatkan kelemahan atau paralyse pada beberapa bagian tubuh. Kerusakan ini dapat disembuhkan seperti kerusakan pada sistem saraf perifer lainnya karena ujung saraf akson yang rusak memiliki kemampuan untuk degenarasi aksonal. 5.3 Klafikasi Cedera Saraf Perifer Klasifikasi menurut Seddon (1989) secara klinis relevan, dapat digunakan untuk memprediksi hasil fungsional dan menyarankan perawatan yang tepat. dalam skema Seddon, ada tiga klasifikasi cedera saraf: neuropraxia, axonotmesis, dan neurotmesis. 1) Neuropraxia Neuropraxia adalah blok konduksi lokal yang disebabkan demielinasi sementara. saraf mielin paling mudah terpengaruh. neuropraxia umumnya hasil dari kompresi saraf perifer. Luka neuropraxia sembuh dengan perbaikan sel Schwann, yang berlangsung selama bebrapa hari, minggu, atau hingga beberapa bulan pulih. 2) Aksonotmesis Cedera ini biasanya disebabkan oleh pukulan hebat atau, biasanya diakibatkan oleh traksi atau cedera regangan pada saraf. Akson dan selubung myelin secara anatomi terganggu walaupun pipa endoneurium tetap utuh. Degenerasi Wallerian terjadi pada bagian distal yang cedera, yang menyebabkan hilangnya konduksi saraf. Pemulihan terjadi melalui regenerasi akson dengan laju 1-2 mm per hari di sepanjang pipa endoneurium yang sama. Prognosis baik meskipun fungsi sensorik pulih lebih baik daripada fungsi motorik.c. 3) Neurotmesis Cedera ini biasanya disebabkan oleh luka tembus akibat cedera traksi energy tinggi atau tertusuk pisau atau kaca. Badan saraf rusak total disertai gangguan pada akson dan struktur jaringan ikat, 49 yang menyebabkan degenerasi Wallerian. Tidak terjadi pemulihan kecuali perbaikan bedah, bila dianggap tepat, akan dilakukan. Setelah pembedahan berhasil dilakukan, pemulihan dapat terjadi dengan laju 1-2 mm per hari, walaupun kualitas pemulihan meragukan. Saat pipa Endoneurium dan struktur lain terkena, serabut saraf yang beregenerasi sering pulih dengan sejumlah “miswiring”, yang menyebabkan penurunan atau gangguan transfer impuls yang selanjutnya mengganggu inervasi otot dan organ (Joel A. DeLisa, dkk. 2005). Gambar : Jenis klasifikasi peripheral nerve injury menurut Seddon Tabel : Klasifikasi Cidera syaraf (Sanjeev, 2011) Derajat cedera saraf 1. Neuropraksia Myelin Akson +/- Tidak Endoneurium perineurium epineurium tidak tidak tidak 50 1. Axonotmesis Ya Ya tidak tidak Tidak III Ya Ya ya tidak Tidak IV Ya Ya ya ya Tidak V. Neurotmesis Ya Ya ya ya Meskipun skema klasifikasi sunderland lebih kompleks, Ya beberapa mempertimbangkan untuk menjadi berguna lebih klinis (campbell, 2008). sistem klasifikasi sunderland ini, sinsisting derajat cedera saraf, didasarkan pada struktur histologis batang nurve. mendefinisikan lima jenis meningkatkan keparahan cedera saraf, sebagai berikut (sunderland, 1990): 1. cedera tingkat pertama Blok konduksi sementara tetapi dengan diawetkan kontinuitas aksonal. 2. cedera tingkat kedua Ada yang diawetkan kelangsungan selubung endoneurial dengan Wallerian degenerasi bawah lesi. regenerasi aksonal terjadi dalam tabung endoneurial asli, akhirnya mengembalikan pola asli dari persarafan dan fungsi sepenuhnya pulih. 3. cedera tingkat ketiga Fasikulus yang diawetkan tapi kelangsungan serabut saraf dan selubung endoneurial hilang. regenerasi aksonal mungkin salah arah dan pemulihan dikompromikan. 4. cedera tingkat keempat 51 Ada pelestarian epineurium tapi diskontinuitas akson, endoneurium, perineurium, dan fasikula. batang saraf trauma digantikan oleh penghalang dari jaringan fibrosa (neuroma), mencegah pertumbuhan akson. ini adalah jenis cedera yang memerlukan intervensi bedah. 5. cedera tingkat kelima Menunjukkan hilangnya kontinuitas seluruh batang saraf (transeksi saraf) (Gloria M. Galloway, dkk. 2010). 5.4 Etiologi Saraf Perifer Etiologi dari cidera saraf perifer (IKAPI, 2010) : 1 Transection Patah tulang atau dislokasi sendi 2 Stretch Tractional Contusion Adanya tekanan akibat pembidaian, pemasangan tourniket atau tindakan 3 4 5 pembalutan. Gunshot Wounds Luka kecepatan rendah dengan gelombang kejut lebih kecil cenderung langsung mengenai struktur seperti saraf tepi, pembuluh darah, dan tulang. Ischemic and Compression Iskemia pada emboli arteri atau sindrom kompartemen. Electrical/ Thermal Injuri Adanya sengatan listrik masuk ke dalam tubuh, kerusakan terbesar terjadi pada jaringan saraf, pembuluh darah, dan otot. Sengatan listrik dapat mengakibatkan nekrosis (kematian sel) berupa koagulasi, kematian saraf, dan 6 7 kerusakan pembuluh darah. Injection Injury Adanya penyuntikan yang mengenai saraf. Irradiation Injury Radiasi ionisasi dapat menciderai atau menyebabkan kematian sel secara langsung dengan merusak membran sel dan menyebabkan intra sel sehingga terjadi lisis sel. 5.5 Komplikasi Cedera Saraf Perifer 1. Remisi spontan. 2. Distrofi reflex simpatik à Penyakit ini diyakini sebagai reaksi berantai abnormal dari sistem saraf simpatik, yakni sistem tubuh yang mengatur aliran 52 darah di kulit. Penyakit ini secara spontan bisa hilang dengan sendirinya tapi kalau sudah timbul luar biasa sakitnya. 3. Kontraktur miogen akibat paralisis otot sebagai akibat keterlambatan timbulnya kontraktur atrogen. 4. Penyakit kaki diabetic akinat anesthesia dan gangguan saraf autonomy. 5.6 Patofisiologi Sistem saraf meliputi saraf perifer di wajah, lengan, kaki, badan, dan beberapa saraf kranial. Sistem Ini berkomunikasi antara saraf otak dan otot, kulit, organ internal dan pembuluh darah. Apabila sel saraf perifer mengalami kerusakan terutama pada selubung mielin, maka perjalanan impuls dari sistem saraf pusat akan terputus dan tidak ada respon yang ditimbulkan oleh organ efektor. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh Demyelination yakni, kehancuran atau hilangnya selubung mielin. Ketika myelin mengalami degradasi, konduksi sinyal di sepanjang saraf bisa terganggu atau hilang dan saraf akhirnya layu. Sistem kekebalan mungkin memainkan peran penting dalam hal ini terkait dengan penyakit yang diderita, termasuk peradangan dapat menjadi penyebab karena produksi sitokin yang banyak melalui regulasi faktor nekrosis tumor (TNF) [3] atau interferon. 5.7 Manifestasi Klinis Tanda dan gejala dari jenis cedera saraf perifer ini berdasarkan karakteristik darilokasi saraf yang mengalami injuri. Karakteristik cedera saraf perifer meliputi(Kneale, 2011) adalah sebagai berikut: 1. Sindrom Horner Kondisi ini, pertama kali di deskripsikan pada tahun 1869 oleh FriedrichHorner, ahli oftalmologi dari Swiss, terjadi akibat gangguan saraf simpatis pada batang otak atau kerusakan trunkus simpatis di area servikal. Sindrom ini biasanya dengan cedera pleksus brakialis, dengan pasien mengalami (Hems,2000): Miosis : kontriksi pupil Ptosis : penurunan kelopak mata atas 53 Anhidrosis : wajah kering akibat kekurangan keringat 2. Tanda tinel Ditemukan pada 1917 oleh ahli neurologi dari perancis, Jules Tinel, tanda ini mengidentifikasi cedera pada trunkus saraf akibat kompresi atau perkusi. Pasien melaporkan sensasi kesemutan pada area kutaneus (distribusi sensorik) saraf. Tanda ini sering digambarkan sebagai “syok elektrik” atau seperti“semut merayap di kulit”. Sensasi deskriptif ini disebut sebagai formikasi. Tanda Tinel progresif, tempat sensai kesemutan meningkat secara bertahap, berarti baik tanda ini mengindikasikan perkembangan regenerasi saraf, namun tidak selalu berarti bahwa pemulihan total akibat cedera saraf akan terjadi. 3. Fungsi otonom Ketika saraf perifer terkena, terjadi reaksi vasomotor dan hilangnya keringat(anhidrosis). Awalnya, area yag terkena berwarna merah muda karena vasodilatasi, sebelum menjadi pucat, dingin, dan tampak belang. Kondisi inidapat menyebar dari area yang masih dipersarafi, disertai atrofi jari dan kuku.Jika masih berkeringat, kerusakan saraf mungkin tak lengkap 4. Nyeri Cedera Saraf Nyeri akut, normal dan nosiseptif disebabkan oleh stimulus intensitas tin ggi pada ujung saraf. Pesan nyeri dibawa via sistem saraf yang utuh, dengan penyampaian pesan nyeri dari noiseptor melalui serabut C ke medulla spinalisdan otak. Walaupun penyebab nyeri inflamasi berbeda, pesan dibawa melaluicara yang sama via serabut C ke medulla spinalis dan otak (Pasero et al, 1999). 5.8 Penatalaksanaan Cedera Saraf Perifer Dalam mengelola pasien dengan peripheral nerve injury perlu mengetahui mekanisme cedera, respons patologis, dan kapasitas regenerasi yang akan terjadi. Rencana atas apakah akan dilakukan operasi, bila akan dioperasi, dan apa yang dilakukan bila lesi terbuka berdasar pada tidak hanya atas pengertian akan patologi pemulihan, namun juga akan beberapa hal yang membatasi regenerasi neural dalam arti pemulihan fungsional praktis.Pemeriksaan klinis, pemeriksaan 54 elektrodiagnostik, dan pemeriksaan radiologis akan membantu dalam membuat keputusan. 5.9 Pemeriksaan Fisik pada Cedera Saraf Perifer 1. Pemeriksaan Motor Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk cedera saraf spesifik adalah tahap terpenting dalam mengelola semua cedera saraf, adalah pemeriksaan teliti anggota, dengan perhatian besar pada semua fungsi motor dan sensori. Pemeriksaan harus menentukan apakah kehilangan distal sisi cedera lengkap atau tidak. Hanya ini yang akan menjelaskan pada pemeriksaan selanjutnya terjadi perubahan atau tidak. Pemeriksaan motor adalah cukup sebagai bukti regenerasi bila pemulihan jelas. Pengamatan klinis fungsi motor volunter dapat juga ditentukan dengan respons motor terhadap stimulasi. Stimulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal adanya pemulihan peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi. Pasien dengan cedera saraf peroneal tidak mampu memulai aksi volunter pada otot peroneal dan tibial anterior (eversi dan dorsifleksi kaki). Ini berlangsung beberapa minggu setelah perbaikan elektrofisiologis yang ditunjukkan oleh kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf peroneal: 1) tepat dibelakang kepala fibula, atau 2) tepat didalam hamstring lateral, dimana batang saraf mudah dipalpasi. Penting pertama-tama berkontraksi memastikan bahwa otot yang diamati pada distribusi dari saraf yang diharapkan untuk distimulasi. 2. Tanda Tinel Melakukan penekanan pada pertengahan ligamentum carpi transversum (volare). positif jika timbul nyeri, yang berarti terdapat penjepitan saraf (entrapment). Tanda Tinel positif hanya menunjukkan regenerasi serabut halus dan tidak menunjukkan apapun tentang kuantitas dan kualitas yang sebenarnya dari serabut yang baru. Disisi lain, interupsi saraf total ditunjukkan oleh tiadanya respons sensori distal (tanda Tinel negatif) setelah waktu yang memadai telah berlalu untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu). Tanda Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis dibanding tanda Tinel positif. 55 3. Berkeringat Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut simpatis bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului pemulihan motori atau sensori dalam beberapa minggu atau bulan, karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan berkeringat tidak selalu berarti akan diikuti fungsi motori atau sensori. 4. Pemulihan Sensori Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama bila terjadi didaerah otonom dimana tumpang tindih saraf berdekatan minimal. Daerah otonom saraf median adalah permukaan volar dan dorsal telunjuk dan permukaan volar jempol. Saraf radial tidak mempunyai daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan sensori pada distribusi ini, biasanya mengenai sejumput daerah anatomis tertentu. Daerah otonom saraf ulnar adalah permukaan palmar 11 falang distal kelingking. Daerah otonom saraf tibial adalah tumit dan sebagian telapak kaki, sedang saraf peroneal adalah tengah dorsal kaki. Sayangnya pemulihan sensori, bahkan pada daerah otonom, 5.10 tidak pasti diikuti pemulihan motorik. Penatalaksanaan Diagnostik Cedera Saraf Perifer Pemeriksaan diagnostic untuk klien dengan cedera saraf perifer (Funnel, 2009),meliputi : 1) Elektromiografi (EMG) Elektromiografi dapat memberikan pemantauan secara berkesinambungan fungsi saraf kranial dan perifer. Jika struktur saraf teriritasi saat manipulasi operasi, aktivitas elektromiografi akan tampak pada otot yang diinervasi saraf tersebut. Iritasi ringan menyebabkan aktivitas EMG transien sedangkan cedera yang lebih serius menyebabkan aktivitas EMG yang lebih panjang.Elektrokauter dan irigasi cairan salin merupakan etiologi mayor interferensiEMG. Pemantauan intraoperatif melalui EMG dapat digunakan untuk (1)mempreservasi fungsi nervus fasialis pada tindakan operatif basis cranii,misalnya reseksi neuroma akustik, (2) memonitor fungsi nervus kranialis yang menginervasi otot, yaitu nervus III, IV, VI, IX, X, XI, dan XII, (3) memonitor fungsi medula spinalis dan akar 56 saraf spinal saat operasi spinal. Elektroda diletakkan pada otot yang diinervasi oleh saraf yang terancam cedera selama operasi. Pada operasi stabilisasi vertebra, pedicle screw dapat distimulasi langsung untuk menentukan ada tidaknya penetrasi ke kanalis spinalis.Penggunaan agen pelemas otot yang memblok neuro muscular junction sebaiknya dikontrol sehingga tidak mempengaruhi interpretasi.Elektromiografi (EMG) studi memungkinkan lokalisasi cedera saraf tepi dan memberikan informasi tentang prognosis. Tes EMG terdiri dari dua bagian:studi konduksi saraf (baik motor dan sensorik) dan pemeriksaan jarum elektroda. Studi ini idealnya harus dilakukan 3 minggu setelah cedera. EMG Sebuah dilakukan jika pleksus saraf tepi atau cedera saraf akar diduga, untuk mengkonfirmasi adanya cedera saraf, serta menilai keparahan dan lokasi.Studi-studi ini biasanya dilakukan oleh ahli saraf. 2) Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP) Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera pleksus brakhial. Lesi tingkat akar yang terbatas didaerah preganglion dan tidakmeluas kedaerah postganglion berakibat hilangnya sensori distal lengkap dantetap mempertahankan konduksi sensori distal. Yang terakhir ini bertahankarena kerusakan serabut sensori distal ganglion akar saraf tidak berdegenerasi. Retensi konduksi sensori dari daerah anestetik dapat diperiksadengan merangsang jari pada distribusi C6 (jempol dan telunjuk), C6-7-8 (jaritengah) dan C8-T1 (kelingking dan jari manis) dan pencatatan saraf median,radial dan ulnar diproksimal. Adanya potensial aksi saraf sensori campuranmemastikan cedera pre-ganglionik pada distribusi satu akar atau lebih. Karenadistribusi sensori akar didistal tumpang tinduh dengan satu atau lebih akarlain, sulit menentukan dengan pemeriksaan ini bahwa satu akar, misalnya C6,adalah suatu cedera preganglionik. Stimulasi telunjuk (bahkan jempol) yanganestetik dapat menimbulkan SNAP pada distribusi saraf median bila baikakar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Inimenjadikannya sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakahcedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas 57 pada akar C5karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah pencatatanuntukhantaranini: Penilaian teliti akar sebelah atas dengan pencatatan SNAP tidak mungkin pada tingkat ini. 3) Somatosensory-Evoked Potential (SSEP) Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera, apakah praganglionikatau postganglionik, pada lesi pleksus brakhial. Ia bernilai terbatas pada bulan- bulan pertama cedera. Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat operasi atascedera brakhial karena regangan atau kontusi. Bila cedera postganglionik,stimulasi akar proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial somatosensori diatastulang belakang servikal (SSP) dan membangkitkan (evoked) respons kortikaldiatas kranium kontralateral (ECR). Bila cedera praganglionik atau pra dan postganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan didalam atau dekat foramenintervertebral,tidak akan membangkitkan respons apapun. Reparasi jarang berhasil. Sayangnya, timbulnya SSP atau ECR mungkin hanya memerlukan beberapa ratus serabut yang intak antara daerah yang distimulasi dan daerah perekaman, hingga respons positif hanya memastikan keutuhan minimal sarafatau akar spinal. ECR negatif lebih penting dari ECR positif 4) Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP) Mencakup pemeriksaan NAP batang saraf pada setiap sisi lesi. Karena pelacakan yang ideal untuk memutuskan apakah akan mereparasi saraf 8minggu setelah cedera, NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting biladicurigai adanya neuroma yang parah pada kontinuitas dan otot sasaran pertama berjarak lebih dari 3 inci di bawahnya. Hal penting pada perekaman NAP adalah: a) Tampilan neuroma yang parah pada kontinuitas tidak perlu berhubungan dengan arsitektur internal. b) Bila akson mempunyai kemampuan melintas lesi, sudah dapat direkamoleh NAP jauh sebelum akson mampu mencapai target. 58 c) Tehnik ini terutama berguna pada lesi saraf ekstremitas bawah dimanaotot sasaran pertama terletak 6-8 inci dibawah lesi. Jadi stimulasi sarafdan EMG tidak dapat memastikan hal ini untuk 6-8 bulan atau lebih, jadi penting bahwa rencana reseksi diambil sebelum masa tersebut.Perekaman NAP juga sangat membantu menentukan perluasan lesi pleksus brakhial dan memberikan indeks atas berapa banyak puntung proksimal darilesi akan direseksi. Kebanyakan cedera pleksus brakhial yang dipilih untukoperasi akan memiliki satu atau lebih elemen keutuhan, namun dengansejumlah variabel kerusakan intraneural. Perekaman NAP intrabedahmembantu menentukan akan perlunya reseksi. Disaat operasi, pengamatanterpenting adalah merekam ada atau tidaknya respons, bukan bentuk atau bahkan kecepatannya. Respons NAP regeneratif adalah kecil dan biasanyalambat, sedang yang diakibatkan adanya sisa bagian yang utuh mungkin kecilnamun biasanya lebih cepat atau mempunyai hantaran pada jangkauan normal.Bila cedera praganglionik tanpa cedera postganglionik, perekaman yang lebihdistal akan memperlihatkan penghantaran cepat, NAP besar, tepat sepertimendiagnostik tiadanya SSP atau ECR bila akar distimulasi pada tingkat ini 5) Pemeriksaan Radiologis Sinar-X Tulang Belakang Servikal dll Fraktura tulang belakang servikal sering berhubungan dengan cedera regang proksimal yang berat yang tidak dapatdireparasi, paling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkutan Fraktura tulang lain seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau iga, biladiamati memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang menghantam bahu,lengan atau leher, namun tidak selalu membantu menentukan tingkat atauluasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya lebih proksimal dibanding sisifraktura yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktura humerus tengahterutama berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktura kominuta radius danulna pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan cedera sarafmedian dan ulner, dan 59 terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior.Komponen peroneal saraf siatik sering, namun tidak selalu, terkena secarakhusus pada dislokasi atau cedera panggul. Fraktura femur bawah dan frakturatibial dan fibuler bisa mengenai saraf peroneal dan/atau tibial. Sekali lagi,cedera saraf mungkin lebih proksimal dari daerah fraktura yang diperkirakan.Fraktura femur tengah bisa berkaitan dengan cedera regang siatik lebihkeproksimal pada tingkat bokong. Radiograf dada bisa menampakkan elevasidiafragma yang tidak berfungsi, yang berarti paralisis saraf frenik. Ini tanda prognosis yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah cederatertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada tingkat leher. 6) Mielografi Bisa menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang pleksus brakhial berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk lesi pleksusditingkat infra klavikuler atau aksiler (kebanyakan luka tembak pada pleksus),kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang belakang servikal atau trayeknyasupraklavikuler medial. Meningosel pada tingkat bersangkutan menunjukkantenaga yang cukup telah terjadi pada tingkat akar proksimal yang merobekarakhnoid dan menyebabkan bocornya agen kontras. Ini tidak harus berarti bahwa akar mengalami avulsi dari kord spinal. Lebih sering adanyameningosel menunjukkan walau akar mungkin secara kasar masih utuh,terdapat kerusakan internal yang bermakna pada tingkat yang sangat proksimal. Sejumlah pasien dengan kerusakan tingkat akar dimana tidakterdapat meningosel (biasanya ditingkat akar yang lebih atas) dapat direparasidengan baik, walau terdapat meningosel pada akar lain (biasanya pada tingkatyang lebih bawah). Walau demikian, bila terdapat meningosel, paling seringkerusakan pada proksimal akar, karenanya tidak dapat direparasi. Temuan ini juga menjadikan bahwa kerusakan pada tingkat lain yang tidak dengan adanyameningosel adalah sangat proksimal lebih mungkin. Mielografi moderndengan kontras larut air bisa menampilkan akar-akar 60 pada ruang subarakhnoid,dan membandingkan sisi terkena dan sisi sehat menentukan daerah disrupsiakar. Mielografi tetap berguna membantu perencanaan pada cedera pleksus. 7) Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) Pemaparan tomografi terkomputer dengan kontras intra-tekal dimanfaatkan pada cedera regang walau terkadang abnormalitas tetap tidak dijumpai karenairisan biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah akar padasetiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologisyang disukai. Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantumenampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogramdan tidak menggantikannya. CSS didalam meningosel dapat tampak padaMRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi. 8) Tes konduksi saraf. 9) Nerve biopsy. 10) Spinal tekanTes lainnya yang dilakukan tergantung pada penyebab yang dicurigai kondisi,dan dapat mencakup x-ray, imaging scan, dan tes darah. 61 BAB 6 ASUHAN KEPERAWATAN UMUM PADA PERIPHERAL INJURY 6.1 Pengkajian a) Identitas b) Keluhan Utama c) Riwayat Kesehatan 1. Riwayat Kesehatan Sekarang 2. Riwayat Kesehatan Dahulu 3. Riwayat Penyakit Keluarga 6.2 Pemeriksaan Fisik 1. Aktivitas/ Istirahat: Gejala: adanya kelemahan dan paralisis sepanjang trunkus dari saraf yang mengalami cedera secara progresif. Tanda: kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris) 2. Sirkulasi : a. Gejala :Perubahan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi) b. Tanda : Hilangnya sensasi kutaneus, sensasi dalam (deep sensation) dan sensasi posisi (position sense). Kulit di daerah yang diinervasi saraf terjadi pengurangan keringat dan juga vasodilatasi temporer dengan perabaan hangat dan kemudian diikuti vasokonstruksi sehingga kulit menjadi dingin 3. Intregitas Ego: a. Gejala :perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi, perubahan pada tubuhnya b. Tanda :tampak gelisah dan bingung 4. Elminasi: a. Gejala : tidak ada perubahan pola elminasi b. Tanda :pasien dapat BAK/BAB dengan baik namun tidak dapat melakukannya sendiri karena kelemahan otot ekstremitas 5. Makanan/ Cairan: a. Gejala :tidak ada masalah pada pola makan dan minum, b. Tanda :klien dapat menghabiskan porsi makannya. 6. Neurosensori: a. Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari – jari kaki dan selnjutnya terus naik (distribusi berdasarkan trunkus saraf yang 62 cedera. Misalnya cedera pleksus brakialis- hilangnya sensasi mulai dari tangan dan lengan luar, cedera saraf ekstremitas atas - (radial, median, ulnar, aksilar, muskulokutaneus) dan cedera saraf ekstremitas bawah – saraf skiati, peroneal komunis) b. Tanda :hilangnya/ menurunnya refleks dan sensasi pada saraf yang cedera, hilangnya tonus otot pada area cedera, adanya kelemahan pada otot – otot wajah, terjadi miosis (kontriksi pupil mata), ptosis (penurunan kelopak mata atas), dan anhidrosis (wajah kering karena kekurangan keringat). 7. Nyeri/ kenyamanan: Nyeri nonsepsis dan neuropatik. 8. Pernapasan: tidak mengalami masalah 9. Keamanan: penurunan kekuatan/ tonus otot, paralisis atau paratesia 10. Interaksi Sosial: tidak bermasalah 6.3 Pemeriksaan Penunjang 1. EMG (Elektromiografi) Tes EMG terdiri dari 2 bagian yaitu studi konduksi saraf (aik motor dan sensorik) dan pemeriksaan jarum elektroda. 2. SNAP (Potensial Aksi Saraf Sensori) Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera pleksus brachial 3. SSEP (Somato Sensory Evoked Potential) Pemeriksaan SSEP digunakan untuk menilai tingkat cedera, apakah praganglionik atau postganglionic pada lesi pleksus brachial. 4. NAP Intrabedah (Potensial Aksi Saraf Intrabedah) NAP menjadi pemeriksaan definitive yang penting bila dicurigai adanya neuroma yang parah pada kontinuitas dan otot sasaran pertata lebih dari 3 inci dibawahnya. 5. X-ray 6. Mieolografi Bisa menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang pleksus brakhial berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk lesi pleksus ditingkat infra klavikuler atau aksiler (kebanyakan luka tembak pada pleksus), kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang belakang servikal atau trayeknya supraklavikuler medial. 7. CT Scan 63 Pemaparan tomografi terkomputer dengan kontras intra-tekal dimanfaatkan pada cedera regang walau terkadang abnormalitas tetap tidak dijumpai karena irisan biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah akar pada setiap tingkat 8. MRI Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya. CSS didalam meningosel dapat tampak pada MRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi. 6.4 Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri Akut berhubungan dengan perubahan pada sistem saraf, stimulus intensitas tinggi pada ujung saraf 2. Gangguan mobilitas fisik berhubngan dengan gangguan neuromuscular (kelemahan dan paralisis ekstremitas) 3. Ansietas berhubungan dengan Krisis situasional, perubahan status kesehatan 4. Resiko tinggi cdera berhubungan dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu 6.5 Intervensi Keperawatan 1. Diagnosa keperawatan: Nyeri Akut berhubungan dengan perubahan pada sistem saraf, stimulus intensitas tinggi pada ujung saraf (00132) Domain 12 : Comfort Class 1 : Physical Comfort NOC NIC Domain IV Health Knowledge 1. Tentukan daerah, karakteristik and Behaviour Class Q Health Behaviour kombinasi Pain Control (1605) 160502Mengenali serangan nyeri (5) 160505Memberikan yang analgesic (kolaborasi dengan fisioterapi) 3. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgesic analgesic 4. Evaluasi efektivitas analgesic direkomendasikan (kolaborasi) dan keparahan nyeri 2. Pilih analgesic yang tepat atau dengan frekuensi yang teratur. 5. Monitor traksi 6. Monitor status oksigenasi 160510Menggunakan 64 pendokumentasian untuk memonitor gejala nyeri berlebih (5) Note : sebelum dan sesudah pergantian posisi 7. Posisikan pasien dengan tepat agar nyeri tidak bertambah Domain Perceived Helath (V) Class V Symptom Status Pain Level (2102) 210201 Melaporkan nyeri (5) 210204 Lamanya eposide nyeri (5) 210206 Nyeri yang ditunjukan dengan ekspresi wajah klien (5) Note : 2. Diagnosa Keperawatan: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular (kelemahan dan paralisis ekstremitas) (00085) Domain 4 : Activity / Rest Class 2 : Activity / Exercise NOC Domain I Functional Health NIC 1. Jelaskan pada klien tentang Class C Mobility pemenuhan istirahat 2. Posisikan klien dengan tepat 3. Kaji ADL klien 4. Ganti posisi klien setiap 2 jam Mobility (0208) 1. Klien diharapkan sudah dapat melakukan aktivitas Indicatornya : 020801 Kesimbangan (5) 020809 Koordinasi (5) 020802 Posisi Tubuh (5) Note : sekali 5. Monitor traksi 6. Monitor status sebelum dan oksigenasi sesudah pergantian posisi 7. Posisikan pasien dengan tepat Severly compromised (1) 65 Substantially compromised (2) agar nyeri tidak bertambah Moderately compromised (3) Mildly compromised (4) Not compromised (5) Domain I Functional Health Class A Energy Maintenance Activity Tolerance (0005) 1. Klien dapat mobilitas fisik melakukan kembali dengan indicator : 000501 Saturasi okesigen berhubungan dengan aktifitas fisik (5) 000507 Warna kulit (5) 000518 ketenangan dalam ADL (5) 66 BAB 7 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN MIASTENIA GRAVIS 7.1 Kasus Tn D datang ke Rumah Sakit dengan istrinya pukul 09.00 dengan keluhan sesak napas, susah menelan dan mengunyah makanan. Selain itu Tn D mengeluh penglihatan ganda. Klien mengatakan bahwa lengan dan tungkai susah digerakkan. Keluarga mengatakan bahwa klien berbicara tidak jelas dan gagap sehingga menolak untuk berbicara. Hasil sementara didapatkan data batuk melemah, TD 130/80, N 100 x/menit, RR 24x/menit, ditemukan ptosis. 7.2 Asuhan Keperawatan 1) Pengkajian A. Anamnesis 1. Identitas klien : Nama Alamat : Tn. D : Surabaya Jenis kelamin : Laki-laki Umur : 60 Th Status : Menikah Agam : Islam 2. Keluhan utama Sesak napas, susah menelan dan mengunyah makanan 3. Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada 4. Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada B. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum 67 TTV : TD : 130/80 mmHg N : 100 x/menit S : 37 oC RR : 24 x/menit TB : 175 cm BB : 67 kg 2. Pengkajian persistem 1. B1 (breathing) Sesak napas, penggunaan pernapasan cuping hidung dan otot bantu pernapasan. RR 2. B2 (blood) N : 101 x/menit 3. B3 (brain) : 24 x/menit Tingkat kesadaran GCS :45 4 Fungsi serebral Status mental : klien mengalami gangguan ekspresi wajah Pemeriksaan saraf cranial 1. ketajaman penglihatan menurun 2. adanya ptosis 3. adanya oftalmuplegia 4. adanya pseudointernuklear oftalmoplegia 5. paralisis pada otot wajah 6. ketidakmampuan menelan 7. lidah tidak simetris 4. B4 (bladder) Berkurangnya volume output urine akibat kurangnya input cairan yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan dan penurunan curah jantung ke ginjal. 5. B5 (bowel) Klien mengalami kesulitan mengunyah dan menelan BB klien menurun akibat asupan nutrisi tidak adekuat 68 Terdapat sariawan di mukosa mulut 6. B6 (bone) Kelemahan otot-otot pada batang tubuh, lengan dan tungkai. 2) BATASAN KARAKTERISTIK 1. Subjektif : Pasien mengeluh susah menelan,sesak napas, klien susah menggerakkan wajah 2. Obyektif : TTV : TD : 130/80 mmHg N : 100 x/menit S : 37 oC RR : 24 x/menit TB : 175 cm BB : 67 kg 3)ANALISA DATA Data Etiologi Masalah 69 1. Gangguan DO: Perubahan pergerakan dada Penurunan tekanan ekpirasi Ketidakefektifan pola napas pada otot pernapasan dan inspirasi Pernapasan cuping hidung. RR 24x/menit Kelemahan otot- DS : otot pernapasan Dispnea Napas pendek Ketidakefektifan pola napas Do: Kelemahan otot Gangguan BB klien turun dari yang buccinator pemenuhan nutrisi mulanya 69 kg menjadi 67 kg Ds: Klien Tidak mengeluh menelan dapat kesulitan menelan makanan Klien merasa lemah metabolisme protein tubuh pengurangan massa tubuh 2. Kelemahan otot- Gangguan mobilitas fisik Do: otot 70 Penurunan waktu reaksi Kesulitan bergerak Melambatnya pergerakan Pergerakan tak terkoordinasi Keterbatasan rentang gerak Ds: (Miasthenia Gravis) Otot lengan dan tungkai klien susah menggerakkan wajah, otot pada lengan dan tungkai Kelemahan otototot rangka 4) DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan 2. Gangguan pemenuhan nutrisi yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan 3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot 5) INTERVENSI Dx: ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan Tujuan: dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi pola napas klien kembali efektif Kriteria Hasil: irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dala batas normal, bunyi napas terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal Intervensi Rasionalisasi Observasi kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat mengkaji frekuensi pernapasan, kedalaman, dan bunyi napas, pantau hasil tes fungsi paru-paru (volumetidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan interval yang sering 71 dalam mendeteksi masalah paru-paru, sebelum perubahan kadar gas darah arteri Observasi kualitas, frekuensi dan sebelum tampak gejala klinik. dan Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap kedalaman pernapasan, perubahan yang terjadi sejauh mengetahuo kita mana dapat perubahan kondisi klien Baringkan klien dalam posisi yang Penurunan diafragma memperluas daerah nyaman dalam posisi duduk dada sehingga Observasi tanda-tanda vital (nadi, rr) maksimal Peningkatan ekspansi RR dan paru bisa takikardia merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru Bantu dan ajarkan klien untuk breathing Menekan daerah yang nyeri ketika batuk exercise atau napas dalam. Penekaknan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif Kolaborasi untuk pemberian oksigen Oksigen tambahan membantu ventilasi tambahan yang terganggu akibat pola napas yang tidak normal. Dx: gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan Tujuan: masukan kalori akan adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolic Kriteria hasil: berat badah klien meningkat, klien menunjukkan tanda-tanda berkurangnya kelemahan akibat kurangnya kalori, klien tidak mengeluh nyeri pada gastric Intervensi Rasional Observasi reflek gag, menelan, dan Mengetahui faktor yang memengaruhi reflek batuk sebelum pemberian per kurangnya asupan nutrisi 72 oral Hentikan pemberian makan per oral Mengganggu kenyamanan klien dan jika klien tidak dapat mengatasi menghambat pemberian asupan nutrisi sekresi oral, atau jika reflex gag, menelan, atau batuk tertekan Tetap bersama klien ketika klien Memastikan nutrisi masuk ke dalam tubuh makan, jika diperlukan suksion klien Berikan makanan suplemen dalam Untuk menambah nutrisi tambahan yang jumlah kecil diperlukan oleh tubuh Baringkan klien tegak dan berikan Posisi fowler akan memudahkan makanan banyak waktu untuk menelan masuk ke dalam lambung dan menghindari makanan makanan masuk ke dalam system pernapasan Pasang NGT jika terjadi disfagia Membantu memasukkan makanan Berikan nutrisi parenteral total jika Membantu memasukkan makanan melalui pemberian makan per oral atau NGT intravena terdapat kontraindikasi (misal: cedera serebrospinal, tumor pada rongga hidung atau esophagus) Catat masukan dan ekskresi Lakukan konsultasi gizi Sebagai evaluasi keadekuatan dan keseimbangan cairan dan metabolism tubuh untuk Kolaborasi untuk menentukan keadekuatan mengevaluasi kalori nutrisi Timbang berat badan klien setiap hari Sebagai evaluasi keefektifan intervensi Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan Tujuan: infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema inplamasi dan memungkan penyembuhan aksi silaris normal. Infeksi pernafasan ,inor yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki paru paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM. Intervensi Rasionalisasi Observasi kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan melakukan aktivitas. Atur cara beraktivitas klien intervensi selanjutnya. sesuai Sasaran klien adalah memperbaiki 73 kemampuan. kekuatan dan daya tahan. Menjadi partisipan dalam pengobatan, lien harus belajar tentang fakta fakta dasar mengenai agen-agen antikolinesterasekerja, waktu, penyesuaian dosis, gejalagejala kelebihan dosis, dan efek toksik. Dan yang penting pada gangguan medikasi dengan tepat waktu adalah Evaluasi kemampuan aktivitas motorik. ketegasan. Menilai tingkat kebersihan dari terapi yang telah diberikan. 6) Evaluasi Keperawatan 1. Keefektifan fungsi pernapasan. 2. Dapat kembali beraktivitas 3. Kebutuhan nutrisi tercukupi BAB 8 PENUTUP 8.1 Simpulan Medula spinalis tersusun dalam kanalis spinalis dan diselubungi oleh sebuah lapisan jaringan konektif, dura mater. Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral, dan 1 pasang saraf koksigeal. Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma sumsum tulang belakang atau tekanan pada sumsum tulang belakang karena kecelakaan yang dapat mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi baik sementara atau permanen di motorik normal, indera, atau fungsi otonom serta berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi). Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang, disk, atau benda asing) masuk atau mengenai spinal dan merusakkan spinal cord atau suplai darah. Sebagian besar cedera tulang belakang akibat dari kecepatan kecelakaan kendaraan bermotor. Jatuh dan bekerja - cedera yang berhubungan dengan kontributor penting lainnya. Klasifikasi menurut 74 Holdsworth: Cedera fleksi, Fleksi dan rotasi, Kompresi vertical (aksial), Hiperekstensi atau retrofleksi, Fleksi lateral. Klasifikasi berdasarkan lokasi cedera: Cedera servikal, Cedera Thorakal, Cedera Lumbal, dan Cedera Sakral. Manifestasi Klinis awal akut SCI tergantung pada tingkat dan luasnya cedera sarafnya; Perubahan refleks; Kejang otot; Otonom disrefleksia; Sindrom klinis menyebabkan kelumpuhan parsial. Komplikasi: Atas dan bawah defisit motor neuron; Paraplegia dan quadriplegia; Otonom disrefleksia. Pemeriksaan diagnostic: MRI dan CT-Scan. PNS terdiri dari saraf yang cabang keluar dari otak dan sumsum tulang belakang. Saraf ini membentuk jaringan komunikasi antara SSP dan sisa tubuh. PNS dibagi lagi menjadi sistem saraf somatik dan sistem saraf otonom. Peripheral Nerve Injury atau cedera saraf perifer adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kerusakan saraf di luar otak atau sumsum tulang belakang. Klasifikasi Cedera Saraf Perifer: Neuropraxia, Aksonotmesis, Neurotmesi. Etiologi Saraf Perifer: Transection, Stretch Tractional Contusion, Gunshot Wounds, Ischemic and Compression, Electrical/ Thermal Injuri, Injection Injury, Irradiation Injury. Komplikasi Cedera Saraf Perifer: Remisi spontan., Kontraktur miogen akibat paralisis otot sebagai akibat keterlambatan timbulnya kontraktur atrogen, Penyakit kaki diabetic akinat anesthesia dan gangguan saraf autonomy. Manifestasi Klinis: Sindrom Horner, Tanda tinel, Fungsi otonom, Nyeri Cedera Saraf. Pemeriksaan Fisik pada Cedera Saraf Perifer: Pemeriksaan Motor, Tanda Tinel, Berkeringat. Penatalaksanaan Diagnostik Cedera Saraf Perifer: Elektromiografi (EMG), Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP), SomatosensoryEvoked Potential (SSEP), Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP), Pemeriksaan Radiologis, Mielografi, Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), Tes konduksi saraf, Nerve biopsy, Spinal tekan Tes. 75 DAFTAR PUSTAKA 76 IKAPI. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Lumenta, Christianto B. (2010). Neurosurgery. London: Spinger Russell, Stephen M.(2006). Examination of Peripheral Nerve: An Anatomical Appproach. New York: Thieme Medical Publisher Tulang Gloria M.GallowY,MarcTrauma R.Nuwer, JaimeBelakang R.Lopez, Khaled M. Zamel. 2010. Intraoperative Neurophysiologic Monitoring. USA: Camridge Smeltzer,Suzannne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed.3. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem cedera columna vertebra,cedera medula spinalis Persarafan. Jakarta: Salemba Medika LeMore Priscilla,Karen Burke 2008.Medical-Surgical Nursing Carolyn M. Hudak,Barbara M.Gallo,Patricia Gonce Morton 1997 Critical Care Nursing Kerusakan jalur simpatetik desending Perdarahan mikroskopik Black Joyce M, Hawks Jane Hokanson. 2009. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive Outcomes eight edition. St. Louis: Saunders Elsevier Terputusnya jaringan saraf medulla spinalis Reaksi peradangan Paralisis dan paraplegia Reaksi anestetik Shock spinal Hambatan mobilitas fisikMK: Hambatan mobilitas fisik Ilkus paralitik, gangguan fungsi rectum dan kandung Respon nyeri hebatkemih dan akut Kelemahan fisik umum Penurunan tingkat kesadaran MK: Defisit Perawatan Diri MK: Gangguan Pola Eliminasi urin Reflex batuk terganggu MK: Resiko Trauma Tinggi WOC Retensi secret MK: Ketidakefektifan bersihan jalan napas Timbul ronchi 77 78