2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, memiliki badan dengan bentuk panjang dan pipih kesamping serta memiliki daging yang lunak. Ikan mas sendiri sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina sedangkan di Indonesia, ikan mas dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas yang terdapat di Indonesia merupakan merupakan jenis ikan mas yang dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang (Anonim 2007b). Hingga saat ini sudah terdapat 10 jenis ikan mas yang telah diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologisnya. Pada ilmu taksonomi hewan, klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut (Bachtiar 2002) : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Subkelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Subordo : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Subfamili : Cyprininae Genus : Cyprinus Spesies : Cyprinus carpio Saat ini ikan mas mempunyai banyak ras atau strain. Perbedaan sifat dan ciri dari ras disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam, musim dan cara pemeliharaan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk tubuh dan warnanya (Susanto 2007). Gambar ikan mas dapat dilihat pada Gambar 1. 6 Gambar 1 Ikan mas (Cyprinus carpio) (Anonim 2007b) Ikan mas memiliki bentuk tubuh yang agak memanjang dan sedikit memipih ke samping (compressed). Sebagian besar tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik. Moncongnya terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil). Pada bibirnya yang lunak terdapat dua pasang sungut (berbel) dan tidak bergerigi. Pada bagian dalam mulut terdapat gigi kerongkongan (pharynreal teeth) sebanyak tiga baris berbentuk geraham. Sirip punggung ikan mas memanjang dan bagian permukaannya terletak berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip punggungnya (dorsal) berjari-jari keras, sedangkan di bagian akhir bergerigi. Seperti halnya sirip punggung, bagian belakang sirip dubur (anal) ikan mas ini pun berjari-jari keras dan bergerigi pada ujungnya. Sirip ekornya menyerupai cagak memanjang simetris hingga ke belakang tutup insang, sisik ikan mas relatif besar dengan tipe sisik lingkaran (cycloid) yang terletak beraturan. Garis rusuk atau gurat sisi (linea lateralis) yang lengkap terletak di tengah tubuh dengan posisi melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Bachtiar 2002). Ikan mas merupakan ikan salah satu ikan air tawar yang banyak digemari oleh masyarakat karena memiliki nilai gizi yang tinggi. Komposisi gizi daging ikan dapat berbeda-beda tergantung pada spesies ikan, tingkat kematangan gonad, habitat dan kebiasaan makan ikan tersebut. Komposisi tersebut didominasi oleh air dimana kadar air dapat mempengaruhi kandungan lemak yang terdapat pada daging ikan tersebut (Anonim 2007c). Komposisi daging ikan mas dapat dilihat pada Tabel 1. 7 Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan mas setiap 100 gram bahan yang dimakan Komposisi Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air Satuan Kal g g g mg mg mg Satuan Internasional mg mg g Jumlah 86,0 16,0 2,0 0,0 20,0 150,0 2,0 150,5 0,05 0,0 80 Sumber : Bahtiar (2002) 2.2 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perairan yang dibudidayakan di air tawar. Ikan ini sangat digemari oleh masyarakat Indonesia karena memiliki cita rasa yang dapat diterima oleh hampir semua lapisan masyarakat dan harganya yang relatif murah. Selain untuk dikonsumsi, ikan lele juga bermanfaat untuk menjaga kualitas air yang tercemar. Klasifikasi ikan lele menurut (Saanin 1984) adalah : Filum : Chordata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Subordo : Siluroidea Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies : Clarias gariepinus Ciri-ciri morfologi ikan lele adalah bagian kepala berbentuk pipih ke bawah (depressed), bagian tengah membulat, bagian belakang pipih ke samping (compressed), dan tubuhnya memanjang. Walaupun ikan lele tidak memiliki sisik, tubuhnya tetap licin karena dilapisi lendir (mucus). Ikan lele memiliki patil atau taji pada bagian sirip dada yang berfungsi untuk melindungi dirinya dari ancaman 8 yang membahayakan dirinya. Pada bagian tubuh lele yang lain, yaitu sirip punggung dan sirip dubur bentuknya memanjang sampai ke daerah pangkal ekor tetapi tidak menyatu dengan sirip ekornya. Bagian punggungnya berwarna hijau kegelapan dan bagian perutnya berwarna putih keperakan. Memiliki empat pasang kumis di sekitar mulutnya dan dua buah lubang penciuman di belakang bibir atas. Pada saat mencari makan lele biasanya menggunakan kumisnya sebagai alat peraba (tentakel) yang disebut kumis mandibular (Khairuman dan Khairul 2002). Gambar ikan lele dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Ikan lele (Clarias gariepinus) (Anonim 2008a) Ikan ini juga memiliki alat pernafasan tambahan disebut arborescen organ yang terletak pada lembar insang ke-2 dan ke-4 untuk mengambil oksigen langsung dari udara dengan bergerak vertikal. Alat pernafasan tambahan tersebut merupakan pengadaptasian ikan lele terhadap tempat hidup yang minim oksigen. Sebagai contoh, ikan lele dapat hidup dengan baik di kolam penampungan air maupun di sawah dengan air dangkal pada kedalaman 5-10 cm saja dengan syarat ada tempat untuk berlindung seperti kolong dari tumpukan batu-batu atau potongan pipa paralon (Anonim 2008a) . Ikan lele memiliki nilai gizi yang tinggi. Selain itu, ikan ini banyak digemari oleh masyarakat karena rasa dagingnya yang gurih. Hal ini juga didukung dengan harga ikan lele yang terjangkau oleh masyarakat. Kandungan gizi ikan lele dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi Air Protein Lemak Mineral Jumlah (%) 75,1 17 4,8 1,2 9 Vitamin Sumber : Anonim (2008a). 1,2 2.3 Protein Daging Ikan Protein merupakan senyawa yang mengandung berbagai macam asam amino berbeda yang disambungkan dengan ikatan peptida (Winarno 2002). Protein yang berbeda dapat mempunyai sifat kimia yang berbeda serta struktur sekunder dan tersier yang berbeda pula (deMan 1997). Menurut Junianto (2003), protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan proten hewani yang diperlukan manusia. Kandungan protein ikan relatif besar, yaitu antara 15-25 g dari 100 g daging ikan. Selain itu, protein ikan terdiri dari asam-asam amino yang hampir semuanya diperlukan oleh tubuh manusia. Protein ikan digolongkan dalam 3 fraksi yaitu protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein stroma. Komposisi protein ikan tersebut bervariasi menurut jenis atau spesiesnya, namun secara umum komposisi protein ikan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi protein ikan secara umum Fraksi Protein Jumlah (%) Miofibril 65-75 Sarkoplasma 20-30 Stroma 1-3 Sumber : Nakai dan Modler (2000) 2.3.1 Protein miofibril Protein miofibril disebut juga protein kontraktil (struktur) dan bersifat larut dalam larutan garam. Protein ini merupakan fraksi terbesar (65-70 %) dari keseluruhan protein yang terdapat pada daging ikan tergantung pada spesies ikan (Alasalvar dan Taylor 2002). Protein ini terdiri dari miosin, aktin serta protein regulasi, yaitu protein gabungan dari aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin. Penyusun terbesar dari protein miofibril ikan adalah miosin, yaitu 50-60 % dan penyusun kedua terbesar adalah aktin. Aktin tersusun hampir 20 % dari total miofibril dan merupakan filamen tipis. Protein ini mempunyai dua bentuk, yaitu globular (G-aktin) dan fibrous (F-aktin). Gabungan aktin dan miosin 10 membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981). Miosin adalah protein yang paling penting dari semua protein otot, bukan hanya karena jumlahnya yang besar (50-60 %) dari total miofibril, tetapi juga karena mempunyai sifat biologi khusus. Adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi, miosin dapat bergabung dengan aktin membentuk kompleks aktomiosin (Shahidi 1994). Sifat kontraksi pada proses pembentukan aktomiosin inilah yang menyebabkan terjadinya gerakan otot sewaktu ikan hidup dan selama terjadinya kekejangan setelah ikan mati. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat gel aktomiosin pada ikan adalah konsentrasi protein, pH, kekuatan ion, waktu dan suhu pemanasan. Penurunan pH dan peningkatan konsentrasi protein meningkatkan kekuatan gel aktomiosin (Zayas 1997). Protein otot sebagian besar tersimpan dalam bentuk koloid, baik berupa sol maupun gel. Kemampuan untuk mengekstrak protein miosin lebih besar pada pH agak tinggi, tetapi kekuatan gel daging ikan pada produk akhir lebih rendah meskipun jumlah miosin yang diekstrak lebih banyak (Junianto 2003). Pembentukan gel oleh protein miofibril pada surimi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan, seperti cryoprotectant (Lee et al. 1992). Pada umumnya protein yang larut dalam garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air. Pada proses pengolahan daging, protein miofibril mempunyai peran sebagai struktur dan fungsi utama yaitu berinteraksi dengan komponen lain dan dengan unsur nonprotein secara kimia dan secara fisik untuk menghasilkan karakteristik produk yang diinginkan (Nakai dan Modler 2000). 2.3.2 Protein sarkoplasma Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan terutama terdiri dari enzim-enzim yang berhubungan dengan metabolisme sel. Protein ini terdiri dari mioglobin, enzim dan albumin lainnya. Protein sarkoplasma disebut juga miogen. Kandungan miogen dalam daging ikan bervariasi, selain tergantung dari 11 jenis ikannya, juga tergantung dari habitat hewan tersebut. Pada umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan protein sarkoplasma yang cukup tinggi dibandingkan ikan demersal (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma berjumlah sekitar 20-30 % dari total protein daging. Protein sarkoplasma mempunyai sifat kimia yaitu memiliki berat molekul yang kecil, pH isoelektrik yang tinggi, dan berstruktur globular. Karakteristik fisik dari protein sarkoplasma sebagian besar bertanggung jawab untuk kelarutan yang tinggi terhadap air. Salah satu bagian dari protein sarkoplasma yang penting dalam menentukan kualitas daging adalah mioglobin. Mioglobin bertanggung jawab untuk warna merah pada daging segar dan warna merah muda pada daging yang dicuring (Nakai dan Modler 2000). 2.3.3 Protein stroma Protein stroma atau protein jaringan ikat tersusun dari kolagen dan elastin. Protein jaringan pengikat kebanyakan terdapat pada miosepta dan endomiosin, tetapi ada pula yang terdapat pada sarkolema atau bagian tubuh yang lain tetapi jumlahnya tidak banyak. Seperti halnya protein miofibril, protein jaringan ikat juga merupakan protein struktural dan terdiri dari sel-sel otot jaringan pengikat, berkas serat dan otot. Protein jaringan ikat ini memelihara struktur bentuk pada tulang, ligamen, dan tendon. Jaringan ikat pada tempat interstitial sel otot terdiri dari 3 protein ekstraselular (kolagen, retikulin, dan elastin) dan substansi dasar penyangga (Nakai dan Modler 2000). Protein stroma ini tidak dapat diekstrak oleh larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Menurut Hall dan Ahmad (1992), pada proses pengolahan surimi protein stroma tidak dapat dipengaruhi oleh panas dan merupakan komponen netral pada produk akhir. Pada daging mamalia, kolagen berikatan silang dengan jumlah yang bervariasi, kadang-kadang mengharuskan pemasakan yang ekstensif untuk melunakkan daging. Pada kenyataannya, daging ikan memiliki melting point atau suhu untuk melunakkan daging yang lebih rendah dan dapat dengan mudah diubah menjadi gelatin melalui pemasakan (Alasalvar dan Taylor 2002). 12 2.4 Surimi Surimi merupakan istilah dalam bahasa Jepang untuk daging lumat dan jaringan ikan yang dicuci. Surimi juga dapat disebut sebagai olahan daging cincang ikan yang telah mengalami beberapa kali proses pencucian yang dimaksudkan untuk menghilangkan komponen yang larut dalam air seperti protein sarkoplasma, darah dan enzim (Mahawanich 2008). Sejak tahun 1900-an, produksi surimi mengalami peningkatan yang cukup tajam. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari persentase permintaan yang cukup tajam (2-3 %) pada tahun 2000-2003 (Park 2000). Produksi surimi secara komersial dibuat dengan menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali pencucian) dengan air atau larutan garam. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar komponen larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak. Setelah pencucian terakhir, daging lumat dipress untuk menghilangkan air yang tersisa lalu dicampur dengan cryoprotectant yang tepat untuk mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku (Nakai dan Modler 2000). 2.4.1 Deskripsi dan karakteristik surimi Pada dasarnya, hampir semua daging ikan bisa dijadikan surimi. Hal pertama yang dilakukan sebelum membuat surimi adalah membuat daging lumat ikan atau minced fish. Daging giling yang digunakan untuk pembuatan surimi sebaiknya memiliki diameter 3 mm hingga 5 mm. Sebelum daging dipress daging harus dibersihkan dari tulang, kulit, darah. Ukuran dan tekstur dari daging giling ikan juga akan memberikan pengaruh pada kualitas minced fish (Park 2000). Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki warna yang putih, rasa yang baik (khas ikan), dan kemampuan gel yang kuat. Surimi yang baik biasanya terbuat dari bahan baku yang segar. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan surimi biasanya merupakan bahan baku yang kurang memiliki nilai ekonomis, tetapi tersedia dalam jumlah yang banyak (Lanier 1992). Surimi adalah protein miofibril yang stabil yang terdapat dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang dan kulitnya kemudian digiling, dan setelah itu mengalami proses pencucian serta pencampuran dengan cryoprotectant. Surimi juga merupakan produk intermediate yang dapat digunakan untuk variasi produk 13 lainnya seperti kamaboko, chikuwa, dan beberapa produk tradisional Jepang lainnya. Sebelum tahun 1960, surimi disimpan dan digunakan dalam beberapa hari saja, hal ini dikarenakan surimi hanya dapat disimpan pada suhu dingin pada refrigerator. Pada waktu itu proses pendinginan beku akan menyebabkan protein dalam daging ikan akan keluar dan akan mengalami denaturasi pada akhirnya (Park 2000). Terdapat dua tipe surimi beku, yaitu Mu-en surimi, yang dibuat dengan menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula fosfat tanpa penambahan garam (NaCl) dan telah mengalami proses pembekuan, sedangkan Ka-en surimi dibuat dengan menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam (NaCl) serta yang telah mengalami proses pembekuan. Selain surimi beku, terdapat tipe lain yang disebut Nama surimi (raw surimi) yaitu surimi yang tidak mengalami proses pembekuan (Okada 1992). 2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi Pencucian merupakan tahap paling penting dalam pembuatan surimi agar dapat dihasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma, darah, lemak dan kandungan nitrogen lainnya dari daging ikan sehingga dihasilkan surimi tanpa bau, rasa dan warna serta memiliki kekuatan gel yang baik (Mahawanich 2008). Proses pencucian surimi dilakukan dengan cara mencampur air dan daging lumat kemudian digerakkan secara mekanis. Jumlah air yang digunakan dan banyaknya siklus pencucian ditentukan oleh jenis ikan dan mutu surimi yang diinginkan. Pada umumnya pencucian surimi dilakukan sebanyak 3-4 kali selama 10 menit dengan perbandingan air dan ikan yaitu 3 : 1 atau 4 : 1. Pada beberapa ikan pada pencucian terakhir biasanya ditambahkan garam (0,2 %) dalam air pencucian (Hall dan Ahmad 1992). Proses pencucian yang dilakukan pada pembuatan surimi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan sifat elastik daging ikan, tetapi perlu juga diperhatikan pengaruhnya terhadap nilai gizi ikan secara keseluruhan. Protein yang akan hilang selama proses pencucian dapat mencapai 25 % dari keseluruhan protein yang ada pada daging. Pada proses pencucian surimi perlu diperhatikan 14 beberapa faktor diantaranya adalah kondisi air yang digunakan dalam proses pencucian. Air yang digunakan pada proses pencucian sebaiknya memiliki nilai pH yang netral dan suhu yang rendah (±5 °C). Air pencucian yang memiliki tingkat kesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila pencucian menggunakan air laut atau air garam protein yang hilang akan semakin tinggi. Kandungan garam-garam inorgaik yang tinggi pada air pencuci, terutama Ca2+ dan Mg2+ akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan membentuk gel surimi dengan menyebabkan denaturasi aktomiosin selama penyimpanan beku. Selain itu, kadar pH juga akan mempengaruhi proses pengikatan air dan kemampuan pembentukan gel, pH yang disarankan dalam proses pencucian surimi yaitu sekitar 6,5-7,0 (Park 2000). Pada proses pencucian sebaiknya diperhatikan suhu air yang akan digunakan untuk proses pencucian. Suhu yang digunakan untuk pencucian biasanya ± 5 °C. Penggunaan suhu rendah pada air yang digunakan untuk pencucian surimi ini dimaksudkan untuk menjaga tekstur daging dan kandungan enzim proteolisisnya. Selain suhu, perbandingan volume air yang digunakan pada proses pencucian juga harus diperhatikan. Efisiensi pencucian dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya penambahan air, daging ikan, umur panen ikan, kecepatan agitasi, bentuk agitator, dan temperatur air. Bentuk wadah yang sebaiknya digunakan adalah square-shaped. Kecepatan agitator yang baik digunakan pada saat pencucian surimi adalah 20-40 rpm (Park 2000). Proses pencucian pada pembuatan surimi juga bertujuan untuk menghilangkan protein larut air yaitu protein sarkoplasma. Protein sarkoplasma merupakan protein yang dapat menghambat pembentukan gel dan dapat menurunkan mutu produk. Protein sarkoplasma terdapat di dalam cairan dalam serat daging dan berhubungan dengan banyak metabolit enzim. Protein ini dapat menurunkan kualitas enzim selama proses penyimpanan (Lanier 1992). 2.4.2 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan mutu, konsistensi, nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa, termasuk ke dalamnya pewarna, penyedap rasa dan 15 aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, pemucat dan pengental (Winarno 2002). Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi antara lain adalah garam, cryoprotectant (sorbitol, sukrosa/gula) dan bahan lain untuk meningkatkan daya ikat air (sodium tripolifosfat). Bahan anti denaturasi akan menurunkan tegangan permukaan dan menurunkan titik beku air terperangkap dari miofibril, sehingga air yang keluar selama proses dan penyimpanan beku akan sangat berkurang dan struktur alami protein tetap stabil (Mackie 1992). a) Alkali (natrium bikarbonat) (NaHCO3) Natrium bikarbonat atau sodium bikarbonat (NaHCO3) adalah garam yang terdiri atas ion Na+ dan anion bikarbonat HCO3-. Garam ini telah digunakan secara luas dan mempunyai beberapa nama lain, yaitu sodium hidrogen karbonat, sodium bikarbonat, baking soda, soda roti, soda masak, soda bikarbonat, dan saleratus. Padatan putih ini berbentuk kristal tetapi sering ditemukan dalam bentuk serbuk. Komponen kimia ini mempunyai rasa sedikit basa (Anonim 2008b). Natrium bikarbonat (NaHCO3) dalam pencucian surimi berfungsi untuk meningkatkan nilai pH agar dapat mencegah terjadinya denaturasi protein. Jumlah natrium bikarbonat (NaHCO3) yang digunakan dalam pencucian surimi adalah 0,5 % (BPPMHP 2001). b) Garam (NaCl) Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl, garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2-0,3 % selama proses pencucian akan memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan (Ditjen Perikanan 1990). Garam dalam pembuatan produk fish jelly lebih berfungsi sebagai agen pelarut bagi protein miofibril dibandingkan sebagai penambah cita rasa (KIFTC 1992). Penambahan garam pada konsentrasi dibawah 2% akan menyebabkan protein miofibril tidak dapat larut, namun penambahan garam pada konsentrasi diatas 12 % akan menyebabkan daging terhidrasi dan menyebabkan efek salting-out dari NaCl. Penambahan NaCl terbaik dalam pembentukan ashi 16 adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi (5-10 %), akan tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies dan produk. Hal ini dilakukan untuk mengindari rasa asin yang berlebihan pada produk hasil akhir (Niwa 1992). c) Antidenaturan (cryoprotectant) Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Penambahan cryoprotectant dalam pembuatan surimi dilakukan untuk mencegah terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan pada suhu rendah. Pada surimi mentah, penambahan cryprotectant dibutuhkan untuk menstabilkan salah satu komponen yang penting yaitu protein miofibril. Penambahan cryoprotectant ini mampu meningkatkan N-aktomiosin dari 350 mg % menjadi 520 mg % dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g cm menjadi 480 g cm yang artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan (folding score) dari A menjadi AA (Peranginangin et al. 1999). Bahan yang umum digunakan sebagai cryoprotectant adalah jenis gula, misalnya sukrosa dan sorbitol. Namun pada saat ini, komponen yang digunakan sebagai cryoprotectant untuk melindungi protein yang labil selama proses pembekuan banyak macamnya yaitu : gula, asam amino, poliol, metal amina, polimer karbohidrat, polimer sintetik (seperti polietilen glikon, PEG), protein lain (seperti bovine serum albumin, BSA), dan garam anorganik (seperti potassium fosfat dan ammonium sulfat) (Park 2000). Pipatsattayanuwong et al. (1995) menyatakan bahwa cryoprotectant dibutuhkan untuk meminimalisasikan denaturasi protein selama masa penyimpanan beku. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium fosfat. Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee et al. 1992). Bahan tambahan lain yang digunakan sebagai cryoprotectant dalam pembuatan surimi adalah fosfat. Fosfat biasa ditambahkan pada surimi sebesar 0,2 – 0,3 % dalam bentuk sodium tripolifosfat atau pirofosfat yang berfungsi untuk memperbaiki sifat ketahanan air (terjadi pada protein miofibril untuk 17 memperbaiki sifat ketahanan air). Fosfat dapat meningkatkan nilai pH dan kelarutan garam dari protein miofibril. Fosfat juga dapat meningkatkan kekenyalan dari surimi (Lee et al. 1992). Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi (Peranginangin et al. 1999) Pada sebagian besar protein, cryoprotectant yang digunakan harus berada pada konsentrasi yang tinggi untuk memberikan perlindungan maksimum, pengecualian pada polimer seperti PEG (polietilen glikon), BSA (bovine serum albumin) dan polivinilpirolidon (PVP), harus digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 % (b/v) yang sepenuhnya melindungi enzim yang sensitif. Konsentrasi cryoprotectant yang ditambahkan pada surimi tergantung pada lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya cryoprotectant yang digunakan adalah 4 % sukrosa atau 4-5 % sorbitol. Surimi yang telah ditambahkan sebagai cryoprotectant kemudian dilakukan proses pengemasan dan pembekuan pada suhu -25 °C (Park 2000). 2.4.3 Syarat mutu surimi beku Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gelnya dan warna yang sangat tergantung dari faktor-faktor bahan baku seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode dan pengawasan pengolahan, kadar air, pengawasan suhu pembekuan dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi. Penentuan mutunya dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian organoleptik (uji lipat / folding test dan uji gigit / teeth cutting test) (Tan et al. 1987). Salah satu cara yang digunakan untuk mempertahankan mutu surimi adalah penggunaan bahan baku yang segar. Apabila terpaksa harus menunggu, maka bahan baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0 – 5 oC), kondisi saniter dan higienis (SNI 01-2694-1992). 18 Karakteristik kesegaran bahan baku yang digunakan untuk membuat surimi secara organoleptik sekurang-kurangnya sebagai berikut : Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan Aroma : segar spesifik jenis Daging : elastik, padat dan kompak Rasa : netral agak manis Syarat mutu surimi beku menurut SNI 01-2693-1992 disajikan pada Tabel 4 : Tabel 4 Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992) Jenis Uji 1) Organoleptik Nilai min 2) Cemaran mikroba ALT, maks Escherichia coli Coliform Salmonella *) Vibrio cholerae *) 3) Cemaran kimia Abu total, maks Lemak, maks Protein, min 4) Fisika Suhu pusat, maks Uji lipat, min Elastisitas, min Satuan Persyaratan Mutu 7 koloni/g AMP/g per 25 g per 25 g 5 x 105 3 3 negatif negatif % b/b % b/b % b/b 1 0,5 15 °C -18 °C grade A 300 g/cm2 *) jika diminta importir Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total, AMP = Angka Paling Memungkinkan 2.4.4 Mekanisme pembentukan gel Mutu surimi yang baik ditentukan oleh kemampuan surimi tersebut untuk membentuk gel. Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk lanjutan olahan surimi. Pembentukan gel dari protein miofibril adalah 19 sifat dasar dari pengembangan produk yang menuntut kekuatan gel atau elastisitas sebagai atribut utamanya. Pembentukan gel pada surimi terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein dan tahap kedua terjadi agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi. Terdapat empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu ikatan garam, ikatan higrogen, ikatan disulfida dan ikatan hidrofobik. Interaksi hidrofobik terjadi ketika suhu naik dan ikatan hidrogen menjadi tidak stabil. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai akibat keberadaan beberapa poliol dan asam amino seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilkan sistem protein (Park 2000). Proses gelasi juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik (Hudson 1992). Ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat (Niwa 1992). Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril. Pada tahap ini menurut pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (diatas 80 oC) (Niwa 1992). Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992). Pembentukan gel ikan terjadi pada saat penggilingan daging mentah dengan penambahan garam. Aktomiosin (miosin dan aktin) sebagai komponen yang paling penting dalam pembentukan gel akan larut dalam larutan garam, membentuk sol (disperse partikel padat dalam medium cair) yang sangat adhesive. Bila sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan kontruksi seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Sifat elastis ini disebut ashi atau suwari. Kekuatan ashi merupakan nilai mutu dari produk gel ikan misalnya 20 kamaboko yang kekuatannya berbeda-beda menurut jenis dan kesegaran ikan (Tanikawa 1985). Pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam yang dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul miofibril. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 °C. Jika pemanasan ditingkatkan hingga diatas suhu 50 °C, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 °C selama 20 menit, pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya (Suzuki 1981). Proses pembentukan gel kamaboko dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Proses pembentukan gel kamaboko (Suzuki 1981) Metode analisis mutu surimi dingin dapat dilakukan dengan mengukur kadar air, pH, deteksi kotoran dan kemampuan pembentukan gel dengan metode uji lipat (folding test). Evaluasi organoleptik dapat juga dilakukan untuk mengukur daya ikat air (water holding capacity) (Suzuki 1981). 2.5 Pendinginan Pada saat proses pengolahan pangan, sangat dihindari penggunaan suhu disekitar suhu kamar. Penggunaan suhu sekitar suhu kamar akan menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan. Tujuan dari penggunaan suhu dingin pada 21 penelitian adalah untuk melihat sejauh mana surimi hasil komposisi tahan dan masih layak dikonsumsi bila disimpan pada suhu dingin. Kualitas daging ikan yang disimpan pada suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologi dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan ikan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Pan 1994). Penerapan suhu rendah bertujuan untuk mempertahankan sifat segar ikan. Penerapan suhu rendah antara lain yaitu dengan pendinginan dan pembekuan. Penerapan suhu rendah dilakukan guna menghindarkan bahan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh autolisa dan pertumbuhan mikroba. Peningkatan aktifitas enzim maupun pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun, terhambat bahkan terhenti (Clucas dan Ward 1996). Kerusakan bahan pangan khususnya hasil perikanan kebanyakan disebabkan karena proses autolisis dan pertumbuhan mikroba pada saat penyimpanan. Pada umumnya bahan pangan mempunyai suhu yang optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya proses pembusukan. Suhu optimum merupakan suhu yang terletak diantara atau sedikit di bawah suhu kamar. Penyimpanan bahan pangan pada suhu sekitar -20 °C sampai -100 °C diharapkan dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan. Suhu rendah efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu, suhu rendah dapat mencegah terjadinya reaksireaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan pangan. Selama pendinginan dan pembekuan akan terjadi perubahan-perubahan sifat pada daging ikan. Perubahan tersebut meliputi perubahan sifat kimiawi, fisikiawi dan organoleptik. Pada pendinginan tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi dibandingkan pada 22 proses pembekuan, karena terbentuknya kristal es yang terjadi di dalam jaringan daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Penurunan suhu, terutama jika sampai dibawah titik beku air dapat berakibat pada membekunya sebagian air sehingga konsentrasi garam dalam cairan sel lebih pekat dari keadaan semula. Jika proses tersebut terus berlangsung, maka pada saat tertentu besarnya konsentrasi garam dapat menyebabkan denaturasi protein. Protein yang terdenaturasi bukan hanya protein yang terdapat pada daging ikan saja melainkan enzim yang terdapat pada mikroba juga ikut terdenaturasi. Terhambatnya enzim-enzim yang terdapat pada mikroba menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam sel mikroba terganggu dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Amlacher 1961). Kualitas daging ikan yang disimpan selama suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia serta aktivitas mikrobiologi dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu, kondisi ikan saat penangkapan dan umur ikan pada waktu panen juga mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Hadiwiyoto 1993). Kemunduran mutu ikan setelah ikan mati disebabkan karena adanya aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang sudah ada pada tubuh ikan secara alami pada tubuh ikan ketika masih hidup. Pada suhu dibawah 4 oC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima konsumen menjadi rendah (Clucas dan Ward 1996).