bab i pendahuluan

advertisement
 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang tujuan Bank
Indonesia adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah . Untuk
mencapai tujuan tersebut bank Indonesia memiliki tugas untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter.
Dalam rangka menerapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut,
bank Indonesia berwenang untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan
memperhatikan laju inflasi melakukan pengendalian moneter salah satunya dengan
menerapkan Operasi Pasar Terbuka (OPT) di pasar uang. Selain itu Bank Indonesia
juga dapat melakukkan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah ( Pasal 10
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
sekarang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004).
Kebijakan moneter diambil untuk mencapai tujuan kebijakan, yang mencakup
pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, pengurangan kesenjangan
pendapatan dan kekayaan, stabilitas harga, stabilitas tingakat imbal, stabilitas kurs,
dan stabilitas keuangan. Kebijakan moneter dapat hanya mengejar satu saja dari
tujuan diatas (single objective) atau beberapa tujuan sekaligus (multiple objective).
Multiple objective mengahadapi kendala jika terdapat konflik antara tujuan. Sebagian
tujuan bisa dicapai bersama, missal antara stabilitas tingkat imbal dan stabilitas
keuangan, atau antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran.
Sebagian tujuan lain saling bertentangan, seperti antara pertumbuhan dan inflasi
dalam jangka pendek. Pertentangan antara tujuan pengendalian inflasi dan
1
pengurangan pengangguran bisa dihindari dengan adonan kebijakan (policy mix)
yang tepat
(Chapra, 1983). Literatur moneter belakangan ini juga mengarah pada
kesimpulan bahwa inflasi dapat menghambat pertumbuhan dalam jangka panjang
karena menciptakan ketidakpastian.
Inflasi merupakan proses kenaikan harga barang-barang umum secara terus
menerus (Nopirin, 1987 hal 25). Masalah inflasi telah menjadi masalah besar dalam
perekonomian Indonesia. Tingkat laju inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan
dan penawaran terhadap barang dan jasa yang mencerminkan perilaku para pelaku
pasar atau masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat
tersebut adalah ekspektasi terhadap laju inflasi di masa yang akan datang. Ekspektasi
laju inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan asset
finansial yang dimilikinya menjadi asset riil, seperti tanah, rumah, dan barang-barang
konsumsi lainnya. Jadi secara umum inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan
tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum
tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan,
dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus
dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan
peningkatan
persediaan
uang
yang
kadangkala
dilihat
sebagai
penyebab
meningkatnya peningkatan persediaan uang yang juga kadangkala dilihat sebagai
penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua
yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.
Inflasi menjadi salah satu indikator makroekonomi yang penting dalam
perekonomian Indonesia. Inflasi sangat mempengaruhi aktivitas pelaku ekonomi baik
itu di sektor riil maupun disektor moneter. Gejolak inflasi yang signifikan akan
mengganggu kestabilan perekonomian. Dampak adanya inflasi yang tinggi pun akan
merugikan banyak golongan masyarakat. Bank syariah dan bank konvensional
sebagai salah satu lembaga keuangan perbankan juga tidak luput dari dampak inflasi.
2
Transaksi berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan bank syariah
berhubungan
langsung dengan sektor riil. Setiap pendanaan yang dikeluarkan harus
terdapat underlying transaction dibelakangnya. Ketika inflasi berlangsung sektor riil
biasanya dihadapi dengan dua kesulitan. Dari sisi produksi, biaya yang ditanggung
perusahaan untuk berproduksi akan naik sehinggga harga jual outputnya akan ikut
naik. Sedangkan dari sisi permintaan, inflasi menyebabkan pendapatan riil
masyarakat
berkurang sehingga akan mengurangi demand terhadap barang dan
syariah seperti entitas bisnis lainnya tentu akan merespon karena tidak ada
jasa.Bank
dukungan sektor riil di saat inflasi dengan melakukan optimalisasi diversifikasi
pendanaannya. Perbankan syariah yang pertama kali hadir setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dalam system perbankan Syariah di
Indonesai sebagai instrumen penyerap likuiditas seperti Bank konvensional yaitu
Sertifikat Wadiah bank Indonesia (SWBI) yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadiah bank Indonesia yang
berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional majelis Ulama Indonesia Nomor
36/DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Dalam Peraturan
Bank Indonesia menyatakan bahwa SWBI adalah penitipan dana berjangka pendek
dengan menggunakan prinsip Wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi
Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah sebagai bukti penitipan dana Wadiah oleh
Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah.
Setelah dikeluarkannya peraturan Bank Indonesia tersebut terdapat banyak
keluhan dari pihak bank Syariah ataupun Unit usaha Syariah tentang dirasakannya
nilai return pada penempatan dana SWBI lebih rendah dibandingkan dengan
penempatan dana Bank Konvensional di Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Setelah
kejadian tersebut, akhirnya bank Indonesia mengeluarkan peraturan kembali yang
mengatur ulang tentang instrumen penyerap likuiditas yang berdasarkan Syariah
untuk lebih menguntungkan dalam hal return terhadap dana yang ditempatkan oleh
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam instrumen penyerap likuiditas moneter
3
dan juga sebagai instrumen moneter yang tepat untuk diberikan kepada Bank Syariah
maupun Unit Usaha Syariah. Instrumen penyerap likuiditas tersebut yaitu Sertifikat
Bank Indonesia Syariah (SBIS). SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah
satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang
dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan tersebut dikeluarkan oleh Bank
Indonesia setelah disetujui oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
untuk menerbitkan
Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Ketentuan Sertifikat Bank
Indonesia
Syariah menyatakan bahwa Bank Syariah yang dapat menempatkan
dananya pada instrumen tersebut adalah BUS dan UUS yang mempunyai tingkat
FDR minimum 80%, BUS atau UUS tersebut akan mendapatkan tingkat imbal hasil
tinggi. Adapun pengertian Sertifikat Bank Indonesia Syariah berdasarkan peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tenta ng Sertifikat Bank Indonesia Syariah
adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam
mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 ayat (4) ). Pada
dasarnya tingkat imbalan Sertifikat Bank Indonesia Syariah mengacu pada rata-rata
tertimbang tingkat diskonto hasil lelang SBI.
Ketentuan tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah ini diterbitkan dalam
rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan
prinsip syariah melalui operasi pasar terbuka syariah dalam upaya mendukung tugas
Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang
bertujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai
kondisi perekonomian yang stabil di Indonesia, peran serta semua pihak yang terkait
perlu digalakkan. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia telah
menjalankan fungsinya dengan menetapkan SBIS sebagai salah satu
instrumen
kebijakan moneter.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) merupakan salah satu instrumen
yang dibuat oleh BI sebagai penstabil perekonomian yang menggunakan akad
Ju’alah. Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan dengan
4
perekonomian yang tidak stabil, Salah satu parameter yang dapat mengukur
kestabilan
perekonomian yakni dengan melihat kinerja dari stabilitas makroekonomi.
Stabilitas makroekonomi dapat ditelusuri dari dampak guncangan suatu variabel
makroekonomi ter hadap variabel makroekonomi lainnya. Apabila dampak dari suatu
guncangan menimbulkan fluktuasi yang besar pada variabel makroekonomi dan
diperlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai keseimbangan jangka panjang,
maka dapat
dikatakan bahwa stabilitas makroekonomi sangat rentan terhadap
perubahan.
Namun, apabila dampak guncangan indikator itu menunjukkan fluktuasi
yang kecil dan waktu mencapai keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama,
maka dapat dikatakan kondisi makroekonomi relatif stabil (Siregar, InterCAFE).
Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat
atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya, diantaranya
suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar, dan pengangguran. Bank
Indonesia (BI) sebagai lembaga otoritas moneter telah melakukan stabilisasi melalui
instrumen suku bunga SBI, dimana penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan
jumlah uang yang beredar. Ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu
banyak (berlebih), maka hal ini akan menyebabkan terjadinya inflasi.
Melihat jauh kebelakang mengenai kegiatan Bank Indonesia sebagai lembaga
otoritas moneter dalam mengatur kebijakan upaya stabilisasi peredaran jumlah uang
di masyarakat. Secara umum, kinerja dan upaya yang telah dilakukan oleh Bank
Indonesia, sudah menunjukkan perannya sebagai lembaga otoritas moneter dalam
menetapkan kebijakan untuk perbaikan perekonomian di Indonesia. Walaupun
banyak para pakar ekonomi dan pemerhati ekonomi di Indonesia mengatakan bahwa
kebijakan moneter yang telah ditetapkan kurang mampu mengendalikan laju inflasi
dan tingkat pengangguran dalam jangka pendek. Akan tetapi, geliat dan upaya yang
dilakukan oleh Bank Indonesia telah menunjukkan fungsi dan perannya sebagai
lembaga otoritas moneter dalam menetapkan kebijakan moneter untuk perbaikan dan
kestabilan kondisi perekonomian di Indonesia, walaupun tujuan dan sasaran yang
5
diharapkan dapat dicapai dalam periode jangka panjang. Efektivitas kebijakan
moneter Bank Indonesia terhadap variabel-variabel seperti masalah pembiayaan,
makroekonomi, serta inflasi di Indonesia perlu diperhatikan.
Sejak dimunculkannya SBIS dari tahun 2008 hingga saat ini, belum ada
pengaruh yang signifikan terhadap pengendalian moneter di Indonesia. Dikarenakan
jumlah UUS dan BUS yang mengikuti lelang SBIS relative tidak begitu banyak
dibandingkan dengan Bank Konvensional yang mengikuti lelang SBI. Dari 28 bank
syariah dan unit usaha syariah yang beroperasi, hanya 13 bank bank yang terlibat
Bank Indonesia menyebut 12 bank peserta (sumber: Indonesia Islamic Global Market
Association (IIGMA).
Hal
ini dikarenakan Bank Syariah lebih memilih
mengalokasikan dananya dalam pembiayaan daripada menginvestasikannya ke dalam
bentuk SBIS. Kebanyakan Bank Syariah saat ini yaitu memilih pembiayaan karena
hal ini memang lebih sesuai dalam konsep perbankan syariah yang mengedepankan
produktivitas. Sedangkan apabila dana Bank Syariah diinvestasikan dalam bentuk
SBIS dana tersebut tidak akan menjadi produktiv karena dana SBIS itu mengendap di
Bank Indonesia. Penurunan simpanan perbankan syariah di SBIS lebih disebabkan
peningkatan tajam permintaan pembiayaan, khususnya di sektor perdagangan.
Berikut adalah data imbal hasil Sertifikat Bank Indonesia Syariah periode
2008-2011:
6
Tabel 1.1
TABEL
IMBAL HASIL SBIS PERIODE APRIL 2008 - DESEMBE 2011
(Sumber : Bank Indonesia, data diolah kembali)
7
Pada tahun 2008 Penempatan dana bank syariah pada Sertifikat Bank
Indonesia
Syariah (SBIS) pada Juli turun menjadi Rp2,55 triliun, atau menyusut
sebesar Rp630 miliar jika dibandingkan dengan posisi awal tahun ini. Penurunan itu
disebabkan oleh meningkatnya ekspansi pembiayaan yang tidak diiringi pertumbuhan
dana masyarakat. Pada Juli 2008, pembiayaan bank syariah meningkat 48,4%
menjadi Rp35,18 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya
(Kusumawati, 2008). Bisnis pembiayaan perbankan syariah semakin
marak. Untuk membiayai ekspansi pembiayaan, para pengelola bank syariah
menggunakan dana yang ada di Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Karena
SBIS merupakan salah satu instrumen untuk ekspansi pembiayaan yang berlebihan
dan terlalu beresiko. Pembiayaan yang terlalu beresiko itu seperti pembiayaan yang
bersifat konsumtif. Adapun yang dimaksud dengan pembiayaan konsumtif adalah
jenis pembiayaan yang diberikan untuk tujuan di luar usaha dan umumnya bersifat
perorangan yang sesuai syariah. Seharusnya dengan dipakainya salah satu instrumen
Operasi Pasar terbuka (OPT) yaitu Sertifikat Bank Indonesia Syariah dapat
membantu pengontrolan dalam pembiyaan.
Pertumbuhan pembiayaan saat ini semakin tinggi. Akan tetapi tingginya
pertumbuhan pembiayaan belum tentu baik karena pembiayaan yang baik yaitu
pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Permintaan masyarakat terhadap
pembiayaan baru perbankan mengalami peningkatan. Faktor utama yang mendorong
meningkatnya permintaan adalah peningkatan kebutuhan pembiayaan dan penurunan
suku bunga kredit. Namun demikian, pembiayaan yang diberikan perbankan nasional
masih di bawah target yang telah ditetapkan. Hal tersebut terjadi karena kondisi
perekonomian yang belum membaik serta tingginya risiko usaha nasabah, sehingga
bank masih menahan diri untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor ril. Dalam hal ini
pengaruh pembiayaan memang sangat berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Dari
hal ini dapat kita lihat jelas bahwa penyaluran dana terhadap pembiayaan itu memang
sangat besar dan berpengaruh banyak terhadap inflasi.
8
Dari tahun ketahun inflasi di Indonesia mengalami penurunan yang cukup
signifikan.
Banyak hal yang mempengaruhi terjadinya penurunan inflasi Indonesia
salah satunya dari pembiayaan. Dan dari Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
sendiri masih tetap menjadi instrumen yang diharapkan mampu mendukung tujuan
kebijakan moneter yaitu mengendalikan inflasi.
Berdasarkan peryataan diatas muncul pertanyaan seberapa besar pengaruh
sbis terhadap
inflasi? Bagaimana gambaran alur instrumen kebijakan moneter SBIS
dalam sasaran akhir kebijakan moneter tersebut yaitu inflasi? Melihat fenomena
uraian diatas dapat menjadi sebuah alasan Penulis untuk mengambil judul
“Pengendalian Inflasi Melalui Instrumen Kebijakan Moneter Pada Operasi
Pasar Terbuka : Studi Terhadap Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) Di
Indonesia”.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,maka penulis akan membatasi
pembahasan pada 2 pokok masalah permasalahan terkait saja, yaitu:
1. Apakah kebijakan SBIS berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia?
1.2.2 Batasan masalah
Adapun batasan masalah mengenai hal yang bertujuan agar dalam
pembahasan tidak mengalami perluasan, maka penulis memfokuskan dan membatasi
permasalahan yaitu sebagai berkut:
1. Penelitian ini hanya terbatas melalui transmisi kebijakan moneter syariah yaitu
SBIS terhadap perkembangan inflasi
2. Menganalisis efektifitas SBIS terhadap pertumbuhan inflasi dengan menggunakan
metode Analisis Regresi Sederhana
9
3. Penelitian ini menggunaka data yang diperoleh dari Bank Indonesia dan Badan
Pusat
Statistik dan hanya dilakukan pada periode 2008-2011
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh SBIS terhadap tingkat inflasi
2.
Mengetahui apakah inflasi dapat dikendalikan dengan SBIS
1.3.2
1.
Manfaat Penelitian
Bagi Penulis
Dapat menambah pengetahuan serta wawasan tentang perkembangan
perekonomian di Indonesia seperti mengenai efektifitas transmisi kebijakan moneter
khususnya Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan perkembangan pertumbuhan
inflasi di Indonesia.
1.
Bagi Umum
Memberikan informasi dan menambah pengetahuan bagi para pebaca agar
mengetahui perkembangan yang ada tentang salah satu instrumen kebijakan moneter
yaitu SBIS.
10
11
Download