PEMULIAAN TANAMAN TEBU

advertisement
PEMULIAAN TANAMAN TEBU
Oleh
Ratna Rosanty Lahay
NIP 131836670
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Medan
2009
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatNya yang
telah memperkenankan penulis menyelesaikan tulisan ini sebagai suatu karya tulis hasil
studi literatur.
Tulisan ini dengan judul “Pemuliaan Tanaman Tebu”. Dahulu, orang menyangka
bahwa biji tebu bersifat steril. Namun anggapan itu tidak benar setelah biji tebu berhasil
dikecambahkan untuk pertama kali oleh Acus Harper di Barbados pada tahun 1858. Salah
satu tujuan didirikan pusat- pusat penelitian gula adalah untuk menghasilkan
varietas/klon yang berproduksi tinggi, resisten terhadap penyakit serta sifat- sifat baik
lainnya.
Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana pemuliaan tanaman tebu
dilakukan, dimulai dari
Penulis menyadari bahwa tulisan singkat ini cukup terbatas dalam penyajiannya.
Namun demikian penulis berharap kiranya tulisan ini dapat bermanfaat sebagai sumber
informasi pelengkap bagi pembaca.
Medan, Juli 2009
Penulis
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ii
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
ASAL DAN SEJARAH TANAMAN TEBU ................................................
2
PEMBUNGAAN, PENYERBUKAN DAN PEMBENTUKAN BIJI ............
5
PEMULIAAN..................................................................................................
7
METODE PENGENDALIAN UNTUK MEMPERMUDAH PERSILANGAN
9
SELEKSI ..........................................................................................................
12
PENGGUNAAN VARIETAS OLEH PETANI ...............................................
15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
16
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
PENDAHULUAN
Dahulu, orang menyangka bahwa biji tebu bersifat steril. Namun anggapan itu
tidak benar setelah biji tebu berhasil dikecambahkan untuk pertama kali oleh Acus
Harper di Barbados pada tahun 1858. Pengetahuan tersebut tidak dimanfaat lebih kurang
tigapuluh tahun.
Hingga pada tahun 1888, pemuliaan tebu mulai dilakukan oleh
Solwedel di Pulau Jawa dan oleh Harrisan dan Bevell di Barbados.
Semua program pemuliaan tanaman mempunyai beberapa tujuan tertentu yang
ingin dicapai. Tujuan dari pemuliaan tanaman tebu adalah (Barnes, 1974) :
1. hasil tebu yang dipanen per satuan luas yang tinggi
2. kandungan sukrosa yang tinggi
3. kandungan serat yang rendah untuk mempermudah penggilingan
4. habitus yang diinginkan adalah yang tegak, tidak mudah rebah agar sesuai untuk
pemanenan dengan menggunakan mesin
5. mempunyai kemampuan ratoon yang baik
6. bila panen dilakukan dengan tangan maka tepi daun yang tajam, bulu daun yang
dapat menimbulkan iritasi dan batang yang keras dan sukar didorong adalah sifatsifat yang tidak diinginkan
7. resistensi terhadap penyakit utama
8. resistensi terhadap herbisida
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
ASAL DAN SEJARAH TANAMAN TEBU
Tebu merupakan anggota genus Saccharum, famili Graminae dan tribe
Andropogoneae.
Ada lima spesies dari genus Saccharum yang bermanfaat bagi
pemuliaan tanaman (Wrigley, 1981) yaitu :
1. Saccharum officinarum L.(2n = 180)
Merupakan spesies yang dibudidayakan (oleh sebab itu sering disebut noble cane)
dengan sifat batang berwarna terang, lunak, tebal, kandungan sukrosa tinggi,
kandungan serat rendah, daun lebar. Sangat peka terhadap penyakit-penyakit
utama , kecuali penyakit gummosis (Xanthomonas vasculorum) dan jelaga/smut
(Ustilagos citaminae).
Otaheite (sinonim dengan Bourbon, Lahaina, Vellai)
merupakan noble cane yang pertama dibudidayakan secara luas, selanjutnya
diikuti oleh seri Cheribon.
2. Saccharum spontaneum L. (2n = 40 -128)
Merupakan tebu liar di daerah Pasifik dan Asia (di Pulau Jawa disebut dengan
glagah). Spesies ini merupakan sumber resistensi untuk beberapa penyakit utama
seperti “sereh”, mosaik, gummosis, busuk merah (Physalospora tucumanensis),
embun tepung (Sclerospora sacchari).
Spesies ini merupakan rerumputan
tahunan dari mulai ukuran yang pendek hingga tinggi, ruasnya panjang langsing
dengan lubang pit di tengah batang, batang berwarna hijau-kuning hingga putih.
Rhizoma membentuk banyak anakan.
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
3. Saccharum barberi Jeswiet (2n = 82 – 124)
Merupakan tebu India. Batangnya keras dan langsing dengan kandungan serat
yang tinggi. Kebal terhadap penyakit gummosis dan mosaik, resisten terhadap
penyakit embun tepung.
4. Saccaharum sinense Roxb.emend. Jeswiet (2n = 82 – 124)
Disebut dengan tebu Cina atau Uba. Kandungan sukrosanya sedang dengan serat
yang tinggi, batang sedang ketebalannya
dengan daun yang medium hingga
sempit. Kebal terhadap penyakit embun tepung.
5. Saccharum robustum Brandes et Jesweit ex Grassl. (2n = 60 – 194)
Merupakan tebu liar yang berasal dari New Guinea dan Melanesia. Tumbuh
hingga 9 meter.
Batangnya keras berkayu dengan lubang di tengahnya.
Kandungan sukrosanya rendah. Resisten terhadap busuk merah.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa industri gula tebu memanfaatkan spesies
Saccharum officinarum (noble cane) yang diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan
yaitu kemungkinan di New Guinea (Pulau Irian bagian Timur) dan selanjutnya menyebar
ke tiga arah migrasi yang berbeda (Blackburn, 1984). Pertama, dimulai pada 8000 tahun
Sebelum Masehi yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. Kedua,
dimulai sekitar 6000 tahun Sebelum Masehi ke Filipina, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa,
Malaysia dan Burma serta India. Dan ketiga, antara tahun 500 hingga 1100 Sesudah
Masehi yaitu ke Fiji, Tonga, Tahiti, Marquesa dan Hawaii.
Walaupun tebu merupakan tanaman tropis, namun kenyataannya saat ini beberapa
industri gula tebu yang besar dan berhasil justru berada di daerah subtropis yaitu terletak
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
di antara lintang 150 – 300 seperti daerah Brasil Selatan dan tengah, Kuba, Meksiko,
Afrika Selatan, Indi, Cina, Australia dan Hawaii.
Perkembangan yang luas dan besar dalam pengelolaan dan teknologi lapang
berlangsung pada abad dua puluh, sehingga pusat-pusat penelitian dan stasiun lapang
didirikan di negara-negara penghasil gula (Hayes et al., 1955; Wrigley, 1981; Blackburn,
1984), seperti Proefstation voor de Java Suikerindustrie, Pasuruan (Indonesia sekarang
bernama P3G), BWI, Central Sugar Cane Breeding Station (Barbados), Queensland
Bureu of Experiment Stations (Australia), Hawaiian Sugar Planters Association,
Honolulu (Hawaii), Mauritius Sugar Industry Research Institute, Reduit (Mauritius),
Mount Edgecombe, Natal (Afrika Selatan) dan di Amerika Serikat (Baton Rouge,
Lousina dan Canal Point, Florida). Salah satu tujuan didirikan pusat- pusat penelitian
tersebut adalah untuk menghasilkan varietas/klon yang berproduksi tinggi, resisten
terhadap penyakit sertasifat- sifat baik lainnya.
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
PEMBUNGAAN, PENYERBUKAN DAN PEMBENTUKAN BIJI
Pembungaan suatu spesies tanaman perlu diketahui dan dipahami karena di dalam
pemuliaan tanaman, pembungaan berhubungan erat dengan sistem dan strategi pemuliaan
yang akan dilakukan. Pada tebu, hampir semua spesies dari genus Saccharum tidak akan
berbunga pada panjanghari lebih dari 12 jam, kecuali S. spontaneum yang memang
merupakan tanaman hari panjang. Umumnya dibutuhkan paling sedikit 10 jam dan paling
banyak 12,5 jam dan suhu malam 20 - 250 C untuk terjadinya inisiasi bunga. Tanda awal
munculnya bunga adalah munculnya seludang daun yang panjang tetapi helai daunnya
pendek (disebut dengan daun bendera). Seludang daun menutupi panikel yang masih
muda. Akhirnya batang tebu memanjang dan mendorong panikel bunga keluar. Bunga
tebu secara visual berbentuk seperti panah, sehingga sering pada literatur bunga tebu
disebut ‘arrow’.
Spikelet membuka pada malam hari hingga pagi buta, dimulai dari panikel bagian
atas selanjutnya ke arah bawah. Kelembaban udara yang tinggi dapat memperlambat
anthesis. Secara alami, terjadi penyerbukan silang dengan bantuan angin. Pollen viabel
hanya pada waktu yang singkat dan anther akan gugur dari filamen setelah anthesis,
sebaliknya stigma tetap persisten. Setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan,
dibutuhkan 21 – 25 hari untuk pengisian dan pemasakan biji. Keluarnya bunga akan
mengakhiri pembentukan daun baru pada batang sehingga tumbuh cabang vegetatif dari
buku terbawah, selain itu adanya pembungaan akan mengurangi kandungan sukrosa pada
batang tebu. Oleh karena itu pada budidaya tebu sering dilakukan perlambatan
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
pembungaan agar kandungan sukrosa tetap tinggi. Biji hasil pembungaan merupakan biji
caryopsis dari satu karpel, perikarpnya menyatu dengan testa. Biji berbentuk ovate,
berwarna coklat kekuning-kuningan dan berukuran amat kecil sekitar 1 mm panjangnya.
Biji tersebut dengan cepat kehilangan viabilitasnya, tetapi bila disimpan dalam suhu
rendah dapat dipertahankan paling tidak selama tiga tahun.
Memperkirakan fertilitas biji secara kuantitatif sangatlah penting bagi pemuliaan
tebu seperti yang dipaparkan oleh Walker (1980) dalam Blackburn (1984) sebagai
berikut : Infloresens “arrow” terdiri dari 25 000 spikelet, tetapi jumlah yang dibuahi dan
fertile hanya sekitar 3 – 33 %, yaitu sekitar 700 spikelet yang akan berkembang menjadi
biji. Biji tebu tidak mengalami dormansi, perkecambahan biji membutuhkan waktu 2 – 8
hari pada suhu 35 %. Kecambah muda sangat lambat pertumbuhannya hingga fase empat
daun, tetapi selanjutnya pertumbuhan berjalan dengan cepat.
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
PEMULIAAN
Pekerjaan yang pertama dan sangat penting terjadi di Pulau Jawa, di mana tujuan
utamanya adalah mendapatkan varietas yang resisten terhadap penyakit “sereh” yang
menimbulkan kerusakan yang berat pada noble cane (Saccharum officinarum) seperti
yang menyerang varietas Othaeite dan seri Cheribon.
Spesies liar, khususnya
Saccharunm spontaneum diketahui resisten terhadap penyakit “sereh” dan penyakit tebu
lainnya, sehingga Saccharum spontaneum disilangbalikkan (backcross) dengan noble
cane.
Proses tersebut diistilahkan dengan “nobilisasi” (nobilization), dan hasil
persilangan tersebut dinamakan “nobilized cane”. Tebu ajaib yang melegenda tersebut
adalah POJ 2878 (POJ = Proefstation Oost Java) yang dihasilkan oleh Jeswiet pada tahun
1929 dan secara luas dibudidayakan sebagai varietas komersial standar di beberapa
negara pada saat itu seperti di Hawaii, Guyana, Inggris, Barbados, Jamaika, Kuba,
Kolombia, Meksiko, selain tentunya di Pulau JaWA (Stevenson, 1965; Martin, dkk,
1961; Barnes, 1974; Wrigley, 1981dan Blackburn, 1984).
Tebu merupakan tanaman menyerbuk silang dengan bantuan angin, sering bersifat
poliploid, dan terkadang aneuploid. Karena menyerbuk silang dan diperbanyak secara
klonal maka heterozigousnya tinggi dan tidak toleran terhadap inbreeding (penyerbukan
sendiri). Persilangan antar klon akan meningkatkan keragaman pada progeni F1, dan
pemuliaan tebu dapat menggunakan keragaman ini untuk membentuk klon yang baru.
Persilangan dapat bersifat berpasangan (biparental cross, di mana baik tetua jantan dan
betina diketahui), atau dapat pula berupa persilangan jamak (polycross, di mana tetua
betina diketahui, sedangkan
tetua jantan beragam genotipnya dan tidak diketahui).
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
Untuk itu perlu diketahui daya gabung umum dan daya gabung khusus untuk masingmasing klon calon tetua.
Program persilangan biparental lebih sering dilakukan
dibandingkan persilangan polycross.
Polycross banyak dilakukan di Hawaii dengan
menggunakan metode “melting pot” (akan dijelaskan lebih lanjut) untuk pemuliaan
dengan tujuan tertentu seperti varietas yang sesuai dengan kondisi “mauka” (dalam
bahasa Hawaii berarti elevasi tempat yang tinggi).
Dalam melakukan persilangan
terdapat beberapa metode yang dapat membantu untuk mempermudah persilangan.
Setelah persilangan terjadi, selanjutnya dilakukan seleksi (akan dijelaskan lebih lanjut).
Dengan berjalannya waktu akan diperoleh akumulasi pool tetua, beberapa di antaranya
dapat dilepas sebagai klon terbaik untuk daerah tertentu, beberapa lagi tidak cukup baik
untuk diusahakan secara komersial, sebagian lagi disingkirkan karena tidak sesuai dengan
tujuan pemuliaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada semua program pemuliaan,
pool tersebut akan selalu berubah dimana pendatang baru akan masuk sedangkan yang
lainnya keluar (Blackburn, 1984).
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
METODE PENGENDALIAN UNTUK MEMPERMUDAH PERSILANGAN
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa tebu merupakan tanaman
menyerbuk silang, mempunyai batang yang relatif tinggi, penyerbukan terjadi pada
malam hari hingga pagi buta serta penyerbukan diperlukan suhu udara yang hangat, maka
dikenal beberapa metode yang diciptakan untuk mempermudah persilangan.
Metode “lantern” (dalam bahasa Indonesia berarti selubung)
Kemajuan utama untuk mengendalikan pemuliaan tebu adalah ditemukannya sifat
male sterility yang dapat digunakan sebagai induk betina yang dapat dibuahi dengan
pollen dari induk jantan yang diinginkan untuk memperoleh progeny (keturunan) yang
diketahui tetuanya. Pada metode “lantern” persilangan dilakukan di lapang,di mana
bunga “arrow” diselubungi dengan “lantern” untuk mencegah masukknya pollen yang
tidak diinginkan. Dan pada saat yang bersamaan pollen dari tetua jantan yang telah
ditetapkan juga dimasukkan ke dalam “lantern” . Biji kemudian dibiarkan masak dan
setelah lebih kurang tiga minggu, panikel yang terdiri dari biji yang masak (tidak lagi
disebut “arrow” melainkan “fuzz”) dikumpulkan,diekstrak dan disemai. Lantern dapat
dibuat dengan berbagai ukuran dan bentuk. Metode ini ditemukan oleh D’Albequerque
dan Skeete (Stevenson , 1965; Blackburn, 1984)
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
Metode “Marcotting” (sinonim dengan mencangkok)
Perkembangan lain dalam mengendalikan persilangan pada tebu adalah
menggunakan marcotting. Primordia akar yang terdapat di masing-masing noda (buku)
dapat diinduksi di lapang dengan menutupi buku yang terpilih dengan kertas aluminium
atau plastik yang berisi medium perakaran seperti tanah lembab atau gambut. Bahan
stimulan perakaran dapat pula diinjeksikan ke batang yaitu di antara buku ketiga dan
keempat di bawah daerah “marcotte”. Sesaat sebelum bunga “arrow” muncul, batang
tebu dipotong tepat di bawah wadah. Penutup plastik kemudian di buka dan dibuang,
selanjutnya dipindahkan ke pot atau tabung yang berisi tanah, dan diletakkan di rumah
kaca.
Bunga akan muncul, dan pengendalian persilangan dilakukan dengan cara
menggabungkan bunga dari tetua jantan dan betina di dalam satu selubung kain. Metode
ini cocok digunakan pada daerah-daerah di mana suhu malam hari amat rendah seperti di
daerah Afrika, padahal seperti diketahui penyerbukan tebu terjadi malam hari pada suhu
yang relatif hangat, sehingga bila suhu rendah akan mempengaruhi fertilitas. Hanya
dengan memindahkan batang tebu “marcotte” ke rumah kaca yang hangat maka
persilangan dapat terjadi.
Metode larutan ala Hawaii
Metode yang dikembangkan oleh Verret dan Mangelsdorf banyak digunakan oleh
pemulia karena menghemat tenaga kerja untuk pekerjaan persilangan. Bunga yang
menjelang mekar beserta sebagian kecil dari batang tebu dipotong dan dicelupkan ke
dalam wadah berisi air. Bunga akan membuka secara normal, namun bunga akan mati
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
dalam waktu beberapa hari. Kematian diduga disebabkan oleh blokade pada xylem
(pembuluh kayu) oleh bakteri. Sehingga untuk memperpanjang umur bunga digunakan
larutan yang mengandung bakterisida seperti asam sulfurous atau asam fosforik.
Persilangan dilakukan dengan meletakkan potongan bunga jantan lebih tinggi
daripada potongan bunga betina. Setelah penyerbukan selesai, bunga jantan disingkirkan,
sebaliknya bunga betina dipelihara hingga biji masak (fuzz). Selama periode ini, larutan
diganti setiap 2 – 3 hari. Bila biji telah matang, panikel dikantongi dan selanjutnya biji
dikeringkan.
Metode “melting pot” (Pot pelebur/pencampur)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode “melting pot” digunakan
untuk membantu melakukan persilangan polycross, dimana tetua betina (yang malesterility) diketahui, sedangkan tetua jantan berasal dari genotip yang beragam (dalam
pemuliaan, sering juga diistilahkan sebagai half-sib). Penyerbukan random dilakukan
dengan menggoyang-goyangkan bunga jantan secara terartur.
Biji yang dihasilkan
selanjutnya dikumpulkan, dikecambahkan dan dievaluasi, keuntungan dari metode ini
adalah dihasilkan banyak kombinasi tetua dengan biaya pengerjaan yang minimum,
sedang kerugiannya adalah genotipe tetua jantan tidak diketahui.
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
SELEKSI
Seleksi pemuliaan tanaman tebu didasarkan pada percobaan yang terdiri
dari 3 hingga 6 tahap (Blackburn 1984). Pada tahap pertama biji dikecambahkan
(tanpa ulangan pada tahap kedua, satu atau dua baris klon perbanyakan vegetatif
dari tanaman tahap pertama) ditumbuhkan tanpa ulangan. Pada tahap ketiga,
percobaan dilakukan pada plot yang lebih besar dapat tanpa atau dengan ulangan.
Pada tahap keempat umumnya terdiri dari seri percobaan dengan ulangan dan
menggunakan plot dengan baris tanaman pinggir serta menggunakan rancangan
percobaan dan analisis statistik untuk interpretasi data. Tahap lima dan enam
merupakan pekerjaan perbanyakan vegetatif dari klon/varietas yang terseleksi
untuk disebarkan kepada petani untuk pengujian lebih lanjut. Meskipun demikian
ada banyak variasi dalam detail seleksi ini.
Kemajuan seleksi dipengaruhi oleh nilai heritabilitas dari karakter yang
diamati.
Hampir semua karakter yang penting secara ekonomis pada tebu
mempunyai nilai heritabilitas yang rendah, namun pemulia tanaman sepakat
bahwa karakter kandungan sukrosa memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan
interaksi genotip – lingkungannya (GxE interaction) yang rendah (Stevenson,
1965; Blackburn, 1984). Sehingga kandungan sukrosa dapat digunakan sebagai
kriteria seleksi pada percobaan tahap generasi awal, yaitu tahap pertama dan
kedua. Kandungan gula tersebut ditaksir dengan menggunakan refraktometer
tangan untuk mendapatkan nilai Brix. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa
nilai heritabilitas berturut-turut menurun pada karakter ketebalan batang, jumlah
batang per satuan luas dan panjang batang (Blackburn, 1984).
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
Bila nilai
heritabilitas komponen hasil tebu diketahui maka modifikasi seleksi dapat
dilakukan untuk meningkatkan efisiensinya.
Pengujian serangan penyakit juga dilakukan. Resistensi tanaman kadang
dapat diestimasi secara sederhana yaitu dengan mengamati serangan penyakit
secara alami pada plot-plot percobaan yang terdapat pada kondisi yang
memungkinkan infeksi penyakit.
Tetapi terkadang dibutuhkan laboratorium
khusus atau pengujian lapang dengan melakukan inokulasi penyakit. Biasanya
inokulasi penyakit dilakukan pada seleksi tahap akhir (tahap empat atau lima)
untuk mencegah serangan pada klon yang peka dan mencegah resurgensi dari
penyakit tersebut (Blackburn, 1984).
Akhir-akhir ini pemulia tebu juga memanfaatkan teknik baru seperti
induksi mutasi dan kultur jaringan. Untuk menghilangkan karakter yang tidak
disukai dari varietas komersil yang baik, stek tebu diirradiasi, selanjutnya mutasi
diamati.
Beberapa mutan tebu telah dihasilkan seperti dapat mengurangi
pembungaan (agar kandungan sukrosa tetap tinggi), resistensi terhadap busuk
merah, dan ketidakhadiran seludang daun yang keras (sehingga memudahkan
pemanenan dengan tangan). Kultur jaringan untuk diferensiasi subklonal juga
berhasil dilakukan. Karena adanya keragaman somatick (variation somaclonal)
maka subklonal akan berbeda dalam junlah kromosom dan beberapa karakter
lainnya. Teknik-teknik baru ini terus berkembang dan dibutuhkan tetapi tidak
untuk menggeser peranan rekombinasi seksual secara konvensional pada
pemuliaaan tebu.
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
Dasar kepentingan dari semua percobaan pemuliaan tebu adalah
menghasilkan klon baru yang lebih unggul daripada klon komersil standar pada
saat itu.
Untuk itu harus dibuat peringkat dari klon-klon baru tersebut
dibandingkan klon standar pada lingkungan yang berbeda.
Pada tahap akhir seleksi, pemulia akan melepas klon unggul (paling tidak
untuk sifat kandungan sukrosa dan hasil tebu per hektarnya tinggi) kepada petani
untuk ditanam pada lingkunga yang berbeda. Petani akan melengkapi proses
pengujian dengan mengamati dalam skala lapang tentang aspek-aspek penting
seperti penggunaan tenaga kerja, kebutuhan akan pengendalian gulma, toleransi
terhadap herbisida, batang tebu. Karakter-karakter tersebut tidak diuji dengan
baik oleh pemulia, namun demikian karakter tersebut berpengaruh secara
ekonomis.
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
PENGGUNAAN VARIETAS OLEH PETANI
Setelah Perang Dunia Kedua, hampir semua pertanaman tebu di dunia
menggunakan “nobilized cane” dibandingkan “noble cane”. Seperti diketahui,
“noble cane” merupakan tebu hasil seleksi dan persilangan dari spesies
Saccharum oficinarum, contoh dari “noble cane” adalah Otaheite dan seri
Cheribon. Tetapi karena peka terhadap penyakit-penyakit utama, maka “noble
cane” disilangbalikkan dengan Saccharum spontaneum yang merupakan sumber
ketahanan bagi penyakit-penyakit utama.
Noble cane yang lebih dimuliakan tersebut menghasilkan tebu nobilized
cane. Walaupun tidak lagi ditanam secara komersial, namun noble cane masih
dipakai sebagai sumber tetua untuk pemuliaan tebu.
Di Indonesia, hingga tahun 1994, klon tebu yang paling banyak
diusahakan adalah PS 8, PS 30, PS 41, PS 62, PS 63, POJ 3016, POJ 2961 dan
POJ 3067 (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertania, 1992; Sutarjo, 1994).
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1992. 5 Tahun (1987-1991) Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Sumbangan dalam Menyongsong Era tinggal
Landas. 116 hal.
Barnes, A.C. 1974. The Sugar Cane. Leonard Hill Books, New York. 572 p.
Blackburn, F. 1984. Sugar Cane. Longman Group Ltd., London. 414p
Hayes, H.K., F.R. Immer and D.C. Smith. 1955. Methods of Plant Breeding, Mc GrawHill Book Co., Inc., New York. 551p.
Martin, J.P., E.V. Abbott and C.G. Hughes. 1961. Sugar Cane Diseases of The World.
Elsevier Publ., Co. Amsterdam. 542p.
Stevenson, G.C. 1965. Genetics and Breeding of Sugar Cane. Longmans, London. 284
p.
Sutarjo, R.M.E. 1994. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara, Jakarta. 76 hal.
Wrigley, G. 1981. Tropical Agriculture. Longman, London. 496 p.
Ratna Rosanty Lahay : Pemuliaan Tanaman Tebu, 2009
USU Repository © 2008
Download